Home / Pernikahan / Menjadi Madu Sahabatku / Chapter 31 - Chapter 40

All Chapters of Menjadi Madu Sahabatku: Chapter 31 - Chapter 40

55 Chapters

Bab. 31

Nanti baca ulang bab 30 ya, guys. Ada kesalahan isi bab soalnya. setelah itu lanjut ke bab ini.***"Ngapain juga harus melihatnya secara langsung sih, Mas? Nggak penting banget. Yang penting 'kan Dokter udah ngomong dia dalam keadaan baik-baik saja." Elsa merengut kesal, tampak tidak senang mendengar jawaban Nathan.Pria itu hanya menghela napas dengan berat, memutuskan untuk mengakhiri obrolan tentang Silla."Udah... mending sekarang kita tidur, Mas," ajak Elsa. Tangannya menarik lengan Nathan, mengajaknya berbaring bersama di atas kasur yang nyaman.Selimut tebal membungkus tubuh mereka. Elsa, dengan tenang, langsung terlelap dalam pelukan Nathan. Namun, tidur tak kunjung datang bagi Nathan. Bayangan wajah Silla, pucat dan lemah, menghantui pikirannya.'Apa aku coba video call Silla saja, ya? Untuk memastikan keadaannya?'Pikiran itu muncul, menawarkan secercah harapan. Nathan meraih ponselnya di atas nakas. Namun, kenyataan pahit menerjangnya—dia baru menyadari bahwa tak me
Read more

Bab. 32

"Iya ... Pak Haikal memberitahu bahwa Nona masuk rumah sakit. Jadi aku datang untuk menjenguk." Shaka menarik kursi kecil di dekat ranjang Silla. Dia meletakkan parsel buah yang dibawanya, lalu memberikan sebuket bunga pada saat Silla bangkit untuk duduk. "Apa aku mengganggu waktu istirahat Nona?""Enggak kok, Kak." Silla menggelengkan kepalanya, lalu menunjuk kantong infusan yang menggantung, tampak tersisa sedikit lagi. "Lagian setelah kantong infusan ini habis ... dokter sudah mengizinkanku pulang, Kak."Senyum Shaka merekah, hangat dan tulus. "Syukurlah. Artinya Nona sudah jauh lebih baik? Oh ya, aku lupa mengucapkan selamat atas kehamilan Nona.""Terima kasih, Kak," jawab Silla, suaranya masih sedikit lemah."Kalau semisalnya Nona membutuhkan sesuatu, jangan sungkan untuk bicara padaku, ya! Perempuan hamil, terutama di awal kehamilan, seringkali memiliki keinginan yang aneh-aneh. Bawaan bayi, katanya." Shaka berucap dengan penuh perhatian. "Dan kalau tidak bisa dituruti, katan
Read more

Bab. 33

"Tadi 'kan aku membuangnya, jadi aku ganti. Kamu bisa mengambilnya dan memakan buah yang dari aku, bukan dari Shaka," jelas Nathan lembut, jemarinya menghapus air mata yang membasahi pipi Silla. Silla tersentak. Wajahnya bersemu merah. 'Kak Nathan menghapus air mataku? Ini nyata? Atau mimpi?' Jantung Silla berdegup kencang, dipenuhi rasa bahagia yang tak terkira. Sentuhan Nathan, lembut dan hangat, membuatnya melayang. Aneh, tapi menyenangkan. Sikap Nathan yang berbeda dari biasanya membuat Silla semakin bertanya-tanya, semakin tenggelam dalam kebingungan yang manis. Nathan menarik kursi bekas Shaka, lalu duduk di sana sambil bersedekap. Tatapannya terpaku pada Silla, mengamati setiap detail wajah dan tubuhnya.Bukan sekadar melihat, tapi seakan ingin membaca jiwanya. Ada rasa ingin tahu yang membara di matanya, bercampur dengan keraguan yang mengusik. Silla merasakan tatapan itu seperti sentuhan lembut yang membakar pipinya. Detak ja
Read more

Bab. 34

"Mama dan Papa ingin memantau perkembangan kehamilan Silla. Selain itu, Mama berpikir akan lebih baik jika Silla dan Elsa tidak tinggal serumah untuk sementara," ujar Herlin lembut, tatapannya penuh makna tertuju pada Nathan. "Kamu mengerti maksud Mama 'kan, Nathan? Mama hanya tidak ingin hubungan Silla dan Elsa semakin renggang. Mungkin jika mereka berjauhan... keduanya bisa saling merindukan." Nathan mengangguk, memahami maksud mertuanya. "Aku mengerti, Ma." "Tapi, kamu harus adil, ya? Kunjungi Silla setidaknya tiga kali dalam seminggu. Dan jangan lupa memberikannya nafkah lahir dan batin." Nathan tertegun. "Nafkah lahir batin???" Dia baru tersadar, selama ini dia belum pernah benar-benar memberikan nafkah lahir pada Silla. Nafkah batin pun hanya sekali, dan itu pun saat dia mabuk. Silla tiba-tiba bersuara, "Seminggu sekali saja, Ma, Kak Nathan mengunjungiku. Tidak perlu tiga hari sekali. Dia "kan sibuk bekerja." Herlin bersikeras, "Nathan bisa mengunjungimu sepulang kerja, Sill
Read more

Bab. 35

"Mulai sekarang, kamu bisa mengatur jadwal hari dimana Nathan bersama Silla dan Nathan bersamamu. Dan ingat, itu harus 3 hari dalam seminggu, supaya adil." Haikal perlahan berdiri dari duduknya, makan siangnya pun sudah habis, dan urusannya dengan Elsa sudah selesai. "Kalau begitu Papa pamit balik ke kantor, ya? Istirahat Papa sudah habis. Papa juga ada meeting." Dia tersenyum tipis, mencoba untuk bersikap biasa saja, tapi Elsa bisa merasakan ketegasan di balik senyum itu.Elsa tampak terdiam, wajahnya memendam rasa kesal yang membara pada jiwanya. Dia merasa seperti boneka yang bisa diatur oleh orang tuanya."Papa hanya ingin kamu menjadi anak yang penurut, Papa menyayangimu, Sa." Haikal mendekat, lalu mencium kening Elsa. Setelah itu dia melangkah pergi dari restoran, meninggalkan Elsa yang masih terpaku di tempat duduknya."Tidak ... Papa tidak pernah menyayangiku. Yang Papa sayangi hanya Silla, hanya dia!" Elsa mencengkram kursi, mengamati kepergian Haikal. "B
Read more

Bab. 36

Kejutan usulan Darwin membuat Elsa tersentak. Namun, bukan ketakutan yang langsung muncul, melainkan kebingungan. Gelengan kepala yang dia lakukan tampak ragu-ragu, bukan penolakan mutlak."Tapi aku nggak yakin, Dad," bisiknya, suara sedikit gemetar."Nggak yakin kenapa?" tanya Darwin, suaranya lembut, menenangkan. Bukan tekanan yang terasa, melainkan perhatian yang tulus, atau setidaknya begitulah yang dirasakan Elsa."Takutnya kita ketahuan. Bisa habislah aku sama Mas Nathan. Aku takut ... aku takut dia menceraikanku, Dad," ucap Elsa. Ketakutan masih ada, bayangan hukuman dari Nathan masih menghantuinya. Elsa bahkan masih mengingat kata-kata Nathan yang tidak akan memaafkannya jika dia ketahuan telah berkhianat. Lantas, apa yang terjadi jika Nathan tahu bahwa selama ini dia ternyata telah main serong dengan Darwin? Tidak bisa dibayangkan betapa murkanya Nathan nanti.Darwin, dengan gerakan lembut, merangkul bahu Elsa, menariknya ke dalam pelukan yang hangat dan menenangkan. Sentuha
Read more

Bab. 37

"Ya sudah... kalau begitu aku pamit ke mejaku ya, Tan. Takutnya gebetanku sudah sampai. Nggak enak kalau dia menunggu lama, ini 'kan kencan pertama kami." Yasir berdiri, merapikan jasnya dengan gerakan tergesa-gesa, debaran jantungnya terasa begitu cepat."Iya. Semoga berhasil, ya, kali ini, Sir," kata Nathan, menyemangati sahabatnya. Dia tentu akan sangat senang jika melihat Yasir akhirnya tak lagi menjomblo."Aminnn."Yasir melangkah cepat meninggalkan Nathan, langkah kakinya terasa lebih ringan dari biasanya. Meja pesanannya berada di lantai dua, namun langkahnya terasa begitu cepat, seakan tak sabar untuk bertemu.Beberapa menit setelah kepergian Yasir, Shaka tiba. Dia tampak sangat rapi dalam balutan stelan jas biru navy, aura ketampanannya memancar."Selamat malam, Pak Nathan. Mohon maaf bila saya terlambat, tadi terjebak kemacetan," katanya dengan sopan, membungkukkan badan sedikit."Nggak apa-apa, lagipula aku juga baru sampai," jawab Nathan santai, namun sorot matanya m
Read more

Bab. 38

"Aku?!" Nathan menunjuk wajahnya sendiri, panik. Kepalanya menggeleng cepat. "Tentu saja tidak! Lagipula, untuk apa aku menyatakan cinta padanya? Yang kucintai hanya istriku, Elsa. Silla hanyalah istri kedua." Nathan berusaha mengelak, rasa malu membanjiri wajahnya.Shaka mengerutkan dahi, bingung. "Tapi, Bapak tadi bilang ini tidak adil. Maksud Bapak apa?" Dia mengingat ucapan Nathan sebelumnya.Nathan berpura-pura tidak mengerti, namun ekspresinya mengkhianatinya. "Kapan aku mengatakan itu?" Suaranya terdengar tegang. "Lupakan saja! Sepertinya aku salah bicara. Tapi, makan malam kita sudah selesai. Kamu boleh pulang sekarang."Shaka tersenyum tipis, sedikit kecewa karena merasa Nathan menyembunyikan sesuatu. Dia lantas berdiri, "Baiklah, Pak. Terima kasih atas makan malamnya. Saya permisi.""Sama-sama," jawab Nathan singkat, mengibaskan tangannya acuh tak acuh. Dia menatap kepergian Shaka.***"Papa meminta Mas mengunjungi Silla tiga kali seminggu, jadi aku mengizinka
Read more

Bab. 39

"30 menit?" Dahi Nathan berkerut semakin dalam. "Sedang apa mereka?" Sebuah rasa tidak enak mulai menggerogoti hatinya. Namun, dia mencoba untuk menepisnya."Berpikir apa aku ini?" Nathan geleng-geleng kepala. "Bisa-bisanya aku berpikir yang tidak-tidak tentang mereka berdua. Pasti Elsa hanya curhat sama Daddy, perihal aku harus membagi waktu. Iya ... pasti hanya karena itu."[Tapi maaf ya, Pak. Saya sama sekali tidak bisa mendengar dan melihat, saat mereka berada di dalam mobil. Karena memang tidak terdengar dan terlihat apa-apa.] Mata-mata itu mengirim balasan.[Tidak perlu dipikirkan, itu tidak masalah. Lagian dia adalah Daddy-ku.] Nathan mengetik.***Keesokan harinya."Silla... kamu mau ke mana?" tanya Herlin, suaranya terdengar cemas saat melihat Silla keluar kamar dengan tas di tangan, pakaiannya rapi."Aku mau pergi ke tempat kerja, Ma." Jawab Silla lirih.Herlin melangkah cepat, wajahnya dikerutkan oleh kekhawatiran. "Ke tempat kerja? Kan Mama sudah bilang, kamu harus berh
Read more

Bab. 40

"Bu Herlin ... di depan ada Bu Dahlia dan Pak Darwin," lapor Bibi Pembantu, menghampiri Herlin yang berada di dapur, tengah membuatkan susu ibu hamil untuk Silla.Sembari menunggu Nathan datang, Herlin meminta agar Silla berada di kamarnya untuk beristirahat."Suruh masuk aja, Bi," jawab Herlin."Baik, Bu." Bibi mengangguk, kemudian berlalu pergi.Herlin menuju kamar Silla sambil membawa segelas susu ibu hamil, tapi dia juga meminta Silla untuk turun bersamanya menemui mertuanya."Memangnya, orang tua Kak Nathan datang mau apa, Ma? Aku merasa tidak enak, haruskah aku ikut?" tanya Silla, suaranya terdengar ragu saat Herlin menggenggam tangannya. Wajahnya tampak sedikit cemas. Dia memang tak begitu dekat dengan orang tua Nathan, pertemuan terakhir hanya saat pernikahannya dulu."Mereka ingin bertemu denganmu, Sayang. Bu Dahlia sudah memberitahu Mama sebelumnya." Herlin berusaha menenangkan putrinya dengan senyum lembut."Bertemu denganku?" Silla mengerutkan kening, kebingungan tergamb
Read more
PREV
123456
DMCA.com Protection Status