Semua Bab Mengandung Benih Mantan Setelah Berpisah: Bab 71 - Bab 80

87 Bab

71. Tolong Aku

“Aku yang minta Aluna datang, Ren.” Suara tersebut berasal dari belakang tubuh Renata. Renata yang hapal suara itupun sontak menoleh. Laki-laki yang sudah siap akan menuju ruang operasi itu berjalan mendekat. Berdiri tepat di depan Renata. “Ryu yang minta aku untuk bawa Aluna, jadi untuk kesembuhan suami kalian berdua, aku kabulkan keinginannya! Untuk selanjutnya … tolong kerjasamanya. ”“Gak!” seru Renata tegas sembari mengelengkan kepalanya. Matanya tajam menatap Bara dengan kesal. Tidak mungkin ia bekerjasama dengan Aluna, jalang dari sang suami. Mendengar namanya saja sudah membuat sakit hati Renata bertambah apalagi harus bekerjasama.Belum lagiMelihat dan mendengar kondisi Ryu saat ini, bisa jadi tidak akan menguntungkan untuknya. Hanya Aluna yang ada dalam ingatan Ryu, sementara dirinya hanya dianggap orang lain. Maka sisi egois Renata tiba-tiba muncul. Ryu akan tetap menjadi suaminya dan tidak akan membiarkan Aluna menang darinya. Ia seolah mengingkari janjinya yang diucapkan
Baca selengkapnya

72. Perdebatan

“Kamu mikirin apa sih, Lun?” tanya Bian sambil merengkuh pinggang Aluna. Kalau saja kaki wanita itu tidak terkilir seperti saat ini, Bian tidak akan berani melakukan kontak fisik hingga sedekat ini. “Kamu bisa bicara sama aku, jangan dipendam sendiri. Lihat, kalau kamu simpan sendiri pada akhirnya kamu juga yang-”“Sudah, ngocehnya, Mas!” Aluna berkata setelah mendesis, bukan hanya lututnya saja yang sakit melainkan sekarang seluruh tubuhnya. “Sudah sakit, masih kamu omelin lagi tambah sakit, Massss!”Karena saking terburunya ingin meninggalkan rumah sakit, ia tidak melihat papan peringatan yang bertuliskan “Awas Licin” Aluna melewatinya saja. Sehingga membuat tubuhnya tergelincir dan lututnya membentuk pembatas pagar kaca. Jangan ditanya bagaimana sakitnya karena ketimbang sakit ia lebih memiliki rasa malu saat orang-orang melihat kejadian itu.Sang OB lah yang menolongnya berdiri sambil mengucapkan rasa bersalahnya. Tampak di wajahnya rasa ketakutan. Aluna juga tidak akan tega menga
Baca selengkapnya

73. Rencana

“Mi, aku mau sekolah lagi,” ungkap Langit saat melihat tontonan di layar TV. Ada sekumpulan anak sekolah yang sedang duduk di kelas sambil mendengarkan sang guru menerangkan materi. Ada kerinduan saat ia pernah berada di posisi itu. Tidak mendapatkan jawaban dari wanita yang telah melahirkannya, membuat Langit sedikit memutar tubuhnya hingga bisa melihat Aluna yang sedang berdiri membelakangi di dapur. “Boleh ya, Mi?”“Hmm,” jawab Aluna asal. Selama ini bukan dia tidak memikirkan masa depan sang putra. Melainkan ia tengah menata hidupnya dulu, setelah berantakan. Dan ini sudah kesekian kalinya ia tidak akan hidup berpindah-pindah lagi. Sekarang ketika Langit yang meminta, Aluna tidak bisa mengelak lagi. Secepatnya ia harus segera mencari sekolahan untuk Langit dan mengejar pelajaran yang sempat tertinggal jauh. “Nanti, Mami pikirin lagi.”“Mami, aku boleh main ke rumah Kak Tegar lagi?” tanya Langit lagi, merasakan kesepian setelah kemarin ada teman bermain.Kali ini Aluna menghentikan
Baca selengkapnya

74. Kepergian

“Bar, a-pa kamu … sudah dapat … kon-tak A-luna?”Suara Ryu terbata-bata, butuh tenaga besar untuk mengucapkan sehingga membentuk kalimat. Mungkin ini kali pertama kalimat panjang Ryu setelah sadar dari koma. Tubuh Ryu sudah mulai membaik tetapi masih butuh proses yang sangat panjang untuk bisa dikatakan normal. Dalam artian bukan normal seperti sebelum kecelakaan.“Hm.” Bara menjawab hanya gumanan.“Kena-pa dia … be-lum datang juga? Ke-mana dia, Bar?”Bara menatap ke dalam mata sayu Ryu. Sebenarnya ingin sekali ia jujur kalau Aluna tidak diperbolehkan masuk oleh Renata. Tetapi hal itu akan menambah daftar permasalahan dengan wanita jahat itu. Ya, mulai sekarang Bara akan menyebut Renata sebagai wanita tanpa hati nurani atau wanita jahat. Padahal tanpa Bara bisa merasakan, Renata juga sama sakitnya setelah dikhianati terlepas apa itu alasannya Ryu menikahi Aluna.“Sabar!” Hanya itu yang bisa Bara katakan untuk saat ini. Percuma saja kalau ia jujur karena mata tajam Renata sedang mengaw
Baca selengkapnya

75. Berpulang

“Ayo,” ajak Aluna sambil mengandeng tangan Langit.Ibu dan anak itu sedang berada di salah satu sekolahan. Di sebelah sekolah tersebut, berdiri bangunan yang biasa di sebut asmara. Setelah mencari informasi lewat beberapa situs online, hari ini Aluna memutuskan untuk mendatanginya langsung bersama Langit. Jangan tanyakan bocah laki-laki itu sangat antusias sekali akan bersekolah.“Oke, siap, Mi!” Langit berseru dengan hati yang riang, senyum terpancar dari sudut bibirnya menyambut sekolah barunya. Impiannya untuk bisa memakai seragam dan berkumpul bersama teman-teman, sebentar lagi ada di depan mata.Langit pun melihat takjub pada bangunan yang berdiri dengan kokohnya itu. Lantas, kedua orang itu melangkah melewati beberapa pepohonan yang tampak sejuk. Tidak jauh dari sana ada pos security, Aluna berhenti sejenak, lalu bertanya.“Permisi, Pak,” ucap Aluna seiring senyuman ramah menatap dua orang laki-laki yang terlihat tegas. “Saya mau ke ruangan kepala sekolah bisa?”Salah satu secur
Baca selengkapnya

76. Pemakaman

“Gak mungkin!”Sesaat setelah mengatakan itu, tubuh Aluna ambruk. Dengan sigap, Bian melepaskan genggaman tangan Langit dan meraih pinggang Aluna, lalu mendekapnya dengan erat.“Mami!” Langit mendekati Aluna menampilkan wajah ketakutan. Matanya berembun dengan suara bergetar. “Ayah, Mamiku kenapa?”“Langit cari duduk dulu ya, Ayah urus Mami dulu.” Di saat seperti ini, Bian tidak bisa mengurusi dua orang sekaligus. “Iya,” jawab Langit kemudian meranjak menuju bangku yang tidak jauh dari Bian. Bocah laki-laki itu masih belum paham situasi yang ada. Namun, Bian bisa melihat kalau tangannya beberapa kali mengusap pipi.“Aluna bangun!” panggil Bian sambil menepuk-nepuk pipinya. Saat maniknya bertatapan dengan bangku di sebelah Langit, Bian segera mengangkat tubuh Aluna. Merutuki kebodohannya, harusnya ia bisa pelan-pelan memberitahu Aluna. Melupakan kalau Aluna sedang hamil dan ibu hamil tidak boleh banyak pikiran apalagi stress. “Maaf, harusnya aku-”“Ini ada apa?”Bian sontak mengangka
Baca selengkapnya

77. Terguncang

“Ayah, sekarang aku sudah tidak punya Papi lagi.”Suara Langit memecahkan keheningan diantara ketiga orang yang sedang berada di dalam mobil. Setelah Bian mengatakan untuk mengajak pulang Aluna, wanita itu menurut. Meski hatinya masih tidak rela untuk meninggalkan pemakaman Ryu. Bian benar, ini adalah takdir yang harus Aluna jalani.Kepala Bian menoleh, tujuannya bukan Langit, melainkan Aluna yang berada di sampingnya. Tatapan penuh kesedihan tidak pernah lepas dari jalanan di depannya. Walaupun Bian tahu, Aluna pasti terusik dengan kalimat Langit tersebut.Lalu sentuhan tangan Bian pada punggung tangan wanita itu, meremasnya dengan lembut. “Are you oke?”“Hmm.” Aluna menjawab hanya bergumam. Wanita itu seolah tidak memiliki gairah hidup setelah kehilangan Ryu. Bian paham, dibalik sifat keras ingin meninggalkan Ryu, Aluna sangat mencintai mantan suaminya itu. Aluna lantas mengusap perutnya yang masih rata, seketika terhenyak, kalau di sana ada kehidupan lain, ada calon anaknya. Makany
Baca selengkapnya

78. Penolakan

“Gimana keadaannya, Mas?”Bara baru saja menutup pintu kamar berwarna putih itu, menoleh ke samping, ada sebelah tangan memeluk lengannya. Berdiri sang istri dengan wajah khawatir. Ia memang merutuki apa yang diperbuat Renata, tetapi melihat kondisinya yang sekarang membuatnya sangat iba. Bara tidak langsung menjawab, laki-laki itu menghela sebentar lalu menatap pintu yang ia tutup barusan. Tidak akan mengira apa yang telah terjadi pada Renata. Jiwanya terguncang setelah melihat sang suami dikubur di bawah tanah. Sementara istri Ryu yang satunya terlihat tegar dan bisa menerima takdir ini. Berjalan menuju sofa yang ada di depannya lantas mendudukan bokongnya di sana. Nia yang tidak melepaskan lengan Bara, mengikuti dengan duduk di sofa yang sama.“Aku pikir, kalau dia masih belum ada perubahan, kita bawa ke rumah sakit saja,” jawabnya lirih. Setelah mengamuk dan berteriak histeris di pemakaman, Bara telah berhasil menenangkan. Namun, ketika sudah sampai di rumah, Renata mengamuk lagi
Baca selengkapnya

79. Psikopat

“Kamu …” Renata mengacungkan telunjuknya dan mengarahkan pada lelaki yang telah memanggilnya beberapa saat yang lalu. “Pergi! Brengsek, kamu!” Tanpa ragu Renata melempar bantal yang ada di sampingnya ke arah laki-laki tersebut.Bara yang masih berada di dalam kamar. Menyadari Renata yang akan mengamuk lagi, ia refleks menutup pintunya rapat. Mengangkat kedua tangannya di depan dada. “Ren, bisa tenang! Aku mau bantu kamu, tapi tolong kamu tenang. Di luar akan banyak orang, kalau kamu seperti ini mereka akan mengira kalau kamu gila. Pasti kamu tahu dimana orang gila berada, kan.”“Kamu ngatain aku gila, Mas?” Di sela amukannya Renata masih bisa berpikir normal. “Aku gak gila, Mas.” Wanita itu jatuh di lantai sambil menekuk lututnya. Suaranya bergetar dengan buliran bening yang tiba-tiba menetes di pipi. “Maaf … Mas Ryu, harusnya … aku, harusnya … aku.” Ada rasa sakit yang tak terlihat menghujam, saat menyadari tindakannya yang telah membuat Ryu menghembuskan napas terakhirnya. Kembali r
Baca selengkapnya

80. Kenyataan

“Stop, Renata!” teriak Bara. Ketika mendengar kegaduhan di dalam kamar, ia tidak bisa menunggu lagi sampai Alan keluar. Tanpa permisi Bara membuka pintu. Untuk pertama kalinya pria itu tercengang dengan apa yang dilihatnya. Akal sehatnya masih menyangkal apa benar ini yang dilakukan oleh istri Ryu. Bara lantas mendekati Renata menarik kedua tangan wanita itu dari kepala Alan kemudian mencengkramnya dengan kuat. “Kamu mau jadi pembunuh, hah? Mau kamu membusuk di buih, hah! Kalau kamu gak bisa mengendalikan diri, terpaksa aku bawa kamu ke rumah sakit jiwa. Mau kamu seperti itu, ya?”“Pergi, Alan!” ucap Bara setelah tangan Renata terlepas dari kepala Alan. “Kamu juga, bodoh atau gimana sih, diam saja diha-”“Saya ikhlas, Mas,” sahut Alan tidak menyimpan dendam sama sekali pada Renata. “Kalau dengan seperti ini bisa membuat Mbak Renata memaafkan saya.”“Konyol itu namanya,” geram Bara. “Mati sia-sia, belum tentu dimaafkan juga.” Kembali decakan kesal keluar dari bibir Bara. “Ck, sebenarny
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
456789
DMCA.com Protection Status