Home / Rumah Tangga / Terbelahnya Rindu / Chapter 131 - Chapter 140

All Chapters of Terbelahnya Rindu: Chapter 131 - Chapter 140

150 Chapters

Bab 131: Nina yang Menuntut Kepastian

“Dimas, aku tidak bisa terus begini,” suara Nina bergetar namun penuh ketegasan. Di ruang apartemen Dimas yang remang, suasana terasa berat.Cahaya lampu meja di sudut ruangan memantulkan bayangan mereka, menciptakan siluet yang tampak saling berjauhan.Nina berdiri di depan jendela, memunggungi Dimas, sementara pandangannya menembus malam kota yang basah karena hujan. Butiran air hujan yang menempel di kaca memantulkan cahaya lampu jalan yang redup, membuat pemandangan itu terasa sendu.Dimas duduk di sofa, tangan terkepal di atas lututnya, ekspresi wajahnya tegang dan letih. Udara di dalam ruangan seolah membeku, menghimpit mereka dengan rasa berat yang sulit dijelaskan.Dimas mengangkat wajahnya, menatap punggung Nina yang tegak namun tampak rapuh. Gaun biru lembut yang dikenakan Nina terlihat berkibar sedikit saat ia menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan kekuatan.“Nina, aku tahu ini sulit. Tapi aku...” kata-kata
last updateLast Updated : 2024-12-06
Read more

Bab 132: Keterlibatan Orang Tua

“Laras, kamu yakin ini keputusan terbaik?” suara Ayah Laras terdengar berat, penuh kehati-hatian. Ia duduk di sofa ruang keluarga yang terasa akrab, dengan dinding yang dipenuhi foto-foto masa kecil Laras.Ruangan itu beraroma kayu tua dan teh hangat, membawa nuansa nyaman yang kontras dengan percakapan serius yang sedang berlangsung.Laras mengalihkan pandangannya dari jendela yang memantulkan cahaya sore, menatap ayahnya dengan mata yang lelah.Di sisi lain ruangan, Ibu Laras duduk dengan tangan yang saling menggenggam erat, wajahnya menyiratkan kekhawatiran mendalam. Garis-garis halus di sekitar matanya semakin dalam, mempertegas usianya yang telah termakan waktu.“Ayah, aku hanya ingin yang terbaik untuk anak-anakku,” jawab Laras, mencoba terdengar tegas meski suaranya bergetar.Ia meremas kedua tangannya, berusaha menenangkan detak jantungnya yang terasa kencang. Bayangan Sarah, Naya, dan Raka berputar di kepalanya, wajah-wajah mungil mereka y
last updateLast Updated : 2024-12-06
Read more

Bab 133: Kesempatan Terakhir Andi

“Laras, aku tidak bisa diam lagi,” suara Andi terdengar tegas, namun di dalamnya ada nada yang gemetar. Mata Laras membesar saat ia melihat Andi berdiri di depan pintu rumahnya.Wajah pria itu tegang, rahangnya mengeras, dan tatapan matanya penuh dengan emosi yang selama ini ia tahan. Di luar, hujan masih turun, butirannya memantul di atas daun dan menciptakan ritme yang tak henti-hentinya di malam itu. Andi basah, jaketnya menempel erat di tubuhnya yang mulai menggigil.“Andi... kamu... kenapa kamu di sini?” Laras terbata, mencoba meresapi kehadiran Andi yang tiba-tiba. Hatinya berdebar, bercampur aduk antara terkejut dan perasaan lain yang selama ini ia coba abaikan.“Boleh aku masuk?” Andi bertanya, suaranya kini lebih lembut, namun tetap penuh keteguhan. Laras ragu sejenak sebelum mengangguk dan membukakan pintu lebih lebar. Andi masuk, aroma hujan yang segar mengiringi kehadirannya.Di ruang tamu yang hangat, cahay
last updateLast Updated : 2024-12-06
Read more

Bab 134: Pertemuan Rahasia Nina dan Laras

"Laras?"Suara itu memecah keheningan siang di kafe kecil di sudut jalan. Laras, yang sedang menyeruput kopi pahitnya, menoleh dengan cepat. Matanya bertemu dengan sorot mata tajam Nina. Ada jeda panjang sebelum Laras menjawab, dengan napas yang tertahan di tenggorokannya."Nina," ucapnya pelan, seolah tidak percaya bahwa wanita yang berdiri di depannya benar-benar ada di sana.Rambut Nina digulung rapi, bibirnya pucat tanpa lipstik, dan wajahnya terlihat lebih lelah dari yang Laras ingat. Tanpa menunggu undangan, Nina menarik kursi di depan Laras dan duduk. Kafe itu sepi, hanya ditemani oleh suara denting gelas dan alunan musik jazz yang mengalun lembut.Suasana di antara mereka terasa dingin, seperti pisau yang bisa memotong keheningan. Laras menghela napas, menggenggam cangkirnya lebih erat seolah itu adalah jangkar yang menahannya tetap di tempat. Sementara itu, Nina menatap ke bawah, jari-jarinya sibuk merapikan kain rok yang sudah sempurna."
last updateLast Updated : 2024-12-06
Read more

Bab 135: Kebingungan Hati Laras

Hujan malam itu sudah berhenti, meninggalkan jalanan basah dan aroma tanah yang segar. Laras duduk di kamarnya, punggungnya bersandar pada kepala tempat tidur yang dingin.Di tangannya, secangkir teh melati yang mulai kehilangan kehangatannya. Ia menatap kosong ke luar jendela, memandangi lampu jalan yang memantulkan cahaya temaram di atas genangan air.Percakapan dengan Nina di kafe tadi siang masih terngiang di benaknya, menggema seperti suara yang terus menerus diputar ulang.Laras memejamkan mata, mencoba meredakan gemuruh di dadanya. Ada perasaan campur aduk—marah, sedih, bingung, dan sesuatu yang mirip dengan rasa lega.Ia menghela napas panjang, merasakan dadanya naik-turun dengan berat. Selama ini ia mengira hanya dirinya yang terjebak dalam penderitaan, namun kini ia tahu bahwa Nina pun terjebak dalam perangkap yang sama, tersesat di antara cinta dan penyesalan.Suara ketukan pelan di pintu mengalihkan perhatiannya. Naya berdiri di s
last updateLast Updated : 2024-12-07
Read more

Bab 136: Dimas di Titik Terendah

Hujan mengguyur deras di luar jendela apartemen Dimas, menciptakan bunyi gemuruh yang terus menerus menghantam kaca dan dinding.Langit mendung seperti menyelimuti kota dengan selimut kelabu yang tebal, memantulkan perasaan berat yang melingkupi hati Dimas.Ia duduk di lantai ruang tamu, punggungnya bersandar pada sofa, dengan pandangan kosong tertuju pada lantai kayu yang dingin. Tangan kirinya menggenggam botol bir yang isinya hampir habis, sementara tangan kanannya bergetar tanpa henti.Di ruangan itu, hanya ada suara hujan dan deru napas Dimas yang tersengal. Cahaya lampu di apartemen redup, hanya sebatas menerangi wajahnya yang tirus dan pucat.Kantung mata yang menghitam menandakan malam-malam panjang yang ia lalui tanpa tidur. Janggutnya yang tak terurus menambah kesan lusuh pada wajah yang dulunya menawan dan penuh percaya diri.Ponsel di atas meja bergetar, menampilkan nama Nina di layarnya. Dimas menatapnya sekilas, ekspresi wajahnya data
last updateLast Updated : 2024-12-07
Read more

Bab 137: Kondisi Naya yang Memburuk

"Mama, aku nggak mau sekolah," suara Naya terdengar serak dan nyaris tak terdengar. Laras duduk di tepi ranjang putrinya, menatap wajah mungil Naya yang pucat dan mata besar yang kehilangan sinar keceriaan.Sejak beberapa minggu terakhir, senyum Naya jarang terlihat, dan kegugupannya semakin sering muncul dalam bentuk tangisan tiba-tiba dan insomnia. Di tengah malam, Laras sering menemukannya terjaga, meringkuk di pojok tempat tidur dengan mata yang penuh ketakutan.“Naya, kamu sakit, Sayang?” Laras menyentuh dahi putrinya yang dingin, mencari tanda-tanda demam. Tapi ia tahu, ini bukan soal fisik.Naya menggeleng pelan, lalu menyusupkan wajahnya ke dalam pelukan boneka kelincinya, mencoba menghindari tatapan mamanya. Laras menahan napas, merasa nyeri di dadanya semakin kuat.Di ruang tamu, Laras berjalan bolak-balik dengan cemas, kedua tangannya saling menggenggam erat. Pikirannya berputar seperti badai.Di atas meja, tergeletak brosur
last updateLast Updated : 2024-12-07
Read more

Bab 138: Kepulangan Sarah

Pintu depan rumah Laras berderit saat terbuka, membawa aroma hujan yang masih melekat di udara.Sarah berdiri di ambang pintu dengan ransel besar di punggungnya, rambut panjangnya sedikit basah karena gerimis yang baru saja turun. Matanya, yang biasanya berbinar penuh rasa ingin tahu, kini tampak sendu, seolah membawa beban yang jauh lebih besar dari usianya.“Mama...” Sarah mengucapkan kata itu dengan nada pelan, nyaris seperti bisikan. Laras, yang sejak pagi menunggu kabar, berdiri di ujung lorong dengan tangan yang gemetar.Pandangannya bertemu dengan mata Sarah, dan seketika itu, sebuah emosi kuat meledak dalam dada Laras. Ia berlari mendekat dan merengkuh putrinya dalam pelukan erat.“Sayang, Mama kangen sekali,” Laras berkata dengan suara serak, tak mampu menahan air mata yang akhirnya tumpah.Sarah, yang awalnya tampak tegar, kini membiarkan air matanya mengalir, membasahi pipinya. Pelukan itu, meski penuh dengan keha
last updateLast Updated : 2024-12-07
Read more

Bab 139: Surat dari Dimas

“Mama, ini ada surat buat Mama,” kata Sarah sambil meletakkan amplop cokelat tipis di meja dapur. Laras, yang sedang merapikan sisa-sisa sarapan pagi, menoleh dengan alis terangkat.Matanya tertuju pada amplop itu, merasakan dada yang mendadak berdebar tak beraturan. Jari-jarinya mengelap tangan dengan handuk sebelum meraih amplop itu dengan gerakan hati-hati, seolah-olah benda itu bisa meledak kapan saja.Di sudut amplop tertulis nama Laras dengan tulisan tangan yang dikenalinya—tulisan tangan Dimas. Laras terdiam, napasnya tertahan di tenggorokan.Sarah memandang mamanya dengan tatapan penuh rasa ingin tahu, namun Laras hanya bisa mengangguk kecil dan berkata, “Terima kasih, Sayang. Kamu main sama Naya dulu, ya?”Sarah menatap mamanya beberapa saat, seolah mempertimbangkan sesuatu, sebelum akhirnya berlari ke ruang tamu di mana suara tawa Naya dan Raka menggema.Laras duduk di kursi, memandangi amplop itu sebelum akh
last updateLast Updated : 2024-12-08
Read more

Bab 140: Ultimatum Nina

“Dimas, ini terakhir kalinya aku bicara tentang ini,” suara Nina terdengar serak namun tegas. Di dalam ruang apartemen Dimas yang berantakan, cahaya sore menerobos lewat celah tirai, memantulkan bayangan buram di dinding.Nina berdiri di tengah ruangan dengan tangan yang terlipat di dada, mata tajamnya menatap Dimas yang duduk di sofa dengan kepala tertunduk. Di meja di depannya, cangkir kopi setengah kosong dan setumpuk kertas berserakan, seakan menggambarkan kekacauan yang sama di dalam dirinya.Dimas mengangkat kepala perlahan, tatapan matanya suram, seperti seseorang yang kehilangan arah.Rambutnya berantakan, janggutnya tumbuh liar, dan ekspresinya mencerminkan rasa lelah yang begitu dalam. Ia memandang Nina, wanita yang pernah memberinya momen-momen kebahagiaan, tapi kini terlihat seperti orang asing dengan keputusan yang sudah bulat.“Aku sudah cukup, Dimas,” lanjut Nina, nadanya bergetar namun tetap tegar. Mata cokelatnya y
last updateLast Updated : 2024-12-08
Read more
PREV
1
...
101112131415
DMCA.com Protection Status