Home / CEO / Menikahi Asisten Sang Presdir / Chapter 21 - Chapter 30

All Chapters of Menikahi Asisten Sang Presdir : Chapter 21 - Chapter 30

32 Chapters

21 | Terbangun di Rumah Sakit

“Apa yang kamu lakukan pada Rayyi? Kenapa kamu mengurungnya di kamar mandi?”“Berisik, Pak, berisik! Seharian dia menanyakanmu, pengen ketemu. Kamu enggak punya ponsel pula, jadi susah kuhubungi.”“Kan sudah kubilang, telepon temanku! Kami bekerja sepanjang akhir pekan di lokasi proyek konstruksi.”“Ah, malas aku! Mending jalan-jalan sama teman-teman buat keperluan reuni minggu depan.”Suara-suara itu lesap bersama bayang-bayang yang mengabur; digantikan bebunyian lain yang lebih tak beraturan. Sayup-sayup, muncul suara perempuan yang meningkahi kebisingan itu. Memanggil namanya dalam cemas.“Rayyi, sebentar lagi kita keluar,” bisiknya lirih. “Pintu lift akan dibuka. Tetap fokuskan perhatianmu pada suaraku, oke? Aku enggak akan ke mana-mana.”Di antara kesadaran yang mengawang dan tubuh yang dibasahi peluh, Rayyi hanya bisa mengangguk lemah. Perlahan, dia juga merasakan ada jemari lembut yang menggenggamnya erat.“Untuk yang di dalam, tolong mundur. Kami akan membuka pintu.” Perintah
Read more

22 | Lari dari Jebakan

Menyaksikan Rayyi mengalami serangan panik sempat membuat Luna terpaku di tempat. Sosok pria kaku serta formal yang selama ini dikenalnya mendadak berubah seperti bocah yang ketakutan dimarahi orangtua. Mungkin kalau tak pernah menonton drama tentang kesehatan mental, mustahil dia dapat menenangkan suaminya.Selain itu, menyaksikan kondisi kesehatan Dikta yang terus menurun secara tak langsung membantu Luna sigap mengambil tindakan. Walau benaknya kacau, dia tak boleh terlihat sama-sama panik di hadapan Rayyi.“Sekali lagi, terima kasih. Saya sendiri enggak menyangka bakal mengalami hal itu.” Selepas salat Subuh, Luna membelikan dua porsi bubur yang dijual di dekat rumah sakit. “Padahal saya sudah lama berhenti ikut konsultasi.”“It's okay, kemungkinan kambuh pasti selalu ada kalau ketemu trigger.” Luna menyerahkan alat makan untuk Rayyi. “Mumpung di rumah sakit, kamu mau sekalian ketemu psikiater?”Pria di hadapannya tampak memikirkan sesuatu, lalu menggeleng pelan. “Sebaiknya kita c
Read more

23. Liburan yang Sesungguhnya

Saat langit malam menyelimuti Badung, Luna mulai berkemas untuk pulang besok. Sangat disayangkan kunjungan ini tak berjalan sesuai harapan. Di sisi lain, dia dapat terlepas dari gangguan Galuh untuk sesaat.“Rayyi ke mana, sih. Katanya mau cari makan di luar.” Setengah jam lalu, pria itu pamit keluar. Kondisinya yang belum pulih total serta-merta membuat Luna cemas. Bagaimana kalau dia—Ponselnya berbunyi. Panggilan masuk dari Rayyi.“Luna, apa kamu masih di kamar?” Pria itu bertanya. “Saya di depan hotel, mau ajak kamu makan di luar.”“Heh, bukannya kamu lagi cari makan?”“Tadinya begitu, tapi saya pikir lebih baik kita jalan-jalan sekalian. Ini hari terakhir kita di Bali,” sahutnya penuh semangat. “Kebetulan saya dapat sewa motor dekat sini.”Benar juga. Paling tidak, mereka punya momen menyenangkan walau sekadar memutari area wisata dan mencoba kuliner khas Bali di warung-warung tradisional.“Oke, sebentar lagi aku turun. See you.” Setelah itu, Luna menyambar kemeja, tas selempang,
Read more

24. Malam Terakhir di Bali

Luna tak menduga bakal menghabiskan sisa masa ‘bulan madu’ di Bali dengan hal-hal sederhana. Jalan-jalan naik sepeda motor jadul. Makan olahan bebek di pinggir pantai. Lalu di penghujung malam, dia dan Rayyi malah menyaksikan pesta kembang api gratis yang terletak tak jauh dari warung makan Wayan.‘Kalau kayak gini terus, aku malah enggak mau pulang,’ batinnya. Apalagi saat mengingat ada tumpukan pekerjaan yang menanti, perempuan itu rasanya ingin menguburkan diri di antara hamparan pasir.“Sensasi menonton kembang api di sini ternyata berbeda jauh dari Jakarta,” gumam Rayyi yang menengadah memandangi langit yang meriah malam itu. “Sama-sama ramai, tapi di sini saya enggak perlu menjaga orang lain.”“Emangnya selama kerja sama Mas Galuh, kamu jarang dapet jatah libur atau cuti?” Sepadat apa sebenarnya jadwal Rayyi sebagai asisten pribadi.Rayyi merapikan salah satu lengan kemejanya. “Ada, tapi saya hanya memakainya satu atau dua kali. Lagi pula, enggak ada keluarga dekat yang perlu say
Read more

25. Bunga Tidur yang Ganjil

Bunga tidur yang mampir ke dalam tidur Rayyi malam ini berbeda dari sebelumnya.Langit yang biasanya muram kini tampak biru cerah tanpa awan. Semilir angin membelai wajah Rayyi perlahan. Seluas matanya memandang, dia hanya melihat bentangan rumput yang menari-nari; menggelitik kakinya yang tanpa sepatu.‘Saya di mana?’ batinnya. ‘Apa saya sudah—'“Rayyi.” Panggilan tersebut mengalihkan perhatian Rayyi ke arah sumber suara. Di belakangnya, seorang perempuan muda dengan sundress warna putih menatapnya dari puncak bukit. Tak butuh waktu lama juga baginya mengenali sosok tersebut.“Luna,” gumamnya pelan kala perempuan itu menghampirinya, “apa yang saya—kita lakukan di sini?”Luna mengedik. “Aku di sini buat menikmati pemandangan selagi cuacanya bagus. Butuh refreshing sebentar setelah melewati hari-hari yang melelahkan.”Pernyataan tadi terdengar familier. Ah, benar, itu adalah keluhan yang berkali-kali bergema dalam benak Rayyi setiap kali mendapatkan perintah dari Galuh. Siapa yang mendu
Read more

26. Peringatan Dini

Satu pesan singkat itu serta-merta membuat Rayyi menengadah ke rumah newah yang berdiri di belakangnya. Sekitar dua jam lalu, dia menjemput Galuh di bandara. Anehnya, sang atasan hanya pulang bersama istrinya.Hal ganjil lain yang Rayyi tangkap adalah sikap Naura yang terlihat biasa saja kala mereka berpapasan. Bahkan saat Galuh pamit sebentar untuk mengurus bagasi, perempuan itu mengacungkan jempol padanya. Rayyi jadi heran, apakah insiden di hotel itu tak sampai ke telinga Naura?“Ayo, kita berangkat sekarang.” Galuh rupanya hanya berganti pakaian. “Sekitar pukul 10 kita harus mengejar meeting di Kemang.”Rayyi mengangguk patuh dan membukakan pintu untuk Galuh. Perjalanan menuju hotel pun dia gunakan untuk tidur. Jet lag-nya pasti belum benar-benar hilang. Lagipula seingat Rayyi mereka tak punya jadwal meeting seharian.‘Sudahlah,’ tepisnya sembari membelokkan mobil menuju lokasi tujuan, ‘satu hal yang pasti saya perlu bersiap untuk menghadapi pert
Read more

27. Berubah Haluan

“Heh, mau ke mana lo? Bentar lagi juga udah masuk jam makan siang.”“Kalian duluan aja. Bu Maryam minta aku buat ngecek kamar di lantai 12.”Brenda hanya geleng-geleng kepala, lalu menarik Dini memasuki lift. Sebenarnya berat bagi Luna menolak ajakan tersebut karena dia juga lapar. Di sisi lain, perempuan itu juga malas harus berkelit dengan Maryam.Karena lift sedang padat, Luna memilih tangga menuju lantai 12. Menurut keterangan Maryam, ada lima kamar yang sebentar lagi bakal diisi para peserta seminar. Diingatnya lagi nomor-nomor yang disebutkan sebelum mengeceknya saat sampai di lantai tujuan.Mendekati makan siang, beberapa tamu terlihat menarik koper untuk check-out. Ada pula yang keluar untuk mencari hidangan. Kadang, Luna berpapasan dengan staf yang membawakan pesanan khusus room service. Sisanya adalah cerita-cerita penuh kejutan yang berakhir di pantri atau grup khusus housekeeping.Langkah Luna terhenti di kamar nomor 121. Tak jauh dari tempatnya berdiri, ada dua pegawai ya
Read more

28 | Fokus yang Terbelah

“Luna, apa kamu sedang ada masalah?”Untuk sesaat, Luna lega mendapati Rayyi di dekatnya. Bahkan kalau bisa dia ingin berlindung dalam pelukan itu lebih lama. Namun, sebuah suara dari dasar benaknya seketika mengingatkan Luna pada sesuatu: Rayyi hanya pria yang dinikahi demi menyelamatkan harga dirinya di depan keluarga.“Astaga, maaf, aku refleks.” Cepat-cepat, Luna melepas dekapannya. Akan tetapi, ekspresi khawatir masih tercetak di wajah Rayyi. “Kamu habis dari mana?”“Menemui seseorang,” jawab Rayyi sekenanya. “Hei, kamu belum menjawab pertanyaan saya. Kenapa kamu tiba-tiba—”Luna menempelkan telunjuknya pada bibir Rayyi, lalu celingak-celinguk untuk mengecek situasi sekitar. Sepi, hanya beberapa karyawan dan tamu yang lalu lalang di basement. Meski demikian, bukan berarti Luna dapat melepas kewaspadaannya.Lantas, perlukah dia menceritakan apa yang Galuh lakukan pada Rayyi?“Aku—yah, sesuatu terjadi.” Luna memalingkan wajah; tak mau Rayyi mendapati pipinya yang memerah. “Mungkin
Read more

29 | Harus Memilih

Mengunjungi Guntur menjadi momen yang selalu Rayyi nantikan. Selain untuk melepas penat, dia juga dapat memastikan kondisi sang ayah. Sejauh ini, pria itu jarang mengeluh. Berbagai aktivitas yang dijadwalkan pun membuat kondisi kesehatannya lebih stabil.Akan tetapi, peringatan Galuh tadi pagi membuat Rayyi kalut. Alih-alih lega mengetahui tebakannya tepat sasaran, dia malah cemas. Kalau kata orang-orang: overthinking. Jika sang atasan dapat memicu serangan paniknya ‘kambuh’, Rayyi tak bisa membayangkan tindakan apa yang akan dijatuhkannya pada Guntur.“Wajahmu pucat, Rayyi. Sudah makan sebelum ke sini?” Guntur memiringkan kepala; mengecek kondisi putranya yang mampir lebih cepat dari jadwal.“Sudah,” jawab Rayyi sekenanya. Namun, tanggapan itu memerlukan penjelasan agar ayahnya tak ikut cemas. “Mungkin gara-gara kelelahan. Pak Galuh seminggu terakhir di Belanda, bertemu keluarga istrinya. Jadi, saya yang pegang beberapa pekerjaannya.”“Tapi jangan sampai lupa makan juga.” Sang ayah m
Read more

30 | Kunjungan Puspa

Menjaga jarak dari Luna, seperti yang diperintahkan Galuh, semestinya mudah bagi Rayyi. Selama bertahun-tahun, pria itu hanya mengenalnya sebagai karyawan housekeeping yang punya hubungan spesial dengan atasan. Setelah mengetahui kisah yang terjadi di antara mereka, Rayyi pun merasa tak sepantasnya dia ikut campur urusan keduanya. Masalahnya, Luna tanpa sengaja masuk ke ranah pribadi Rayyi. Dia menyaksikannya mengalami serangan panik, sesuatu yang telah lama dia tutup. Padahal selama ini kesehatan mentalnya terarsip rapi dalam catatan psikiater yang menanganinya… juga kartu As yang malah Galuh salah gunakan untuk melancarkan serangan. “Rayyi.” Angela melongok dari celah pintu meeting room. “Bilang ke bagian kitchen buat nyiapin lunch. Klien Pak Galuh pengin makan di restoran.” “Huh, pertemuannya belum selesai?” “Sebentar lagi beres. Ini bagian dari ucapan terima kasih.” Sang sekretaris mengedipkan mata. Itu menandakan satu hal: rapatnya mencapai kesepakatan yang diharapkan. “Buruan
Read more
PREV
1234
DMCA.com Protection Status