Matahari bersinar cerah di luar jendela, tetapi bagi Anisa, hari itu terasa kelabu. Baru beberapa hari sejak perceraian resminya dengan Arya, dan perasaan campur aduk terus menghantui pikirannya. Ia mencoba menyesuaikan diri dengan kehidupannya yang baru, tetapi luka yang Arya tinggalkan masih terasa segar.Anisa sedang duduk di sofa apartemen kecilnya ketika ponselnya berbunyi. Nama Lia muncul di layar. Teman dekatnya itu terus memastikan Anisa tidak merasa sendiri sejak perceraiannya.“Lagi apa, Nis?” tanya Lia setelah Anisa menjawab panggilannya.“Enggak ngapa-ngapain. Cuma duduk aja, mikir.”“Mikirin apa?”Anisa terdiam sejenak. “Mikirin... apa aku udah buat keputusan yang benar. Perceraian ini... aku nggak tahu, Lia. Kadang aku merasa lega, tapi di sisi lain, aku juga merasa kosong.”“Itu wajar, Nis,” jawab Lia dengan nada lembut. “Kamu baru saja keluar dari hubungan yang penuh konflik. Kamu butuh waktu untuk menemukan dirimu lagi.”“Kadang aku merasa gagal,” ujar Anisa pelan. “A
Hari-hari Anisa mulai terasa lebih ringan. Setelah pertemuan terakhirnya dengan Lia, ia mencoba membuka diri terhadap kehadiran Malik. Meskipun masih ada bayangan masa lalu yang mengintip dari sela-sela pikirannya, kehangatan yang ditawarkan Malik membuatnya perlahan melangkah maju.Malam itu, Malik mengundang Anisa untuk makan malam bersama. Ia memilih restoran kecil dengan suasana yang nyaman, tidak terlalu ramai, dan memiliki pemandangan taman yang indah. Malik mengenakan kemeja biru langit, sementara Anisa tampil sederhana dengan blouse putih dan celana kain hitam. Saat Anisa tiba, Malik berdiri dan membukakan kursi untuknya, sesuatu yang membuat hati Anisa terasa hangat.“Makasih, Malik. Kamu nggak perlu repot-repot ngajak makan di tempat begini,” kata Anisa sambil tersenyum canggung.“Kenapa nggak? Kamu pantas mendapat sesuatu yang spesial,” jawab Malik sambil tersenyum.Percakapan mereka mengalir dengan mudah. Malik selalu tahu bagaimana membuat Anisa merasa nyaman. Ia tidak pe
Anisa menatap layar ponselnya dengan ragu. Pesan dari Malik masih terpampang jelas di sana."Aku serius sama kamu, Nis. Aku harap kita bisa lanjut ke tahap yang lebih baik." Malik tidak pernah mendesak, tetapi Anisa tahu bahwa ia perlu membuat keputusan. Hatinya sudah mulai membuka diri, tetapi luka-luka masa lalunya masih membuatnya bimbang.Namun, malam itu, dengan keberanian yang terkumpul, Anisa mengetikkan balasan singkat. ”Kita coba jalani, ya.”Pagi berikutnya, Malik langsung menghubungi Anisa. Suaranya terdengar penuh semangat di telepon. “Aku nggak bisa berhenti senyum sejak baca pesan kamu semalam,” katanya dengan nada ceria.Anisa tertawa kecil, merasa malu tapi juga senang. “Kamu ini lebay,” balasnya, mencoba menyembunyikan rasa gugupnya.“Serius, Nis. Aku pengin ketemu kamu hari ini. Ada waktu?”Anisa berpikir sejenak. Hari Minggu itu ia memang tidak punya rencana apa-apa. “Boleh. Tapi jangan di tempat yang terlalu ramai, ya.”“Setuju. Aku jemput kamu jam sebelas, ya.”Ke
Pagi itu, Anisa membuka matanya dan menemukan dirinya tersenyum tanpa sadar. Ia memikirkan percakapan panjang yang ia dan Malik miliki semalam. Mereka berbicara tentang banyak hal, dari kenangan masa kecil hingga mimpi-mimpi yang ingin mereka capai di masa depan. Malik memiliki cara untuk membuatnya merasa didengar dan dipahami, sesuatu yang tidak pernah benar-benar ia rasakan sebelumnya.Saat sedang menyesap kopi di balkon apartemennya, telepon Anisa berdering. Nama Malik muncul di layar.“Halo?” Anisa menjawab dengan nada lembut.“Selamat pagi, Nisa. Aku harap aku nggak ganggu waktu tenangmu,” kata Malik di ujung sana.“Nggak, kok. Ada apa?”“Aku lagi di kafe dekat apartemenmu. Kalau kamu ada waktu, aku ingin ajak kamu sarapan.”Anisa tersenyum. “Baiklah, beri aku lima belas menit.”Setelah bersiap-siap, Anisa melangkah keluar dan menemukan Malik menunggunya di sebuah meja di sudut kafe. Ia mengenakan kemeja putih yang digulung hingga siku, terlihat santai tetapi tetap rapi. Ketika
Hubungan Anisa dan Malik semakin erat. Hari-hari mereka dipenuhi dengan percakapan panjang, tawa ringan, dan diskusi mendalam tentang masa depan. Anisa merasa nyaman bersama Malik, tetapi di balik kebahagiaan yang perlahan ia rasakan, ada bayang-bayang masa lalu yang terus menghantuinya.Pagi itu, Malik mengajak Anisa ke sebuah kafe kecil di pinggir kota. Tempatnya sederhana tetapi penuh kehangatan, dengan aroma kopi yang menyapa begitu pintu dibuka. Mereka memilih duduk di sudut yang sedikit tersembunyi, memberikan privasi untuk percakapan yang akan mereka lakukan."Ada yang ingin aku bicarakan, Nisa," kata Malik, memecah keheningan setelah pelayan membawa kopi mereka.Anisa menatap Malik dengan penasaran. "Apa itu? Kelihatannya serius."Malik mengambil napas panjang, jemarinya menggenggam cangkir kopi erat-erat. "Aku ingin kamu tahu sesuatu tentang aku. Sesuatu yang mungkin bisa mengubah cara kamu melihat aku."Jantung Anisa berdetak lebih cepat. "Apa maksudmu, Malik? Kamu bikin aku
Hubungan Anisa dan Malik berkembang pesat. Meskipun bayang-bayang masa lalu masih sering menghantui, mereka terus berusaha memperkuat fondasi cinta yang mereka bangun bersama. Namun, dalam setiap hubungan yang semakin serius, selalu ada tantangan yang harus dihadapi.Anisa terbangun pagi itu dengan perasaan hangat. Matahari menyelinap melalui celah-celah tirai, menciptakan bayangan lembut di dinding kamar. Ia menoleh ke arah ponselnya yang tergeletak di meja samping tempat tidur. Ada pesan dari Malik."Pagi, Nisa. Aku ada kejutan untukmu hari ini. Jemput kamu jam 10, ya?"Anisa tersenyum kecil. Malik memang pandai membuatnya merasa istimewa. Ia segera bangkit, bersiap-siap dengan hati yang berbunga-bunga. Pukul 10 tepat, suara klakson terdengar dari luar rumah. Anisa keluar dan melihat Malik berdiri di samping mobilnya dengan senyuman lebar."Kita mau ke mana?" tanya Anisa begitu ia masuk ke dalam mobil."Rahasia," jawab Malik sambil mengedipkan mata. "Tapi aku yakin kamu akan suka."
Bab 74: Langkah Menuju PernikahanSetelah melewati berbagai tantangan bersama, Anisa dan Malik akhirnya merasa yakin bahwa mereka siap untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius. Pernikahan bukanlah hal yang mudah untuk direncanakan, tetapi bagi mereka, ini adalah babak baru yang ingin dijalani dengan sepenuh hati.Malik memulai pembicaraan tentang pernikahan saat mereka menikmati makan malam bersama di sebuah restoran favorit mereka. Dengan suasana yang romantis, Malik menggenggam tangan Anisa dan berkata dengan lembut, "Nisa, aku tahu kita telah melalui banyak hal bersama. Aku merasa, ini saat yang tepat untuk kita melangkah lebih jauh. Apa kamu siap menjadi bagian dari hidupku selamanya?"Anisa terkejut mendengar kata-kata Malik. Hatinya berdebar, tetapi senyuman perlahan muncul di wajahnya. "Aku juga sudah memikirkan ini, Malik. Aku ingin bersama kamu, menjalani hidup dan menghadapi apa pun yang datang bersama-sama."Mendengar jawaban itu, Malik merasa lega dan bahagia. Malam it
Pesta pernikahan Anisa dan Malik tengah berlangsung meriah di sebuah gedung mewah yang dipenuhi dengan bunga-bunga indah dan dekorasi yang sempurna. Para tamu berbondong-bondong datang, berbincang hangat, dan menikmati suasana bahagia yang tercipta. Anisa, dengan gaun pengantin putih yang bersinar, tampak cantik di hadapan semua orang. Malam itu, semua mata tertuju padanya dan Malik, yang tampak sangat bahagia. Namun, di tengah kebahagiaan yang melingkupi mereka, sesuatu yang tak terduga terjadi.Arya yang sejak beberapa minggu lalu tidak terlihat oleh Anisa, tiba-tiba muncul di pintu masuk dengan wajah yang penuh emosi. Semua orang di ruangan itu terdiam sejenak saat melihatnya. Para tamu terperangah, bingung, dan tidak tahu harus berbuat apa. Anisa yang sedang tersenyum lebar menatap wajahnya, merasa seolah ada yang terhenti di dalam dadanya. Dia tidak percaya Arya benar-benar datang ke pesta pernikahannya."Anisa," Arya menyebut namanya dengan suara berat, hampir seperti desahan. "
Hujan turun rintik-rintik malam itu. Anisa duduk di dalam mobil Roy, menatap butiran air yang menempel di jendela. Udara dingin merayap ke dalam, tetapi ia merasa hangat dengan kehadiran Roy di sebelahnya.“Kamu nggak kedinginan?” tanya Roy sambil menyodorkan jaketnya.Anisa menggeleng. “Nggak, aku suka hujan.”Roy tersenyum. “Aku juga.”Obrolan mereka mengalir begitu saja, tanpa beban. Anisa merasa nyaman, sesuatu yang sudah lama tidak ia rasakan. Namun, jauh di dalam hatinya, ada perasaan aneh yang sulit ia jelaskan.Sejak menjalin hubungan dengan Roy, hidupnya terasa lebih ringan. Roy selalu ada untuknya, memberikan perhatian yang ia butuhkan. Tetapi, semakin lama mereka bersama, semakin banyak pertanyaan yang muncul di benaknya.Ia tidak tahu banyak tentang kehidupan Roy di luar pertemuan mereka. Roy tidak pernah mengajaknya ke rumah, tidak pernah bercerita banyak tentang masa lalunya.Tapi Anisa menepis pikirannya. Mungkin, Roy hanya butuh waktu. Lagipula, ia sendiri juga tidak i
Hari-hari Anisa mulai terasa lebih ringan setelah pertemuan terakhirnya dengan Roy. Tidak ada lagi bayang-bayang pria itu dalam pikirannya. Ia merasa seakan sudah melewati fase terburuk dalam hidupnya, dan kini saatnya untuk melangkah ke depan.Namun, hidup tidak selalu berjalan sesuai harapan.Malam itu, setelah pulang kerja, Anisa duduk di balkon apartemennya sambil menatap langit yang dipenuhi bintang. Ia menghela napas panjang. Sepi. Itulah satu-satunya kata yang bisa menggambarkan perasaannya saat ini.Sejak kehilangan orang tuanya dalam insiden kebakaran beberapa tahun lalu, Anisa sudah terbiasa hidup sendiri. Namun, entah mengapa malam ini kesepian itu terasa lebih menyakitkan.Ia mengambil ponselnya, membuka kontak, lalu menatap nama Roy yang tersimpan di sana.Ia ragu-ragu. Haruskah ia menghubunginya? Sejak mereka resmi berpacaran, Roy memang selalu ada untuknya. Namun, ada sesuatu yang mengganjal di hati Anisa—sesuatu yang tidak bisa ia pahami sepenuhnya.Sebelum sempat berp
Hari-hari Anisa mulai berjalan lebih tenang setelah semua badai yang ia alami. Sejak putus dari Roy, ia merasa perlu waktu untuk menyembuhkan diri. Tidak mudah menerima kenyataan bahwa ia telah kembali dikhianati, tapi setidaknya kali ini ia lebih kuat. Ia tidak ingin tenggelam dalam kesedihan berkepanjangan seperti sebelumnya.Melukis menjadi pelariannya. Setiap coretan kuas di atas kanvas membantunya melupakan luka yang masih menganga. Ia mulai mengikuti kelas melukis di galeri seni dekat rumahnya, dan itu memberinya sedikit ketenangan.“Anisa, lukisanmu semakin berkembang,” puji salah satu instruktur di kelasnya. “Kamu punya bakat alami.”Anisa hanya tersenyum. Ia tak pernah berpikir bahwa ia punya bakat di bidang ini. Yang ia tahu, melukis membuatnya merasa hidup kembali.Namun, hidup selalu punya cara untuk menguji seseorang.Suatu pagi, ketika Anisa sedang bersiap pergi ke galeri, ia mendapat panggilan dari nomor tak dikenal. Ia mengabaikannya pada awalnya, tapi ketika telepon i
Anisa melangkah keluar dari apartemen Roy, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan, ia merasa seperti beban berat telah terangkat dari bahunya. Rasa sakit yang ia rasakan saat ini lebih tajam dari sebelumnya, namun ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang memberinya kekuatan untuk melangkah maju meskipun hatinya hancur.Ia tahu bahwa meninggalkan Roy adalah keputusan yang sulit, tapi itu adalah keputusan yang tepat. Dia tidak bisa terus terjebak dalam kebohongan dan ketidakpastian. Roy, dengan segala pesonanya, ternyata hanya seorang pria yang pandai bersembunyi di balik topeng.Sore itu, Anisa duduk di taman dekat rumahnya, memandang anak-anak yang bermain riang di sekitar. Suasana yang dulu selalu mengingatkannya pada masa-masa indah bersama Malik, kini terasa asing. Tidak ada lagi senyum bahagia di sana. Hanya kesedihan yang menyelimutinya."Aku tidak bisa terus hidup seperti ini," gumamnya pada dirinya sendiri. Ia merasa seolah-olah semua pintu yang pernah terbuka untuknya ki
Hari itu, Anisa dan Roy memutuskan untuk makan malam di sebuah restoran yang cukup terkenal di kota. Roy tampak lebih ceria dari biasanya, sementara Anisa masih mencoba menepis perasaan aneh yang muncul setelah pertemuannya dengan Rina.Saat mereka tengah menikmati makanan, perhatian Anisa tiba-tiba teralihkan oleh seorang wanita yang masuk ke dalam restoran bersama seorang anak kecil. Wanita itu tampak anggun, mengenakan pakaian sederhana namun elegan. Anak kecil di sampingnya tampak berusia sekitar lima tahun, dengan wajah yang sedikit familiar bagi Anisa.Namun, yang lebih mengejutkan adalah bagaimana ekspresi Roy berubah saat melihat wanita itu. Seolah-olah ia baru saja melihat hantu dari masa lalunya.Anisa memperhatikan bagaimana Roy berusaha tetap tenang, tetapi matanya tak bisa lepas dari wanita tersebut."Kamu kenal dia?" tanya Anisa pelan.Roy tersentak. "Hah? Enggak, aku cuma... kayaknya pernah lihat wajahnya di suatu tempat."Namun, Anisa tidak bisa mengabaikan cara Roy be
Waktu terus berlalu, meninggalkan jejak yang samar di hati Anisa. Ia mulai terbiasa dengan kehidupan barunya, meskipun sesekali, bayangan masa lalunya masih muncul dalam ingatannya. Namun, ia tidak ingin terus-menerus terjebak dalam kepedihan yang sama. Setiap hari, ia mencoba membangun dirinya kembali, sedikit demi sedikit.Setelah sekian lama merasa hancur, Anisa akhirnya menemukan kenyamanan dalam rutinitasnya. Pekerjaannya sebagai desainer interior semakin berkembang. Proyek-proyek yang ia tangani mendapat respons positif, dan namanya mulai dikenal di kalangan tertentu. Ia mulai mendapatkan klien tetap yang mempercayakan desain rumah mereka padanya.Suatu pagi, Anisa duduk di meja kerjanya, menyesap kopi hangat sambil menatap layar laptopnya. Pesanan masuk cukup banyak, dan itu berarti ia harus bekerja lebih keras. Tapi, anehnya, ia merasa senang. Ia merasa hidupnya mulai menemukan ritmenya sendiri.Sore itu, ia memutuskan untuk keluar sejenak, berjalan di taman kota. Angin sepoi-
Minggu-minggu berlalu sejak Anisa memutuskan untuk melupakan Roy, tetapi luka yang ditinggalkannya masih terasa. Meski ia berusaha keras untuk bangkit, ada momen-momen ketika kenangan tentang pria itu kembali menghantui pikirannya. Terlebih lagi, perasaan bersalah karena membiarkan dirinya terbawa perasaan terhadap seseorang yang ternyata tidak jujur masih membekas.Anisa mulai sibuk dengan rutinitas baru. Ia mengambil beberapa proyek desain interior sebagai freelancer untuk mengisi waktu dan pikirannya. Pekerjaan ini, selain memberinya penghasilan, juga membantunya menjaga pikirannya tetap sibuk. Namun di balik semua aktivitas itu, ia merasa ada kekosongan yang sulit ia isi.Suatu siang, ketika Anisa sedang memeriksa bahan-bahan untuk proyek desain di sebuah toko perlengkapan rumah, ia dikejutkan oleh kehadiran seseorang yang tidak ia duga. Roy. Pria itu terlihat sama seperti terakhir kali mereka bertemu, tetapi sorot matanya penuh penyesalan.“Anisa,” sapa Roy dengan suara pelan.An
Hari-hari setelah kepergian Roy terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung usai bagi Anisa. Ia mencoba menyibukkan diri dengan pekerjaan dan berbagai aktivitas lain, tetapi pikirannya selalu kembali pada pria yang telah memberinya harapan baru. Roy adalah seseorang yang membuatnya merasa hidup kembali, namun kini ia pergi meninggalkannya tanpa alasan yang jelas.Di satu sisi, Anisa ingin melupakan Roy, tetapi di sisi lain, ia tidak bisa mengabaikan kenangan manis yang mereka lalui bersama. Suatu sore, ketika ia sedang membereskan meja kerja di rumah, ia menemukan buku catatan kecil yang pernah diberikan Roy. Di dalamnya, ada beberapa catatan singkat yang pernah ditulis Roy untuknya. Salah satu kalimat yang paling menyentuh hati Anisa adalah ...."Jangan pernah berhenti mencari kebahagiaan, bahkan jika jalannya terasa berat."Membaca kalimat itu, air mata Anisa mengalir tanpa henti. Ia merasa kehilangan seseorang yang benar-benar peduli padanya, meskipun ia tak pernah tahu pasti apa y
Anisa mulai merasa nyaman dengan Roy. Hubungan mereka berjalan begitu alami, tanpa ada tekanan atau ketegangan seperti yang pernah dia rasakan sebelumnya. Setiap kali bersama Roy, Anisa merasa seperti menemukan sosok yang berbeda dari semua pria yang pernah datang dalam hidupnya. Roy selalu bisa membuatnya tertawa, berbicara tentang hal-hal kecil yang terasa menyenangkan, dan yang paling penting, ia memberikan perhatian yang tulus.Mereka mulai sering menghabiskan waktu bersama. Setelah berbulan-bulan sendiri, Anisa merasa seakan dia menemukan pelarian dari segala luka hati yang pernah ia alami. Roy bukan hanya teman yang menyenangkan, tapi juga seseorang yang mampu menenangkan setiap kegelisahan yang datang dalam pikirannya.Pada suatu malam, Roy mengajak Anisa untuk makan malam di restoran baru yang baru buka di pusat kota. Suasana yang tenang, dipadu dengan cahaya lilin yang temaram, membuat suasana semakin intim. Mereka berbicara tentang banyak hal, mulai dari pekerjaan, hobi, hin