Anisa duduk di tepi ranjang kamarnya, memandangi berkas-berkas yang baru saja ia ambil dari laci meja. Sebuah dokumen pengajuan perceraian tergeletak di hadapannya, belum ia isi. Jemarinya gemetar, sementara matanya nanar memandang kertas yang menjadi simbol keputusan besar dalam hidupnya.Sudah hampir dua minggu sejak ia meninggalkan rumah Arya. Selama itu, Anisa berusaha keras untuk merenungi semuanya. Namun, setiap kali ia berpikir, perasaan sakit, marah, dan kecewa selalu kembali menghantui.Ia mencintai Arya, itu tak dapat ia pungkiri. Namun, cinta itu kini terasa seperti pisau bermata dua, satu sisi memberi kebahagiaan, sisi lain melukai lebih dalam dari yang ia sangka.Ibunya mengetuk pintu dan masuk, membawa secangkir teh hangat. “Kamu belum makan apa-apa dari pagi, Nak. Mau Ibu bawakan makanan ke sini?”Anisa hanya menggeleng lemah, senyum kecil terpaksa terukir di wajahnya. “Nggak, Bu. Anisa nggak lapar.”Sang ibu meletakkan teh di atas meja dan duduk di samping Anisa. Ia me
Terakhir Diperbarui : 2024-12-01 Baca selengkapnya