"Wah.... Jangan-jangan Mbak Anin jatuh cinta sama Mas Guntur?" celetuk Gia yang langsung membuat wajah Anindya memerah karena malu. Guntur tak bisa menahan tawanya, pria berwajah dingin itu membuang muka, tak ingin kegahuan jika fia tertawa karena sikap konyol gadis di depannya itu. Seumur hidupnya baru kali ini dia bertemu wanita yang tak tahu malu seperti adik iparnya itu. 'Bisa-bisanya menatap pria asing seperti itu,' batin Guntur menggelengkan kepalanya. "Husstt... jangan bicara sembarangan, nanti kalau ada yang dengar jadi salah faham," tegur Atikah menepuk lengan Gia. Ada yang aneh dalam pandangan Anindya, menurutnya apa yang dikatakan Gia hanya guyonan yang tak serius, tapi raut wajah Atikah malah terlihat khawatir. "Gia hanya bercanda, Mah." Lelaki berwajah dingin itu menjelaskan dengan senyum tipis yang menenangkan Atikah. "Iya, maaf Mama terlalu panik," ucap Atikah mengangguk lega. "Ternyata bisa senyum juga," gumam Anindya sambil menundukkan kepala.
"Anin.... Anin...kamu di dalam?" Gibran menghentikan gerakan tangannya yang diatas udara dan menajamkan pendengarannya, mengingat suara yang tak asing sedang memanggil nama istrinya dari balik pintu. "Anindya kamu di dalam kan? Nin, jawab!! Tante Atikah memintaku mencarimu," teriak Gendis sambil sesekali menggedor pintu toilet. Suara di balik pintu itu milik Gendis, sepupu Gibran. Gendis dan Galuh sempat melihat Gibran membaww Anindya keluar dengan wajah menahan amarah. Galih yang khawatir terjadi sesuatu pada Anindya segera meminta putrinya untuk menyusul. "Nin.... aku masuk ya, buka pintunya!!" Lagi, Gendis berusaha membuka pintu toilet dari luar. Mau tak mau Gibran melepaskan cengkeraman tangannya di lengan rambut Anindya. Dia menghela nafas beberapa kali untuk meredakan emosinya yang sempat naik. "Kita lanjutkan nanti di rumah," ucapnya pada Anindya yang langsung membuat gadis itu merasa lega namun juga cemas. Anindya menghela nafas panjang sambil memegangi dad
"Sebaiknya kamu berhati-hati selama ada Ayra. Dia bisa melakukan hal yang tidak pernah kamu bayangkan," Ucapan Gendis seolah nyanyian yang terus terngiang di telinganya. Sudah pukul sebelas malam namun rasa kantuk belum juga menghampirinya. Jika biasanya sepulang dari bimbel Anindya akan sangat mengantuk namun tidak hari ini. Rasa lelah itu sepertinya tak bisa mengusir rasa penasaran yang memenuhi pikiran dan hatinya. "Wyuhhhhh..." Anindya mendengus kasar. Sejak tadi gadis 20 tahunan itu belum menemukan posisi ternyaman di atas ranjangnya. Miring ke kiri terasa tak enak, miring kanan juga begitu. Terlentang tak nyaman, tengkurap sulit bernafas. "Kenapa jadi nggak nyaman begini," gerutunya pada diri sendiri lalu menutup mata berusaha untuk tidur. Kegiatan besok pagi cukup padat, dia butuh istirahat lebih awal. Namun baru beberapa detik mata berbulu lentik itu kembali terbuka. Tiba-tiba bayangan wajah garang Gibran muncul dan membuatnya takut. Ditambah lagi dengan kata-kata Gendis,
Pov Anindya. "Kejadian saat Gibran dan Ayra----" "Khem... khem..." Kalimat Tante Galuh langsung terputus saat terdengat suara berat dari arah ruang tamu. Tanpa aba-aba kamu menoleh bersamaan. Menatap ke arah suara itu berasal. Astaga..... mataku melotot, memastikan apa yang kulihat benar. Aku menelan ludah melihat sosok yang berdiri tegap dengan mata elangnya. Kulirik tante Galuh pun terkejutnya sepertiku. "Sedang apa kalian?" Suara Gibran memecah keheningan. "Ini sudah jam berapa, kenapa kamu belum tidur?" ucapnya lagi dengan tatapan mata yang menyorot kearahku. Gegas aku berdiri, "Maaf, aku cuma mau ambil minum." Kuangkat botol air minetal yang kubawa. "Tante aku duluan ya," pamitku langsung melangkah cepat meninggal ruangan yang tiba-tiba terasa dingin dan mencekam. Kutinggalkan tante Galuh begitu saja tanpa menungu wanita itu menjawab ucapanku. Aku yakin Gibran tidak akan menyakiti Tantenya. Berbeda denganku, tamparan tadi siang pasti masih membuatnya denda
"----Aku akan merobek wajahmu." Astaghfirullah...... mungkinkah dia? Aku menoleh ke sekitar mencari wanita pemilik buku ini. Rasa takut mulai merayap memenuhi hatiku. Ya Tuhan..... Dimana wanita itu? Dia.... Dengan tangan gemetaran aku membuka kembali hlaaman buku selanjutnya. Mungkin masih ada pesan terakhir karena seperti inilah dulu cara kami berkomunikasi. Degh..... Benar, di halaman terakhir terdapat sebuah kata 'Delusi' dengan huruf awalnya yang dilingkari. Jadi wanita itu,... "Sedang apa kamu di sini?" Suara berat menyentakku. Aku terkejut sampai buku yang kupegang terjatuh juga dengan selembar kertas ancaman itu. "Kau pukir kamu siapa, sampai membuatku harus turun dari mobil?" ucap Gibran dengan mata melotot. Kuhela nafas sambil mengelus dadaku yang terasa sesak karena kaget. Tak kuperdulikan, aku memilih memungut buku dan kertas yang baru saja kujatuhkan. "Tunggu apa ini?" Gibran tiba-tiba merebut kertas bertuliskan ancaman itu. "Oh itu bukan a
"Kalau bukan dia siapa?" "Ehhh... itu..." Aku melihat kearah Gibran. Pria itu nampak tenang sekali. Tak ada sedikitpun raut takut apalagi khawatir kelakukan buruknya akan ketahuan. "Dia pasti bikin onar lagi?" Semua langsung menoleh ke arah pintu penghubung ruang tengah dan halaman samping. Mas Satya dan Kak Ganendra berjalan masuk beriringan. Matanya menatapku penuh selidik dan kecurangan. Kuhela nafas, bahkan saudara kandungku saja langsung menuduhku membuat masalah tanpa bertanya dulu apa yang terjadi. "Mas," panggil Mbak Tari. "Lihat wajah dan tangan Anin, pasti seseorang sudah berbuat kasar padanya," sambungnya menunjukkan tangan dan wajahku. "Kenapa lagi, berkelahi dengan temanmu?" tanya Kak Satya. "Masalah apa lagi, kamu bully orang atau ketahuan nyontek saat ujian?" sambungnya memgabsen kesalahan yang dulu pernah kulakukan. "Astaghfirullah..... Kok ngomongnya gitu sih kamu, Mas? Anin itu adik kamu lo! Lihatlah dulu, tanya baik-baik. Jangan asal nuduh gitu," s
"Aku akan mengirim beberapa orang lagi untuk berjaga di rumah kalian dan mengawal Anindya," ucap Kak Satya yang langsung membuat hatiku menghangat. Ternyata dibalik sikap kerasnya beberapa bulan ini dia masih tetap peduli dan perhatian padaku, adik yang sudah banyak mengecewakannya. Memang semua ini salahku dan aku janji akan menebusnya. "Kamu juga harus hati-hati dan jangan lagi menyembunyikan apapun dari kami," tambah Mbak Tari. Seperti biasanya dia selalu perhatian padaku. Membuatku tidak pernah merasa sendiri meski di saat kamin berjauhan. "Iya Mbak," jawabku mengurai senyum tipis. "Gibran ikut denganku, kita perlu bicara." Kak Satya memandang Kak Ganendra lalu dua orang itu berjalan lebih dulu ke sebuah kamar yang kutahu sebagai ruang kerja Kak Ganendra. Tak lama Gibran pun bangkit dan mengikuti dua orang itu. Aku menatap punggung lebar itu dengan helaan nafas panjang. Bagaimana bisa prai tenang seperti dia memiliki temperan yang sangat buruk. Gampangan tersingg
"Benar. Itu sebabnya Ayra, putri kedua keluarga Narendra di asingkan keluar negeri selama sepuluh tahun." Jihan berbisik sambil matanya terus mengawasi pintu ruang kerja suaminya. "Hush... kamu jangan bicara sembarangan," tegur Mbak Tari terlihat tak suka. Jihan memberengut, "Dibilangin gak percaya ya sudah," ujarnya. "Emang Kamu tahu dari mana?" tanyaku yang memang sangat penasaran. Kalau saja Gibran tidak pulang semalam Tante Galuh pasti sudah menceritakan semuanya. Kejadian sepuluh tahun lalu yang membuat Ayra diasingkan ke luar negeri. Jihan langsung menatap padaku, sambil melirik ke arah pintu dia berbisik. "Dari istri-istri rekan kerja Mas Ganendra. Setiap kali aku diajak ke pestanya para pengusaha kaya, istri-istri mereka sering membicarakan keluarga mertuamu." "Mereka bilang apa?" Aku sangat penasaran, kumahukan tubuhku ke arah Jihan. "Katanya, keluarga Narendra itu punya skandal memalukan, dua anaknya saling mencintai dan menjalin hubungan terlarang." "Sia
"Benar. Itu sebabnya Ayra, putri kedua keluarga Narendra di asingkan keluar negeri selama sepuluh tahun." Jihan berbisik sambil matanya terus mengawasi pintu ruang kerja suaminya. "Hush... kamu jangan bicara sembarangan," tegur Mbak Tari terlihat tak suka. Jihan memberengut, "Dibilangin gak percaya ya sudah," ujarnya. "Emang Kamu tahu dari mana?" tanyaku yang memang sangat penasaran. Kalau saja Gibran tidak pulang semalam Tante Galuh pasti sudah menceritakan semuanya. Kejadian sepuluh tahun lalu yang membuat Ayra diasingkan ke luar negeri. Jihan langsung menatap padaku, sambil melirik ke arah pintu dia berbisik. "Dari istri-istri rekan kerja Mas Ganendra. Setiap kali aku diajak ke pestanya para pengusaha kaya, istri-istri mereka sering membicarakan keluarga mertuamu." "Mereka bilang apa?" Aku sangat penasaran, kumahukan tubuhku ke arah Jihan. "Katanya, keluarga Narendra itu punya skandal memalukan, dua anaknya saling mencintai dan menjalin hubungan terlarang." "Sia
"Aku akan mengirim beberapa orang lagi untuk berjaga di rumah kalian dan mengawal Anindya," ucap Kak Satya yang langsung membuat hatiku menghangat. Ternyata dibalik sikap kerasnya beberapa bulan ini dia masih tetap peduli dan perhatian padaku, adik yang sudah banyak mengecewakannya. Memang semua ini salahku dan aku janji akan menebusnya. "Kamu juga harus hati-hati dan jangan lagi menyembunyikan apapun dari kami," tambah Mbak Tari. Seperti biasanya dia selalu perhatian padaku. Membuatku tidak pernah merasa sendiri meski di saat kamin berjauhan. "Iya Mbak," jawabku mengurai senyum tipis. "Gibran ikut denganku, kita perlu bicara." Kak Satya memandang Kak Ganendra lalu dua orang itu berjalan lebih dulu ke sebuah kamar yang kutahu sebagai ruang kerja Kak Ganendra. Tak lama Gibran pun bangkit dan mengikuti dua orang itu. Aku menatap punggung lebar itu dengan helaan nafas panjang. Bagaimana bisa prai tenang seperti dia memiliki temperan yang sangat buruk. Gampangan tersingg
"Kalau bukan dia siapa?" "Ehhh... itu..." Aku melihat kearah Gibran. Pria itu nampak tenang sekali. Tak ada sedikitpun raut takut apalagi khawatir kelakukan buruknya akan ketahuan. "Dia pasti bikin onar lagi?" Semua langsung menoleh ke arah pintu penghubung ruang tengah dan halaman samping. Mas Satya dan Kak Ganendra berjalan masuk beriringan. Matanya menatapku penuh selidik dan kecurangan. Kuhela nafas, bahkan saudara kandungku saja langsung menuduhku membuat masalah tanpa bertanya dulu apa yang terjadi. "Mas," panggil Mbak Tari. "Lihat wajah dan tangan Anin, pasti seseorang sudah berbuat kasar padanya," sambungnya menunjukkan tangan dan wajahku. "Kenapa lagi, berkelahi dengan temanmu?" tanya Kak Satya. "Masalah apa lagi, kamu bully orang atau ketahuan nyontek saat ujian?" sambungnya memgabsen kesalahan yang dulu pernah kulakukan. "Astaghfirullah..... Kok ngomongnya gitu sih kamu, Mas? Anin itu adik kamu lo! Lihatlah dulu, tanya baik-baik. Jangan asal nuduh gitu," s
"----Aku akan merobek wajahmu." Astaghfirullah...... mungkinkah dia? Aku menoleh ke sekitar mencari wanita pemilik buku ini. Rasa takut mulai merayap memenuhi hatiku. Ya Tuhan..... Dimana wanita itu? Dia.... Dengan tangan gemetaran aku membuka kembali hlaaman buku selanjutnya. Mungkin masih ada pesan terakhir karena seperti inilah dulu cara kami berkomunikasi. Degh..... Benar, di halaman terakhir terdapat sebuah kata 'Delusi' dengan huruf awalnya yang dilingkari. Jadi wanita itu,... "Sedang apa kamu di sini?" Suara berat menyentakku. Aku terkejut sampai buku yang kupegang terjatuh juga dengan selembar kertas ancaman itu. "Kau pukir kamu siapa, sampai membuatku harus turun dari mobil?" ucap Gibran dengan mata melotot. Kuhela nafas sambil mengelus dadaku yang terasa sesak karena kaget. Tak kuperdulikan, aku memilih memungut buku dan kertas yang baru saja kujatuhkan. "Tunggu apa ini?" Gibran tiba-tiba merebut kertas bertuliskan ancaman itu. "Oh itu bukan a
Pov Anindya. "Kejadian saat Gibran dan Ayra----" "Khem... khem..." Kalimat Tante Galuh langsung terputus saat terdengat suara berat dari arah ruang tamu. Tanpa aba-aba kamu menoleh bersamaan. Menatap ke arah suara itu berasal. Astaga..... mataku melotot, memastikan apa yang kulihat benar. Aku menelan ludah melihat sosok yang berdiri tegap dengan mata elangnya. Kulirik tante Galuh pun terkejutnya sepertiku. "Sedang apa kalian?" Suara Gibran memecah keheningan. "Ini sudah jam berapa, kenapa kamu belum tidur?" ucapnya lagi dengan tatapan mata yang menyorot kearahku. Gegas aku berdiri, "Maaf, aku cuma mau ambil minum." Kuangkat botol air minetal yang kubawa. "Tante aku duluan ya," pamitku langsung melangkah cepat meninggal ruangan yang tiba-tiba terasa dingin dan mencekam. Kutinggalkan tante Galuh begitu saja tanpa menungu wanita itu menjawab ucapanku. Aku yakin Gibran tidak akan menyakiti Tantenya. Berbeda denganku, tamparan tadi siang pasti masih membuatnya denda
"Sebaiknya kamu berhati-hati selama ada Ayra. Dia bisa melakukan hal yang tidak pernah kamu bayangkan," Ucapan Gendis seolah nyanyian yang terus terngiang di telinganya. Sudah pukul sebelas malam namun rasa kantuk belum juga menghampirinya. Jika biasanya sepulang dari bimbel Anindya akan sangat mengantuk namun tidak hari ini. Rasa lelah itu sepertinya tak bisa mengusir rasa penasaran yang memenuhi pikiran dan hatinya. "Wyuhhhhh..." Anindya mendengus kasar. Sejak tadi gadis 20 tahunan itu belum menemukan posisi ternyaman di atas ranjangnya. Miring ke kiri terasa tak enak, miring kanan juga begitu. Terlentang tak nyaman, tengkurap sulit bernafas. "Kenapa jadi nggak nyaman begini," gerutunya pada diri sendiri lalu menutup mata berusaha untuk tidur. Kegiatan besok pagi cukup padat, dia butuh istirahat lebih awal. Namun baru beberapa detik mata berbulu lentik itu kembali terbuka. Tiba-tiba bayangan wajah garang Gibran muncul dan membuatnya takut. Ditambah lagi dengan kata-kata Gendis,
"Anin.... Anin...kamu di dalam?" Gibran menghentikan gerakan tangannya yang diatas udara dan menajamkan pendengarannya, mengingat suara yang tak asing sedang memanggil nama istrinya dari balik pintu. "Anindya kamu di dalam kan? Nin, jawab!! Tante Atikah memintaku mencarimu," teriak Gendis sambil sesekali menggedor pintu toilet. Suara di balik pintu itu milik Gendis, sepupu Gibran. Gendis dan Galuh sempat melihat Gibran membaww Anindya keluar dengan wajah menahan amarah. Galih yang khawatir terjadi sesuatu pada Anindya segera meminta putrinya untuk menyusul. "Nin.... aku masuk ya, buka pintunya!!" Lagi, Gendis berusaha membuka pintu toilet dari luar. Mau tak mau Gibran melepaskan cengkeraman tangannya di lengan rambut Anindya. Dia menghela nafas beberapa kali untuk meredakan emosinya yang sempat naik. "Kita lanjutkan nanti di rumah," ucapnya pada Anindya yang langsung membuat gadis itu merasa lega namun juga cemas. Anindya menghela nafas panjang sambil memegangi dad
"Wah.... Jangan-jangan Mbak Anin jatuh cinta sama Mas Guntur?" celetuk Gia yang langsung membuat wajah Anindya memerah karena malu. Guntur tak bisa menahan tawanya, pria berwajah dingin itu membuang muka, tak ingin kegahuan jika fia tertawa karena sikap konyol gadis di depannya itu. Seumur hidupnya baru kali ini dia bertemu wanita yang tak tahu malu seperti adik iparnya itu. 'Bisa-bisanya menatap pria asing seperti itu,' batin Guntur menggelengkan kepalanya. "Husstt... jangan bicara sembarangan, nanti kalau ada yang dengar jadi salah faham," tegur Atikah menepuk lengan Gia. Ada yang aneh dalam pandangan Anindya, menurutnya apa yang dikatakan Gia hanya guyonan yang tak serius, tapi raut wajah Atikah malah terlihat khawatir. "Gia hanya bercanda, Mah." Lelaki berwajah dingin itu menjelaskan dengan senyum tipis yang menenangkan Atikah. "Iya, maaf Mama terlalu panik," ucap Atikah mengangguk lega. "Ternyata bisa senyum juga," gumam Anindya sambil menundukkan kepala.
Setelah sarapan Anindya berangkat ke tempat pertemuan bersama Galuh dan Gendis. Seperti kata Galuh, semalam Atikah mertua Anindya menelpon, memberi tahunya agar datang ke pertamuan keluarga yang akan diadakan di hotel milik keluarga Gibran. "Gibran pasti lupa memberitahumu, besok ada pertemuan keluarga untuk menyambut kedatangan Ayra salah satu anggota keluarga kita. Pakai dress yang Mama belikan seminggu yang lalu. Kamu mengerti kan?" perintah Atikah semalam malalui sambungan telpon. Sebelumnya Anindya hanya tahu Gibran hanya memiliki seorang adik perempuan bernama Gia yang masih duduk di bangku SMA. Meski ingin sekali bertanya tentang siapa Ayra tapi Anindya menahan diri. Seperti perintah Gibran, jangan pernah ikut campur atau bertanya tentang masalah pribadinya. Dan sepertinya Ayra adalah salah satunya. Semalam Atikah juga meminta pengertian Anindya karena Gibran yang akan menjemput Ayra di bandara dan langsung membawanya ke hotel. Itu artinya Anindya harus berangkat sendir