Home / Romansa / Mempelai yang Tak Diharapkan / Chapter 161 - Chapter 170

All Chapters of Mempelai yang Tak Diharapkan: Chapter 161 - Chapter 170

188 Chapters

Akad nikah.

"Tunggu Ratih, aku bisa jelasin." Anindya berusaha melepas tangan Gibran dan berniat menyusul sahabatnya itu, namun genggaman di tangannya makin mengerat. "Hentikan drama kalian! Jangan buat keluarga kita bertambah malu," bisik Gibran. Anindya menatap Gibaran tajam, mulutnya sudah terbuka untuk membalas ucapan pria itu. Namun wajah sang papa yang menunjukkan kekhawatiran membuatnya menelan kembali kalimat yang sudah di ujung lidahnya. "Jangan membuat tamu kita menungu lebih lama lagi, cepat duduk di kursi kalian!" perintah Ibra tegas. Anindya menurut dia mengikuti Gibran yang kini menggenggam jemarinya, menuntun ke arah kursi yang sudah diasiapkan untuk akad nikah dengan Penghulu dan saksi yang sudah duduk di tempatnya. Sembari berjalan Anindya mencari keberadaan Tari. Kakak iparnya itu harus menolongnya untuk menjelaskan kesalahpahamannya dengan Ratih. Entah apa yang terjadi sebelumnya sampai Ratih ketahuan dan dipermalukan di depan semua tamu undangan. Sayangnya samp
last updateLast Updated : 2024-12-02
Read more

Pedebatan suami istri

Sampai di rumah perdebatan Ganendra dan Jihan berlanjut. Dimulai dengan gerutuan Ganendra ditambab kekesalan Jihan. Jadilah perdebatan kembali memanas. Ibra yang melihat putra dan menantunya berselisih faham memilih untuk membawa cucynya masuk ke dalam kamarnya. Untuk sementara waktu Ibra akan tinggal di kediaman Rahardian untuk menjaga cucu pertamanya sampai kedua orang tuanya kembali. "Bukannya senang Anindya menikah, malah ikut-ikutan Tari berencana membatalkan pernikahannya," gerutu Ganendra yang langsung mendapatkan tatapan tajam dari Jihan. "Apa ada yang salah? Benarkan yang aku katakan, harusnya kamu senang Anindya menikah, kamu tidak perlu cemburu lagi," sambungnya. "Cemburu?" Jihan menghadapkan tubuhnya pada Ganendra. "Lebih tepatnya, Marah. Dan itu karena ada pemicunya." Wanita bermata bulat itu mengireksi kamlimat suaminya. "Ck... sama aja. Marah juga karena cemburu." "Beda," tegas Jihan. "Ok marah bukan cemburu. Dan sekarang setelah Anindya sudah menikah
last updateLast Updated : 2024-12-02
Read more

Pernikahan tanpa cinta.

Di ujung ranjang Anindya termenung. Masih dengan gaun yang dipakai untuk resepsi pernikahan sore tadi. Entah sudah berapa kali dia menghela nafas. Wanita berwajah manis itu masih terngiang dengan suara Gibran yang melafalkan namanya dengan menjabat tangan sang papa. Bahkan jantungnya masih berdebar-debar sampai sekarang. Bukan debaran karena cinta namun debar yang ditimbulkan karena rasa takut yang begitu besar. Helaan nafas berat kembali terdengar untuk yang ke sekian kalinya. 'Oh... Tuhan.... nyata kah ini? Tanpa kuduga kini aku benar-benar telah menjadi seorang istri, bisakah aku bahagia dengannya?' batinnya terus saja mengeluh. Ada rasa tidak rela menyerahkan hidupnya untuk pria yang tidak pernah diharapkan dan dicintainya. Tak hanya keluhan, ada banyak pertanyaan mengusik hati dan pikirannya. Membuatnya semakin bimbang dengan keputusannya menikahi Gibran Narendra. Bisakah dia mengabdikan dirinya pada Gibran sebagai seorang istri yang baik tanpa adanya rasa cinta? Lal
last updateLast Updated : 2024-12-03
Read more

Kehidupan Anindya setelah menikah. (Pov Anindya)

Pov Anindya. Sudah satu bulan ini aku tinggal di rumah Gibran. Sejak itu pula semua pergerakanku dibatasi. Kemana pun aku pergi harus diatar sopir dan ditemani satu bodyguard. Alasannya karena papa dan kak Satya takut aku akan kembali bertemu dengan Danisa dan bersekongkol untuk mencelakai Mbak Tari. Seandainya saja mereka tahu, jika wanita yang terobsesi dengan Kak Satya itu saat ini sangat membenciku. Kemungkinan besar jika kami bertemu dia pasti akan membunuhku. Ponselku juga belum dikembalikan. Hanya saat Mbak Tari menelpon dan ingin bicara denganku barulah ponselku dikembalikan, tapi tentu saja dalam pengawasahan Papa dan Gibran. Mereka masih berpikir aku masih ingin meminta bantuan Mbak Tari untuk membatalkan pernikahanku dan Gibran. Satu-satunya kelemahan Om Ibra dan Kak Satya adalah Mbak Tari, itu sebabnya saat pernikahanku Mbak Tari dibawa pergi oleh Kak Satya. Seiring berjalannya waktu kini aku bisa menerima semua yang terjadi. Mungkin ini jalan yang diber
last updateLast Updated : 2024-12-04
Read more

Memantabkan hati untuk bertahan.

"Jangan takut, katakan sejujurnya. Aku akan pulang dan menyelesaikan semuanya. Jika itu masalah uang, akan kuberikan uangku pada Gibran. Kalau masalah Papa aku akan mengurusnya." Jantung Aisyah dan berdebar menunggu jawaban Anindya. Gadis 22 tahun itu menghela nafas panjang dengan kedua tangan saling meremas. Seolah sedang menahan sesuatu yang ingin sekarang diungkapkannya. Aisyah pun bangkit, namun belum sempat melangkah tangannya sudah dicekal oleh Farhan. "Biarkan," bisik Farhan di telinga istrinya. Pria itu ingin melihat apa yang akan dilakukan putri mereka. Apakah putrinya itu tega mengadu domba orang tuanya dengan Tari. Atau menekan keinginannya untuk pergi. Anindya melirik ekspresi kedua orang tuanya. Dia tahu kedua orang itu pasti khawatir jika Tari ikut campur dalam masalah keluarga mereka. Karena itu pasti akan berimbas pada keharmonisan rumah tangga Satya dan Tari. Putri Ibra itu cukup keras jika menginginkan sesuatu. Sama seperti Ibra, jika merasa benar akan b
last updateLast Updated : 2024-12-05
Read more

Banyak rahsia.

"Ya... emang suamimu itu gil*. Kamu aja yang bodoh maunya dinikahi pria tempramen dan sakit jiwa kayak Gibran," ujar Gendis keceplosan. "Hah.... mak-sudnya?" Anindya menatap Gendis dan ibunya bergantian. Galuh, ibunya Gendis buru-buru mencubit tangan putrinya. "Walah.... jangan ambil hati ucapan Gendis, dia memang suka ngawur kalau bicara." Wanita yang sudah lebih dari lima tahun tinggal di negara tetangga itu memberi kode putrinya dengan tatapan matanya. Mengerti, Gendis langsung nyengir, "Iya.... aku cuma bercanda kok, jangan ambil hati ya....." ucap Gendis sambil mengibaskan tangannya ke depan. "Gibran kan suka marah-marah, kadang aku suka keceplosan bilang dia gil*, gak waras dan sakit jiwa." Katanya menjelaskan. Anindya memicingkan matanya, entah kenapa dia sama sekali tidak percaya jika ucapan Gendis itu hanya candaan. Dari semua kerabat, hanya keluarha Galuh yang sangat berbeda. Tidak seperti saudara-saudara Gibran yang lain Galuh tidak menganggap penting gelar
last updateLast Updated : 2024-12-06
Read more

Saudara kandung

Setelah sarapan Anindya berangkat ke tempat pertemuan bersama Galuh dan Gendis. Seperti kata Galuh, semalam Atikah mertua Anindya menelpon, memberi tahunya agar datang ke pertamuan keluarga yang akan diadakan di hotel milik keluarga Gibran. "Gibran pasti lupa memberitahumu, besok ada pertemuan keluarga untuk menyambut kedatangan Ayra salah satu anggota keluarga kita. Pakai dress yang Mama belikan seminggu yang lalu. Kamu mengerti kan?" perintah Atikah semalam malalui sambungan telpon. Sebelumnya Anindya hanya tahu Gibran hanya memiliki seorang adik perempuan bernama Gia yang masih duduk di bangku SMA. Meski ingin sekali bertanya tentang siapa Ayra tapi Anindya menahan diri. Seperti perintah Gibran, jangan pernah ikut campur atau bertanya tentang masalah pribadinya. Dan sepertinya Ayra adalah salah satunya. Semalam Atikah juga meminta pengertian Anindya karena Gibran yang akan menjemput Ayra di bandara dan langsung membawanya ke hotel. Itu artinya Anindya harus berangkat sendir
last updateLast Updated : 2024-12-08
Read more

Mulai akrab dengan Gia

"Wah.... Jangan-jangan Mbak Anin jatuh cinta sama Mas Guntur?" celetuk Gia yang langsung membuat wajah Anindya memerah karena malu. Guntur tak bisa menahan tawanya, pria berwajah dingin itu membuang muka, tak ingin kegahuan jika fia tertawa karena sikap konyol gadis di depannya itu. Seumur hidupnya baru kali ini dia bertemu wanita yang tak tahu malu seperti adik iparnya itu. 'Bisa-bisanya menatap pria asing seperti itu,' batin Guntur menggelengkan kepalanya. "Husstt... jangan bicara sembarangan, nanti kalau ada yang dengar jadi salah faham," tegur Atikah menepuk lengan Gia. Ada yang aneh dalam pandangan Anindya, menurutnya apa yang dikatakan Gia hanya guyonan yang tak serius, tapi raut wajah Atikah malah terlihat khawatir. "Gia hanya bercanda, Mah." Lelaki berwajah dingin itu menjelaskan dengan senyum tipis yang menenangkan Atikah. "Iya, maaf Mama terlalu panik," ucap Atikah mengangguk lega. "Ternyata bisa senyum juga," gumam Anindya sambil menundukkan kepala.
last updateLast Updated : 2024-12-09
Read more

Lepas dari amukan Gibran.

"Anin.... Anin...kamu di dalam?" Gibran menghentikan gerakan tangannya yang diatas udara dan menajamkan pendengarannya, mengingat suara yang tak asing sedang memanggil nama istrinya dari balik pintu. "Anindya kamu di dalam kan? Nin, jawab!! Tante Atikah memintaku mencarimu," teriak Gendis sambil sesekali menggedor pintu toilet. Suara di balik pintu itu milik Gendis, sepupu Gibran. Gendis dan Galuh sempat melihat Gibran membaww Anindya keluar dengan wajah menahan amarah. Galih yang khawatir terjadi sesuatu pada Anindya segera meminta putrinya untuk menyusul. "Nin.... aku masuk ya, buka pintunya!!" Lagi, Gendis berusaha membuka pintu toilet dari luar. Mau tak mau Gibran melepaskan cengkeraman tangannya di lengan rambut Anindya. Dia menghela nafas beberapa kali untuk meredakan emosinya yang sempat naik. "Kita lanjutkan nanti di rumah," ucapnya pada Anindya yang langsung membuat gadis itu merasa lega namun juga cemas. Anindya menghela nafas panjang sambil memegangi dad
last updateLast Updated : 2024-12-10
Read more

tidak pulang

"Sebaiknya kamu berhati-hati selama ada Ayra. Dia bisa melakukan hal yang tidak pernah kamu bayangkan," Ucapan Gendis seolah nyanyian yang terus terngiang di telinganya. Sudah pukul sebelas malam namun rasa kantuk belum juga menghampirinya. Jika biasanya sepulang dari bimbel Anindya akan sangat mengantuk namun tidak hari ini. Rasa lelah itu sepertinya tak bisa mengusir rasa penasaran yang memenuhi pikiran dan hatinya. "Wyuhhhhh..." Anindya mendengus kasar. Sejak tadi gadis 20 tahunan itu belum menemukan posisi ternyaman di atas ranjangnya. Miring ke kiri terasa tak enak, miring kanan juga begitu. Terlentang tak nyaman, tengkurap sulit bernafas. "Kenapa jadi nggak nyaman begini," gerutunya pada diri sendiri lalu menutup mata berusaha untuk tidur. Kegiatan besok pagi cukup padat, dia butuh istirahat lebih awal. Namun baru beberapa detik mata berbulu lentik itu kembali terbuka. Tiba-tiba bayangan wajah garang Gibran muncul dan membuatnya takut. Ditambah lagi dengan kata-kata Gendis,
last updateLast Updated : 2024-12-12
Read more
PREV
1
...
141516171819
DMCA.com Protection Status