Share

Kejutan

Penulis: Srirama Adafi
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Gina langsung mengambil kertas yang disodorkan oleh petugas. Lalu membaca daftar pengeluaran selama ibunya dirawat. Begitu sampai bagian paling bawah, Gina tertegun, bumi seperti berhenti berputar melihat angka yang tertera. Lututnya lemas dan tenaganya menguap. Kertas yang ia pegang itu sampai lepas dari genggaman.

"Lima hari dirawat biayanya hampir menyentuh angka empat puluh juta?" gumam Gina tak percaya. Ia baru sadar kalau ibunya memang dirawat di rumah sakit swasta yang terkenal dengan fasilitas dan biayanya yang juga fantastis.

"Apa karena ini Mas Dewa enggak datang?" batin Gina. "Padahal Mas Dewa udah janji mau beresin semua biaya rumah sakit ini. Terus aku harus gimana?"

Jika tidak berpegangan, tentu saat ini tubuh Gina sudah ambruk. Gina melihat kalung dan cincin dalam genggaman. "Untuk bayar separonya aja enggak akan cukup," batin Gina. "Astaga, aku harus gimana?"

Dengan langkah gontai, akhirnya Gina kembali ke kamar ibunya. Bahkan saat melangkah Gina merasa kalau telapak k
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ayunda Rusli
Seharusnya penulis melakukan survey dulu masalah perawatan rumah sakit, pertama Tama skrg semua orang pakai BPJS sesuai undang2, kedua kalau gak pake BPJS. setiap pasien yang dirawat di RS harus deposit didepan, minimal untuk biaya 1 minggu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • OKE, MARI BERCERAI    Siasat

    Gina tergugu sembari memungut kotak perhiasan ibunya yang telah terbuka dan berserak di lantai. Dipeluknya kotak perhiasan yang telah kosong itu. Hati Gina benar-benar hancur lebur. Satu-satunya harapan untuk bisa membayar biaya rumah sakit ibunya telah raib. "Ibu .... Tega sekali orang yang mengambil perhiasan ibu .... Kita harus gimana, Bu? Kita harus gimana sekarang?" Gina menangis meraung-raung. Rasanya ia sudah sangat putus asa. Ternyata seberat ini bertanggung jawab atas dirinya sendiri tanpa bantuan dari Dewi.Dulu hidup mereka baik-baik saja saat masih ada ayah Gina. Lalu ayahnya sakit dan meninggal. Nyaris semua harta yang mereka punya habis untuk biaya berobat sang ayah. Tak lama setelah itu Gibran menikah dengan Dewi dan kondisi ekonomi mereka kembali membaik. Lalu sekarang ...."Kenapa harus begini? Kenapa jadi kayak gini?" Gina menangis tanpa memedulikan apapun. Ia tidak peduli jika para tetangga mendengar tangisannya karena memang saat ini yang ia bisa hanya menangis."

  • OKE, MARI BERCERAI    Postingan

    Tak berselang lama, Gina tiba di ruangan Dewi. Matanya bengkak dan pipinya sembab. Baru berjalan tiga langkah dari pintu, Gina langsung bersimpuh sembari menangis tersedu-sedu."Loh, Gin, kamu kenapa?" tanya Dewi yang sangat terkejut dengan apa yang dilakukan Gina. "Ayo, bangun! Kamu ngapain kayak gini?"Gina menggeleng. Ia bersikeras untuk tetap bersimpuh di depan Dewi meski Dewi justru ikut bersimpuh di depan adik iparnya itu."Kamu cerita, ada apa?" tanya Dewi tidak tega melihat Gina menangis seperti itu. Meski Gina ikut serta menghancurkan hati Dewi, nyatanya Dewi tidak tega melihat Gina dalam kondisi begitu."Ibu, Mbak .... Ibu ...." Gina masih sangat sulit untuk berbicara. Dadanya masih terlalu sesak.Pikiran Dewi jadi kemana-mana. Ia justru berpikir kalau Bu Santi meninggal. "Ibu kamu kenapa, Gin?" tanya Dewi sembari mengguncang bahu Gina.Namun, Gina masih menangis meraung-raung. Untungnya ruangan Dewi kedap suara. Jadi, raungan Gina tidak terdengar sampai luar dan tidak mengg

  • OKE, MARI BERCERAI    Tidak Akan Cukup

    "Aku serius, Mas. Mana mungkin aku bercanda untuk hal-hal seperti ini. Aku bukan kamu yang istilah jawanya pagi tempe sore kedelai!" tegas Dewi."Enggak, Wi! Aku enggak mau gugat cerai kamu! Aku enggak mau kita cerai!" Gibran tak kalah tegas."Jadi, kamu enggak mau aku bantuin ibu kamu keluar dari rumah sakit?"Gibran gamang. Namun, ia benar-benar tidak mau bercerai dengan Dewi. Sungguh, hal yang paling ia sesali adalah perkataannya malam itu saat mengajak Dewi bercerai. Entah berapa kali dalam sehari, Gibran berharap bisa mengulang saat itu dan menghapus perkataannya saat mengajak Dewi bercerai."Baik, kalau kamu enggak mau aku bayar biaya rumah sakit ibu." Dewi menarik kertas berisi perjanjian itu dari tangan Gibran."Wi ...." Gibran menatap dengan berat kertas yang ditarik oleh Dewi."Kenapa? Kamu setuju?"Gibran menggeleng lemah. "Aku enggak mau kita cerai.""Enggak mau aku bantu?"Gibran bingung hendak mengangguk atau menggeleng. Keduanya sama pentingnya untuk Gibran. Ibu dan ist

  • OKE, MARI BERCERAI    Ketakutan

    "Wi, kamu serius!?" tanya Wina sampai meletakkan sendoknya di piring. "Serius," jawab Dewi santai. Ia masih menikmati makan siangnya di kantin kantor.Sementara Wina sangat terkejut mendengar cerita Dewi kalau semalam Dewi yang melunasi tagihan rumah sakit Bu Santi. Wina sampai kehilangan selera makannya. "Kamu bukan manusia?""Ish!" Dewi mencebik."Ya habisnya .... Aduh, aku sampai bingung mau ngomong apa, Wi!" Wina mengangkat kedua tangannya dengan bola mata membulat sempurna. "Mereka .... Iya mereka ... udah jahatin kamu sedemikian rupa loh, Wi. Terus kamu masih mau nolong mereka!?"Dewi cuek saja dengan Wina yang masih menggebu-gebu. Ia santai menikmati ayam goreng beserta sambalnya. "Demi rasa kemanusiaan aja, Win. Enggak usah dibesar-besarin, deh!""Tetap enggak bisa, Wi. Otakku enggak bisa mencerna.""Gini, nih. Misal kamu ada di situasi dimana orang yang udah jahat banget sama kamu, butuh bantuan kamu dan cuma kamu satu-satunya orang yang bisa nolong. Cuma kamu, enggak ada la

  • OKE, MARI BERCERAI    Tak Menyangka

    Asih yang kondisinya masih sangat lemah hanya bisa menangis sembari mengangkat tangannya ingin meraih Rindu. Hanya saja Rindu pun tak berdaya. Mereka berdua hanya bisa menangis tanpa bisa melawan."Aku enggak lama, Ma! Mama enggak usah khawatir!" seru Rindu sembari dituntun polisi untuk keluar dari kamar rawat mamanya.Begitu diintrogasi di kantor polisi, meski berusaha mengelak, Rindu akhirnya mengakui kalau memang dirinya yang mencuri perhiasan itu. Motifnya mencuri karena sudah tidak punya uang sementara mamanya sakit dan harus dibawa ke rumah sakit. Jadi, terpaksa Rindu melakukannya. Terlebih menurut Rindu, perhiasan itu sebenarnya dulu pernah Bu Santi berikan kepadanya. Hanya saja Gibran tidak mengizinkan karena perhiasan itu pemberian Dewi.Karena bukti sudah cukup dan Rindu sudah mengakui perbuatannya, maka siang itu Rindu harus ditahan. Meski Rindu terus memberontak karena mamanya di rumah sakit sendirian. Namun, polisi tidak peduli. Rindu terus menangis berharap agar polisi

  • OKE, MARI BERCERAI    Benih Harapan

    "Jahat kamu, Mas!" tuduh Rindu sembari terisak-isak. "Tega sekali kamu ngomong seperti itu sama aku! Kamu bilang sendiri kalau kamu cinta sama aku, kamu nyaman sama aku, tapi sekarang? Aku cuma ambil perhiasan yang seharusnya jadi milikku, Mas! Ibu udah kasih perhiasan itu ke aku! Terlepas perhiasan itu pemberian Dewi atau siapapun. Kenapa kamu enggak suka kalau ibu kamu kasih itu ke aku? Sampai kamu bilang aku seorang penipu! Tega kamu, Mas ...."Gibran membuang muka. Sebenarnya ia pun tidak tega berbuat sejauh ini pada Rindu. Karena bagaimanapun Rindu juga masih istrinya dan bahkan tengah mengandung buah hatinya. Namun, untuk saat ini Gibran harus mengambil sikap demi ibunya. Seandainya Rindu tidak selancang itu mengambil perhiasan yang seharusnya digunakan untuk membayar tagihan rumah sakit ibunya, tentu ia tidak akan sampai hati melakukan ini.Rindu masih terus menangis memohon belas kasihan Gibran. "Apa kamu enggak kasihan sama anak kita, Mas? Dia masih di dalam kandungan, tapi h

  • OKE, MARI BERCERAI    Status Sosial

    "Wi, kamu serius mau resign?" tanya Adnan saat Dewi menyerahkan surat pengunduran dirinya."Serius, lah, Bos. Masa udah nyerahin surat gini masih bercanda," sahut Dewi sedikit mengajak bercanda agar suasana tidak tegang. Ia yakin kalau atasannya itu akan sulit membiarkannya keluar begitu saja dari perusahaan."Tapi kenapa, Wi?" tanya Adnan sembari menatap Dewi dengan sorot keberatan. "Kasih aku alasan yang enggak bisa aku tolak!" "Aku capek, ingin istirahat," jawab Dewi asal."Kan, bisa ambil cuti. Aku bakal ACC kamu mau minta izin berapa hari pun! Asal bukan resign!" tegas Adnan kemudian menyandarkan punggungnya di sofa ruang kerjanya.Dewi menggeleng. "Aku udah capek kerja.""Terus?" Adnan memajukan tubuhnya."Ya aku mau resign.""Wi ...." Adnan menatap Dewi penuh harap. "Dunia kerja itu kejam. Kamu tau sendiri. Kalau kamu sampai keluar, enggak akan mudah buat dapat lagi kerjaan dengan posisi kamu seperti sekarang ini. Kamu udah pikirkan itu?"Dewi mengangguk mantap. "Udah."Adnan

  • OKE, MARI BERCERAI    Berita Besar

    Dewi tersenyum simpul. Sebenarnya dulu Dewi pun butuh usaha keras untuk benar-benar melupakan semua tentang harapannya kepada Adnan. Hanya saja, logika Dewi cukup jalan. Ia tidak mau kecewa. Ia tidak mau merasakan sakit yang sama seperti yang ibunya rasakan dulu. Meski pada akhirnya satu-satunya laki-laki yang ia anggap tidak akan mampu menyakitinya justru menjadi orang yang paling menyakitinya."Kenapa, Wi? Apa kurangku?""Status sosial kita terlalu timpang," jawab Dewi pada akhirnya."Why!?" Adnan cukup terkejut mendengar jawaban Dewi. Ia tidak pernah memikirkan hal itu sama sekali. Bertahun-tahun ia pikir kalau dirinya memiliki kekurangan yang tidak bisa Dewi terima.Dewi mengangguk. "Aku cukup tahu diri. Ibuku janda enggak punya apa-apa. Apa kata orang kalau sampai aku sama kamu?""Apaan emangnya?""Ish!" Dewi membuang muka."Serius, Wi? Hanya karena itu?"Dewi mengangguk-angguk."Astaga, Wi. Aku dan keluargaku itu enggak pernah pusingin status sosial. Bagi kami semua sama aja. Se

Bab terbaru

  • OKE, MARI BERCERAI    Membagi Bahagia

    Gibran terpaku menatap gundukan tanah bertabur bunga di depannya. Ia masih tidak percaya kalau Rindu telah meninggalkannya untuk selamanya. Padahal ia baru saja menggantung harapan kalau Rindu akan pulih kembali bersamaan dengan terbangunnya dia dari koma. Ternyata ia salah. Rindu terbangun hanya untuk melihat dunia untuk terakhir kalinya dan memastikan kalau Dewi sudah memaafkannya.Gibran menghela napas panjang, kemudian berkata dalam hati. "Pergilah, Rin! Pergilah dengan tenang! Dewi udah maafin kamu dan aku akan merawat Fathan dengan baik. Kamu tenang aja. Berkumpullah lagi dengan mamamu! Aku tahu, kamu pasti sangat merindukannya, kan? Sampai kamu pergi secepat ini."Lagi, Gibran menghela napas panjang. Dadanya terlalu sesak saat berusaha menerima kalau dirinya sudah tidak akan bisa melihat sosok Rindu lagi. "Pergilah, Rin! Aku ... ikhlas." Gibran mengusap matanya yang basah. "Makasih udah hadir dalam hidupku. Meski yang kita lewati ternyata seperti ini. Tapi aku yakin, mulai sek

  • OKE, MARI BERCERAI    Mimpi

    Gibran tertawa sumbang mendengar candaan Andan. Sementara Adnan tertawa lepas karena benar-benar bersyukur Gibran telah melepas Dewi dan kini wanita yang dulu begitu susah ia taklukan, bisa menjadi istrinya."Ya udah, Bran. Kami pamit dulu, ya? Anak-anak udah nunggu di rumah. Kamu yang semangat, ya! Semoga istri kamu bisa segera pulih," pamit Adnan."I-iya." Gibran tergagap karena merasa tertohok dengan salah satu kata yang terlontar dari mulut Adnan. "Anak-anak?" tanya Gibran dalam hati. "Jadi selain Cantika ada anak lain lagi? Apa itu artinya Dewi dan Pak Adnan udah punya anak juga?"Hawa panas menjalari dada Gibran. Meski Dewi sudah bukan istrinya lagi, tetapi tetap saja ia merasa cemburu. Ia masih belum sepenuhnya rela dengan kenyataan yang ada. Karena sejak bertemu kembali dengan Dewi di klinik, apalagi dengan kehadiran Dewi ke rumahnya hari ini, ia masih menaruh harapan besar untuk bisa kembali dengan mantan istrinya itu. Namun ternyata, harapan tinggal harapan. Dewi sudah menj

  • OKE, MARI BERCERAI    Kesempatan yang Kau Beri

    Beberapa kali Dewi mengulang ucapannya, tetapi Rindu tak merespon sama sekali. Sudah lebih dari setengah jam. Dewi sampai diambilkan kursi plastik untuk duduk oleh Bu Santi. Sebenarnya Dewi berpikir mungkin Rindu akan bereaksi kalau dirinya menyentuhnya. Namun, entah mengapa masih ada tembok besar yang belum bisa Dewi runtuhkan untuk sampai di level mau menyentuh Rindu. Sampai akhirnya Bu Santi meminta Dewi dengan penuh harap. Dewi akhirnya mengangguk setuju. Disentuhnya jemari Rindu yang tinggal tulang dilapisi kulit tipis. Jemari yang terasa kaku dan dingin. Setelah meremas-remasnya dengan perlahan dengan kedua tangannya, Dewi kemudian kembali berkata, "Rindu, kamu ingin ketemu sama aku, kan? Ini aku Dewi. Aku udah di sini. Ayo, buka mata kamu!"Beberapa saat masih tidak ada respon. Sampai Dewi terus mengulanginya sembari menepuk-nepuk lembut punggung tangan Rindu. Dan akhirnya buliran bening mulai mengalir dari ujung mata Rindu."Rindu, ayo buka mata kamu!" titah Dewi. Namun, ha

  • OKE, MARI BERCERAI    Siang dan Malam

    Seperti janji Dewi, setelah shalat ashar Dewi pergi ke alamat rumah Gibran. Karena belum pernah ke daerah tersebut, ia memilih menggunakan taksi online. Begitu tiba dan turun dari taksi, Dewi tertegun menatap rumah kontrakan Gibran. Bangunan semipermanen itu terlihat sudah cukup tua. Dinding bagian bawah terbuat dari tembok permanen kemudian setengahnya menggunakan papan kayu dengan cat putih yang sudah pudar dan mengelupas dimana-mana.Dari tempat Dewi berdiri, ia bisa melihat warung kelontong milik Gibran. Bukan seperti warung kelontong kebanyakan karena bisa dilihat dengan jelas kalau ruangan tersebut tidak cukup terisi barang-barang dagangan. Hanya sedikit sekali barang dagangan mereka. Dewi benar-benar tidak tega melihatnya. Kehidupannya dengan kehidupan mantan semuanya itu seperti siang dan malam.Tak mau berlama-lama berdiri di pinggir jalan, Dewi kemudian melangkah menuju teras rumah Gibran. Ia mengetuk pintu yang setengah terbuka dan mengucap salam. Tak butuh waktu lama hingg

  • OKE, MARI BERCERAI    Bertemu

    Langkah Dewi terhenti mendengar permintaan Gibran. Sungguh, ia sudah tidak ingin lagi berurusan apapun dengan masa lalunya. Wanita bermata jernih itu kemudian menoleh. "Maaf, aku udah enggak mau berurusan apapun dengan kalian. Aku udah memaafkan kalian jauh sebelum kalian minta maaf."Gibran langsung berdiri di depan Dewi. "Aku mohon, Wi! Lima tahun, hanya nama kamu yang Rindu sebut. Dia bahkan enggak sekalipun menyebut namaku, Fathan, atau siapapun! Tapi, nama kamu selalu keluar dari mulutnya. Aku yakin, Wi, aku yakin sekali kalau dia ingin ketemu kamu. Rindu pasti ingin minta maaf sama kamu secara langsung. Kamu mungkin udah maafin kami, tapi kami belum meminta maaf sama kamu. Aku mohon, Wi ....""Maaf, aku enggak bisa," tolak Dewi dengan wajah datar."Wi, kamu lihat ini dulu! Setelah itu, apapun keputusan kamu, aku enggak akan protes lagi." Gibran merogoh ponsel di saku celana, kemudian membuka kunci layar dan memutar sebuah video. "Lihat ini, Wi!" titahnya sembari menyerahkan pon

  • OKE, MARI BERCERAI    Dosa

    Dewi pun membeku melihat lelaki yang kini sedang menatapnya tak percaya. Dadanya bergemuruh, ia ingin menghilang bersama Cantika saat itu juga. Dewi benar-benar belum siap mempertemukan Cantika dengan Gibran. Apalagi mengenalkan keduanya sebagai bapak dan anak. Tanpa memedulikan apapun lagi, Dewi langsung menggendong Cantika dan membawanya keluar dari ruangan itu."Wi! Dewi! Tunggu!" seru Gibran yang masih memangku Fathan. Fathan yang terkejut dengan teriakan ayahnya pun beringsut duduk. "Ada apa, Yah?" tanya anak itu kebingungan.Sementara Gibran celingukan karena menjadi pusat perhatian semua orang yang sedang mengantre di ruangan itu."Fathan, kamu tunggu di sini, ya! Ayah mau ketemu orang di luar sebentar."Fathan tak mengangguk ataupun menggeleng karena anak itu masih kebingungan melihat sikap ayahnya.Tanpa memedulikan respon Fathan, Gibran bergegas keluar mengejar Dewi."Wi! Tunggu!" panggil Gibran saat melihat Dewi sedang membantu Cantika naik ke jok mobil.Karena tidak bisa

  • OKE, MARI BERCERAI    Suara yang Sama

    "Mbak Dewi baik, Mas. Tadi dia bilang di sini karena ada urusan kerjaan. Aku enggak sempat ngobrol banyak, soalnya dia harus meeting. Jadi aku cuma tanya soal kehamilannya.""Kamu enggak ketemu Cantika?" tanya Gibran dengan kecewa. Ia sangat berharap kalau Gina memiliki memotret Cantika seperti saat memotret Dewi.Gina menggeleng dengan penuh penyesalan. Ia tidak tega melihat harapan yang begitu besar terpancar dari sorot mata kakaknya. "Aku cuma ketemu Mbak Dewi, Mas."Gibran menghela napas panjang. "Kamu enggak tanya dia tinggal di mana?"Gina menggeleng lemah. "Mbak Dewi langsung pergi. Aku enggak sempat tanya.""Ya udah, Gin. Seenggaknya aku udah tau kalau anakku udah lahir. Makasih, ya!""Mas Gibran ke sini cuma mau tanya ini?"Gibran menatap Gina beberapa saat sebelum menjawab pertanyaan itu. "Rindu ... berkali-kali menyebut-nyebut nama Dewi, Dek. Mas dan Ibu pikir, dengan membawa Dewi untuk ketemu Rindu, mungkin akan membuat Rindu bisa membuka mata lagi. Tapi ... gimana Mas mau

  • OKE, MARI BERCERAI    Mencari

    Setelah menutup telepon dari Gibran, Gina melihat kembali foto Dewi yang ia ambil secara diam-diam sebelum menyapa mantan istri kakaknya itu. Perintah Gibran untuk mencari tahu kabar bayi yang dikandung Dewi, membuat Gina tersadar kalau tadi ia lupa memperhatikan perut Dewi. Melihat perut Dewi yang sudah rata, napas Gina tercekat."Mbak Dewi sudah melahirkan?" gumamnya.Gina langsung menoleh ke arah dimana Dewi pergi. Gadis berambut panjang itu berlari kecil berusaha mengejar ibu dari keponakannya sembari terus bergumam, "Mbak Dewi, Mbak Dewi, jangan pergi dulu, aku mohon! Please, aku mohon, jangan pergi dulu!"Cukup jauh Gina berlari sampai akhirnya matanya berhasil menangkap sosok yang sedang ia cari.Dewi tampak baru saja meninggalkan kasir."Mbak Dewi! Tunggu!" seru Gina tanpa memedulikan orang-orang di sekitarnya. Ia hanya tidak mau sampai kehilangan jejak Dewi lagi.Dewi yang mendengar panggilan Gina, berhenti sejenak, lalu kembali melangkah. Ia sudah tidak ingin lagi berurusan

  • OKE, MARI BERCERAI    Firasat

    "Mbak Dewi!"Dewi yang sedang fokus memilih belanjaan menoleh dan sangat terkejut melihat siapa yang memanggilnya. "Gina?" pekiknya melihat adik dari mantan suaminya berjalan mendekatinya. "Gimana kabar?" Dewi langsung memeluk lalu memegangi kedua bahu Gina dan menatap mantan adik iparnya itu."Baik, Mbak. Mbak Dewi sendiri gimana kabarnya?""Alhamdulillah, baik, Gin. Kamu ...." Dewi menggantung ucapannya karena bingung harus menggunakan kalimat yang seperti apa untuk bertanya mengapa Gina ada di kota tempat tinggalnya saat ini."Aku sekarang kerja di deket sini, Mbak," sambung Gina, ia mengerti apa yang hendak Dewi tanyakan."Oh, jadi sekarang kamu tinggal di sini? Sudah lama?""Lumayan, Mbak. Rumah ibu kan, udah dijual. Jadi ... ya ... aku ngekos sambil kerja."Dewi mengernyit."Iya, Mbak. Rumah ibu dijual untuk bayar biaya rumah sakit si Rindu. Pas Rindu melahirkan dia koma sampai sekarang belum sadar. Bayinya juga ada kelainan jantung dan harus operasi saat itu. Jadi ya ... gimana

DMCA.com Protection Status