Home / Romansa / Malam Panas Dengan Mantan Suami / Chapter 101 - Chapter 110

All Chapters of Malam Panas Dengan Mantan Suami: Chapter 101 - Chapter 110

159 Chapters

101. Tolong bantu lepaskan

"Lemes ya wajar, Cal, kamu 'kan lagi sakit. Nanti juga sembuh, nggak usah cengeng!" Ayah mencoba menyemangati, meskipun kekhawatiran masih terpancar dari suaranya.Aku segera menuangkan air minum, lalu menyodorkannya pada Kak Calvin. Aku teringat dengan kata-kata Dokter yang mengatakan Kak Calvin mengalami dehidrasi. Jadi sekarang dia harus banyak minum. "Ayok minum dulu, Kak. Kakak nggak boleh berpikir yang tidak-tidak. Kakak pasti sembuh," kataku ikut menghiburnya.Kak Calvin menurut, meminum air putih itu perlahan, dengan bantuan tanganku."Dokter bilang aku sakit apa, Yang?" tanyanya lirih, suaranya masih lemah."Kakak terkena parasit pas berenang, selain itu Kakak juga dehidrasi.""Bukannya aku demam, ya?" Dahinya berkerut."Iya, demam itu gejalanya karena parasit yang masuk ke tubuh Kakak." Aku menjelaskan dengan lembut, berusaha meyakinkannya."Tapi kayaknya penyebab aku demam bukan karena parasit deh,
last updateLast Updated : 2025-02-26
Read more

102. Aku kangen

Aku perlahan menarik selimutnya, dan napasku tercekat. Mata membulat sempurna, tak percaya dengan apa yang kulihat di bawah sana. Sebuah kepala gajah, lengkap dengan belalai yang cukup panjang, terpatri di sana. Bukan gajah sungguhan, tentu saja. Kak Calvin mengenakan cela*na dalam motif gajah berwarna biru. Konyol sekali. Kenapa dia memakai sesuatu yang seperti itu? Dan kenapa dia ingin menunjukkannya padaku? "Gajahnya lucu 'kan, Sayang?" tanyanya, suaranya terdengar sedikit gugup. Aku menatapnya; wajahnya memerah. "Apa kamu suka?" "Tapi itu bukan gajah, Kak, itu—" Ucapanku terputus oleh bibirnya yang tiba-tiba menempel di bibirku. Mata melebar, terkejut oleh serangan mendadak itu. Aku ingin mendorongnya, menghentikan ciuman ini. Namun, pelukannya terlalu erat, mencekikku hingga tak berdaya menolak. Ini konyol, bahkan lebih konyol daripada cela*na dalam yang dia pakai. Bagaimana jika Ayah, Pap
last updateLast Updated : 2025-02-27
Read more

103. Hanya dusta belaka

"Kondisi Bapak sudah jauh lebih baik. Besok Bapak sudah boleh pulang," ucap dokter, suaranya lembut namun tegas. Sebuah beban seakan terangkat dari pundakku. Rasa lega bercampur haru memenuhi dada."Terima kasih, Dok," kataku penuh syukur. Tak sabar rasanya ingin segera pulang, supaya bisa memeluk Viona dengan leluasa dan merasakan kehangatan tubuhnya kembali."Kamu kenapa, Vio? Dari tadi kok kamu memegang kepalamu terus?" Suara Papa memecah lamunanku. Pandanganku tertuju pada Viona yang memang terlihat menahan sakit, memegangi kepalanya dengan erat. Wajahnya sedikit pucat."Kepalaku sakit, Pa. Sejak sehabis mandi tadi," jawab Viona lirih, suaranya terdengar lemah. Degup jantungku berdebar kencang. Jangan bilang, Viona sakit kepala karena apa yang telah terjadi semalam. Apakah aku bermain terlalu kasar?"Dokter... tolong periksa istriku juga, Dok," pintaku, suara memohon tersirat dalam ucapanku. Dokter mengangguk, langkahnya tergesa mendek
last updateLast Updated : 2025-02-28
Read more

104. Ingin aku sentuh

"Ayah... di mana Bunda?" tanya Kenzie, suara riang bercampur sedikit ragu. Dia masuk ruangan bersama Bunda Dinda, tangan kecilnya menenteng paperbag besar. Bunda sebelumnya memang sudah datang dan tadi mengajaknya membeli mainan."Bundamu lagi diperiksa dokter, Nak. Nanti juga ke sini lagi," jawab Ayah, suaranya tenang berusaha menyembunyikan kekhawatiran."Kamu beli apa itu? Gede banget!" Aku berusaha mengalihkan perhatian, mencoba menutupi kesedihan yang masih membayangi. Kenzie langsung naik ke ranjang, mata berbinar-binar saat membuka paperbag. Sebuah kapal mainan, besar dan berwarna-warni, lengkap dengan remot kontrol."Kapal-kapalan, Ayah! Ini bisa jalan sendiri, lho!" Suaranya penuh semangat. "Waaah... bagus sekali, Sayang. Nanti besok kita mainkan di rumah, ya, setelah Ayah pulang dari rumah sakit," kataku, suara sedikit parau."Memangnya besok Ayah sudah boleh pulang?" Kenzie menatapku. Aku mengangguk cepat. "Yeay!!"
last updateLast Updated : 2025-03-01
Read more

105. Nomor misterius

"Ayo, Kak. Makan, ya. Aku bikin semur daging, dagingnya empuk banget, sudah kupresto. Semoga Kakak suka," ujar Viona, suaranya lembut, tapi sedikit gugup. Dia mengambil piring dan hendak menyendok nasi, tapi tanganku cepat menahannya. Viona menatapku, bingung. Namun, alih-alih membiarkannya, aku justru menariknya hingga duduk di pangkuanku. "Lho, Kak? Kenapa—" Pertanyaannya terpotong bisikanku yang hangat di telinganya. "Sepertinya, aku ingin memakanmu dulu, sebelum memakan masakanmu, Sayang," kataku, suara serak menahan ha*srat. Pipi Viona memerah, tubuhnya menegang, menandakan dia merasakan hal yang sama. "Kalau kamu diam saja, artinya setuju, ya? Boleh, kan?" "Masa di sini?" Viona bertanya, suaranya pelan, matanya menatapku malu-malu. "Jangan di sini. Kita ke kamar, oke?" Tanpa menunggu jawaban, aku langsung menggendongnya. Dia tak menolak, malah memelukku erat. Langkahku cepat menuju kamar tamu. Karena mustahil kami melakukannya di kamar utama, Kenzie ada di sana. Meskipun
last updateLast Updated : 2025-03-01
Read more

106. Maksud tersembunyi

Sepulang kerja, aku, Viona dan Kenzie langsung berangkat ke restoran tempat janjian. Namun, raut wajah keduanya tampak lesu, tak bersemangat. Apakah mereka menyesal diajak bertemu Papa dan Mama? Seketika, sebuah pertanyaan kecil terlontar dari Kenzie, mengungkapkan kekhawatirannya. "Ayah... Oma Selly galak nggak olangnya?" tanyanya ragu-ragu, sorot mata penuh ketakutan tak mampu disembunyikan. Aku tersenyum lembut, berusaha menenangkannya. "Nggak, Sayang. Oma Selly baik kok orangnya." Aku mengerti mengapa Kenzie tampak takut. Dia memang belum begitu mengenal baik Mama atau Papa. Terakhir kali mereka bertemu, saat aku dan Viona menikah. Setelah itu, tak lama Mama dan Papa langsung pergi ke luar negeri. Kenangan itu mungkin masih sedikit samar baginya. "Benelan, Ayah? Kalau Opa Lobin?" "Opa Lobin itu siapa?" Dahiku berkerut, bingung. "Maksud Kenzie Opa Robin, Kak," sahut Viona.
last updateLast Updated : 2025-03-02
Read more

107. Paket misterius

"Saya kebetulan juga mau makan malam di sini, Pak. Dan bolehkah saya bergabung dengan kalian?" Kurang ajar sekali, dasar tidak tahu malu! Bisa-bisanya dia bertanya seperti itu dengan tanpa beban sedikitpun. Andai aku di posisinya, rasa malu sudah pasti membanjiri wajahku. "Kamu ini siapa?" Mama tiba-tiba membuka suara. Kulihat matanya sudah melotot tajam pada Yogi. "Kok tidak sopan sekali, tiba-tiba mau minta bergabung? Ini acara keluarga!" Yogi, yang semula tampak ramah, kini terlihat canggung. "Oh begitu, Bu? Maaf, kalau begitu saya pamit. Permisi ...." Yogi membungkuk, lalu pergi meninggalkan kami. Sesak di dadaku perlahan mereda. Sebuah kelegaan yang tak terkatakan. "Calvin... orang tadi itu siapa? Kok bisa kenal kamu dan Viona?" tanya Mama, penasaran. Wajahnya masih dipenuhi ketidakpercayaan. Mama sepertinya tak ingat wajah Yogi, meski namanya sering disebut Ayah dulu. Padahal, Yogi pernah menjadi asistenku. Mungkin Mama sudah lupa. "Dia Yogi, Ma." Mata Mama membulat. Kag
last updateLast Updated : 2025-03-02
Read more

108. Senyum yang sama seperti kemarin

"Isinya jam tangan perempuan, Pak," kata Pak Satpam, menunjukkan isi paket yang telah dibuka. Sebuah jam tangan perak, cantik dengan permata-permata kecil di sudutnya. Jam tangan itu terlihat mewah, asli, dan harganya pasti tidak murah. Tapi... siapa yang mengirimnya? Untuk istriku? Apa jangan-jangan ada seseorang yang suka dengan Viona selama ini? Tanpa sepengetahuanku? Tidak! Pikiran itu menusukku. Aku tak bisa membiarkan Viona menerimanya. Aku... aku tak ikhlas. Da*daku sesak. Kurebut jam tangan itu, kubanting kasar ke ubin semen berwarna abu-abu tua. Amarah membutakan. Aku mengambil palu dari bagasi mobil. Aku akan menghancurkannya. "Lho, Pak! Kenapa dirusak? Itu 'kan paket untuk Nona Viona." Pak Satpam terperanjat. "Siapapun tidak boleh memberikan hadiah pada istriku, tanpa seizin dariku!" Aku menekankan setiap kata, suaraku bergetar menahan amarah. "Tapi bagaimana kalau hadiah itu dari keluarga Bapak? Dari Pak Andre atau Bu Dinda?" tanya Pak Satpam. "Tidak mungkin
last updateLast Updated : 2025-03-03
Read more

109. Tetangga baru

Aku melepaskan genggaman tangan Viona, menurunkan tubuh Kenzie, lalu melangkah cepat ke arah gerbang, napasku tersengal. Amarah membakar jiwaku melihatnya tersenyum kepada istriku. Rasanya ingin kuhancurkan senyuman itu. "Berhenti tersenyum kepada istriku!" suaraku menggelegar, bergetar karena amarah yang tak terbendung. "Dan apa urusanmu kemari? Pergi!" Kepalaku terasa berdenyut-denyut. "Ya Allah, Pak… galak amat. Jangan begitu dong, kita 'kan sekarang tetanggaan." Yogi terkekeh, suaranya terdengar begitu santai, namun justru membuatku semakin berang. Sia*lan. "Apa katamu?" Aku tersentak. Tetangga? "Kita sekarang tetanggaan, Pak. Saya baru saja pindah ke rumah itu." Yogi menunjuk rumah sebelah kanan, rumah dengan cat biru muda yang tampak baru direnovasi. Rumah yang kemarin masih kosong. Seketika, semua darahku terasa membeku. Ini bukan kebetulan. Ini pasti rencana. Rencana jaha
last updateLast Updated : 2025-03-04
Read more

110. Nanti juga kamu tau

Akh, tidak! Itu tidak mungkin, kan? "Oohh begitu." Viona sedikit terkejut, namun segera membalas uluran tangan Venny. "Salam kenal juga, Mbak Venny." Aku sendiri tidak ada niat untuk membalas jabatan tangan perempuan itu, mengaja ku abaikan dia. "Mas Yogi pernah cerita, kalau Pak Calvin ini dulunya pernah jadi bosnya. Jadi saya harap... kita bisa bertetanggaan dengan baik ya, Pak, Mbak Viona." Mataku membulat sempurna. Apa katanya? Dia menyebut Yogi dengan sebutan "Mas Yogi"? Fiks, dia memang istrinya Yogi. "Iya, Mbak." Viona mengangguk, ketidaknyamanan terlihat jelas diwajahnya. "Kalau begitu kami duluan ya, Mbak. Kami sudah selesai, tinggal ke kasir." Viona dengan lembut menggenggam lenganku, menarikku pelan untuk pergi dari sana. "Oohh, kalau begitu bareng saja. Kebetulan saya juga sudah selesai."
last updateLast Updated : 2025-03-04
Read more
PREV
1
...
910111213
...
16
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status