All Chapters of Istri Yang Kau Sia-siakan Ternyata Wanita Terhormat : Chapter 81 - Chapter 90

103 Chapters

Warisan yang Tersisa

Waktu terus berjalan, keluarga Tedy tak sehangat dan sekompak dulu. Tedy memilih menjauh dari Tarji, ia tak mau menyapa kakaknya. Suasana di rumah Tarji sore itu sunyi. Angin berhembus pelan, menyapu dedaunan kering di halaman rumahnya. Tedy, yang duduk di teras rumah, tampak termenung, seolah memikirkan sesuatu yang berat. Sejak ia membatasi diri dengan Tarji, keadaan tak pernah lagi sama. Tedy merasa ada jarak yang tak bisa dijembatani. Tiba-tiba istri almarhum Ahmad, Yasmin, yang dari kota datang dengan wajah penuh kesedihan. Dia mendatangi pak Karto yang tengah duduk di ruang tamu. Tedy yang melihat kedatangan kakak iparnya dari jauh memilih untuk tidak mendekat, meski ada rasa penasaran dalam dirinya."Assalamualaikum, Mbah," sapa Yasmin dengan suara pelan, nyaris tak terdengar."Waalaikumsalam, Yas. Kamu kesini sama siapa? Silakan duduk," jawab Pak Karto, seraya mempersilakan Yasmin duduk di kursi rotan tua di sampingnya. Yasmin menyalami bapak mertuanya tanda penghormatan. "
last updateLast Updated : 2024-09-08
Read more

Keputusan Terakhir

Setelah berhari-hari memikirkannya, Yasmin akhirnya memutuskan untuk bertemu dengan keluarga Ahmad sekali lagi. Dengan langkah yang terasa semakin berat, ia kembali ke rumah Tarji. Di sana, Pak Karto, Tarji, dan Tedy sudah menunggunya. Yasmin tahu ini adalah pertemuan yang menentukan, dan mungkin yang terakhir."Saya sudah memikirkan semuanya, Mbah," Yasmin memulai, suaranya bergetar. "Saya tetap ingin menjual tanah itu. Saya tahu ini bagian dari almarhum Mas Ahmad, tapi saya tidak punya pilihan lain. Anak-anak saya butuh biaya, dan saya harus melanjutkan hidup."Pak Karto menghela napas panjang, menatap Yasmin dengan mata sayu. "Yas, kalau kamu benar-benar sudah yakin, kami tidak bisa melarang. Tapi ingat, tanah itu adalah peninggalan terakhir suamimu. Setelah ini, kamu tidak akan punya alasan lagi untuk kembali ke sini."Bukan tanpa alasan Pak Karto mengatakan hal itu, hatinya sudah terlanjur sakit dan ia seakan-akan hidupnya tertekan. Ingin rasanya ia egois sedikit saja, namun ia t
last updateLast Updated : 2024-09-09
Read more

Ujian yang Tak Kunjung Usai

Mak Sarmi, yang duduk di sebelahnya, hanya bisa terdiam. Ia sudah terlalu lelah dengan semua ini, memilih untuk mengalah daripada melihat keluarganya terus-terusan berkonflik. Tapi melihat Pak Karto yang begitu terpukul, ia tak mampu menahan air mata yang menetes di pipinya.Tarji bangkit dari duduknya, menghampiri Pak Karto. "Maaf, Pak... Aku tahu aku salah. Tapi aku janji, ini yang terakhir. Setelah ini, aku akan bangkit dan enggak akan biarin keluarga kita terjerat hutang lagi."Pak Karto menggeleng pelan. "Bukan soal tanah atau hutang, Tar. Ini soal bagaimana kalian semua bisa lupa, lupa bahwa tanah ini adalah peninggalan keluarga, warisan dari leluhurmu yang seharusnya dijaga. Bukan untuk dijual demi menyelesaikan masalah sesaat."Namun, Pak Karto tahu, keputusan sudah diambil. Tanah pekarangan itu akan dijual, dan semua hutang akan dilunasi. Tapi di hatinya, ada kekosongan yang tak bisa terisi. Sesuatu yang hilang bukan hanya karena tanah itu, melainkan karena nilai-nilai yang d
last updateLast Updated : 2024-09-09
Read more

Kepergian Tanpa Pamit

Perasaan gelisah tiba-tiba menyelimuti hati Mak Sarmi. Sejak tadi ia tak mendengar suara air dari kamar mandi, meski Pak Karto sudah lama masuk ke sana untuk bersiap mandi. Kegelisahan itu semakin kuat, membuat hatinya berdebar-debar tak menentu."Mbah, urung mandi tah...!" teriak Mak Sarmi, suaranya bergetar sambil berjalan cepat ke arah kamar mandi.Namun, tak ada jawaban dari dalam. Rasa takut yang tak terjelaskan langsung menyergapnya. Sesampainya di depan pintu kamar mandi, Mak Sarmi menggedor pintu dengan keras. "Mbah! Mbah...!" teriaknya sekali lagi, namun tetap sunyi.Dengan tangan gemetar, ia mendorong pintu kamar mandi yang ternyata tak terkunci. Saat pintu terbuka, pemandangan yang dilihatnya membuat napasnya terhenti.Pak Karto... tergeletak dalam posisi setengah tenggelam di ember besar, tubuhnya tak bergerak sama sekali. Mak Sarmi menjerit histeris, lututnya lemas seketika."Mbah...! Astaghfirullah... Mbah...!!" Tangisnya pecah, tubuhnya seolah tak kuat menahan kenyataa
last updateLast Updated : 2024-09-09
Read more

Berselisih

Tujuh hari setelah kepergian Pak Karto, suasana duka di rumah Mak Sarmi mulai sedikit mereda. Namun, ketegangan lain mulai muncul saat ketiga anak Mak Sarmi—Tarji, Tedy, dan Tasih—berkumpul untuk membicarakan pembagian tanah warisan yang ditinggalkan oleh Pak Karto.Di ruang tamu yang sederhana, Tasih membuka pembicaraan lebih dulu. "Jadi, kita harus membagi tanah pekarangan dan sawah secepatnya. Kita semua butuh kejelasan. Aku butuh kepastian bagian untuk mengurus keperluan keluargaku," katanya dengan nada tenang tapi tegas.Nobi, yang duduk di sebelah Tasih, mengangguk setuju. "Betul, sudah saatnya kita bagi biar tidak ada yang merasa dirugikan. Pekarangan itu harus dibagi empat. Tasih, Tarji, Tedy, dan untuk Mamak," ujar Nobi sambil menatap semua yang ada di ruangan. Seharusnya ia sebagai menantu tak perlu ikut campur, namun nafsunya untuk segera mendapatkan warisan tak bisa ia tahan lagi.Tedy, yang sedari tadi hanya diam mendengarkan, mulai merasa ada sesuatu yang tidak beres. Pe
last updateLast Updated : 2024-09-10
Read more

Kepergian yang Tak Terelakan

Kepergian yang Tak Terelakkan Setelah pertengkaran sengit yang terjadi di rumah, Tedy merasa hatinya hancur. Konflik warisan yang seharusnya bisa diselesaikan dengan baik justru berujung pada perpecahan. Bukan hanya soal tanah, tapi juga tentang perlakuan sang Mamak yang selalu mengalah kepada Tarji, meski Tarji berkali-kali mengecewakan keluarga. Malam itu, Tedy duduk termenung di beranda rumah, memikirkan semua yang telah terjadi. Kata-kata kasar dan amarah yang terlontar dalam pertengkaran tadi masih terngiang di telinganya. Tapi yang paling menyakitkan adalah keputusan Mamak yang tak ia sangka. Mak Sarmi, yang sejak awal sudah diam, akhirnya memilih menyerahkan bagian tanah sawah palawija kepada Tarji. "Biarlah, Ted... Mamak sudah tua, Mamak tak butuh tanah itu. Tarji butuh untuk kelangsungan hidup keluarganya. Jangan ribut soal harta, Nak," ucap sang Mamak lembut, tapi menyisakan luka mendalam bagi Tedy. Tedy terdiam. Ia menatap Mamaknya, wanita yang selama ini ia cintai dan
last updateLast Updated : 2024-09-11
Read more

Pagi yang Indah

Keesokan paginya, Tedy terbangun dengan keringat dingin di dahinya. Matanya mengerjap melihat jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 07.30. "Astaga, aku terlambat!" gumamnya panik. Tanpa pikir panjang, ia segera bangkit dari tempat tidur, mengenakan baju kerja yang tergantung di kursi. Tidak ada waktu untuk mandi, bahkan untuk cuci muka pun ia lewatkan. Tedy menyambar tasnya dan segera berlari keluar kos, wajahnya yang pucat dan rambut berantakan pun tak dipedulikannya. Di pangkalan ojek yang terletak tak jauh dari kosnya, Tedy langsung melambaikan tangan ke salah satu pengojek. "Bang, ke kantor cepat ya!" ujar Tedy dengan nada cemas. Pengojek mengangguk dan segera melajukan motornya dengan kecepatan penuh. Tedy hanya bisa berharap agar hari ini ia masih bisa lolos dari pemecatan. Tak terbayang apa yang akan terjadi jika ia benar-benar dipecat. Pikirannya terus berkecamuk sepanjang perjalanan. Setibanya di kantor, Tedy terkejut sekaligus lega. Baru ada beberapa karyawan yang ti
last updateLast Updated : 2024-09-11
Read more

Firasat

** Perjalanan Siang Hari**Siang itu, matahari bersinar terik, namun suasana di dalam mobil tetap sejuk berkat pendingin udara yang menyala. Lia mengendarai mobilnya dengan tenang, melewati jalanan yang tak terlalu ramai. Tujuannya adalah supermarket yang tak jauh dari rumah, tempat ia biasa berbelanja kebutuhan sehari-hari. Sesekali, ia tersenyum mengingat percakapan pagi tadi dengan Heri, suaminya yang begitu perhatian.Setelah beberapa menit perjalanan, Lia tiba di supermarket. Ia memarkir mobil di tempat yang agak teduh, lalu turun dengan santai. "Rasanya kek ABG aja ya tanpa bawa anak," gumamnya sambil terkekeh dan merapikan tas di pundak.Pertama kali yang Lia tuju bagian susu untuk Sofyan, namun ternyata stok itu kosong. Mau tak mau Sofyan harus pindah. Saat masuk ke dalam Alfamart pun sama, merk ada namun untuk usia Sofyan juga sedang kosong."Haduh gimana ini ya, apa telpon Bang Heri aja biar dia sekalian beli di supermarket yang sebelah kantornya ya?" Sejenak Lia berpikir.L
last updateLast Updated : 2024-09-12
Read more

Cerita Sambil Promosi

Tak mau berlama-lama, Lia segera menyudahi belanjanya saat memastikan semua kebutuhan sudah ia dapatkan. Lia mendorong troli ke arah meja kasir, ada beberapa meja kasir namun di sana ternyata semua antrean sangat panjang membuat Lia merasa jenuh."Eh, Pak, jangan main asal serobot aja dong. Budidayakan antre dulu!" teriak seseorang di depan sana."Jangan panggil saya 'Pak' karena saya bukan bapakmu. Lagian saya hanya beli rokok sebungkus doang, apa salahnya nyela sebentar!" balas seorang lelaki dewasa dengan ngegas."Saya juga cuma beli pembalut, tapi masih sabar antre!"Lia mengamati percecokan di depan kasir, wanita muda yang mengaku membeli pembalut itu ada di antrean ketiga, namun tiba-tiba ada lelaki dewasa yang akan menyerobot terlebih dulu."Berapa, Mbak?" tanya lelaki itu di depan kasir. Ia mengabaikan tatapan orang-orang yang menatapnya tak suka. Gadis itu merasa sangat jengkel dan membuang bungkusan pembalut yang masih utuh begitu saja di lantai.Gadis itu menjauh dari antr
last updateLast Updated : 2024-09-12
Read more

Obsesi yang Kembali

Obsesi yang KembaliTedy berdiri di depan cermin, memandangi wajahnya yang terlihat kusut. Matanya memerah dan kantung matanya membengkak, tanda bahwa malam-malamnya dipenuhi kegelisahan. Kemeja yang ia kenakan kusut, rambutnya acak-acakan, dan ada bayangan kelelahan yang jelas di raut wajahnya. Semua ini adalah hasil dari hidup yang semakin berantakan. Di dalam toilet kantor yang dingin dan sepi itu, ia mencoba menarik napas dalam-dalam, namun yang keluar hanya desahan frustasi.Ia membayangkan bila bersanding dengan Lia yang sekarang bagaikan langit dan bumi.Pikirannya mengarah pada satu sosok yang menghantui benaknya—Lia, mantan istrinya. Wanita yang pernah ia anggap tidak berharga, kini tampak jauh lebih bersinar di matanya. Tedy selalu teringat bagaimana Lia bersikap saat masih bersamanya: begitu lembut, penuh perhatian, meski saat itu Tedy seringkali meremehkannya."Bagaimana bisa, Lia, setelah berpisah denganku, mendapatkan seorang bos?!" gumam Tedy dengan nada getir, kepalany
last updateLast Updated : 2024-09-13
Read more
PREV
1
...
67891011
DMCA.com Protection Status