"Aku akan mengirim beberapa orang lagi untuk berjaga di rumah kalian dan mengawal Anindya," ucap Kak Satya yang langsung membuat hatiku menghangat. Ternyata dibalik sikap kerasnya beberapa bulan ini dia masih tetap peduli dan perhatian padaku, adik yang sudah banyak mengecewakannya. Memang semua ini salahku dan aku janji akan menebusnya. "Kamu juga harus hati-hati dan jangan lagi menyembunyikan apapun dari kami," tambah Mbak Tari. Seperti biasanya dia selalu perhatian padaku. Membuatku tidak pernah merasa sendiri meski di saat kamin berjauhan. "Iya Mbak," jawabku mengurai senyum tipis. "Gibran ikut denganku, kita perlu bicara." Kak Satya memandang Kak Ganendra lalu dua orang itu berjalan lebih dulu ke sebuah kamar yang kutahu sebagai ruang kerja Kak Ganendra. Tak lama Gibran pun bangkit dan mengikuti dua orang itu. Aku menatap punggung lebar itu dengan helaan nafas panjang. Bagaimana bisa prai tenang seperti dia memiliki temperan yang sangat buruk. Gampangan tersingg
"Benar. Itu sebabnya Ayra, putri kedua keluarga Narendra di asingkan keluar negeri selama sepuluh tahun." Jihan berbisik sambil matanya terus mengawasi pintu ruang kerja suaminya. "Hush... kamu jangan bicara sembarangan," tegur Mbak Tari terlihat tak suka. Jihan memberengut, "Dibilangin gak percaya ya sudah," ujarnya. "Emang Kamu tahu dari mana?" tanyaku yang memang sangat penasaran. Kalau saja Gibran tidak pulang semalam Tante Galuh pasti sudah menceritakan semuanya. Kejadian sepuluh tahun lalu yang membuat Ayra diasingkan ke luar negeri. Jihan langsung menatap padaku, sambil melirik ke arah pintu dia berbisik. "Dari istri-istri rekan kerja Mas Ganendra. Setiap kali aku diajak ke pestanya para pengusaha kaya, istri-istri mereka sering membicarakan keluarga mertuamu." "Mereka bilang apa?" Aku sangat penasaran, kumahukan tubuhku ke arah Jihan. "Katanya, keluarga Narendra itu punya skandal memalukan, dua anaknya saling mencintai dan menjalin hubungan terlarang." "Sia
"Berhenti bersikap seolah kamu istri yang baik di depan keluargaku, Tari." Ucapan Kak Abisatya membuatku yang tengah menunduk hendak melepas sepatu high heels, terkesiap. Aku sudah sangat lelah setelah makan malam di keluarga mertuaku. Perlukah kami bertengkar lagi malam ini? "Kamu dengar, tidak? Jawab!!" sentaknya dengan suara keras yang hampir membuat jantungku copot dari tempatnya. Pelan, aku mengelus dadaku karena kaget. "Maaf." Hanya kata itu yang kurasa aman untuk kuucapkan. Aku sadar membela diri akan semakin membuatnya marah. Namun, mengapa Kak Abisatya malah menatapku tajam? Sepertinya aku memilih kata yang salah. "Maaf? Tidak perlu minta maaf jika kamu terus mengulangi kesalahan yang sama," ucapnya, "Ingat baik-baik, Tari. Pernikahan kita hanya di atas kertas. Jika bukan karena Ganendra yang memintaku, aku tidak sudi menikahimu. Jangan pernah lupa, aku menikahimu hanya—" "—untuk membantu menutupi aib keluargaku akibat kesalahanku memilih calon suami," poton
Enam bulan sebelumnya, keluarga besarku tengah menyiapkan acara pernikahan. Rumah sudah bising dengan suara orang beraktivitas. Saudara dari Mama dan Papaku sudah berkumpul semua untuk akad esok hari. Aku begitu khawatir mengingat akan melepas status gadis yang selama 20 tahun ini aku sandang. Bukannya tak senang, hanya saja aku merasa masih belum benar-benar siap untuk memasuki tahap berumah tangga. Kuliahku saja masih semester 4. Jadi, aku tidak yakin jika aku bisa menjalankan peran seorang istri dengan baik. Jika bukan karena kesungguhan Bagas, kekasihku, dalam membujuk orang tuaku, sekarang aku pasti masih sedang menghabiskan waktu di mall bersama teman dan sepupuku. Ya, dialah tersangka utamanya! Pria itu sudah tidak sabar mempersunting diriku. Katanya, takut kehilangan aku. Alasan yang terlalu mengada-ngada. Aku bahkan merasa jengah mendengar gombalan dan ungkapan Bagas yang kurasa sangat berlebihan. Tapi, entahlah … aku dan keluargaku merasa Bagas adalah
"Brengsek!" umpat Kak Ganendra seketika. Bugh! Dengan penuh amarah, kakakku itu menghadiahkan bogem mentah tepat di wajah tampan Bagas, hingga pria itu tersungkur. Di sisi lain, aku hanya menatap kosong ke arah dua orang yang sedang berkelahi itu. Entah terbang ke mana perginya rasa belas kasihku melihat Bagas dipukuli? Suara teriakan dan jeritan di sekitarku pun tak membuatku berempati. Berbeda denganku, wanita yang mengaku istrinya Bagas itu terlihat begitu khawatir bahkan sampai menangis melihat keadaan suaminya yang babak belur. Sambil marah-marah, wanita itu membantu Bagas berdiri meski pria itu berulang kali menepis tangannya kasar. "Lepas!" sentak Bagas kembali menepis tangan istri yang dinikahinya empat bulan lalu tanpa sepengetahuanku itu. Aku menoleh saat sebuah tangan merangkulku dari samping. Sandra menatapku sedih. "Sabar," ucapnya. Sabar? Bisakah aku sabar? Kecewa, marah, bercampur malu. Itu yang saat ini berjejalan di otakku. "Pernikahan kamu
"Maaf. Tapi, tolong dengarkan penjelasanku. Aku sama sekali tidak–" "Aku tidak butuh penjelasanmu!" potong Kak Abisatya dengan tatapan tajamnya, hingga bibirku langsung terkatup rapat. "Dengar dan ingat baik-baik ucapanku ini, Tari. Jangan pernah menyentuh barang-barangku, jangan memasak atau mencuci pakaianku. Jangan melakukan pekerjaan rumah meski itu hanya menyapu lantai kamarku,” tambahnya, “Dan yang paling penting, berpura-puralah tidak saling mengenal jika kita bertemu di luar rumah." Tubuhku seketika kaku. Dan air mata luruh begitu saja. Jika waktu bisa diputar…. "Mbak Tari!" panggil Bik Sumi. Asisten rumah tangga mama mertuaku itu menepuk pundakku pelan. Aku mengerjap, tersadar dari lamunanku. "Dari tadi dipanggil, tapi Mbak Tari nggak denger." "Maaf Bik," ucapku mengedipkan kedua mata yang terasa panas, lalu menarik kedua sudut bibirku paksa, "Ada apa ya Bik?" "Kalau sudah mau magrib, masuk rumah. Jangan malah melamun di luar, ndak baik." Bibik mengikutiku du
Seharusnya, aku tidak lari! Tapi, gugup membuatku malah memilih kembali masuk ke dalam kamar. Setelah ketahuan mencuri pandang aku jadi panik sendiri. "Assalamu'alaikum Mas Satya, tumben jam segini kok sudah siap? Apa ada jadwal operasi?" Suara Bik Sumi terdengar dari dalam kamarku. "Iya Bik," jawab Kak Satya singkat. "Tunggu sebentar ya, Bibi siapkan sarapannya." Aduh! Kalau begini, bagaimana aku bisa keluar tanpa menyapa Kak Satya? Bisa-bisa Bibi curiga. Tapi kalau aku menyapa dan mencium tangan Kak Satya, sudah pasti dia akan marah dan mengatakan aku cari kesempatan. Masa harus nunggu Kak Satya berangkat? Sampai jam berapa? Sedang, aku ada mata kuliah pagi lagi! Kubuka sedikit pintu kamar, memerhatikan sekeliling. Bibi tampak sibuk di dapur, menata makanan yang dibawanya dari rumah ibu mertua. Untuk sarapan, Bibi memang selalu membawa makanan yang sudah dia masak di rumah Mama Aisyah. Tapi, untuk makan malam, bibi akan memasaknya di sini. Tentu tanpa ca
Sakitnya itu seperti luka yang masih basah disiram air garam. Perih...... Itu yang aku rasakan saat melihat Danisa bergelayut manja di lengan Kak Abisatya. Pria yang sudah menghalalkan aku dengan ijab qobul sejak beberapa bulan yang lalu. Ya Allah ... rumah tangga ini benar-benar menyiksa. Haruskah aku bertahan, jika hanya aku yang mencinta dalam pernikahan ini? "Astaga... Anj*ng mereka itu, bisa-bisanya bermesraan di tempat umum. Gak tau malu!!!" Sandra geram. Aku yang masih dalam keterkejutan sampai tak sadar sepupuku itu sudah melangkah mendekati dua insan yang sedang dimabuk cinta. "Eh... Sandra," panggil Jihan panik. "Tari.... itu Sandra." Jihan menggoyangkan lenganku sambil menunjuk ke depan kami. "Astaga...." pekikku dan segera mengejar sepupuku itu. "Sandra jangan." Kutarik tangan Sandra yang tinggal beberapa langkah lagi mendekati Kak Abisatya dan Danisa. Dua orang itu pun terlihat kaget melihat kami. Terbukti langkahnya langsung berhenti dengan mata melo
"Benar. Itu sebabnya Ayra, putri kedua keluarga Narendra di asingkan keluar negeri selama sepuluh tahun." Jihan berbisik sambil matanya terus mengawasi pintu ruang kerja suaminya. "Hush... kamu jangan bicara sembarangan," tegur Mbak Tari terlihat tak suka. Jihan memberengut, "Dibilangin gak percaya ya sudah," ujarnya. "Emang Kamu tahu dari mana?" tanyaku yang memang sangat penasaran. Kalau saja Gibran tidak pulang semalam Tante Galuh pasti sudah menceritakan semuanya. Kejadian sepuluh tahun lalu yang membuat Ayra diasingkan ke luar negeri. Jihan langsung menatap padaku, sambil melirik ke arah pintu dia berbisik. "Dari istri-istri rekan kerja Mas Ganendra. Setiap kali aku diajak ke pestanya para pengusaha kaya, istri-istri mereka sering membicarakan keluarga mertuamu." "Mereka bilang apa?" Aku sangat penasaran, kumahukan tubuhku ke arah Jihan. "Katanya, keluarga Narendra itu punya skandal memalukan, dua anaknya saling mencintai dan menjalin hubungan terlarang." "Sia
"Aku akan mengirim beberapa orang lagi untuk berjaga di rumah kalian dan mengawal Anindya," ucap Kak Satya yang langsung membuat hatiku menghangat. Ternyata dibalik sikap kerasnya beberapa bulan ini dia masih tetap peduli dan perhatian padaku, adik yang sudah banyak mengecewakannya. Memang semua ini salahku dan aku janji akan menebusnya. "Kamu juga harus hati-hati dan jangan lagi menyembunyikan apapun dari kami," tambah Mbak Tari. Seperti biasanya dia selalu perhatian padaku. Membuatku tidak pernah merasa sendiri meski di saat kamin berjauhan. "Iya Mbak," jawabku mengurai senyum tipis. "Gibran ikut denganku, kita perlu bicara." Kak Satya memandang Kak Ganendra lalu dua orang itu berjalan lebih dulu ke sebuah kamar yang kutahu sebagai ruang kerja Kak Ganendra. Tak lama Gibran pun bangkit dan mengikuti dua orang itu. Aku menatap punggung lebar itu dengan helaan nafas panjang. Bagaimana bisa prai tenang seperti dia memiliki temperan yang sangat buruk. Gampangan tersingg
"Kalau bukan dia siapa?" "Ehhh... itu..." Aku melihat kearah Gibran. Pria itu nampak tenang sekali. Tak ada sedikitpun raut takut apalagi khawatir kelakukan buruknya akan ketahuan. "Dia pasti bikin onar lagi?" Semua langsung menoleh ke arah pintu penghubung ruang tengah dan halaman samping. Mas Satya dan Kak Ganendra berjalan masuk beriringan. Matanya menatapku penuh selidik dan kecurangan. Kuhela nafas, bahkan saudara kandungku saja langsung menuduhku membuat masalah tanpa bertanya dulu apa yang terjadi. "Mas," panggil Mbak Tari. "Lihat wajah dan tangan Anin, pasti seseorang sudah berbuat kasar padanya," sambungnya menunjukkan tangan dan wajahku. "Kenapa lagi, berkelahi dengan temanmu?" tanya Kak Satya. "Masalah apa lagi, kamu bully orang atau ketahuan nyontek saat ujian?" sambungnya memgabsen kesalahan yang dulu pernah kulakukan. "Astaghfirullah..... Kok ngomongnya gitu sih kamu, Mas? Anin itu adik kamu lo! Lihatlah dulu, tanya baik-baik. Jangan asal nuduh gitu," s
"----Aku akan merobek wajahmu." Astaghfirullah...... mungkinkah dia? Aku menoleh ke sekitar mencari wanita pemilik buku ini. Rasa takut mulai merayap memenuhi hatiku. Ya Tuhan..... Dimana wanita itu? Dia.... Dengan tangan gemetaran aku membuka kembali hlaaman buku selanjutnya. Mungkin masih ada pesan terakhir karena seperti inilah dulu cara kami berkomunikasi. Degh..... Benar, di halaman terakhir terdapat sebuah kata 'Delusi' dengan huruf awalnya yang dilingkari. Jadi wanita itu,... "Sedang apa kamu di sini?" Suara berat menyentakku. Aku terkejut sampai buku yang kupegang terjatuh juga dengan selembar kertas ancaman itu. "Kau pukir kamu siapa, sampai membuatku harus turun dari mobil?" ucap Gibran dengan mata melotot. Kuhela nafas sambil mengelus dadaku yang terasa sesak karena kaget. Tak kuperdulikan, aku memilih memungut buku dan kertas yang baru saja kujatuhkan. "Tunggu apa ini?" Gibran tiba-tiba merebut kertas bertuliskan ancaman itu. "Oh itu bukan a
Pov Anindya. "Kejadian saat Gibran dan Ayra----" "Khem... khem..." Kalimat Tante Galuh langsung terputus saat terdengat suara berat dari arah ruang tamu. Tanpa aba-aba kamu menoleh bersamaan. Menatap ke arah suara itu berasal. Astaga..... mataku melotot, memastikan apa yang kulihat benar. Aku menelan ludah melihat sosok yang berdiri tegap dengan mata elangnya. Kulirik tante Galuh pun terkejutnya sepertiku. "Sedang apa kalian?" Suara Gibran memecah keheningan. "Ini sudah jam berapa, kenapa kamu belum tidur?" ucapnya lagi dengan tatapan mata yang menyorot kearahku. Gegas aku berdiri, "Maaf, aku cuma mau ambil minum." Kuangkat botol air minetal yang kubawa. "Tante aku duluan ya," pamitku langsung melangkah cepat meninggal ruangan yang tiba-tiba terasa dingin dan mencekam. Kutinggalkan tante Galuh begitu saja tanpa menungu wanita itu menjawab ucapanku. Aku yakin Gibran tidak akan menyakiti Tantenya. Berbeda denganku, tamparan tadi siang pasti masih membuatnya denda
"Sebaiknya kamu berhati-hati selama ada Ayra. Dia bisa melakukan hal yang tidak pernah kamu bayangkan," Ucapan Gendis seolah nyanyian yang terus terngiang di telinganya. Sudah pukul sebelas malam namun rasa kantuk belum juga menghampirinya. Jika biasanya sepulang dari bimbel Anindya akan sangat mengantuk namun tidak hari ini. Rasa lelah itu sepertinya tak bisa mengusir rasa penasaran yang memenuhi pikiran dan hatinya. "Wyuhhhhh..." Anindya mendengus kasar. Sejak tadi gadis 20 tahunan itu belum menemukan posisi ternyaman di atas ranjangnya. Miring ke kiri terasa tak enak, miring kanan juga begitu. Terlentang tak nyaman, tengkurap sulit bernafas. "Kenapa jadi nggak nyaman begini," gerutunya pada diri sendiri lalu menutup mata berusaha untuk tidur. Kegiatan besok pagi cukup padat, dia butuh istirahat lebih awal. Namun baru beberapa detik mata berbulu lentik itu kembali terbuka. Tiba-tiba bayangan wajah garang Gibran muncul dan membuatnya takut. Ditambah lagi dengan kata-kata Gendis,
"Anin.... Anin...kamu di dalam?" Gibran menghentikan gerakan tangannya yang diatas udara dan menajamkan pendengarannya, mengingat suara yang tak asing sedang memanggil nama istrinya dari balik pintu. "Anindya kamu di dalam kan? Nin, jawab!! Tante Atikah memintaku mencarimu," teriak Gendis sambil sesekali menggedor pintu toilet. Suara di balik pintu itu milik Gendis, sepupu Gibran. Gendis dan Galuh sempat melihat Gibran membaww Anindya keluar dengan wajah menahan amarah. Galih yang khawatir terjadi sesuatu pada Anindya segera meminta putrinya untuk menyusul. "Nin.... aku masuk ya, buka pintunya!!" Lagi, Gendis berusaha membuka pintu toilet dari luar. Mau tak mau Gibran melepaskan cengkeraman tangannya di lengan rambut Anindya. Dia menghela nafas beberapa kali untuk meredakan emosinya yang sempat naik. "Kita lanjutkan nanti di rumah," ucapnya pada Anindya yang langsung membuat gadis itu merasa lega namun juga cemas. Anindya menghela nafas panjang sambil memegangi dad
"Wah.... Jangan-jangan Mbak Anin jatuh cinta sama Mas Guntur?" celetuk Gia yang langsung membuat wajah Anindya memerah karena malu. Guntur tak bisa menahan tawanya, pria berwajah dingin itu membuang muka, tak ingin kegahuan jika fia tertawa karena sikap konyol gadis di depannya itu. Seumur hidupnya baru kali ini dia bertemu wanita yang tak tahu malu seperti adik iparnya itu. 'Bisa-bisanya menatap pria asing seperti itu,' batin Guntur menggelengkan kepalanya. "Husstt... jangan bicara sembarangan, nanti kalau ada yang dengar jadi salah faham," tegur Atikah menepuk lengan Gia. Ada yang aneh dalam pandangan Anindya, menurutnya apa yang dikatakan Gia hanya guyonan yang tak serius, tapi raut wajah Atikah malah terlihat khawatir. "Gia hanya bercanda, Mah." Lelaki berwajah dingin itu menjelaskan dengan senyum tipis yang menenangkan Atikah. "Iya, maaf Mama terlalu panik," ucap Atikah mengangguk lega. "Ternyata bisa senyum juga," gumam Anindya sambil menundukkan kepala.
Setelah sarapan Anindya berangkat ke tempat pertemuan bersama Galuh dan Gendis. Seperti kata Galuh, semalam Atikah mertua Anindya menelpon, memberi tahunya agar datang ke pertamuan keluarga yang akan diadakan di hotel milik keluarga Gibran. "Gibran pasti lupa memberitahumu, besok ada pertemuan keluarga untuk menyambut kedatangan Ayra salah satu anggota keluarga kita. Pakai dress yang Mama belikan seminggu yang lalu. Kamu mengerti kan?" perintah Atikah semalam malalui sambungan telpon. Sebelumnya Anindya hanya tahu Gibran hanya memiliki seorang adik perempuan bernama Gia yang masih duduk di bangku SMA. Meski ingin sekali bertanya tentang siapa Ayra tapi Anindya menahan diri. Seperti perintah Gibran, jangan pernah ikut campur atau bertanya tentang masalah pribadinya. Dan sepertinya Ayra adalah salah satunya. Semalam Atikah juga meminta pengertian Anindya karena Gibran yang akan menjemput Ayra di bandara dan langsung membawanya ke hotel. Itu artinya Anindya harus berangkat sendir