Home / Romansa / Dendam Sang Pewaris / Chapter 11 - Chapter 20

All Chapters of Dendam Sang Pewaris: Chapter 11 - Chapter 20

31 Chapters

Bab 11: Awal dari Serangan Balik

Hening menyelimuti malam ketika Anisa duduk di ruang kerjanya, merenungi pesan ancaman yang baru saja diterimanya. Kata-kata itu terasa seperti jarum yang menusuk jiwanya, terutama karena menyangkut Adit, anaknya yang ia lindungi dengan seluruh jiwa raga.Namun, ketakutan itu tidak menghapus tekadnya. Sebaliknya, ia merasa kemarahan dalam dirinya perlahan tumbuh menjadi energi yang tidak bisa dihentikan. Ia tidak akan membiarkan siapa pun menyentuh Adit. Tidak Farhan, tidak siapa pun.Dia menatap layar laptopnya. Data yang telah ia kumpulkan tentang Farhan dan Arief Yudha masih terpampang jelas. Ia menyadari bahwa ancaman ini bukan hanya untuk menghentikannya, tetapi juga untuk membuatnya takut dan kehilangan fokus.“Kalau mereka berpikir aku akan menyerah, mereka salah besar,” gumamnya sambil mengepalkan tangan.Anisa segera menghubungi Dimas. Saat suara Dimas terdengar di telepon, ia langsung merasa sedikit tenang. “Kita punya masalah,” kata Anisa tanpa basa-basi.“Aku tahu,” balas
last updateLast Updated : 2024-11-28
Read more

Bab 12: Pijakan di Tengah Badai

Pagi itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Angin dingin bertiup melalui jendela kamar Anisa, membawa aroma hujan yang baru saja reda. Ia duduk di depan meja kerjanya, memandangi layar laptop yang menampilkan email dari tim legal perusahaan.“Audit telah dimulai. Tim kami menemukan beberapa anomali awal pada laporan keuangan, terutama pada transfer besar ke rekening luar negeri yang tidak jelas pemiliknya. Kami akan melanjutkan penyelidikan.”Anisa menarik napas panjang. Email ini adalah bukti bahwa langkah pertamanya mulai menunjukkan hasil. Namun, ia tahu bahwa semakin dalam timnya menggali, semakin besar risiko yang ia hadapi.Suara pintu yang terbuka dengan keras membuat Anisa tersentak. Dentumannya menggema di ruangan yang sepi, mengoyak keheningan seperti petir di langit malam. Ia menoleh, mendapati Farhan berdiri di ambang pintu. Wajah pria itu memerah, rahangnya mengeras, dan matanya memancarkan kilatan yang mengerikan. Tubuhnya menegang seperti busur yang siap dilepaskan anak
last updateLast Updated : 2024-11-28
Read more

Bab 13: Dalam Bayang-bayang Ancaman

Jam menunjukkan pukul dua dini hari. Rumah besar itu sunyi, tetapi di kamar Anisa, lampu masih menyala. Ia duduk di pinggir tempat tidur, memandangi foto-foto di dalam amplop cokelat yang diterimanya malam itu. Setiap foto terasa seperti pisau yang menusuk hatinya. Ada foto dirinya, Adit di taman bermain, bahkan gambaran sekilas momen ketika mereka di dalam mobil menuju sekolah.Anisa menggigit bibirnya, menahan tangis yang hampir pecah. Bayangan Adit, anaknya yang polos dan ceria, sekarang diselimuti ancaman yang tidak pernah ia bayangkan. Namun, di tengah rasa takut yang menghantui, ia merasa sesuatu yang lain mulai tumbuh: kemarahan yang menggelegak seperti lava di dalam dirinya.“Mereka telah melewati batas,” pikirnya. Tangannya menggenggam erat foto-foto itu, hingga kertasnya terlipat.Keesokan paginya, Anisa memasuki kamar Adit dengan senyum lemah tapi penuh kasih. Anak kecil itu masih meringkuk di tempat tidurnya, rambut hitamnya berantakan seperti biasanya. Ia terlihat damai,
last updateLast Updated : 2024-11-29
Read more

Bab 14: Mencari Kebenaran di Tengah Kebohongan

Pagi itu, udara terasa lebih dingin dari biasanya. Anisa duduk di ruang kerjanya, memandangi dokumen audit yang sudah mulai berhamburan di atas meja. Layar laptopnya masih terbuka dengan tab pencarian yang belum selesai—mencari informasi tentang orang-orang yang ada di balik Farhan dan siapa yang mungkin mendukung pergerakannya. Setiap kali ia mencoba membuka langkah baru, ia merasa seperti terperangkap dalam lingkaran kebohongan yang semakin ketat.Namun, meskipun kegelisahan terus menggerogoti dirinya, tekad Anisa tetap kokoh. Ia memandang layar komputer di depannya dengan mata yang tajam, seperti seorang pejuang yang memusatkan pandangannya pada lawan yang akan dihadapi. Hatinya berdebar cepat, namun ia tahu bahwa mundur bukanlah pilihan. "Aku harus menemukan siapa yang menekan tombol ini semua," pikirnya dalam hati, menggenggam meja dengan erat, seakan berusaha menenangkan diri dari amarah yang terus membara.Suasana ruangan semakin terasa berat, hampir seakan berasap dengan keteg
last updateLast Updated : 2024-11-29
Read more

Bab 15: Jejak yang Membawa Kebenaran

Pagi itu, langit terlihat lebih gelap dari biasanya, bahkan meskipun matahari sudah mulai terbit. Udara di sekitar gedung perusahaan terasa berat, seolah mencerminkan suasana hati Anisa yang sedang terperangkap dalam permainan besar yang belum sepenuhnya ia pahami.Setelah pertemuan dengan Larasati malam sebelumnya, perasaan tidak tenang merayap ke dalam dirinya. Farhan mengancam, dan serangan yang terjadi di gedung Arief semakin mengaburkan batas antara teman dan musuh. Siapa yang bisa dipercaya sekarang? Pertanyaan ini terus menghantui pikirannya.Di ruang kerjanya, Anisa memandang keluar jendela, menatap gedung-gedung tinggi yang membentang di depan mata. Suara klakson mobil dan langkah-langkah sibuk para karyawan di luar jendela terdengar samar. Semua seolah tak peduli pada badai yang tengah bersiap menggulung hidupnya. Di sisi lain, ia merasa semakin terisolasi, terperangkap dalam labirin konspirasi yang sulit dipahami.Saat Dimas masuk, dengan langkah berat, suasana semakin mene
last updateLast Updated : 2024-11-30
Read more

Bab 16: Jejak Langkah yang Penuh Bahaya

Ruangan itu terasa lebih panas dari biasanya. Suhu udara malam yang lembap hanya menambah kesan mencekam yang merayap di dalam ruangan. Setiap langkah di lantai kayu terasa seperti dentuman keras di dalam hati Anisa. Ketegangan antara dirinya dan Dimas semakin sulit untuk disembunyikan."Apa yang akan kita lakukan?" suara Dimas terdengar serak. Matanya yang biasanya penuh percaya diri kini dipenuhi keraguan. "Mereka sudah menunggu kita."Anisa berdiri tegak di depan jendela, menatap ke luar ke dunia yang tampaknya tidak peduli dengan apa yang sedang terjadi di dalam dirinya. Lampu-lampu jalan berkelip-kelip di kejauhan, menciptakan pola cahaya yang melintasi malam yang hening. Di balik hiruk-pikuk kota, yang biasanya penuh dengan kehidupan dan energi, kini terasa sepi, seolah setiap detilnya mengabaikan kegelisahan yang menggerogoti hati Anisa. Keheningan itu semakin memperburuk perasaan hampa yang ia rasakan.Perlahan, suara desahan napasnya terdengar, seperti sebuah keluhan yang dip
last updateLast Updated : 2024-11-30
Read more

Bab 17: Ledakan Keputusan

Ledakan mengguncang malam, memecah kesunyian yang baru saja mengintai. Suara itu menghantam udara seperti lonceng kematian, menggema di antara bangunan-bangunan tua. Pecahan bata dan kaca berhamburan, berkilauan sesaat sebelum terbenam dalam debu tebal yang merayap liar, menyelimuti segalanya. Anisa langsung merunduk, instingnya mengambil alih, sementara tangannya secara refleks mencengkeram lengan Dimas dengan erat. Napas mereka putus-putus, dada naik turun seiring adrenalin yang berdenyut liar di setiap pembuluh darah.“Dimas, kau baik-baik saja?” suara Anisa rendah, namun ada nada gentar yang tak bisa ia sembunyikan. Dimas hanya mengangguk cepat, matanya tetap fokus mengawasi celah-celah yang ditinggalkan debu.Di antara kabut serpihan yang memadati udara, sebuah siluet muncul perlahan, kokoh dan tidak tergoyahkan oleh kekacauan. Anisa mengangkat pandangannya, matanya bertemu dengan sosok Arief yang berdiri tegak. Wajah pria itu tertutup debu, tetapi ekspresinya tetap tak tergoyahk
last updateLast Updated : 2024-12-01
Read more

Bab 18: Kebenaran yang Terkubur

Anisa memandangi dokumen di tangannya dengan tatapan kosong, seperti menatap jurang tanpa dasar. Jemarinya gemetar, hampir tidak mampu memegang kertas yang terasa lebih berat dari apa pun yang pernah ia angkat sebelumnya. Suasana gudang tua itu berubah drastis—menjadi sesak, menekan, dan mendadak sunyi. Hanya suara napas mereka yang terdengar, berbaur dengan desiran angin yang masuk melalui celah-celah dinding reyot, seolah menjadi latar yang mencekam bagi perasaan yang semakin mendesak di dadanya."Anisa, ada apa?" suara Dimas memecah keheningan, lembut tapi penuh kekhawatiran. Langkahnya pelan mendekati Anisa, seperti mencoba memahami kehancuran yang tiba-tiba tergambar jelas di wajah wanita itu. Wajahnya sendiri mengeras, matanya menyiratkan keinginan untuk melindungi.Anisa tidak menjawab. Ia hanya menggelengkan kepala pelan, tetapi tatapannya tetap terpaku pada dokumen itu—tatapan yang seolah berusaha membaca ulang kebenaran yang terasa seperti tamparan keras. Tulisan-tulisan for
last updateLast Updated : 2024-12-02
Read more

Bab 19: Pilihan yang Menentukan

Suara deru mesin mobil yang mendekat semakin menggetarkan tanah, sementara Anisa berdiri di tempat yang seakan membeku. Hatinya berpacu dengan cepat, seolah-olah jantungnya hampir keluar dari dadanya. Pria tua itu, yang sebelumnya tampak rapuh, kini menjadi sosok yang lebih misterius dan mendesak. Semua yang ia pikirkan tentang ayahnya, tentang perusahaannya, tentang dirinya sendiri, kini terombang-ambing."Mereka datang," kata pria tua itu dengan suara rendah dan tegas, seolah sudah mengetahui setiap langkah yang akan diambil selanjutnya.Dimas berdiri lebih dekat, menatap pria itu dengan curiga. "Siapa mereka? Apa yang kamu tahu tentang ini?" tanyanya, suaranya penuh ketegangan.Pria itu menghela napas panjang, matanya yang tajam menatap jauh ke dalam mata Anisa. "Orang yang datang itu lebih dari sekadar musuh. Mereka adalah bagian dari organisasi yang jauh lebih besar, dan tujuan mereka bukan hanya menghancurkan perusahaanmu, tapi juga menghancurkanmu, Anisa. Mereka sudah memantaum
last updateLast Updated : 2024-12-02
Read more

Bab 20: Sosok di Balik Bayangan

Semua mata tertuju pada pria bertopi hitam itu. Langkahnya tegas, setiap gerakannya membawa tekanan yang membuat ruangan terasa lebih sempit. Pria itu berdiri di hadapan kelompok berseragam, memberi isyarat dengan satu tangan. Dengan patuh, mereka menurunkan senjata mereka, meskipun tatapan mereka tetap tajam dan waspada.Anisa memandangi pria itu dengan hati-hati. Ada sesuatu yang familiar dalam caranya berdiri—seolah-olah ia pernah melihat siluet itu sebelumnya. Namun, pikirannya tidak mampu menyusun potongan-potongan ingatan yang tercerai-berai."Siapa kau?" Anisa bertanya, mencoba menjaga ketenangan dalam suaranya meskipun hatinya berdebar.Pria itu tidak langsung menjawab. Ia tetap berdiri dengan tenang di tengah ketegangan yang menggantung di udara, kedua tangannya menyentuh tepi topinya. Perlahan, ia membuka topi tersebut, memperlihatkan wajahnya—wajah penuh guratan yang seperti peta perjalanan hidup yang berat. Kerutan-kerutan tajam di dahinya berbicara tentang badai kehidupan
last updateLast Updated : 2024-12-03
Read more
PREV
1234
Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status