"Dok, gimana ibu saya?" tanya Gina setelah dokter selesai memeriksa Bu Santi."Bu Santi dehidrasi akut. Kondisinya sangat lemah, nyaris kritis, jadi harus rawat inap," jelas dokter tersebut. "Silakan anggota keluarga untuk mengurus administrasi terlebih dahulu!""Biar aku yang urus," ucap Dewa setelah dokter dan perawat meninggalkan tempat dimana Bu Santi diperiksa."Makasih, Mas."Setelah administrasi beres, Bu Santi dipindahkan ke ruang perawatan sesuai dengan pilihan Dewa. Ruang VVIP."Mas, di sini kan, mahal?" bisik Dewi saat ibunya diantar ke ruangan tersebut."Udah, kamu tenang aja. Biar ibu kamu cepat sembuh dan kamu juga nyaman jagainnya," ucap Dewa sembari tersenyum menenangkan Gina."Sekali lagi terima kasih, ya, Mas.""Udah, jangan terima kasih terima kasih terus. Nanti yang lain enggak kebagian," candanya agar suasana tidak tegang.Mau tak mau Gina akhirnya tersenyum. Ia merasa beruntung kakaknya pernah membantu Dewa. Gina tidak bisa membayangkan bagaimana nasibnya dan san
Dewa berjalan ke parkiran dengan langkah gontai. Rambutnya kusut karena entah berapa kali telah ia acak-acak. "Aku harus cari uang kemana?" Berulang kali pertanyaan itu menggema di kepala Dewa. Belum lagi biaya buat pengacara yang tidak murah."Duh ...." Dewa kembali meremas rambutnya. Tiba di parkiran, Dewa langsung menuju tempat sepeda motornya diparkir. Kemudian ia melajukan sepeda motornya pulang ke rumah.Dara, istri Dewa sudah cantik dan siap berangkat periksa ke dokter saat Dewa tiba di rumah."Dari mana aja, sih, Mas?" omel Dara. "Aku kan, udah bilang hari ini jangan pulang telat. Hari ini aku harus cek kandungan ke dokter!""Iya, maaf. Aku mandi dulu, ya?" pamit Dewa tanpa semangat."Hm."Dara menunggu di kamar selama Dewa mandi. Dalam hati Dara merasa aneh dengan suaminya. Tak biasanya Dewa bersikap seperti itu saat pulang kerja. Wajah Dewa juga terlihat kusut tidak seperti sebelum-sebelumnya. Biasanya Dewa akan tersenyum lebar kala masuk ke rumah, mencium kening Dara lalu
Gina sudah mengemas barang-barangnya dan juga barang-barang ibunya. Gadis yang pagi itu mengenakan kemeja warna kuning dipadu celana jeans sudah tidak sabar untuk segera pulang. Ia ingin tidur sepuasnya di kamarnya. Kamar yang beberapa saat lalu tidak bisa ia tempati."Dewa nanti ke sini jam berapa, Gin?" tanya Bu Santi yang juga sudah tidak sabar untuk pulang. Lima hari dirawat di rumah sakit, membuat wanita itu ingin segera melihat penampakan rumahnya."Kemarin bilangnya jam istirahat, Bu.""Udah kamu hubungi lagi?""Belum. Nanti aja. Enggak enak kalau terlalu sering menghubungi dia, Bu. Mas Dewa kan, pasti lagi kerja.""Iya juga, ya. Ya udah, kita tunggu aja."Waktu terasa berjalan lambat bagi Gina dan Bu Santi. Entah berapa kali mereka melihat jarum jam. Meski kamar rawat Bu Santi cukup mewah, nyatanya mereka tetap lebih nyaman berada di dalam rumah."Nanti kalau sebelum ke rumah kita besuk Masmu dulu gimana, Gin?" tanya Bu Santi. Sekitar satu minggu tidak melihat Gibran ia merasa
Gina langsung mengambil kertas yang disodorkan oleh petugas. Lalu membaca daftar pengeluaran selama ibunya dirawat. Begitu sampai bagian paling bawah, Gina tertegun, bumi seperti berhenti berputar melihat angka yang tertera. Lututnya lemas dan tenaganya menguap. Kertas yang ia pegang itu sampai lepas dari genggaman."Lima hari dirawat biayanya hampir menyentuh angka empat puluh juta?" gumam Gina tak percaya. Ia baru sadar kalau ibunya memang dirawat di rumah sakit swasta yang terkenal dengan fasilitas dan biayanya yang juga fantastis."Apa karena ini Mas Dewa enggak datang?" batin Gina. "Padahal Mas Dewa udah janji mau beresin semua biaya rumah sakit ini. Terus aku harus gimana?"Jika tidak berpegangan, tentu saat ini tubuh Gina sudah ambruk. Gina melihat kalung dan cincin dalam genggaman. "Untuk bayar separonya aja enggak akan cukup," batin Gina. "Astaga, aku harus gimana?"Dengan langkah gontai, akhirnya Gina kembali ke kamar ibunya. Bahkan saat melangkah Gina merasa kalau telapak k
Gina tergugu sembari memungut kotak perhiasan ibunya yang telah terbuka dan berserak di lantai. Dipeluknya kotak perhiasan yang telah kosong itu. Hati Gina benar-benar hancur lebur. Satu-satunya harapan untuk bisa membayar biaya rumah sakit ibunya telah raib. "Ibu .... Tega sekali orang yang mengambil perhiasan ibu .... Kita harus gimana, Bu? Kita harus gimana sekarang?" Gina menangis meraung-raung. Rasanya ia sudah sangat putus asa. Ternyata seberat ini bertanggung jawab atas dirinya sendiri tanpa bantuan dari Dewi.Dulu hidup mereka baik-baik saja saat masih ada ayah Gina. Lalu ayahnya sakit dan meninggal. Nyaris semua harta yang mereka punya habis untuk biaya berobat sang ayah. Tak lama setelah itu Gibran menikah dengan Dewi dan kondisi ekonomi mereka kembali membaik. Lalu sekarang ...."Kenapa harus begini? Kenapa jadi kayak gini?" Gina menangis tanpa memedulikan apapun. Ia tidak peduli jika para tetangga mendengar tangisannya karena memang saat ini yang ia bisa hanya menangis."
Tak berselang lama, Gina tiba di ruangan Dewi. Matanya bengkak dan pipinya sembab. Baru berjalan tiga langkah dari pintu, Gina langsung bersimpuh sembari menangis tersedu-sedu."Loh, Gin, kamu kenapa?" tanya Dewi yang sangat terkejut dengan apa yang dilakukan Gina. "Ayo, bangun! Kamu ngapain kayak gini?"Gina menggeleng. Ia bersikeras untuk tetap bersimpuh di depan Dewi meski Dewi justru ikut bersimpuh di depan adik iparnya itu."Kamu cerita, ada apa?" tanya Dewi tidak tega melihat Gina menangis seperti itu. Meski Gina ikut serta menghancurkan hati Dewi, nyatanya Dewi tidak tega melihat Gina dalam kondisi begitu."Ibu, Mbak .... Ibu ...." Gina masih sangat sulit untuk berbicara. Dadanya masih terlalu sesak.Pikiran Dewi jadi kemana-mana. Ia justru berpikir kalau Bu Santi meninggal. "Ibu kamu kenapa, Gin?" tanya Dewi sembari mengguncang bahu Gina.Namun, Gina masih menangis meraung-raung. Untungnya ruangan Dewi kedap suara. Jadi, raungan Gina tidak terdengar sampai luar dan tidak mengg
"Aku serius, Mas. Mana mungkin aku bercanda untuk hal-hal seperti ini. Aku bukan kamu yang istilah jawanya pagi tempe sore kedelai!" tegas Dewi."Enggak, Wi! Aku enggak mau gugat cerai kamu! Aku enggak mau kita cerai!" Gibran tak kalah tegas."Jadi, kamu enggak mau aku bantuin ibu kamu keluar dari rumah sakit?"Gibran gamang. Namun, ia benar-benar tidak mau bercerai dengan Dewi. Sungguh, hal yang paling ia sesali adalah perkataannya malam itu saat mengajak Dewi bercerai. Entah berapa kali dalam sehari, Gibran berharap bisa mengulang saat itu dan menghapus perkataannya saat mengajak Dewi bercerai."Baik, kalau kamu enggak mau aku bayar biaya rumah sakit ibu." Dewi menarik kertas berisi perjanjian itu dari tangan Gibran."Wi ...." Gibran menatap dengan berat kertas yang ditarik oleh Dewi."Kenapa? Kamu setuju?"Gibran menggeleng lemah. "Aku enggak mau kita cerai.""Enggak mau aku bantu?"Gibran bingung hendak mengangguk atau menggeleng. Keduanya sama pentingnya untuk Gibran. Ibu dan ist
"Wi, kamu serius!?" tanya Wina sampai meletakkan sendoknya di piring. "Serius," jawab Dewi santai. Ia masih menikmati makan siangnya di kantin kantor.Sementara Wina sangat terkejut mendengar cerita Dewi kalau semalam Dewi yang melunasi tagihan rumah sakit Bu Santi. Wina sampai kehilangan selera makannya. "Kamu bukan manusia?""Ish!" Dewi mencebik."Ya habisnya .... Aduh, aku sampai bingung mau ngomong apa, Wi!" Wina mengangkat kedua tangannya dengan bola mata membulat sempurna. "Mereka .... Iya mereka ... udah jahatin kamu sedemikian rupa loh, Wi. Terus kamu masih mau nolong mereka!?"Dewi cuek saja dengan Wina yang masih menggebu-gebu. Ia santai menikmati ayam goreng beserta sambalnya. "Demi rasa kemanusiaan aja, Win. Enggak usah dibesar-besarin, deh!""Tetap enggak bisa, Wi. Otakku enggak bisa mencerna.""Gini, nih. Misal kamu ada di situasi dimana orang yang udah jahat banget sama kamu, butuh bantuan kamu dan cuma kamu satu-satunya orang yang bisa nolong. Cuma kamu, enggak ada la
Gibran terpaku menatap gundukan tanah bertabur bunga di depannya. Ia masih tidak percaya kalau Rindu telah meninggalkannya untuk selamanya. Padahal ia baru saja menggantung harapan kalau Rindu akan pulih kembali bersamaan dengan terbangunnya dia dari koma. Ternyata ia salah. Rindu terbangun hanya untuk melihat dunia untuk terakhir kalinya dan memastikan kalau Dewi sudah memaafkannya.Gibran menghela napas panjang, kemudian berkata dalam hati. "Pergilah, Rin! Pergilah dengan tenang! Dewi udah maafin kamu dan aku akan merawat Fathan dengan baik. Kamu tenang aja. Berkumpullah lagi dengan mamamu! Aku tahu, kamu pasti sangat merindukannya, kan? Sampai kamu pergi secepat ini."Lagi, Gibran menghela napas panjang. Dadanya terlalu sesak saat berusaha menerima kalau dirinya sudah tidak akan bisa melihat sosok Rindu lagi. "Pergilah, Rin! Aku ... ikhlas." Gibran mengusap matanya yang basah. "Makasih udah hadir dalam hidupku. Meski yang kita lewati ternyata seperti ini. Tapi aku yakin, mulai sek
Gibran tertawa sumbang mendengar candaan Andan. Sementara Adnan tertawa lepas karena benar-benar bersyukur Gibran telah melepas Dewi dan kini wanita yang dulu begitu susah ia taklukan, bisa menjadi istrinya."Ya udah, Bran. Kami pamit dulu, ya? Anak-anak udah nunggu di rumah. Kamu yang semangat, ya! Semoga istri kamu bisa segera pulih," pamit Adnan."I-iya." Gibran tergagap karena merasa tertohok dengan salah satu kata yang terlontar dari mulut Adnan. "Anak-anak?" tanya Gibran dalam hati. "Jadi selain Cantika ada anak lain lagi? Apa itu artinya Dewi dan Pak Adnan udah punya anak juga?"Hawa panas menjalari dada Gibran. Meski Dewi sudah bukan istrinya lagi, tetapi tetap saja ia merasa cemburu. Ia masih belum sepenuhnya rela dengan kenyataan yang ada. Karena sejak bertemu kembali dengan Dewi di klinik, apalagi dengan kehadiran Dewi ke rumahnya hari ini, ia masih menaruh harapan besar untuk bisa kembali dengan mantan istrinya itu. Namun ternyata, harapan tinggal harapan. Dewi sudah menj
Beberapa kali Dewi mengulang ucapannya, tetapi Rindu tak merespon sama sekali. Sudah lebih dari setengah jam. Dewi sampai diambilkan kursi plastik untuk duduk oleh Bu Santi. Sebenarnya Dewi berpikir mungkin Rindu akan bereaksi kalau dirinya menyentuhnya. Namun, entah mengapa masih ada tembok besar yang belum bisa Dewi runtuhkan untuk sampai di level mau menyentuh Rindu. Sampai akhirnya Bu Santi meminta Dewi dengan penuh harap. Dewi akhirnya mengangguk setuju. Disentuhnya jemari Rindu yang tinggal tulang dilapisi kulit tipis. Jemari yang terasa kaku dan dingin. Setelah meremas-remasnya dengan perlahan dengan kedua tangannya, Dewi kemudian kembali berkata, "Rindu, kamu ingin ketemu sama aku, kan? Ini aku Dewi. Aku udah di sini. Ayo, buka mata kamu!"Beberapa saat masih tidak ada respon. Sampai Dewi terus mengulanginya sembari menepuk-nepuk lembut punggung tangan Rindu. Dan akhirnya buliran bening mulai mengalir dari ujung mata Rindu."Rindu, ayo buka mata kamu!" titah Dewi. Namun, ha
Seperti janji Dewi, setelah shalat ashar Dewi pergi ke alamat rumah Gibran. Karena belum pernah ke daerah tersebut, ia memilih menggunakan taksi online. Begitu tiba dan turun dari taksi, Dewi tertegun menatap rumah kontrakan Gibran. Bangunan semipermanen itu terlihat sudah cukup tua. Dinding bagian bawah terbuat dari tembok permanen kemudian setengahnya menggunakan papan kayu dengan cat putih yang sudah pudar dan mengelupas dimana-mana.Dari tempat Dewi berdiri, ia bisa melihat warung kelontong milik Gibran. Bukan seperti warung kelontong kebanyakan karena bisa dilihat dengan jelas kalau ruangan tersebut tidak cukup terisi barang-barang dagangan. Hanya sedikit sekali barang dagangan mereka. Dewi benar-benar tidak tega melihatnya. Kehidupannya dengan kehidupan mantan semuanya itu seperti siang dan malam.Tak mau berlama-lama berdiri di pinggir jalan, Dewi kemudian melangkah menuju teras rumah Gibran. Ia mengetuk pintu yang setengah terbuka dan mengucap salam. Tak butuh waktu lama hingg
Langkah Dewi terhenti mendengar permintaan Gibran. Sungguh, ia sudah tidak ingin lagi berurusan apapun dengan masa lalunya. Wanita bermata jernih itu kemudian menoleh. "Maaf, aku udah enggak mau berurusan apapun dengan kalian. Aku udah memaafkan kalian jauh sebelum kalian minta maaf."Gibran langsung berdiri di depan Dewi. "Aku mohon, Wi! Lima tahun, hanya nama kamu yang Rindu sebut. Dia bahkan enggak sekalipun menyebut namaku, Fathan, atau siapapun! Tapi, nama kamu selalu keluar dari mulutnya. Aku yakin, Wi, aku yakin sekali kalau dia ingin ketemu kamu. Rindu pasti ingin minta maaf sama kamu secara langsung. Kamu mungkin udah maafin kami, tapi kami belum meminta maaf sama kamu. Aku mohon, Wi ....""Maaf, aku enggak bisa," tolak Dewi dengan wajah datar."Wi, kamu lihat ini dulu! Setelah itu, apapun keputusan kamu, aku enggak akan protes lagi." Gibran merogoh ponsel di saku celana, kemudian membuka kunci layar dan memutar sebuah video. "Lihat ini, Wi!" titahnya sembari menyerahkan pon
Dewi pun membeku melihat lelaki yang kini sedang menatapnya tak percaya. Dadanya bergemuruh, ia ingin menghilang bersama Cantika saat itu juga. Dewi benar-benar belum siap mempertemukan Cantika dengan Gibran. Apalagi mengenalkan keduanya sebagai bapak dan anak. Tanpa memedulikan apapun lagi, Dewi langsung menggendong Cantika dan membawanya keluar dari ruangan itu."Wi! Dewi! Tunggu!" seru Gibran yang masih memangku Fathan. Fathan yang terkejut dengan teriakan ayahnya pun beringsut duduk. "Ada apa, Yah?" tanya anak itu kebingungan.Sementara Gibran celingukan karena menjadi pusat perhatian semua orang yang sedang mengantre di ruangan itu."Fathan, kamu tunggu di sini, ya! Ayah mau ketemu orang di luar sebentar."Fathan tak mengangguk ataupun menggeleng karena anak itu masih kebingungan melihat sikap ayahnya.Tanpa memedulikan respon Fathan, Gibran bergegas keluar mengejar Dewi."Wi! Tunggu!" panggil Gibran saat melihat Dewi sedang membantu Cantika naik ke jok mobil.Karena tidak bisa
"Mbak Dewi baik, Mas. Tadi dia bilang di sini karena ada urusan kerjaan. Aku enggak sempat ngobrol banyak, soalnya dia harus meeting. Jadi aku cuma tanya soal kehamilannya.""Kamu enggak ketemu Cantika?" tanya Gibran dengan kecewa. Ia sangat berharap kalau Gina memiliki memotret Cantika seperti saat memotret Dewi.Gina menggeleng dengan penuh penyesalan. Ia tidak tega melihat harapan yang begitu besar terpancar dari sorot mata kakaknya. "Aku cuma ketemu Mbak Dewi, Mas."Gibran menghela napas panjang. "Kamu enggak tanya dia tinggal di mana?"Gina menggeleng lemah. "Mbak Dewi langsung pergi. Aku enggak sempat tanya.""Ya udah, Gin. Seenggaknya aku udah tau kalau anakku udah lahir. Makasih, ya!""Mas Gibran ke sini cuma mau tanya ini?"Gibran menatap Gina beberapa saat sebelum menjawab pertanyaan itu. "Rindu ... berkali-kali menyebut-nyebut nama Dewi, Dek. Mas dan Ibu pikir, dengan membawa Dewi untuk ketemu Rindu, mungkin akan membuat Rindu bisa membuka mata lagi. Tapi ... gimana Mas mau
Setelah menutup telepon dari Gibran, Gina melihat kembali foto Dewi yang ia ambil secara diam-diam sebelum menyapa mantan istri kakaknya itu. Perintah Gibran untuk mencari tahu kabar bayi yang dikandung Dewi, membuat Gina tersadar kalau tadi ia lupa memperhatikan perut Dewi. Melihat perut Dewi yang sudah rata, napas Gina tercekat."Mbak Dewi sudah melahirkan?" gumamnya.Gina langsung menoleh ke arah dimana Dewi pergi. Gadis berambut panjang itu berlari kecil berusaha mengejar ibu dari keponakannya sembari terus bergumam, "Mbak Dewi, Mbak Dewi, jangan pergi dulu, aku mohon! Please, aku mohon, jangan pergi dulu!"Cukup jauh Gina berlari sampai akhirnya matanya berhasil menangkap sosok yang sedang ia cari.Dewi tampak baru saja meninggalkan kasir."Mbak Dewi! Tunggu!" seru Gina tanpa memedulikan orang-orang di sekitarnya. Ia hanya tidak mau sampai kehilangan jejak Dewi lagi.Dewi yang mendengar panggilan Gina, berhenti sejenak, lalu kembali melangkah. Ia sudah tidak ingin lagi berurusan
"Mbak Dewi!"Dewi yang sedang fokus memilih belanjaan menoleh dan sangat terkejut melihat siapa yang memanggilnya. "Gina?" pekiknya melihat adik dari mantan suaminya berjalan mendekatinya. "Gimana kabar?" Dewi langsung memeluk lalu memegangi kedua bahu Gina dan menatap mantan adik iparnya itu."Baik, Mbak. Mbak Dewi sendiri gimana kabarnya?""Alhamdulillah, baik, Gin. Kamu ...." Dewi menggantung ucapannya karena bingung harus menggunakan kalimat yang seperti apa untuk bertanya mengapa Gina ada di kota tempat tinggalnya saat ini."Aku sekarang kerja di deket sini, Mbak," sambung Gina, ia mengerti apa yang hendak Dewi tanyakan."Oh, jadi sekarang kamu tinggal di sini? Sudah lama?""Lumayan, Mbak. Rumah ibu kan, udah dijual. Jadi ... ya ... aku ngekos sambil kerja."Dewi mengernyit."Iya, Mbak. Rumah ibu dijual untuk bayar biaya rumah sakit si Rindu. Pas Rindu melahirkan dia koma sampai sekarang belum sadar. Bayinya juga ada kelainan jantung dan harus operasi saat itu. Jadi ya ... gimana