“Mi, aku mau sekolah lagi,” ungkap Langit saat melihat tontonan di layar TV. Ada sekumpulan anak sekolah yang sedang duduk di kelas sambil mendengarkan sang guru menerangkan materi. Ada kerinduan saat ia pernah berada di posisi itu. Tidak mendapatkan jawaban dari wanita yang telah melahirkannya, membuat Langit sedikit memutar tubuhnya hingga bisa melihat Aluna yang sedang berdiri membelakangi di dapur. “Boleh ya, Mi?”“Hmm,” jawab Aluna asal. Selama ini bukan dia tidak memikirkan masa depan sang putra. Melainkan ia tengah menata hidupnya dulu, setelah berantakan. Dan ini sudah kesekian kalinya ia tidak akan hidup berpindah-pindah lagi. Sekarang ketika Langit yang meminta, Aluna tidak bisa mengelak lagi. Secepatnya ia harus segera mencari sekolahan untuk Langit dan mengejar pelajaran yang sempat tertinggal jauh. “Nanti, Mami pikirin lagi.”“Mami, aku boleh main ke rumah Kak Tegar lagi?” tanya Langit lagi, merasakan kesepian setelah kemarin ada teman bermain.Kali ini Aluna menghentikan
“Bar, a-pa kamu … sudah dapat … kon-tak A-luna?”Suara Ryu terbata-bata, butuh tenaga besar untuk mengucapkan sehingga membentuk kalimat. Mungkin ini kali pertama kalimat panjang Ryu setelah sadar dari koma. Tubuh Ryu sudah mulai membaik tetapi masih butuh proses yang sangat panjang untuk bisa dikatakan normal. Dalam artian bukan normal seperti sebelum kecelakaan.“Hm.” Bara menjawab hanya gumanan.“Kena-pa dia … be-lum datang juga? Ke-mana dia, Bar?”Bara menatap ke dalam mata sayu Ryu. Sebenarnya ingin sekali ia jujur kalau Aluna tidak diperbolehkan masuk oleh Renata. Tetapi hal itu akan menambah daftar permasalahan dengan wanita jahat itu. Ya, mulai sekarang Bara akan menyebut Renata sebagai wanita tanpa hati nurani atau wanita jahat. Padahal tanpa Bara bisa merasakan, Renata juga sama sakitnya setelah dikhianati terlepas apa itu alasannya Ryu menikahi Aluna.“Sabar!” Hanya itu yang bisa Bara katakan untuk saat ini. Percuma saja kalau ia jujur karena mata tajam Renata sedang mengaw
“Ayo,” ajak Aluna sambil mengandeng tangan Langit.Ibu dan anak itu sedang berada di salah satu sekolahan. Di sebelah sekolah tersebut, berdiri bangunan yang biasa di sebut asmara. Setelah mencari informasi lewat beberapa situs online, hari ini Aluna memutuskan untuk mendatanginya langsung bersama Langit. Jangan tanyakan bocah laki-laki itu sangat antusias sekali akan bersekolah.“Oke, siap, Mi!” Langit berseru dengan hati yang riang, senyum terpancar dari sudut bibirnya menyambut sekolah barunya. Impiannya untuk bisa memakai seragam dan berkumpul bersama teman-teman, sebentar lagi ada di depan mata.Langit pun melihat takjub pada bangunan yang berdiri dengan kokohnya itu. Lantas, kedua orang itu melangkah melewati beberapa pepohonan yang tampak sejuk. Tidak jauh dari sana ada pos security, Aluna berhenti sejenak, lalu bertanya.“Permisi, Pak,” ucap Aluna seiring senyuman ramah menatap dua orang laki-laki yang terlihat tegas. “Saya mau ke ruangan kepala sekolah bisa?”Salah satu secur
“Gak mungkin!”Sesaat setelah mengatakan itu, tubuh Aluna ambruk. Dengan sigap, Bian melepaskan genggaman tangan Langit dan meraih pinggang Aluna, lalu mendekapnya dengan erat.“Mami!” Langit mendekati Aluna menampilkan wajah ketakutan. Matanya berembun dengan suara bergetar. “Ayah, Mamiku kenapa?”“Langit cari duduk dulu ya, Ayah urus Mami dulu.” Di saat seperti ini, Bian tidak bisa mengurusi dua orang sekaligus. “Iya,” jawab Langit kemudian meranjak menuju bangku yang tidak jauh dari Bian. Bocah laki-laki itu masih belum paham situasi yang ada. Namun, Bian bisa melihat kalau tangannya beberapa kali mengusap pipi.“Aluna bangun!” panggil Bian sambil menepuk-nepuk pipinya. Saat maniknya bertatapan dengan bangku di sebelah Langit, Bian segera mengangkat tubuh Aluna. Merutuki kebodohannya, harusnya ia bisa pelan-pelan memberitahu Aluna. Melupakan kalau Aluna sedang hamil dan ibu hamil tidak boleh banyak pikiran apalagi stress. “Maaf, harusnya aku-”“Ini ada apa?”Bian sontak mengangka
“Ayah, sekarang aku sudah tidak punya Papi lagi.”Suara Langit memecahkan keheningan diantara ketiga orang yang sedang berada di dalam mobil. Setelah Bian mengatakan untuk mengajak pulang Aluna, wanita itu menurut. Meski hatinya masih tidak rela untuk meninggalkan pemakaman Ryu. Bian benar, ini adalah takdir yang harus Aluna jalani.Kepala Bian menoleh, tujuannya bukan Langit, melainkan Aluna yang berada di sampingnya. Tatapan penuh kesedihan tidak pernah lepas dari jalanan di depannya. Walaupun Bian tahu, Aluna pasti terusik dengan kalimat Langit tersebut.Lalu sentuhan tangan Bian pada punggung tangan wanita itu, meremasnya dengan lembut. “Are you oke?”“Hmm.” Aluna menjawab hanya bergumam. Wanita itu seolah tidak memiliki gairah hidup setelah kehilangan Ryu. Bian paham, dibalik sifat keras ingin meninggalkan Ryu, Aluna sangat mencintai mantan suaminya itu. Aluna lantas mengusap perutnya yang masih rata, seketika terhenyak, kalau di sana ada kehidupan lain, ada calon anaknya. Makany
“Gimana keadaannya, Mas?”Bara baru saja menutup pintu kamar berwarna putih itu, menoleh ke samping, ada sebelah tangan memeluk lengannya. Berdiri sang istri dengan wajah khawatir. Ia memang merutuki apa yang diperbuat Renata, tetapi melihat kondisinya yang sekarang membuatnya sangat iba. Bara tidak langsung menjawab, laki-laki itu menghela sebentar lalu menatap pintu yang ia tutup barusan. Tidak akan mengira apa yang telah terjadi pada Renata. Jiwanya terguncang setelah melihat sang suami dikubur di bawah tanah. Sementara istri Ryu yang satunya terlihat tegar dan bisa menerima takdir ini. Berjalan menuju sofa yang ada di depannya lantas mendudukan bokongnya di sana. Nia yang tidak melepaskan lengan Bara, mengikuti dengan duduk di sofa yang sama.“Aku pikir, kalau dia masih belum ada perubahan, kita bawa ke rumah sakit saja,” jawabnya lirih. Setelah mengamuk dan berteriak histeris di pemakaman, Bara telah berhasil menenangkan. Namun, ketika sudah sampai di rumah, Renata mengamuk lagi
“Kamu …” Renata mengacungkan telunjuknya dan mengarahkan pada lelaki yang telah memanggilnya beberapa saat yang lalu. “Pergi! Brengsek, kamu!” Tanpa ragu Renata melempar bantal yang ada di sampingnya ke arah laki-laki tersebut.Bara yang masih berada di dalam kamar. Menyadari Renata yang akan mengamuk lagi, ia refleks menutup pintunya rapat. Mengangkat kedua tangannya di depan dada. “Ren, bisa tenang! Aku mau bantu kamu, tapi tolong kamu tenang. Di luar akan banyak orang, kalau kamu seperti ini mereka akan mengira kalau kamu gila. Pasti kamu tahu dimana orang gila berada, kan.”“Kamu ngatain aku gila, Mas?” Di sela amukannya Renata masih bisa berpikir normal. “Aku gak gila, Mas.” Wanita itu jatuh di lantai sambil menekuk lututnya. Suaranya bergetar dengan buliran bening yang tiba-tiba menetes di pipi. “Maaf … Mas Ryu, harusnya … aku, harusnya … aku.” Ada rasa sakit yang tak terlihat menghujam, saat menyadari tindakannya yang telah membuat Ryu menghembuskan napas terakhirnya. Kembali r
“Stop, Renata!” teriak Bara. Ketika mendengar kegaduhan di dalam kamar, ia tidak bisa menunggu lagi sampai Alan keluar. Tanpa permisi Bara membuka pintu. Untuk pertama kalinya pria itu tercengang dengan apa yang dilihatnya. Akal sehatnya masih menyangkal apa benar ini yang dilakukan oleh istri Ryu. Bara lantas mendekati Renata menarik kedua tangan wanita itu dari kepala Alan kemudian mencengkramnya dengan kuat. “Kamu mau jadi pembunuh, hah? Mau kamu membusuk di buih, hah! Kalau kamu gak bisa mengendalikan diri, terpaksa aku bawa kamu ke rumah sakit jiwa. Mau kamu seperti itu, ya?”“Pergi, Alan!” ucap Bara setelah tangan Renata terlepas dari kepala Alan. “Kamu juga, bodoh atau gimana sih, diam saja diha-”“Saya ikhlas, Mas,” sahut Alan tidak menyimpan dendam sama sekali pada Renata. “Kalau dengan seperti ini bisa membuat Mbak Renata memaafkan saya.”“Konyol itu namanya,” geram Bara. “Mati sia-sia, belum tentu dimaafkan juga.” Kembali decakan kesal keluar dari bibir Bara. “Ck, sebenarny
“Sus, tolong anak saya!” ucap Alan ketika tiba di klinik.Laki-laki itu berjalan mendekati meja resepsionis sambil mengendong Mauren. Ya, Mauren terlepas dari gendongan hanya saat berada di dalam mobil saja. Renata juga binggung dengan sikap tiba-tiba putrinya itu. Aneh, itulah yang terlintas di pikirannya.Seorang gadis yang duduk di balik meja resepsionis itu mendongak dan bertemu tatap dengan Alan yang wajahnya terlihat cemas.“Iya, bisa daftar dulu ya,” ucapnya sopan.Alan lalu melirik Renata yang hanya mengekor di belakangnya. “Mi, tolong isi ini,” ucap Alan dan menunjuk dagunya pada satu lembar kertas yang ada di meja, di depannya.Renata pun mendekat dan mengisi form di depannya dalam diam. Sebab, tadi di mobil sudah berdebat dengan Alan. Tidak perlu datang ke klinik karena ia akan mengompres Mauren dan akan memberikan obat penurun panas.“Mohon tunggu sebentar, kurang tiga panggilan lagi, setelah itu putri Bapak ya,” ucapnya sambil tersenyum ramah.Renata sudah seringkali berh
“Ah, apa dia tidak memiliki makanan apapun di sini?” gumam Renata saat membuka kulkas dan tidak menemukan apapun di sana kecuali dua botol air mineral berukuran sedang di pintu kulkas.“Mami …!” teriak Mauren.Suara Mauren itu mengagetkan Renata. Wanita itu buru-buru berlari menuju kamar dan mendapati Mauren yang sudah membuka matanya dengan tatapan sayu.“Sudah bangun?” tanyanya kemudian melangkah mendekat ke arah tempat tidur.“Mi, pusing,” ucap Mauren tiba-tiba.Refleks, Renata langsung menyentuh kening Mauren dengan telapak tangannya kemudian membaliknya dengan punggung tangannya. “Koq demam? Bentar Mami ambilkan kompres dulu.”Renata keluar dari kamar, menuju dapur lagi untuk mencari baskom dan kain. Sementara di dapur, wanita itu mengamati sekeliling, semua yang diperlukan tidak ada di sana.“Ah, apa yang aku harapkan di sini. Dia paling hanya numpang tidur di sini,” keluhnya lalu kembali masuk ke dalam kamar untuk menghubungi Alan.Tidak lama kemudian, Alan mengangkat teleponn
“Mau turun, gak?”“No!” jawab Renata, ia memilih bertahan di dalam mobil saja daripada harus bersama dengan Alan.“Oke,” jawab Alan lalu menutup pintu mobil. Lelaki itu berjalan ke arah belakang dan membuka pintunya.“Alan, mau dibawa ke mana Mauren?” seru Renata. Seketika kepanikan melandanya . “Biarin Mauren tidur di mobil saja!”Alan kemudian menatap Renata sekilas, kalau wanita ini ingin bertahan di dalam mobil ia tidak peduli. Tetapi ia akan membawa Mauren masuk ke dalam apartemennya.“Apa kamu gak kasihan sama Mauren tidurnya gak nyaman seperti itu.”“Aku tetap disini, Mauren juga harus tetap di sini,” sahut Renata cepat, membantah ucapan Alan.Namun, tanpa mendengarkan keinginan Renata, Alan langsung saja mengendong Mauren dan membawanya masuk.“Hey,” seru Renata. Alan menyematkan senyuman tipis kala melirik Renata yang turun dari mobil kemudian mengikuti langkahnya masuk ke dalam gedung apartemen.“Alan, aku bilang-”“Jangan berisik, Mbak!”Tanpa Renata sadari langkahnya terus
“Kamu mau buat aku malu, Alan Sanjaya?”Begitu keluar dari gedung, Renata menarik tangan lelaki itu untuk mengikutinya. Melangkahkan kakinya menjauh dari kerumunan orang-orang. Setelah sampai di ujung koridor yang sepi, wanita itu menghentikan langkahnya sembari berkaca pinggang. Kekesalannya sudah memuncak seiring sikap Alan yang santai seolah tidak pernah melakukan kesalahan.“Mbak …!”“Aku bukan Mbakmu!” jerit Renata frustasi, merasa muak dengan panggilan itu karena Alan memanggilnya dengan suara rendah dan lembut.Sedangkan lelaki itu mengulum senyum. Selama ini, Renata tidak pernah protes dengan cara panggilnya, tetapi tiba-tiba dia mengklaim bukan Mbaknya.“Oke, kalau begitu aku panggil Sayang saja,” ucapnya disertai kekehan, meski mata Renata sudah menyorotnya tajam, Alan tidak peduli.“Jawab aku, Alan!” bentak Renata sudah hilang kesabarannya. “Kamu mau buat aku dan Mauren malu, hah! Belum cukup ka-”Renata tidak bisa melanjutkan ucapannya ketika kelima jari Alan singgah di bi
Hari ini, Alan sengaja datang ke sekolahan Mauren. Semalam, Bara mengirimkan pesan bahwa di sekolahan Mauren sedang ada acara, tidak membuang kesempatan Alan akan hadir di acara tersebut.Lelaki itu berangkat tanpa memberitahu pada sang putri. Ia tidak peduli, kalau ternyata nanti di sana akan mendapatkan penolakan. Ia bisa memastikan nanti akan bertemu dengan Renata di dalam. Sekali lagi, Alan katakan tidak peduli.Setelah menempuh perjalanan selama tiga puluh menit, akhirnya dia menepikan mobilnya di parkiran khusus untuk pengunjung.Sikap Alan yang ramah membuat tidak ada kecanggungan bila harus menyapa orang-orang yang sebelumnya tidak kenal. Dengan langkah tegas, tidak ada keraguan sedikitpun lelaki itu berjalan menjangkau menuju gedung Aula, tempat diadakannya acara tersebut.Ketika Alan sudah mencapai gedung tersebut, langkahnya terhenti sebab ada seorang resepsionis yang berjaga sembari menyodorkan buku tamu bagi yang akan masuk.“Selamat siang, maaf dengan wali murid siapa ya
Renata dan Alan duduk bersisihan di teras rumah. Hari ini memang Alan sengaja datang di malam hari untuk bisa bertemu dan berbicara dari hari ke hati dengan Renata. Semenjak kepulangan wanita itu dari rumah sakit dan Alan yang pindah ke apartemen, membuat keduanya jarang bertemu. Sekalinya Alan ingin mengantar Mauren ke sekolah, hal itu sudah lebih dulu dilakukan oleh Renata.Selama hampir sepuluh belas menit, tidak ada yang bersuara di antara keduanya. Hanya suara angin yang bertiup seolah memecahkan keheningan . Dan selama itu pula, tatapan Alan hanya tertuju pada wajah cantik Renata. Dari situ Alan dapat mengamati dengan jelas wajah Renata yang tidak banyak berubah setelah bertahun-tahun tidak bertemu.Sungguh bodoh, dirinya dulu meninggalkan wanita ini. Harusnya saat itu dia tidak meninggalkan Renata dan membangun keluarga kecilnya, mempertahankan wanita yang dia cintai meski jalan itu tidak akan mudah karena pertentangan dari kedua keluarga. Namun, sekarang hanya penyesalan yang
“Sayang, ayo kita foto dulu.” Bian mengandeng tangan Aluna mengajaknya ke arah dekor yang sengaja disiapkan untuk acara ijab kabulnya tadi. “Langit dan Tegar mana ya?” Netra Bian menatap kesana kemari, mencari keberadaan kedua putranya itu.“Mereka kayaknya di depan, Mas,” sahut Aluna.“Zi, tolong panggilkan Langit sama Tegar di luar,” pinta Bian yang tiba-tiba melihat keberadaan wanita itu. “Bilangin mau diajak foto keluarga.”Ziya tidak menjawab, namun langkahnya menuju luar rumah untuk memanggil kedua anak Bian itu.“Sayang, Langit, Tegar,” panggilnya sambil melambaikan tangan. “Ayah ngajakin foto dulu.”Langit dan Tegar bergegas masuk ke dalam rumah dan meninggalkan permainannya dengan anak tetangga sebelah rumah.Cekrek, cekrek, cekrek, cekrek, cekrek.Entah sudah berapa banyak dan berapa pose yang dilakukan kelima orang itu di depan kamera, Aluna sudah merasakan capek sekali.“Tenang, nanti aku pijitin kamu,” ucap Bian dengan kerlingan jahil untuk menggoda sang istri. “Ish …!” d
“Langit biar duduk di belakang, sepertinya dia ngantuk itu,” ucap Bian pada Aluna, ketika membuka pintu belakang mobil dan melirik pada pemuda kecil yang tengah menguap.Tanpa banyak protes, Langit masuk dan duduk, lebih tepatnya membaringkan tubuhnya miring menghadap ke punggung bangku kemudian menutup mata.Aluna menatap Bian tanpa berkata-kata, lelaki itu selalu tahu apapun yang terjadi pada anak-anaknya. “Padahal tadi kayaknya tidak ada tanda-tanda ngantuk deh!”Bian membukakan pintu di samping kemudi, menyuruh Aluna untuk masuk. Lantas berputar mengitari mobil dan langsung duduk di bangku kemudi. Memasang sabuk pengaman dan mulai menjalankan kereta besinya. “Sejak dipemakaman tadi matanya sudah merah, Sayang.”Entah, Aluna tiba-tiba tersipu mendengar Bian memanggilnya Sayang, mungkin juga saat ini wajahnya tengah memerah karena malu. Hingga memalingkan wajahnya ke jendela, yang ada di sampingnya.“Kamu kalau malu-malu seperti itu kayak ABG saja!”Celetukkan Bian sanggup membuat A
“Hati-hati!” seru Bian, mengeratkan tangannya yang mengenggam pergelangan tangan Langit.Kemudian, lelaki itu kembali menuntun Langit. Berjalan menyusuri jalan setapak di sela-sela antara satu makam dengan makam yang lain.Kenapa tidak dengan melangkahi makam saja kan lebih cepat. Konon katanya, menurut ceramah agama yang ia dengar, jika berziarah tidak boleh berjalan di atas makam. Sebab, menghormati jenazah di dalam kubur sama pentingnya dengan menghormati manusia yang masih hidup karena kuburan memiliki kedudukan dan sangat dimuliakan.Beberapa kuburan, gundukan tanahnya masih basah dengan taburan bunga-bunga yang masih segar. Setelah menempuh berjalan kaki yang lumayan jauh dari pintu masuk, netra Aluna berhenti pada salah satu makam tujuannya. Namun, jantungnya berdegup kencang tatkala melihat karangan bunga segar yang seseorang tinggalkan.Apakah ini bunga dari Renata? Tapi siapa lagi keluarga Ryu, selain wanita itu. Jadi Renata sudah sembuh, bukankah ia sedang di rawat di rumah