All Chapters of Setelah Istriku Memilih Pergi: Chapter 121 - Chapter 130

175 Chapters

121. HARI PERTAMA DI APARTEMEN

Sarah hanya duduk manis di atas ranjang. Sesekali dia mengelus perut buncitnya sembari menyaksikan Raka yang sibuk bergerak kian kemari memindahkan pakaian mereka ke lemari.Tawa kecilnya sesekali pecah ketika Raka malah salah menempatkan barang, atau saat suaminya itu berceloteh ringan tentang kebiasaannya yang ceroboh. Candaan pun terlontar begitu saja hingga membuat pasangan suami istri itu tergelak. Begitulah keadaan rumah tangga yang diimpikan oleh Sarah. Jauh dari keresahan yang selama ini menghantui di rumah mertuanya.“Sekarang apa lagi?” tanya Sarah sambil melirik jam yang menunjukkan pukul lima sore. Matahari mulai turun, menyisakan langit jingga yang menerobos melalui jendela apartemen kecil mereka.Raka mendekat sambil membawa katalog di tangan. Dia duduk di tepi ranjang, membuka halaman demi halaman yang dipenuhi gambar makanan menarik. “Kita bahas menu catering ya, Sayang. Nih, aku nemu yang bagus buat gizi kamu dan bayi kita.&rdq
last updateLast Updated : 2025-01-05
Read more

122. TETANGGA DARI MASA LALU

“Seharusnya aku yang bertanya karena minimarket ini hanya beberapa langkah dari apartemenku.”Pria itu tersenyum tipis, namun nadanya tak kalah tajam. Dia kemudian tersenyum pada Sarah yang masih memandangnya hampir tak berkedip lalu kembali menatap Raka yang tak sudah mengeras rahang.Baik Raka maupun Sarah kini saling pandang, merasa terkejut dengan apa yang mereka dengar barusan. Situasi yang semula damai dalam sekejap berubah menjadi tegang.“Maumu apa sebenarnya, hah?! Sengaja ingin membuntuti kami ya?” sergah Raka, emosinya mulai memuncak. Kedua tangannya terkepal erat, menunjukkan ketidaksabaran. Sarah, yang berdiri di sampingnya, mencoba meremas lengan suaminya itu agar bisa mengendalikan amarahnya.“Mas, sudah...” bisik Sarah dengan nada lembut.Namun, usahanya sia-sia. Raka sudah menarik kerah pria di hadapannya itu, memaksa jarak di antara mereka semakin dekat. “Omong kosong apa lagi yang mau kamu katakan?!” bentak Raka.Pria itu tetap tenang meski posisi tubuhnya terkunci.
last updateLast Updated : 2025-01-06
Read more

123. SUARA DESAHAN

Pagi harinya suasana sarapan di apartemen Sarah dan Raka berlangsung dalam keheningan. Sarah hanya menunduk, mengaduk-aduk bubur di mangkuknya tanpa minat, sementara Raka membaca koran dengan ekspresi serius. Tak ada pembicaraan, hanya suara denting sendok dan desahan napas yang terdengar.Setelah menyelesaikan sarapan mereka, keduanya bersiap untuk keluar. Saat Raka membuka pintu apartemen, dia terkejut melihat Jeno yang juga baru saja keluar dari unitnya. Pria itu tampak rapi, mengenakan jas hitam dan membawa tas kerja.“Selamat pagi,” sapa Jeno dengan senyum kecil yang terkesan formal.Sarah mengangguk singkat, sementara Raka hanya mengangguk kaku tanpa berkata apa-apa. Ketiganya berjalan menuju lift yang sama. Keheningan menyelimuti mereka hingga tiba-tiba ponsel Raka berdering. Ia segera menjawab panggilan itu, dan ekspresinya berubah serius.“Baik, saya akan segera ke sana,” ujar Raka sebelum menutup telepon. Ia menoleh pada sang istri dengan tatapan cemas.“Kenapa, Mas?” tanya
last updateLast Updated : 2025-01-06
Read more

124. RAHASIA BU RINI

Sepasang mata Raka membelalak sempurna saat pintu kamar terbuka lebar. Di atas ranjang, Bu Rini tampak tergesa-gesa menarik selimut untuk menutupi tubuhnya yang tak berbalut sehelai benang pun. Di sampingnya, seorang pria paruh baya yang juga tak kalah panik berusaha menyembunyikan wajahnya. Lantas segera berlari terbirit-birit keluar dari sana."APA-APAAN INI?!"Suara Raka menggema, penuh kemarahan yang sulit dibendung. Tangannya mengepal erat hingga buku-buku jarinya memutih. Sementara itu, Sarah berdiri di belakangnya dengan wajah pucat pasi. Tangannya menutup mulut yang menganga lebar, tak percaya dengan apa yang baru saja mereka lihat saat ini."Raka... ini nggak seperti yang kamu pikirkan," Bu Rini tergagap, mencoba merangkai kata-kata untuk membela diri. Matanya berkaca-kaca, penuh ketakutan dan rasa malu yang tak terlukiskan."PAKAI BAJU KALIAN SEKARANG JUGA!"Raka berteriak, nadanya penuh amarah. Dia kemudian menarik tangan Sarah dengan kasar, membawa istrinya keluar dari kama
last updateLast Updated : 2025-01-07
Read more

125. APAKAH TERBONGKAR?

Raka terdiam. Ekspresi wajahnya kosong, namun matanya memancarkan pergolakan batin yang sulit diterjemahkan. Sementara kini Pak Herman mengamati sang putra dengan tajam, tetapi perlahan wajahnya berubah. Tangannya meraih dada, menekan kuat seolah berusaha menahan sesuatu yang terasa menyesakkan.“Mas...” Sarah memanggil dengan nada cemas sambil menatap suaminya, lalu beralih ke mertuanya. “Mas, mendingan bawa Papa ke kamar aja. Takutnya jantung Papa kumat.”Raka tersentak. Ia segera bergerak menghampiri ayahnya, mendukung tubuh renta itu dengan hati-hati. “Pa, ayo kita ke kamar,” katanya lembut namun tegas. Pak Herman hanya mengangguk lemah, wajahnya semakin pucat.Di belakang mereka, Bu Rini memandangi adegan itu dengan wajah pucat pasi. Tubuhnya gemetar, sementara air matanya terus mengalir. Ratna, sang anak yang baru datang dan mendapati kekacauan ini, berdiri di sudut ruangan, menyaksikan semuanya dengan wajah bingung.
last updateLast Updated : 2025-01-07
Read more

126. MEMILIH DIAM

Seminggu setelah kejadian di rumah Pak Herman, Sarah dan Raka memutuskan untuk kembali berkunjung. Cuaca pagi itu cerah, dengan sinar matahari yang menerobos pepohonan rindang di sepanjang jalan menuju rumah keluarga Raka. Sarah yang duduk di samping suaminya memandangi jalan dengan perasaan campur aduk. Sementara Raka tampak fokus mengemudi, meskipun wajahnya tak bisa menyembunyikan kegelisahan.Ketika mereka tiba, Bu Rini membuka pintu dengan senyuman yang dipaksakan. “Kalian sudah datang,” ucapnya dengan nada seramah mungkin. Sementara Ratna berdiri di belakangnya, matanya sembab seperti habis menangis. Suasana di dalam rumah terasa tegang, meskipun semua mencoba bersikap biasa.Pak Herman duduk di kursi favoritnya di ruang tamu, menunggu kedatangan mereka. Wajahnya terlihat lebih tenang dibanding seminggu lalu, namun matanya yang tajam memancarkan sesuatu yang sulit diartikan. “Raka, Sarah, duduklah,” katanya lembut sambil menunjuk sofa di dekatnya. Raka dan Sarah menurut, duduk b
last updateLast Updated : 2025-01-08
Read more

127. BU RINI HAMIL??

“I-ibu cuma masuk angin."Bu Rini menggeleng cepat lalu berjalan meninggalkan ruangan dengan gerakan tergesa-gesa. Ratna yang sejak tadi memperhatikan ibunya langsung menyusul, langkahnya terburu-buru seolah takut sang ibu akan jatuh di tengah jalan.Kini di ruang tamu, hanya tersisa Raka, Sarah, dan Pak Herman. Suasana yang sempat hening kini kembali diwarnai oleh desah napas berat Raka yang dipenuhi emosi."Ini gila!" umpat Raka dengan suara penuh kemarahan. "Kalau dia sampai hamil, Papa harus tuntut dia. Buang dia dari rumah ini!""Nak?" tegur Pak Herman dengan nada lembut, mencoba meredakan emosi putranya."Apa lagi yang Papa harapkan, hah?" bentak Raka yang sudah kehilangan kesabarannya. Matanya menyala penuh amarah, menatap tajam ke arah ayahnya yang tetap duduk tenang di kursi.Sarah, yang duduk di sebelah Raka, mencoba menenangkannya. "Mas," bisiknya pelan, menggenggam lengan suaminya dengan erat. Namun, Raka tak peduli. Napasnya masih tersengal marah, dan ia kembali berbicara
last updateLast Updated : 2025-01-08
Read more

128. PERBUATAN NEKAD

Malam ini Bu Rini berdiam diri di kamar setelah memastikan Ratna tertidur. Wajahnya yang semula tegang kini menunjukkan ekspresi penuh tekad. Dengan langkah pelan agar tidak membangunkan putrinya, ia membuka lemari kecil di sudut kamar. Dari dalamnya, ia mengeluarkan sebuah botol kecil berisi ramuan herbal berwarna cokelat pekat dan sekantong potongan nanas. Rutinitas yang ia lakukan sudah dari beberapa hari lalu setelah melihat garis dua kala itu."Ini semua demi Ratna. Demi hidup kami yang lebih baik," gumamnya pelan sambil membuka tutup botol dan menuangkan isinya ke gelas. Tanpa ragu, ia menenggak habis ramuan itu, diikuti dengan mengunyah potongan nanas yang rasanya begitu tajam di lidah.Mata Bu Rini menyipit menahan rasa asam dan pahit yang bercampur di mulutnya, tetapi ia tidak peduli. Baginya, ini adalah langkah terakhir untuk menghadapi kenyataan yang akan datang. Terbukti memang, karena sekarang perutnya mulai terasa keram. Senyum wanita itu tersungging begitu merasakan ada
last updateLast Updated : 2025-01-09
Read more

129. DRAMA BU RINI

“Apa yang Ibu lakukan?!” teriak Ratna, nampannya terjatuh ke lantai, mengeluarkan suara nyaring yang menggema ke seluruh rumah. Suara itu segera menarik perhatian semua penghuni rumah. Pak Herman, Raka, dan Sarah yang berada di ruang tamu langsung berlari menuju kamar.“Apa-apaan kamu, Rin?!” seru Pak Herman dengan nada tinggi, wajahnya memerah menahan emosi. Tangannya gemetar melihat istrinya berdiri dengan pisau di tangan, sementara Ratna menangis tersedu-sedu di sudut kamar.Sambil terisak, Bu Rini menjawab dengan suara yang bergetar, “Aku mau bunuh diri kalau kamu enggak mau maafin aku, Mas!” Matanya yang sembab menatap suaminya dengan penuh keputusasaan. Tangannya menggenggam erat gagang pisau seolah-olah itu adalah satu-satunya jalan keluar dari penderitaannya.Pak Herman menarik napas dalam-dalam, mencoba menguasai dirinya. “Turunkan pisau itu, Rin! Jangan kayak anak-anak!” bentaknya, meski nada suaranya men
last updateLast Updated : 2025-01-09
Read more

130. MEMBUJUK RAKA

“Mas,” rengek Sarah terdengar manja. “Janji ya jangan marah, hmm?”Raka mengerutkan kening, lalu menatap Sarah dengan penuh tanda tanya. "Iya iya. Kenapa sih?”Sarah menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Lantas meletakkan tangan di perutnya yang semakin membesar, tanda bahwa kehamilannya sudah mendekati tujuh bulan. "Kantor mau merayakan ulang tahun Pak Jeno di Puncak minggu depan. Aku …diajak ikut. Kamu ngijinin aku ‘kan?"Raka terdiam sejenak, matanya berpindah dari wajah Sarah ke perutnya lalu mengusap lembut bagian yang membuncit itu. "Sayang, kamu yakin ini ide yang bagus? Kamu kan sedang hamil besar. Ada anak kita di dalam sini. Perjalanan jauh itu nggak gampang, apalagi untuk kamu."Sarah mencoba tersenyum menenangkan. "Aku tahu, Mas. Tapi mereka bilang tempatnya nyaman dan aman. Lagi pula, aku nggak mau dianggap nggak menghargai rekan kerja, apalagi statusku sekarang bukan magang lagi, tapi sudah jadi karyawan tetap. Aku juga merasa ini penting untuk karierku."R
last updateLast Updated : 2025-01-10
Read more
PREV
1
...
1112131415
...
18
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status