Home / Romansa / PERFAKE HUSBAND / Chapter 131 - Chapter 140

All Chapters of PERFAKE HUSBAND : Chapter 131 - Chapter 140

144 Chapters

131. Menjadi Asing

Aku mencopot sepatu heels terkutuk ini. Seharusnya dari awal aku tidak perlu seribet ini demi mendapat penilaian baik dari keluarga Sean. Aku harus tampil apa adanya, senyaman biasanya. “Tapi gue puas, gue udah bilang semuanya. Awas aja kalo si Sean—masih ganggu gue di sekolah.” Aku membuang nafas pelan. Setelah sadar sudah berjalan jauh dari hotel, aku diam sejenak, memijat betisku yang sedikit pegal. “Kenapa harus pake acara gak bawa dompet sih, Ra, Ra. Hidup lo tuh sial terus. Padahal gak ada si Bayu deket lo.” Aku diam. “Bayu? Dia—bukan angin topan yang suka ganggu hidup gue ternyata. Gue emang sial sendiri.” Aku menendang batu kecil karena kesal. Sialnya batu itu mengenai mobil yang baru saja lewat. “Siaaaal.” sesisku pelan, “Gue harus bikin mimik muka gimana biar dikasihanin?” Pintu mobil terbuka. Aku sengaja tak menatapnya untuk mengatur nada bicara dan ekspresi wajah. Orang itu berjalan cepat siap memaki. Ia berdiri dibelakang tubuhku. “Ra?” Aku membalikkan
last updateLast Updated : 2024-12-07
Read more

132. Menjadi Asing

Tiga bulan kemudian... Aku memeriksa semua keperluan prom night besok malam di beberapa paper bag. Tadi aku belanja bersama Nadia dan Karina. Kini kami berpisah dan aku sedang melihat apakah ada barang yang belum terbeli sebelum pulang menaiki ojek online. “Hai?” Aku mendongak menatap penyapa yang berdiri dihadapanku, “Kak Maira?” “Kebetulan kita ketemu. Aku boleh minta waktunya sebentar?” Aku dan Maira duduk berhadapan di kafetaria dekat mall. Ia sudah hampir menghabiskan coklat panas pesanannya. “Apa kabar?” tanyanya. “Baik.” “Gak kerasa kamu udah lulus, ya, sekarang?” Aku tersenyum, “Iya, kak. Gue juga gak nyangka bisa secepet ini.” “Kamu—jadi kuliah di Prancis?” Aku menggeleng. “Padahal kamu bisa minta bantuan—” “Gue—gak bisa bahasa Prancis. Gue akan kuliah di dalam negeri aja.” “Oyah, aku udah denger kabar kalo Askara, bayi merah yang kamu sama Bayu temuin di semak itu, ternyata adalah adik kamu. Bener-bener plot twist. Aku kira—Askara bener-bener ana
last updateLast Updated : 2024-12-07
Read more

133. Prom Night

Aku menutup pintu kamar dan melirik mencari Adit. “Kamu cari siapa?” tanya ibu yang sedang menyuapi buah potong pada Askara. “Kakak belum pulang kerja, bu?” “Udah, tapi dia langsung pergi.” “Kemana? Emang dia punya pacar?” “Kakak gak bilang, katanya ada tugas penting. Kakak kamu tuh, selalu ada aja bahasanya.” Aku duduk di sofa. Mataku mengedar ke dalam rumah, “Ayah—mana?” “Belum pulang.” “Bukannya ayah tadi udah pulang dari Bogor?” “Pergi lagi. Katanya orang yang dicari kliennya udah ketemu.” “Oh.” Aku menatap Askara, “Ibu... sayang sama Askara?” Ibu menatap Askara, “Tentu. Dia adik kamu.” “Adik—sambung.” Ibu tersenyum, “Selama dia anak ayah, ibu akan menyayanginya. Cinta itu besar banget buat ayah, Ra.” “Meskipun ayah udah buat kesalahan besar?” “Siapa sih pasangan yang gak pernah buat salah? Askara bener-bener jadi cahaya. Mungkin kalo Askara gak lahir di dunia ini, ibu sama ayah—gak akan pernah rujuk.” Aku menatap wajah ibu yang tanpa beban mengasuh
last updateLast Updated : 2024-12-08
Read more

134. Pertemuan Perdana

“Lo—kemana aja?” tanyaku ketika aku dan Bayu sama-sama berjalan pelan di parkiran. Tadi begitu bertemu Bayu, kami tak saling bicara. Aku ternyata belum siap untuk menemuinya, setelah mendengar semua ucapan Maira kemarin. Dia juga hanya tersenyum. Dia malah pergi mendekati murid lain dan bergabung dengan mereka. Kini, saat acara inti sudah selesai, dan aku merasa tidak perlu ikut sampai acara selesai, menepi untuk memesan taksi online, dan Bayu menghampiriku. “Ada lah, emang gue kemana?” “Gue pikir lo—ke Bali.” “Ngapain?” “Bukannya lo mau belajar melukis sama siapa sih namanya, ajik siapa gitu.” Bayu tertawa, “Ajik Ketut. Enggak kok, ngapain belajar sama orang lain, kalo lo bisa ngajarin gue?” “Gue udah lama gak ngelukis lagi.” “Kenapa?” Kami berhenti berjalan, “Gak ada waktu aja.” “Cih, lagak lo kayak pejabat yang sibuk.” Aku duduk di tembok parkiran, Bayu mengikutiku, “Lo keluar jadi guru kok—gak bilang sama gue dulu?” “Kenapa harus bilang sama lo?” “Gue
last updateLast Updated : 2024-12-08
Read more

135. Hadiah dari Kakek Hitler

Aku menguap ketika keluar dari rumah. Cuaca hari ini sangat bersahabat. Ku lihat ayah tengah berjemur dengan Askara. “Join dong.” kataku berjalan menghampiri mereka. “Tuh, ada kakak. Sini, kak.” Aku duduk di kursi santai depan rumah, “Duh, gak jadi bungsu, gak enak amat.” Ayah tertawa. “Yah, gimana buron ayah? Udah ketemu?” Ayah menggeleng, “Belum. Nanti siang ada operasi lagi. Kamu doain ya, buronnya cepet ketemu. Hadiahnya besar banget. Lumayan, tabungan ayah kalo ditambah bayaran dari kasus ini, kita bisa pindah ke rumah yang dulu. Ngontrak dulu sih, tapi ya... lumayan ‘kan?” “Emang klien ayah siapa? Kok hadiahnya bisa sebesar itu?” “Kliennya pengusaha sukses, kamu gak kenal.” “Iya deh iya, aku mah kenalnya orang-orang semprul semua, kayak kak Adit sama soulmatenya tuh.” “Siapa?” “Si angin.” “Jangan terlalu benci, nanti kamu cinta loh sama dia.” “Gak akan.” Aku memangku Askara, berusaha mengalihkan topik, “Askara udah tumbuh gigi? Coba liat mana giginya?”
last updateLast Updated : 2024-12-08
Read more

136. Mengenang

Aku membereskan baju-baju dan semua keperluan yang akan dibawa ke Surabaya. Aku sudah pulang, membawa mobil dan hadiah emas dari kakek. Aku pamerkan pada Adit, membuatnya memohon untuk meminjamkan mobilnya untuk pergi dengan Karina. “Kalo lo pelit, kuburaan lo sempit loh, Ra.” Adit masih gencar merayuku. “Tinggal beli lagi tanah kuburannya. Gue sekarang kaya, Dit, gue punya lima batang emas.” Adit manyun memainkan pintu kamar. “Mau pergi kemana sih lo?” “Ya keliling aja. Gue akan bilang kok kalo itu mobil elo.” “Dit, si Karina itu orang kaya. Dia pasti bosen kalo kemana-mana naek mobil. Naek motor tuh pengalaman baru buat dia.” “Gue yang bosen.” Aku menghentikan aktivitas beberesku. Ku lirik Adit yang memasang wajah super mengkhawatirkan, “Iya-iya gue pinjemin.” Adit melotot senang, “Serius lo?” “Tapi itu bensinnya abis, tolong di isi ya.” Adit menghampiriku, “Oke, gue isi gocap.” “Yah, gocap. Lo pikir mobil barbie. Yang bener aja dong.” “Gue belum gajian, gu
last updateLast Updated : 2024-12-09
Read more

137. Pak Andre di Temukan

Aku memasukkan koper ke dalam bagasi mobil. Adit mengembalikan mobilku dengan baik. Dia memang pandai menjaga barang. “Lo serius mau berangkat sekarang?” tanya Adit yang disikut ibu, “Nyari univ ‘kan gak harus kesana langsung. Lewat internet aja, gue bantuin.” “Banyak yang harus gue urus disana, kak.” “Gue bisa anterin lo kalo akhir pekan.” “Gak usah, lo ‘kan sekarang sibuk pacaran sama Elsa.” Aku menghampiri ibu dan memeluknya, “Bu, aku pamit sekarang, ya? Doain perjalanannya lancar.” “Pasti. Kamu kalo pegel, ngantuk atau apapun itu, berhenti dulu.” “Siap.” “Lagak lo sih, ke sana bawa mobil sendiri. Naek pesawat aja, atau kereta gitu, atau nggak Buroq.” Aku melepaskan pelukkan ibu, “Lo tuh ya. Terserah gue lah.” Aku berdiri dihadapan Adit, “Gue—pamit ya, kak. Sama-sama, gue seneng bisa ngurus lo selama ibu di Surabaya. Udah kenyang banget gue teriak sama lo selama ini. Tapi meskipun gitu, gue pasti akan merindukan elo sih. Jengukin gue kesana loh.” Kami berpeluk
last updateLast Updated : 2024-12-09
Read more

137. Kesempatan untuk Maira

Aku berjalan pelan menuju mobil bersama ayah dan Adit. “Jadi klien ayah yang nyuruh cari Andre itu—papa? Maksud aku—om Rino?” Ayah mengangguk, “Kami punya tujuan yang sama. Mencari orang tidak pernah semenyenangkan ini sebelumnya. Ayah gak nyangka bisa menemukan Andre di ATM deket sekolah kamu. Ayah pikir dia kabur ke luar kota. Pantes ayah pergi ke tempat lain, orang gak pernah liat dia.” Aku mengernyit, “ATM?” “Yah, si Andre itu—” Aku menatap Adit memintanya diam. “Kenapa sama Andre? Ada yang harus ayah tahu? Biar ayah sampaikan sama kepolisian untuk memberatkan masa tahanan.” Adit menggeleng, “Gak papa, tadi cuma mau bilang si Andre pasti lagi ngambil duit.” Ayah tertawa, “Ya iya lah, Dit, masa ngambil cucian. Laundry kali.” “Euh, lo tuh ya.” aku ikut mengalihkan topik. Mama, papa, dan Bayu berjalan mendekati kami. “Kamu tenang sekarang, Ra, Andre udah mendapatkan hukumannya.” Aku tersenyum, “Makasih ya, pa, masih mengusahakan mencari dia, sampe duel segala
last updateLast Updated : 2024-12-09
Read more

139. Masalah Pertama di Surabaya

Aku baru beres mengaudit keuangan pabrik tiga bulan terakhir. “Akhirnya selesai juga.” Seorang pegawai perempuan usia Adit menghampiriku, “Kak, permisi, ada surat dari pengadilan.” “Hm? Siapa yang cerai?” “Itu... dari pengadilan tinggi, kak, bukan dari pengadilan agama.” “Ah, iya. Aku pikir ada yang cerai.” Aku menerima dan membaca isi surat yang diberikan. Aku mengernyit, “Ini maksudnya pabrik kita digugat atas persamaan nama dengan badan usaha lain?” “Betul, kak. Pabrik roti yang udah berdiri lima puluh tahun lalu merasa dirugikan dengan persamaan nama pabrik ini. Katanya banyak orang mengira ini adalah pabrik cabang.” Aku melirik membaca nama pabrik roti yang masih kecil ini, “Sari Rasa?” “Karena bu Syaira gak ada disini, jadi kakak yang harus ke pangadilan minggu depan.” “Aduh, ini gak ada cara yang lebih simpel apa, mbak?” “Ada, kak. Pihak pabrik pesaing bilang, kalau kita ganti nama secepatnya, mereka akan cabut gugatan.” “Bentar ya.” aku membuka pon
last updateLast Updated : 2024-12-09
Read more

140. Bayu Sekarat

Pagi yang mendung. Sedari malam, Surabaya diguyur hujan. Langit seolah tahu, bahwa aku merindukan Jakarta dan seisinya hingga menangis. Drrrrt~ Aku meraih ponsel di nakas, “Adit?” “Ra, halo? Ra, urgent banget lo harus pulang.” Adit bicara dengan hebohnya. “Lo—kenapa?” “Gue kecelakaan, Ra.” “Hah?” aku bangkit dari kasur, “Kok bisa? Lo gak papa ‘kan?” “Gue hampir sekarat.” Aku diam sejenak, “Ada ya, orang sekarat suaranya kenceng dan semangat gini?” Adit diam. “Lo tuh caper banget sih. Pacar lo ‘kan disana, lo telpon Karina lah, gue ‘kan jauh. Kecelakaan kecil gak akan bikin lo mati.” “Si Aura.” Aku tertawa, “Ketauan nih ye, mau nipu gue.” “Yang sekarat bukan gue.” Katanya lirih. “Terus? Ka-rina?” “Bukan. Karina di rumahnya. Gue kecelakaan berdua, sama si Bayu.” Deg! “Ra, si Bayu—sekarat. Lo—bisa pulang sekarang ‘kan?” Aku diam, menggigit jariku kencang, “Kok si Bayu—ada di Jakarta? Dia—bukan di Prancis?” “Ceritanya panjang. Dia balik lagi dari
last updateLast Updated : 2024-12-09
Read more
PREV
1
...
101112131415
DMCA.com Protection Status