All Chapters of Disayang Bayi Tampan, Dipinang Pamannya yang Arogan: Chapter 21 - Chapter 30

43 Chapters

Bab 21

“Banyak banget beli bajunya. Mau dibuat apa sih? Mama juga jarang keluar kumpul-kumpul sama teman.”“Buat koleksi di rumah, Ma. Siapa tahu Papa ngajakin ke kondangan dadakan. Jadinya tinggal pakai gak perlu belanja lagi.”“Ya, nggak harus sampai 10 item juga, Sayang!”Mama terus saja menggerutu karena aku membelikan beliau banyak baju baru. Aku merasa baju di sini semuanya bagus kalau Mama yang memakainya. Tadi saat Mama mencoba dress pilihanku aku mengambil foto lalu ku kirim pada Papa. Papa menjawab, Mama terlihat sangat, sangat dan sangat cantik. Lalu, memintaku membelikan kemeja yang senada dengan dress Mama. Pastinya, Papa ku ingin couple-an dengan Mama ketika pergi ke suatu acara. Ah, manisnya mereka berdua.“Sudah, gapapa Mama sayang. Lagian udah di bayar juga ngak boleh dikembalikan,” jawabku sambil terkekeh.Mama masih cemberut tapi sudah berhenti menggerutu. Akhirnya pasrah juga beliau, hehe. “Sekarang mau kemana lagi?
Read more

Bab 22

Sesampainya di rumah, Mama langsung masuk kamar. Beliau berkata lelah dan ingin istirahat lebih awal. Papa sempat bertanya kepadaku karena sikap Mama yang mendadak jadi pendiam. Aku menceritakan kejadian di restoran saat kami akan makan malam. Tidak ada yang aku tambah dan kurang semua ku jelaskan sedetail mungkin.Seperti yang dilakukan oleh Mama, Papa meminta maaf padaku. Beliau juga berkata menyesal telah menjodohkanku dengan pria yang selama ini dianggapnya baik. Daffa tidak lebih dari seorang pecundang. Beraninya dengan perempuan dan berlindung di belakang ke dua orang tuanya.Aku meminta pada Papa merayu Mama agar mau makan malam. Jika aku yang minta pasti Mama akan menangis lagi. Padahal aku sudah mengatakan jika semua masalah yang terjadi bukan kesalahannya. Beliau masih saja menyalahkan diri hingga sering menangis diam-diam ketika tidak ada orang di rumah.“Gimana, Pa?”“Alhamdulilah sudah habis,” jawab Papa dengan memiringkan piring yang
Read more

Bab 23

Wajahku terasa semakin memanas saat Barra menatapku dengan lekat. Barra mengatakan tak suka melihatku sedih hingga berujung sakit dengan wajah seriusnya. Ketika aku melihat ke dalam matanya aku dapat merasakan ketulusan dari ucapannya.“Ehem …” Aku berdehem agar kecanggungan cepat mencair. Rasanya semakin tak nyaman saat tubuh kami semakin mendekat bahkan nyaris menempel. “Biar aku makan sendiri,” ujarku.Barra menjauhkan mangkuk saat aku ingin mengambilnya. “Biar aku suapi saja.” Dengan telaten dia menyuapiku hingga makanan habis tak tersisa. Padahal, biasanya aku tidak menyukai bubur. Entah kenapa kali ini aku bisa menghabiskan satu mangkuk besar bubur ayam?“Sudah habis, waktunya minum obat.”“Biar aku sendiri yang minum.”“Kamu diam saja dan jangan bergerak! Biar aku yang membantumu kali ini,” titah Barra tak mau dibantah.Aku mencebikkan bibir, menatap kesal ke arah Barra. Aku ini hanya demam dan pusing bukan terke
Read more

Bab 24

“Hai, sist. Pagi-pagi udah manyun aja, kenapa?”“Lagi sebel sama Kak Ravi!”“Kenapa lagi dengan Kakak gantengmu itu?”“Kamu tau kalau liburan kita terancam gagal gara-gara dia?”“Kok bisa? Kita ‘kan sudah sepakat buat rahasiakan ini dari Kak Ravi.”“Gara-gara Mama yang bocorin ke Eyang. Semalam Eyang tanya sama aku eh waktu kita bahas liburan ke Bali tiba-tiba Kak Ravi dan Papa datang. Ketahuan deh kalau kita mau berlibur.” “Hadeh, Mama Chandra memang selalu begitu ngak biasa diajak main rahasia.” Gista mendesah pelan lalu memeluk lenganku.“Padahal aku sudah bilang kalau Kak Ravi gak boleh tau. Bukannya tutup mulut Mama malah curhat sama Eyang. Kayak gak ada faedahnya kemarin aku rayu-rayu Mama.”“Terus Kak Ravi, gimana?”“Dia maunya kita ikut dengan aturannya. Seperti biasa semua kebutuhan kita selama di Bali Kak Ravi yang atur.”“Yah, mana asik kalau begitu? Trus apalah guna aku membeli ban
Read more

Bab 25

Aku mendapatkan kabar duka dari Kak Ravi. Katanya tadi pagi Papa Barra meninggal. Saking terkejutnya aku sampai menjatuhkan ponsel ke lantai. Air mataku mengalir deras membanjiri kedua pipiku. Membayangkan kehilangan orang tua membuat hatiku nyeri. Semoga Barra tabah dan bisa mengikhlaskan kepergian Papanya. Pesan dikirim Kak Ravi pukul 10 pagi dan aku baru membaca pukul 2 siang setelah selesai melakukan operasi dan rapat dengan divisiku. Aku menelepon Kak Ravi ingin bertanya keberadaannya saat ini.“Halo, Kak. Kakak lagi di mana?”“Dirumah Barra, Kakak sama Papa bantu urus pemakaman Papa Barra.”“Mama di mana?”“Mama juga di sini, bagian urus catering buat acara tahlilan nanti malam.”“Papa Barra sudah sampai di rumah, Kak?”“Sudah baru sampai, ini baru dibacakan yasin dan tahlil. Bentar lagi mau disholatkan di masjid langsung dibawa ke pemakaman.”“Rumi gimana?”“Sudah selesai operasinya?”“
Read more

Bab 26

Mama sejak pagi sudah sibuk membuat kue bersama Bibik. Sementara aku bertugas memandikan Zain dan menjaganya. Nanti malam akan diadakan acara tujuh harian Papa Barra. Mama menawarkan diri pada Tante Sarah untuk membuatkan snack sebagai jamuan para tetangga yang ikut acara tahlilan.Setelah pulang dari Singapura Zain kembli manja kepadaku. Dia tidak mau lepas sedetikpun dariku dan terpaksa aku membawanya pergi bekerja. Zain sangat anteng jika ikut ke rumah sakit. Dia akan jadi anak baik dan ramah.Jika sedang di rumah, Zain selalu menangis jika aku meninggalkannya. Mandi pun, sekarang aku selalu mengajaknya. Apalagi saat aku akan buang air besar dia juga akan ikut. Intinya aku ini harus tetap terlihat di kedua mata bulatnya.“Pulang jam berapa nanti, Sayang?”“Agak malam, Ma. Soalnya besok Rumi udah mulai cuti jadi harus beresin sisa pekerjaan sebelum pergi liburan.”“Bisa datang ke acara tujuh harian Kakek Zain?”“Insyaallah bisa
Read more

Bab 27

Akhirnya aku bisa menginjakkan kaki di pulau yang terkenal dengan pesona alamnya yang indah, Bali. Semalam aku berangkat dari Jakarta pukul 10 malam diantar oleh Papa dan Mama. Aku hanya liburan selama satu minggu tapi kedua orang tuaku bertingkah sangat berlebihan seperti aku akan pergi selama bertahun-tahun.Oh, iya, aku mendapatkan perpanjangan cuti yang awalnya hanya tiga hari menjadi satu minggu. Ini berkat kebaikan dari teman dokterku, dia berkata jika aku jarang mengambil cuti panjang dan dia bersedia mengambil alih sementara para pasienku. Saat aku berpamitan pada suster-susterku, mereka mengatakan jika liburan kali ini aku harus me-refresh hati dan men-charge tenaga agar cepat move on dari mantan tunanganku. Sepertinya masih banyak yang mengira aku belum bisa melupakan pria brengsek bernama Daffa. Padahal aku sudah melupakannya semenjak pertunangan kami batal!“Wow, mewah sekali, Rum.”“Jangan berisik Gis! Nanti Zain bangun.”
Read more

Bab 28

Aku kesal sekali dengan Barra. Sejak kapan aku menjadi istrinya? Aku bersedia mengasuh Zain bukan berarti langsung berubah status menjadi istri. Apalagi, setelah mengatakan itu Barra langsung mematikan panggilan video. Padahal aku belum sempat protes dan mengomel padanya. “Manyun terus dari tadi, kenapa?”“Gapapa,” jawabku singkat. “Habis sarapan harusnya bahagia. Lagipula, Barra habis telpon ‘kan?”“Hmmm.”“Aneh banget kamu, Rum. Gak kayak biasanya,” ujar Gista lagi.“Kesel banget aku sama Barra. Pokoknya kalau ketemu pengen aku tarik tuh telinganya. Kalau bicara suka seenaknya sendiri!”“Memangnya bicara apa dia?”Aku melambaikan tangan, meminta Gista mendekatkan badannya ke arahku. Wajahnya terlihat sangat antusias saat aku ingin memberitahu rahasia. “Cepat katakan!”“RAHASIAAAAA …”“Issshhh, kebiasaan!!!” serunya sambil mencebikkan bibir dan kembali ke tempat duduknya.
Read more

Bab 29

“Zain sudah tidur?” tanya Barra, sejak tadi dia terus mengekor di belakangku. Rasanya risih sekaligus malu menjadi pusat perhatian para karyawan hotel.“Iya,” jawabku, aku tengah makan siang menggunakan satu tangan karena ada anak bayi tengan tidur di pangkuanku.“Biar aku suapi,” ujar Barra mengambil piringku tanpa ijin.“Eh, gak usah! Aku bisa makan sendiri.”Bukan Barra jika tidak keras kepala dan bertindak semaunya sendiri. Terpaksa aku membuka mulut saat dia mengarahkan sendok bersisi nasi dan lauk ke arahku.Setelah itu, aku menundukkan kepala. Malu dilihat banyak orang meskipun aku tidak mengenal mereka.Kak Ravi dan Gista pergi keluar, katanya mau makan siang sekaligus membicarakan hal penting. Entah hal apa yang dimaksud? Mereka tidak mau memberitahuku.“Nanti malam pindah kamar ya.” aku rasa Barra tidak sedang bertanya namun memberi perintah. Soal kamar saja dia ikut campur seperti kakakku, sungguh merepotkan!
Read more

Bab 30

Sikap Barra berubah setelah menyatakan cinta padaku. Dia semakin posesif dan lebih berani menunjukkan perhatiannya secara terang-terangan.Aku belum memberi jawaban karena butuh waktu untuk berpikir. Hubungan kami selama beberapa bulan ini hanya sebatas teman dan belum benar-benar saling mengenal.Masih banyak rahasia yang disimpan oleh Barra. Salah satunya tentang kehidupan asmaranya. Dia pandai sekali menutupinya hingga tak ada kabar berita sedikitpun mengenai tunangannya.“Suka sekali melamun,” ujar Barra sambil menempelkan botol air mineral pada pipiku.Aku sedikit terperanjat karena kaget. “Dingin banget,” keluhku.Barra duduk disebelahku. Membantu membuka tutup botol lalu memberikannya padaku. “Minum yang banyak biar tidak kebanyakan melamun,” katanya dengan senyum jahil.“Terima kasih.”Kami sedang berada di balkon. Sebenarnya, Barra yang mengajak melihat bintang setelah Zain tidur padahal aku sudah memiliki agend
Read more
PREV
12345
DMCA.com Protection Status