Home / Romansa / Istri Yang Kau Hina, Incaran Mafia / Chapter 151 - Chapter 160

All Chapters of Istri Yang Kau Hina, Incaran Mafia: Chapter 151 - Chapter 160

195 Chapters

Bab 151

Hujan turun perlahan, membasahi jalanan kota yang mulai gelap. Lampu-lampu kota bersinar redup, mencerminkan suasana hati Valeria yang kacau.Tanpa sadar, mobil yang dia kemudikan berhenti di depan Filarete Tower. Jari-jarinya masih mencengkeram setir dengan erat, tetapi pikirannya melayang jauh. Dadanya terasa sesak, hatinya penuh dengan kehampaan yang menyesakkan.Tangan Valeria berlumur darah. Jejak perlawanan dari perawat yang tadi dia siksa demi mendapatkan jawaban. Bajunya pun kotor, bercampur antara darah dan air hujan yang mulai merembes dari jendela mobil yang sedikit terbuka.Dengan langkah berat, Valeria turun dari mobil. Tumit sepatunya beradu dengan trotoar yang basah, menghasilkan suara yang bergema di antara kesunyian malam.Matanya menatap gedung menjulang tinggi di hadapannya. Filarete Tower, bangunan yang pernah menjadi saksi bisu pertemuannya dengan Salvatore. Tempat di mana awal Valeria mulai mengagumi pria itu.Namun sekarang… Salvatore menghilang, dan Valeria mer
last updateLast Updated : 2025-02-12
Read more

Bab 152

Suara deburan ombak terdengar sayup-sayup dari kejauhan, menyatu dengan hembusan angin laut yang menerobos masuk melalui jendela besar vila mewah itu.Di dalam kamar bernuansa klasik dengan lampu kuning temaram, seorang wanita duduk di samping ranjang. Matanya teduh, jemarinya menggenggam erat tangan seorang pria yang tengah terbaring tak sadarkan diri di atas ranjang berlapis seprai sutra putih.Salvatore.Wajah pria itu tampak pucat, napasnya teratur tetapi lemah. Perban melilit sebagian dahinya, beberapa ada di tangannya, dan tubuhnya tampak tak berdaya.Amara menggenggam tangan Salvatore semakin erat. Pikirannya mengenang waktu tiga bulan yang lalu saat Alessio membawanya ke sini dan bertemu Salvatore yang tak berdaya di kamar ini.Waktu itu, dia menatap wajah Salvatore dengan ekspresi yang sulit diartikan—entah kasihan, entah sesuatu yang lebih dalam lagi. Satu tangannya terangkat, mengelus pipi Salvatore dengan lembut."Salvatore ..., kau di sini," bisiknya pelan, hampir seperti
last updateLast Updated : 2025-02-12
Read more

Bab 153

Malam itu, hujan turun deras, membasahi kaca besar di kamar Valeria.Di balik jendela yang dipenuhi embun, Valeria berdiri diam, menatap kelam ke luar sana. Cahaya kilat sesekali menerangi wajahnya yang terlihat semakin pucat dan lelah.Tangan Valeria perlahan menyentuh perutnya yang masih rata. "Salvatore ..., di mana kau?" bisiknya lirih.Hampir tiga bulan berlalu. Tiga bulan penuh pencarian. Tiga bulan penuh harapan yang semakin hari semakin terkikis.Dia sudah mengerahkan segalanya, menghancurkan semua yang menghalangi jalannya, menyiksa siapa pun yang mencurigakan. Tapi hasilnya tetap sama. Kosong, buntu.Bahkan perawat yang dia siksa habis-habisan pun hanya menangis dan mengaku tak tahu apa pun. Hanya sebuah pengantar yang menjalankan tugas. Tanpa petunjuk ke mana Salvatore dibawa. Tanpa sedikit pun jejak untuk diikuti.Valeria menggigit bibirnya, menahan kepedihan yang membuncah. Tangannya terkepal, tubuhnya bergetar menahan emosi yang hampir habis terkuras. Haruskah dia menyer
last updateLast Updated : 2025-02-12
Read more

Bab 154

Di malam berikutnya, angin berhembus dingin di sepanjang jalan kota. Langit dipenuhi bintang, tetapi bagi Valeria, malam ini terasa kosong dan gelap.Dia menutup pintu mobil dengan tenang, matanya menatap restoran mewah di hadapannya—tempat di mana dia dan Salvatore biasa makan bersama. Setiap sudut restoran itu menyimpan kenangan yang kini terasa seperti belati yang menusuk hatinya. Valeria memang berniat pergi ke restoran ini sendirian karena sangat merindukan Salvatore.Dia menghela napas, mencoba menenangkan diri. Namun, baru saja dia melangkahkan kaki ke depan, sesuatu menarik bajunya dengan kasar dari belakang."Dasar perempuan jalang! Apa kau pikir hidupmu akan terus bahagia setelah menghancurkan keluargaku?!" Suara nyaring dan penuh kebencian itu memenuhi telinganya.Valeria tidak perlu menoleh untuk mengetahui siapa yang berbicara. Isabella Ricci.Perempuan itu tampak begitu berantakan—rambutnya acak-acakan, wajahnya kuyu, dan pakaian yang ia kenakan lusuh. Jelas sekali hidup
last updateLast Updated : 2025-02-12
Read more

Bab 155

Suara monitor detak jantung semakin cepat, memantul di seluruh ruangan dengan irama yang tidak biasa. Amara, yang baru saja membuka pintu kamar, langsung membelalak melihat pemandangan di hadapannya.Salvatore mengejang. Tubuhnya bergetar hebat, kedua tangannya mengepal di atas ranjang, napasnya tersengal, dan wajahnya menunjukkan ekspresi kesakitan yang luar biasa."Salvatore?!" Suara Amara bergetar saat dia berlari mendekat.Ini buruk. Sangat buruk.Keringat dingin membasahi pelipis pria itu, dadanya naik turun dengan tidak normal. Dia masih belum sadar, namun tubuhnya seolah sedang berjuang melawan sesuatu yang tak kasat mata.Amara meraih tangannya, berusaha menggenggamnya erat, tapi tubuh Salvatore begitu panas—seolah dia sedang terbakar dari dalam."T-Tidak ...! Bertahanlah!"Amara hampir menangis. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Ini pertama kalinya dia melihat Salvatore dalam kondisi seperti ini.Dari mana asal reaksi ini?! Apakah karena obatnya?!Pikiran Amara kalut. Dia seg
last updateLast Updated : 2025-02-12
Read more

Bab 156

Amara lebih bersemangat dari biasanya. Langkahnya ringan, hampir seperti melayang, saat dia berjalan menyusuri koridor vila yang megah. Matanya berbinar penuh kegembiraan, dadanya berdegup kencang, bukan karena cemas, tetapi karena antusiasme yang membuncah.Akhirnya... Setelah berbulan-bulan menunggu, Salvatore akhirnya siuman. Namun, ada satu hal yang harus dia lakukan—merahasiakan semuanya.Alessio sudah memerintahkan dengan tegas. Salvatore tidak boleh tahu apa pun. Tidak tentang kecelakaan yang membuatnya kehilangan ingatan. Tidak tentang Valeria. Tidak tentang masa lalunya.Ini adalah kesempatan emas. Kesempatan untuk menjauhkan Salvatore dari Valeria... selamanya.Amara tersenyum kecil, senyum penuh kemenangan. Bagi orang lain, ini mungkin terlihat kejam. Tapi bagi Amara, ini adalah kesempatan terbaik dalam hidupnya.Sekarang, Salvatore hanya akan mengenalnya. Hanya akan melihatnya. Hanya akan bergantung padanya.Tanpa Valeria, tanpa gangguan, tanpa ada orang yang bisa mengambi
last updateLast Updated : 2025-02-13
Read more

Bab 157

Pagi itu, langit di atas Morreti Club tampak cerah, tetapi suasana di dalam ruangan rapat terasa mencekam. Para petinggi keluarga Morreti sudah duduk di kursi mereka, menunggu seseorang yang telah lama absen dari dunia mereka—Valeria.Ketika pintu ruang rapat terbuka, semua mata langsung tertuju padanya. Valeria melangkah masuk dengan anggun, mengenakan setelan jas merah yang membalut tubuhnya dengan sempurna.Kecantikannya begitu mencolok. Wajahnya tetap dingin tanpa ekspresi, matanya tajam, dan aura yang dia bawa terasa lebih berat dari sebelumnya.Tiga bulan yang dia habiskan untuk mencari Salvatore telah mengubahnya. Bukan hanya waktu yang membuatnya semakin kuat, tetapi juga rasa sakit dan kehilangan yang terus menggerogoti hatinya.Pamannya, Roberto, mengamati Valeria dari seberang meja.Dia tahu betul bahwa keponakannya ini bukan lagi Valeria yang sama seperti dulu. Sementara itu, Lorenzo, sang ayah, hanya menghela napas panjang."Akhirnya kau datang," kata Lorenzo dengan suara
last updateLast Updated : 2025-02-13
Read more

Bab 158

Valeria duduk di tepi kolam renang kediaman Morreti, kaki jenjangnya terendam di air dingin yang beriak pelan. Malam sudah larut, tetapi pikirannya masih terus mengembara, membuatnya sulit beristirahat.Di tangannya, jeruk keprok yang sudah hampir habis dia kupas. Tumpukan kulit jeruk berserakan di sampingnya, menyebarkan aroma segar yang menusuk hidung.Dia mengambil satu potong, memasukkannya ke mulut, lalu mengunyah perlahan. Namun, rasa asam dan manis yang biasanya menyegarkan kini terasa hambar. Rasanya tetap tidak melegakan tenggorokannya.Dengan kesal, Valeria melempar sisa jeruk ke dalam mangkuk kaca di sebelahnya. Sudah beberapa hari ini dia terus-menerus uring-uringan tanpa sebab.Emosinya meledak-ledak, setiap hal kecil membuatnya marah, bahkan Morgan dan Elena sampai kesulitan menenangkannya. Sejak beberapa hari lalu, Valeria ingin makan es serut ala Hawaii.Morgan bahkan sampai meminta Elena menyewa koki dari Hawaii, membawa bahan-bahan asli, membuat es serut dengan metod
last updateLast Updated : 2025-02-13
Read more

Bab 159

Salvatore duduk di kursi rodanya, menatap hamparan laut biru yang luas dari jendela kamar. Ombak bergulung perlahan, seolah menari dalam irama yang damai. Namun, hati Salvatore tidaklah setenang pemandangan di depannya.Dia mencoba menikmati angin laut yang menerobos masuk melalui jendela yang sedikit terbuka. Ada ketenangan dalam suasana ini, tapi ada juga sesuatu yang terasa hampa. Sesuatu yang tidak bisa dia pahami.Kehidupannya sekarang begitu tenang. Alessio selalu ada untuknya, memperlakukannya dengan sangat baik—mungkin terlalu baik. Amara, wanita yang memperkenalkan diri sebagai calon istrinya, selalu tersenyum dengan penuh cinta dan perhatian, seolah mereka memang ditakdirkan bersama.Tapi kenapa? Kenapa setiap kali dia menatap pantai itu, ada perasaan aneh yang menggeliat di dadanya?Seperti ada sesuatu yang hilang. Seperti ada sesuatu yang penting yang seharusnya dia ingat, tapi tidak bisa dia jangkau.Salvatore mengusap pelipisnya, mencoba mengais serpihan ingatan yang ter
last updateLast Updated : 2025-02-13
Read more

Bab 160

Di dalam ruang makan yang mewah dan remang, Salvatore didorong oleh seorang pelayan, mendekati meja panjang berhiaskan lilin dan hidangan mewah. Salvatore belum bisa berjalan meskipun dokter bilang dia sudah sembuh total.Di ujung meja, Alessio duduk dengan anggun, seperti raja yang mengawasi segalanya. Amara sudah menunggu dengan tidak sabaran. Begitu Salvatore tiba, dia langsung berdiri dan berlari kecil menghampirinya."Salvatore~!" serunya dengan nada manja yang terdengar terlalu dibuat-buat.Tanpa ragu, Amara menggandeng tangan Salvatore dan menempelkan tubuhnya erat-erat. Dia bahkan menyenderkan kepalanya di bahu pria itu, menghela napas dramatis seolah sedang menikmati momen romantis."Akhirnya kita bisa makan malam bersama. Aku sangat merindukan saat-saat seperti ini," bisiknya, suaranya menggoda, jari-jarinya menggambar pola tak jelas di lengan Salvatore.Salvatore menegang. Dia mencoba bergerak menjauh, tetapi posisi duduknya di kursi roda membuatnya sulit untuk menghindar.
last updateLast Updated : 2025-02-13
Read more
PREV
1
...
1415161718
...
20
Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status