Sampai di rumah perdebatan Ganendra dan Jihan berlanjut. Dimulai dengan gerutuan Ganendra ditambab kekesalan Jihan. Jadilah perdebatan kembali memanas. Ibra yang melihat putra dan menantunya berselisih faham memilih untuk membawa cucynya masuk ke dalam kamarnya. Untuk sementara waktu Ibra akan tinggal di kediaman Rahardian untuk menjaga cucu pertamanya sampai kedua orang tuanya kembali. "Bukannya senang Anindya menikah, malah ikut-ikutan Tari berencana membatalkan pernikahannya," gerutu Ganendra yang langsung mendapatkan tatapan tajam dari Jihan. "Apa ada yang salah? Benarkan yang aku katakan, harusnya kamu senang Anindya menikah, kamu tidak perlu cemburu lagi," sambungnya. "Cemburu?" Jihan menghadapkan tubuhnya pada Ganendra. "Lebih tepatnya, Marah. Dan itu karena ada pemicunya." Wanita bermata bulat itu mengireksi kamlimat suaminya. "Ck... sama aja. Marah juga karena cemburu." "Beda," tegas Jihan. "Ok marah bukan cemburu. Dan sekarang setelah Anindya sudah menikah
Di ujung ranjang Anindya termenung. Masih dengan gaun yang dipakai untuk resepsi pernikahan sore tadi. Entah sudah berapa kali dia menghela nafas. Wanita berwajah manis itu masih terngiang dengan suara Gibran yang melafalkan namanya dengan menjabat tangan sang papa. Bahkan jantungnya masih berdebar-debar sampai sekarang. Bukan debaran karena cinta namun debar yang ditimbulkan karena rasa takut yang begitu besar. Helaan nafas berat kembali terdengar untuk yang ke sekian kalinya. 'Oh... Tuhan.... nyata kah ini? Tanpa kuduga kini aku benar-benar telah menjadi seorang istri, bisakah aku bahagia dengannya?' batinnya terus saja mengeluh. Ada rasa tidak rela menyerahkan hidupnya untuk pria yang tidak pernah diharapkan dan dicintainya. Tak hanya keluhan, ada banyak pertanyaan mengusik hati dan pikirannya. Membuatnya semakin bimbang dengan keputusannya menikahi Gibran Narendra. Bisakah dia mengabdikan dirinya pada Gibran sebagai seorang istri yang baik tanpa adanya rasa cinta? Lal
Pov Anindya. Sudah satu bulan ini aku tinggal di rumah Gibran. Sejak itu pula semua pergerakanku dibatasi. Kemana pun aku pergi harus diatar sopir dan ditemani satu bodyguard. Alasannya karena papa dan kak Satya takut aku akan kembali bertemu dengan Danisa dan bersekongkol untuk mencelakai Mbak Tari. Seandainya saja mereka tahu, jika wanita yang terobsesi dengan Kak Satya itu saat ini sangat membenciku. Kemungkinan besar jika kami bertemu dia pasti akan membunuhku. Ponselku juga belum dikembalikan. Hanya saat Mbak Tari menelpon dan ingin bicara denganku barulah ponselku dikembalikan, tapi tentu saja dalam pengawasahan Papa dan Gibran. Mereka masih berpikir aku masih ingin meminta bantuan Mbak Tari untuk membatalkan pernikahanku dan Gibran. Satu-satunya kelemahan Om Ibra dan Kak Satya adalah Mbak Tari, itu sebabnya saat pernikahanku Mbak Tari dibawa pergi oleh Kak Satya. Seiring berjalannya waktu kini aku bisa menerima semua yang terjadi. Mungkin ini jalan yang diber
"Jangan takut, katakan sejujurnya. Aku akan pulang dan menyelesaikan semuanya. Jika itu masalah uang, akan kuberikan uangku pada Gibran. Kalau masalah Papa aku akan mengurusnya." Jantung Aisyah dan berdebar menunggu jawaban Anindya. Gadis 22 tahun itu menghela nafas panjang dengan kedua tangan saling meremas. Seolah sedang menahan sesuatu yang ingin sekarang diungkapkannya. Aisyah pun bangkit, namun belum sempat melangkah tangannya sudah dicekal oleh Farhan. "Biarkan," bisik Farhan di telinga istrinya. Pria itu ingin melihat apa yang akan dilakukan putri mereka. Apakah putrinya itu tega mengadu domba orang tuanya dengan Tari. Atau menekan keinginannya untuk pergi. Anindya melirik ekspresi kedua orang tuanya. Dia tahu kedua orang itu pasti khawatir jika Tari ikut campur dalam masalah keluarga mereka. Karena itu pasti akan berimbas pada keharmonisan rumah tangga Satya dan Tari. Putri Ibra itu cukup keras jika menginginkan sesuatu. Sama seperti Ibra, jika merasa benar akan b
"Ya... emang suamimu itu gil*. Kamu aja yang bodoh maunya dinikahi pria tempramen dan sakit jiwa kayak Gibran," ujar Gendis keceplosan. "Hah.... mak-sudnya?" Anindya menatap Gendis dan ibunya bergantian. Galuh, ibunya Gendis buru-buru mencubit tangan putrinya. "Walah.... jangan ambil hati ucapan Gendis, dia memang suka ngawur kalau bicara." Wanita yang sudah lebih dari lima tahun tinggal di negara tetangga itu memberi kode putrinya dengan tatapan matanya. Mengerti, Gendis langsung nyengir, "Iya.... aku cuma bercanda kok, jangan ambil hati ya....." ucap Gendis sambil mengibaskan tangannya ke depan. "Gibran kan suka marah-marah, kadang aku suka keceplosan bilang dia gil*, gak waras dan sakit jiwa." Katanya menjelaskan. Anindya memicingkan matanya, entah kenapa dia sama sekali tidak percaya jika ucapan Gendis itu hanya candaan. Dari semua kerabat, hanya keluarha Galuh yang sangat berbeda. Tidak seperti saudara-saudara Gibran yang lain Galuh tidak menganggap penting gelar
Setelah sarapan Anindya berangkat ke tempat pertemuan bersama Galuh dan Gendis. Seperti kata Galuh, semalam Atikah mertua Anindya menelpon, memberi tahunya agar datang ke pertamuan keluarga yang akan diadakan di hotel milik keluarga Gibran. "Gibran pasti lupa memberitahumu, besok ada pertemuan keluarga untuk menyambut kedatangan Ayra salah satu anggota keluarga kita. Pakai dress yang Mama belikan seminggu yang lalu. Kamu mengerti kan?" perintah Atikah semalam malalui sambungan telpon. Sebelumnya Anindya hanya tahu Gibran hanya memiliki seorang adik perempuan bernama Gia yang masih duduk di bangku SMA. Meski ingin sekali bertanya tentang siapa Ayra tapi Anindya menahan diri. Seperti perintah Gibran, jangan pernah ikut campur atau bertanya tentang masalah pribadinya. Dan sepertinya Ayra adalah salah satunya. Semalam Atikah juga meminta pengertian Anindya karena Gibran yang akan menjemput Ayra di bandara dan langsung membawanya ke hotel. Itu artinya Anindya harus berangkat sendir
"Wah.... Jangan-jangan Mbak Anin jatuh cinta sama Mas Guntur?" celetuk Gia yang langsung membuat wajah Anindya memerah karena malu. Guntur tak bisa menahan tawanya, pria berwajah dingin itu membuang muka, tak ingin kegahuan jika fia tertawa karena sikap konyol gadis di depannya itu. Seumur hidupnya baru kali ini dia bertemu wanita yang tak tahu malu seperti adik iparnya itu. 'Bisa-bisanya menatap pria asing seperti itu,' batin Guntur menggelengkan kepalanya. "Husstt... jangan bicara sembarangan, nanti kalau ada yang dengar jadi salah faham," tegur Atikah menepuk lengan Gia. Ada yang aneh dalam pandangan Anindya, menurutnya apa yang dikatakan Gia hanya guyonan yang tak serius, tapi raut wajah Atikah malah terlihat khawatir. "Gia hanya bercanda, Mah." Lelaki berwajah dingin itu menjelaskan dengan senyum tipis yang menenangkan Atikah. "Iya, maaf Mama terlalu panik," ucap Atikah mengangguk lega. "Ternyata bisa senyum juga," gumam Anindya sambil menundukkan kepala.
"Anin.... Anin...kamu di dalam?" Gibran menghentikan gerakan tangannya yang diatas udara dan menajamkan pendengarannya, mengingat suara yang tak asing sedang memanggil nama istrinya dari balik pintu. "Anindya kamu di dalam kan? Nin, jawab!! Tante Atikah memintaku mencarimu," teriak Gendis sambil sesekali menggedor pintu toilet. Suara di balik pintu itu milik Gendis, sepupu Gibran. Gendis dan Galuh sempat melihat Gibran membaww Anindya keluar dengan wajah menahan amarah. Galih yang khawatir terjadi sesuatu pada Anindya segera meminta putrinya untuk menyusul. "Nin.... aku masuk ya, buka pintunya!!" Lagi, Gendis berusaha membuka pintu toilet dari luar. Mau tak mau Gibran melepaskan cengkeraman tangannya di lengan rambut Anindya. Dia menghela nafas beberapa kali untuk meredakan emosinya yang sempat naik. "Kita lanjutkan nanti di rumah," ucapnya pada Anindya yang langsung membuat gadis itu merasa lega namun juga cemas. Anindya menghela nafas panjang sambil memegangi dad
"Sah?" ucap penghulu setelah selesai0 Guntur mengucapkan janji suci atas nama Anindya dengan menjabat tangan Farhan, ayah kandung dari wanita yang saat ini sedang menunggu di ruang tunggu pengantin dengan jantung berdegup kencang. Hanya dengan satu tarikan nafas, lafadz itu berhasil Guntur ucapkan tanpa kesalahan, meski disertai rasa gugup dan detak jantung yang tak beraturan. Ac ruangan seolah tak bisa mendinginkan tubuhnya entah kenapa mengeluarkan keringan sebesar biji jagung dari kedua pelipisnya. "Sah," seru Ibra dan seorang pria dari pihak keluarga mempelai laki-laki. Guntur memejamkan matanya sembari menghela nafas panjang, berusaha menetralkan degup jantungnya yang sudah seperti genderang perang. "Alhamdulillah....." ucapnya yang entah kenapa berbarengan dengan Anindya yang ada di ruang tunggu. Gadis itu menakupkan kedua telapak tangannya saat lantunan do'a terdengar. Tak hanya kedua mempelai yang merasa terharu hampir semua yang hadir di ruangan private wedding itu
"Banyak hal dalam hidup Guntur yang sudah kau ambil. Apa otak cerdasmu itu tidak mampu menghitungnya?" "Memangnya apa yang sudah aku ambil, Pa? Tolong jelaskan aku benar-benar tidak faham," tanya Gibran berusaha sopan meski ada rasa tidak terima bergemuruh di dalam dadanya. Selama hidupnya, Gibran tidak pernah mengusik Guntur. Apapun yang dilakukan kakaknya itu Gibran tak pernah sekalipun ikut campur. Jangankan melarang, memprotes saja tidak. Sebaliknya, Guntur yang selalu ikut campur urusan Gibran. "Kenapa Papa diam? Ayo jelaskan," pinta Gibran tak sabar. Ario, mendesah berat. Ada rasa enggan untuk membahas apa yang sudah berlalu. Ibarat membuka luka lama. Namun, putra keduanya itu harus tahu sebesar apa pengorbanan Guntur untuk dirinya. Ario menghela nafas panjang sebelum bicara. "Apakah hatimu sedingin itu sampai tak bisa melihat betapa besar pengorbanan kakakmu itu?" "Maksudnya apa? Tolong bicara yang jelas," ujar Gibran tak sabar. Ario pun tak lagi segan. "Hal
"Kudengar kamu menemui wanita itu?" tanya Ario pada Gibran saat makan malam. Hari ini Gibran pulang lebih awal dari biasanya. Tentu karena permintaan sang papa. Katanya ada yang perlu dibicarakan. Meski enggan Gibran menuruti permintaan papanya itu. Gibran mengangkat wajahnya memandang Ario sedang menatapnya sembari mengunyah makanan di mulutnya. "Hemm," jawab Gibran singkat, lalu kembali menunduk fokus dengan makanannya. "Untuk apa wanita itu menemuimu?" tanya Ario lagi. Gibran mendesah berat, mereka sedang makan malam bersama setelah beberapa waktu tidak ada waktu untuk berkumpul seperti ini. Diliriknya Gia yang terlihat menghentikan gerak tangannya. Gadis itu juga nampak menahan tak senang. Dalam hati Gibran merutuki sikap papanya yang tidak tahu tempat. Tidak pernah bisa mencari waktu yang tepat untuk membicarakan sesuatu yang tentu saja sangat sensitif untuk dibahas di rumah mereka. Saat ini mereka sedang makan malam bersama, meski masalah itu penting setidakny
"Coba tebak kenapa aku tidak menolak?" tanya balik Atika. Sebuah ekspresi yang sulit Gibran baca. Satu alis Gibran terangkat. Matanya berusaha membaca ekspresi wajah Atika. Dari sorot mata wanita itu tersirat luka dan kekecewaan yang mendalam. Tatapan itu juga menyimpan dendam yang amat sangat. Entah itu pada keluarga Gibran atau malah pada Gibran sendiri. "Coba tebak," ujar Atika mengangkat dagunya. Gibran mendesah berat. "Sayangnya saya tidak suka main tebak-tebakan," katanya enggan. Pria itu tidak mau menunjukkan rasa penasarannya. Tidak ingin memberi kesempatan untuk Atika kembali mempermainkan rasa ibanya. Kalaupun Atika tidak mau bercerita, Gibran masih punya banyak sumber informasi lain yang bisa dia tanyai. Sadar umpannya tak mengenai sasaran, Atika menghela nafas panjang. Meski begitu wanita itu tak putus asa. Jika kali ini tidak berhasil dia akan mencari cara lain. Gibran adalah putra yang dibesarkannya dari bayi sampai dewasa, tentu saja dirinya tahu aoay ya
Pagi ini Gibran kembali menerima pesan dari Atika. Mantan ibu tirinya itu memberi kabar, jika dirinya sudah sampai di Indonesia sejak kemarin malam. Dan siang ini wanita itu meminta waktu untuk bertemu. Meski enggan tapi pria itu tak sampai hati menolak permintaan wanita yang dulu pernah amat sangat disayanginya. Di sela-sela kesibukannya, putra kedua keluarga Wiratama itu menyempatkan datang ke sebuah resto di pusat kota, tempat yang dipilih Atika untuk menunggu pria itu. Pukul satu lebih Gibran baru sampai di resto bergaya Italia itu. Satu jam lebih lambat dari permintaan Atika. Sebuah meeting dadakan yang cukup penting tidak mungkin diakhirinya demi menemui wanita yang sudah menipunya puluhan tahun. Gibran melangkah masuk dengan diikuti Andi, asisten setianya. Dia sudah tidak berharap Atika masih menunggu, kalaupun wanita itu sudah pergi tapi setidaknya dirinya dan sang asisten harus makan siang. Tapi ternyata Gibran salah, wanita berwajah kalem itu masih duduk tenan
"Dua tahun aku mengalah. Menahan diri untuk memperjuangkan rasaku padanya demi untuk memberimu kesempatan untuk memperjuangkan cintamu. Tapi apa, kamu hanya diam di tempat. Kamu membiarkan di sana dia sendiri bersama lukanya. Apakah itu yang kamu sebut cinta?" "Aku menunggunya untuk..... untuk...." Mendadak otak Gibran kosong. Tak ada kata yang tepat untuk membenarkan sikapnya yang hanya diam saja selama dua tahun ini. Guntur mendesah berat, ada rasa iba melihat adiknya kembali kehilangan orang yang dicintainya, namun dirinya juga tidak ingin melepaskan cinta yang sudah diperjuangkannya dengan mempertaruhkan harga dirinya juga kedudukan sebagai CEO pun dilepasnya demi Anindya. "Dia tidak terluka karena kamu. Harusnya kamu masih bisa mendekatinya sebagai teman. Menemaninya mengobati luka hatinya," kata Guntur lagi. "Aku pikir dengan memberinya waktu adalah cara terbaik untuk menyembuhkan lukanya. Bukankah waktu adalah obat terbaik?" Gibran menatap lekat Guntur. "Salah, wa
Gibran sampai rumah pukul delapan pagi setelah menggunakan penerbangan pertama dini hari dari bandara Juanda Surabaya. Semalaman Gibran ditemani Andi menjelajahi kota yang terkenal dengan kota pahlawan itu. Untuk mengalahkan rasa sakit hatinya pria dingin itu menyewa tour guide lewat onlin untuk mengantarkan mereka mencari tempat makan unik dan kuliner khas kota itu di malam hari. Dari Bandara mobil yang di kendarai oleh Andi berhenti di halaman rumah mewah keluarga Wiratama. "Kamu bawa saja mobilnya. Pagi ini kamu tidak perlu ke kantor. Suruh Cika menghandle semuanya," ucap Gibran begitu mobil berhenti. "Baik Pak," "Jangan lupa siang nanti kita ada meeting, kamu jemput saya." Tambahnya sebelum turun. Dengan langkah lebar Gibran memasuki rumah yang sudah dua tahun ini terasa sangat sepi. Apalagi saat pagi. Ario, sang papa pasti sibuk di kantor dan Anggia, adik bungsunya sepengetahuannya masih menghabiskan waktu libur kuliahnya di Surabaya.Atika sang Mama, yang dulu
Sudah satu jam Gibran duduk termenung di salah satu kursi tunggu di bandara Juanda Surabaya. kepalanya menunduk menatap ujung sepatunya dengan tangan saling bertautan kuat. Berusaha menahan rasa pilu dari luka yang kini menganga di hatinya. Suara lembut Anindya beberapa jam yang lalu masih terus terngiang-ngiang di otaknya. "Iya, aku menerimanya. Dua minggu lagi kami akan menikah." Seperti di gempur tsunami dari samudera, ucapan Anindya seketika memporak-porandakan hatinya sampai hancur berkeping-keping. Bagaimana hatinya tidak terluka, wanita yabg dia cintai akan menikahi kakak kandungnya. Dirinya saja bekum bisa merelakan perpisahan mereka dan hanya kurang dari empat belas hari cintanya itu akan jadi kakak iparnya. Tidak adakah pria lain yang bida dicintai Anindya selain Guntur? Tidak bisakah gadis itu memikirkan perasaannya? Entah sudah berapa kali desahan berat keluar dari bibir tipisnya. Sesak itu benar-benar terasa menyesakkan dadanya hingga membuat pria yang
Anindya jadi kesal sendiri jika teringat kejadian lamaran kemarin. Ternyata semua sudah direncanakan oleh Guntur. Natalie dan semua keluarga mereka sengaja diminta pria itu untuk mengikuti skenario yang dibuat olehnya. Entah apa yang sudah dilakukan oleh Guntur sampai bisa meluluhkan hati Farhan dan Satya sampai-sampai dua pria keras kepala itu setuju membantu Guntur untuk mendapatkan Anindya meski dengan jalan menipu gadis itu. Satu bulan sebelum hari H berbagai persiapan sudah mulai dilakukan oleh kedua belah keluarga. K3dua mempelai hanya bisa pasrah karena kesibukan pekerjaan dan kuliah. Jadilah seluruh persiapan diambil alih oleh pihak keluarga. Dari keluarga Anindya tentu saja Aisyah dan Tari yang pegang kendali. Mertua dan menantu itu sangat bersemangat dalam mengurus segala keperluan untuk pernikahan Anindya dan Guntur. Saking sibuknya sampai membuat Satya sempat marah karena takut membahayakan kondisi Tari yang sedang hamil anak kedua mereka. "Serahkan pada EO aja.