Home / Pernikahan / OKE, MARI BERCERAI / Chapter 31 - Chapter 40

All Chapters of OKE, MARI BERCERAI : Chapter 31 - Chapter 40

74 Chapters

Lawan

"Awas aja kamu, Gina! Aku bersumpah kamu akan mengemis di kakiku!" ancam Rindu. "Lihat aja nanti! Kalian akan terusir dari rumah ini! Menangis darah pun, aku enggak akan kasih ampun sama kalian!"Gina tidak memedulikan ucapan istri baru kakaknya itu. Gadis itu langsung masuk dan membanting pintu sekeras ia mampu. Kemudian dikuncinya pintu itu agar tidak ada kesempatan lagi untuk Rindu dan Asih memasuki rumahnya.Tubuh Gina akhirnya luruh. Gadis itu tergugu dengan bersandar pintu. Sungguh, saat ini bagi Gina adalah masa terberat dalam hidupnya. Dulu saat ayahnya meninggal di sisinya masih ada Gibran dan ibunya. Namun, sekarang ia hanya bersama ibunya, itu pun sedang sakit dan usianya sudah cukup tua.Gina takut kalau pada akhirnya Gibran benar-benar masuk penjara. Siapa yang akan bertanggung jawab atas dirinya dan sang ibu? Jika harus berhenti kuliah dan bekerja, Gina merasa belum siap. Ia ingin meraih cita-citanya sebagai seorang perawat.Tangis Gina semakin pecah memikirkan masa depa
Read more

Ditinggalkan

"Mana atasan kamu?" bentak Dewa pada Wina. "Atasanku?" Wina balik bertanya karena tidak biasanya Dewa bersikap seperti ini."Iya! Si Dewi!""Si Dewi?" ulang Wina. Bagaimana tidak merasa aneh sementara selama ini Dewa selalu bersikap sopan terhadap Dewi."Kemana dia?" tanya Dewa dengan tidak sabar. Amarah Dewa tersulut karena memang selama ini sering menjadi tempat berkeluh-kesah Gibran. Dan hari ini puncaknya ia mendapati Dewi sampai bertindak sejauh itu melaporkan Gibran ke polisi sampai Gibran ditahan."Ada di ruangan. Ada perlu apa?" Wina balik bersikap ketus."Bukan urusanmu!"Dewa melangkah lebar menuju ruangan Dewi. Dibuka dan ditutup dengan kasar pintu ruangan Dewi sampai Dewi yang sedang fokus dengan laptopnya sangat terkejut."Ada apa, Wa?" tanya Dewi melihat tingkah teman kerjanya itu tidak biasa."Luar biasa kamu emang, ya, Wi!" Dewa menyeringai."Maksud kamu?" Dewi masih tidak mengerti apa yang membuat teman yang sekaligus bawahannya itu bersikap demikian."Aku tahu, Wi,
Read more

Genderang Perang

Rencana Dewi untuk bisa langsung tidur setelah tiba di rumah ternyata urung. Ia masih memikirkan ucapan Dewa. Karena bagaimanapun Dewi manusia biasa yang bisa tersentuh hatinya."Apa benar aku keterlaluan?" gumam Dewi. "Enggak! Kesalahan Mas Gibran sangat fatal. Dia sudah memalsukan surat kematianku. Itu udah enggak bisa dimaafkan!"Untuk mengalihkan pikiran, Dewi berselancar di dunia maya. Hal yang sebelumnya jarang sekali ia lakukan. Dewi bukan orang yang aktif di media sosial. Ia hanya memiliki akun media sosial, tetapi nyaris tak pernah ia gunakan. Sangat berbeda dengan Gibran yang sehari-hari tak bisa lepas dari media sosial.Dewi melihat-lihat postingan teman-temannya di facebook. Daftar pertemanan Dewi didominasi oleh akun-akun yang memang ia kenal di dunia nyata. Ada yang memposting foto bersama anak, bersama suami, dan lain sebagainya.Penasaran, Dewi mencari akun Gibran. Ia ingat kalau dulu pernah berteman dengan Gibran sebelum menikah. Dewi mengetik nama akun Gibran, tetapi
Read more

Rincian Biaya

"Dok, gimana ibu saya?" tanya Gina setelah dokter selesai memeriksa Bu Santi."Bu Santi dehidrasi akut. Kondisinya sangat lemah, nyaris kritis, jadi harus rawat inap," jelas dokter tersebut. "Silakan anggota keluarga untuk mengurus administrasi terlebih dahulu!""Biar aku yang urus," ucap Dewa setelah dokter dan perawat meninggalkan tempat dimana Bu Santi diperiksa."Makasih, Mas."Setelah administrasi beres, Bu Santi dipindahkan ke ruang perawatan sesuai dengan pilihan Dewa. Ruang VVIP."Mas, di sini kan, mahal?" bisik Dewi saat ibunya diantar ke ruangan tersebut."Udah, kamu tenang aja. Biar ibu kamu cepat sembuh dan kamu juga nyaman jagainnya," ucap Dewa sembari tersenyum menenangkan Gina."Sekali lagi terima kasih, ya, Mas.""Udah, jangan terima kasih terima kasih terus. Nanti yang lain enggak kebagian," candanya agar suasana tidak tegang.Mau tak mau Gina akhirnya tersenyum. Ia merasa beruntung kakaknya pernah membantu Dewa. Gina tidak bisa membayangkan bagaimana nasibnya dan san
Read more

Pahlawan

Dewa berjalan ke parkiran dengan langkah gontai. Rambutnya kusut karena entah berapa kali telah ia acak-acak. "Aku harus cari uang kemana?" Berulang kali pertanyaan itu menggema di kepala Dewa. Belum lagi biaya buat pengacara yang tidak murah."Duh ...." Dewa kembali meremas rambutnya. Tiba di parkiran, Dewa langsung menuju tempat sepeda motornya diparkir. Kemudian ia melajukan sepeda motornya pulang ke rumah.Dara, istri Dewa sudah cantik dan siap berangkat periksa ke dokter saat Dewa tiba di rumah."Dari mana aja, sih, Mas?" omel Dara. "Aku kan, udah bilang hari ini jangan pulang telat. Hari ini aku harus cek kandungan ke dokter!""Iya, maaf. Aku mandi dulu, ya?" pamit Dewa tanpa semangat."Hm."Dara menunggu di kamar selama Dewa mandi. Dalam hati Dara merasa aneh dengan suaminya. Tak biasanya Dewa bersikap seperti itu saat pulang kerja. Wajah Dewa juga terlihat kusut tidak seperti sebelum-sebelumnya. Biasanya Dewa akan tersenyum lebar kala masuk ke rumah, mencium kening Dara lalu
Read more

Biaya

Gina sudah mengemas barang-barangnya dan juga barang-barang ibunya. Gadis yang pagi itu mengenakan kemeja warna kuning dipadu celana jeans sudah tidak sabar untuk segera pulang. Ia ingin tidur sepuasnya di kamarnya. Kamar yang beberapa saat lalu tidak bisa ia tempati."Dewa nanti ke sini jam berapa, Gin?" tanya Bu Santi yang juga sudah tidak sabar untuk pulang. Lima hari dirawat di rumah sakit, membuat wanita itu ingin segera melihat penampakan rumahnya."Kemarin bilangnya jam istirahat, Bu.""Udah kamu hubungi lagi?""Belum. Nanti aja. Enggak enak kalau terlalu sering menghubungi dia, Bu. Mas Dewa kan, pasti lagi kerja.""Iya juga, ya. Ya udah, kita tunggu aja."Waktu terasa berjalan lambat bagi Gina dan Bu Santi. Entah berapa kali mereka melihat jarum jam. Meski kamar rawat Bu Santi cukup mewah, nyatanya mereka tetap lebih nyaman berada di dalam rumah."Nanti kalau sebelum ke rumah kita besuk Masmu dulu gimana, Gin?" tanya Bu Santi. Sekitar satu minggu tidak melihat Gibran ia merasa
Read more

Kejutan

Gina langsung mengambil kertas yang disodorkan oleh petugas. Lalu membaca daftar pengeluaran selama ibunya dirawat. Begitu sampai bagian paling bawah, Gina tertegun, bumi seperti berhenti berputar melihat angka yang tertera. Lututnya lemas dan tenaganya menguap. Kertas yang ia pegang itu sampai lepas dari genggaman."Lima hari dirawat biayanya hampir menyentuh angka empat puluh juta?" gumam Gina tak percaya. Ia baru sadar kalau ibunya memang dirawat di rumah sakit swasta yang terkenal dengan fasilitas dan biayanya yang juga fantastis."Apa karena ini Mas Dewa enggak datang?" batin Gina. "Padahal Mas Dewa udah janji mau beresin semua biaya rumah sakit ini. Terus aku harus gimana?"Jika tidak berpegangan, tentu saat ini tubuh Gina sudah ambruk. Gina melihat kalung dan cincin dalam genggaman. "Untuk bayar separonya aja enggak akan cukup," batin Gina. "Astaga, aku harus gimana?"Dengan langkah gontai, akhirnya Gina kembali ke kamar ibunya. Bahkan saat melangkah Gina merasa kalau telapak k
Read more

Siasat

Gina tergugu sembari memungut kotak perhiasan ibunya yang telah terbuka dan berserak di lantai. Dipeluknya kotak perhiasan yang telah kosong itu. Hati Gina benar-benar hancur lebur. Satu-satunya harapan untuk bisa membayar biaya rumah sakit ibunya telah raib. "Ibu .... Tega sekali orang yang mengambil perhiasan ibu .... Kita harus gimana, Bu? Kita harus gimana sekarang?" Gina menangis meraung-raung. Rasanya ia sudah sangat putus asa. Ternyata seberat ini bertanggung jawab atas dirinya sendiri tanpa bantuan dari Dewi.Dulu hidup mereka baik-baik saja saat masih ada ayah Gina. Lalu ayahnya sakit dan meninggal. Nyaris semua harta yang mereka punya habis untuk biaya berobat sang ayah. Tak lama setelah itu Gibran menikah dengan Dewi dan kondisi ekonomi mereka kembali membaik. Lalu sekarang ...."Kenapa harus begini? Kenapa jadi kayak gini?" Gina menangis tanpa memedulikan apapun. Ia tidak peduli jika para tetangga mendengar tangisannya karena memang saat ini yang ia bisa hanya menangis."
Read more

Postingan

Tak berselang lama, Gina tiba di ruangan Dewi. Matanya bengkak dan pipinya sembab. Baru berjalan tiga langkah dari pintu, Gina langsung bersimpuh sembari menangis tersedu-sedu."Loh, Gin, kamu kenapa?" tanya Dewi yang sangat terkejut dengan apa yang dilakukan Gina. "Ayo, bangun! Kamu ngapain kayak gini?"Gina menggeleng. Ia bersikeras untuk tetap bersimpuh di depan Dewi meski Dewi justru ikut bersimpuh di depan adik iparnya itu."Kamu cerita, ada apa?" tanya Dewi tidak tega melihat Gina menangis seperti itu. Meski Gina ikut serta menghancurkan hati Dewi, nyatanya Dewi tidak tega melihat Gina dalam kondisi begitu."Ibu, Mbak .... Ibu ...." Gina masih sangat sulit untuk berbicara. Dadanya masih terlalu sesak.Pikiran Dewi jadi kemana-mana. Ia justru berpikir kalau Bu Santi meninggal. "Ibu kamu kenapa, Gin?" tanya Dewi sembari mengguncang bahu Gina.Namun, Gina masih menangis meraung-raung. Untungnya ruangan Dewi kedap suara. Jadi, raungan Gina tidak terdengar sampai luar dan tidak mengg
Read more

Tidak Akan Cukup

"Aku serius, Mas. Mana mungkin aku bercanda untuk hal-hal seperti ini. Aku bukan kamu yang istilah jawanya pagi tempe sore kedelai!" tegas Dewi."Enggak, Wi! Aku enggak mau gugat cerai kamu! Aku enggak mau kita cerai!" Gibran tak kalah tegas."Jadi, kamu enggak mau aku bantuin ibu kamu keluar dari rumah sakit?"Gibran gamang. Namun, ia benar-benar tidak mau bercerai dengan Dewi. Sungguh, hal yang paling ia sesali adalah perkataannya malam itu saat mengajak Dewi bercerai. Entah berapa kali dalam sehari, Gibran berharap bisa mengulang saat itu dan menghapus perkataannya saat mengajak Dewi bercerai."Baik, kalau kamu enggak mau aku bayar biaya rumah sakit ibu." Dewi menarik kertas berisi perjanjian itu dari tangan Gibran."Wi ...." Gibran menatap dengan berat kertas yang ditarik oleh Dewi."Kenapa? Kamu setuju?"Gibran menggeleng lemah. "Aku enggak mau kita cerai.""Enggak mau aku bantu?"Gibran bingung hendak mengangguk atau menggeleng. Keduanya sama pentingnya untuk Gibran. Ibu dan ist
Read more
PREV
1234568
DMCA.com Protection Status