Beranda / Lain / Ifat / Bab 61 - Bab 70

Semua Bab Ifat: Bab 61 - Bab 70

232 Bab

Bab 61: Meminjam Rembulan

Bab 61: Meminjam Rembulan** Setelah Leony pulang dari rumahku, barulah aku bisa pergi ke rumah sakit untuk menjaga Joni. Sesampaiku di rumah sakit, seketika saja aku merasa heran.Tumben, pikirku, Johan pulang cepat dari mengamen. Ketika aku tiba, ia telah lebih dulu berada di situ.Di rumah sakit aku tidak lama, dan langsung kubatalkan rencana menginap. Johan memberiku sebuah solusi.“Kamu bingung mencari tempat untuk latihan?”Aku mengangguk. Johan tersenyum lebar, menunjukkan ompong dua giginya akibat dipukul anak buah Josep.“Padahal setiap hari kamu melewatinya,”“Maksud kamu?”Johan tak menjawab. Sebelah alisnya mengisyaratkan bahwa aku harus memecahkan sendiri teka-teki “setiap hari kamu melewatinya”. “Ah, semprul kamu, Jo! Kenapa tidak bilang dari kemarin-kemarin?”Aku bergegas keluar, terus berlari menuju
Baca selengkapnya

Bab 62 Pot Bunga

Bab 62  Pot Bunga** Keesokan harinya..,Pramono berdiri di depan pintu rumahku dengan gugup, sementara Bombi masih bertolak pinggang di depan teras. Mereka berdua tak mau masuk ke dalam walaupun sudah aku persilahkan.“Hape kamu tidak aktif. Bos tidak bisa menghubungi kamu. Aku disuruh menanyakan keadaanmu. Bagaimana, Fat, kamu siap berangkat besok?” Tanya Pramono.Aku mengangguk, lalu kualihkan pandanganku pada Bombi yang berdiri uring-uringan seperti didesak hajat besar.Aku tahu, ia sedang menatapku dari balik kacamata hitamnya. Aku juga tahu ia mempunya perhitungan khusus denganku. Semacam dendam, begitu kira-kira.“Oke, besok jam sepuluh aku jemput ke sini.” Kata Pramono lagi.Masih kutatap Bombi, tak berkedip. Tiba-tiba, entah apa pasalnya ia meludah ke samping.“Kalau begitu kami pamit, terima kasih sebelumnya.”Pramono berbalik. Belum tiga langkah ber
Baca selengkapnya

Bab 63: Mencari Tambatan

Bab 63: Mencari Tambatan** Kumasukkan beberapa setel pakaian ke dalam tas sandangku. Beberapa perlengkapan lain juga aku masukkan; botol minum Winnie The Pooh, handuk kecil, peralatan mandi, balsem dan charger ponsel.Tidak lupa celana training warna hitam berstrip putih, dan kaos oblong yang kupotong lengannya. Aku akan memakai celana training dan kaos itu sebagai kostumku di ring nanti.Sebentar kemudian aku sudah bersiap. Kusampirkan tali tasku ke pundak, lalu berdiri di depan cermin.Aku pandangi sosok berkemeja kotak-kotak biru yang lengannya tergulung sebatas siku di dalam cermin itu. Dia memakai topi warna hitam, sangat kontras dengan wajahnya yang berwarna sawo matang nan cerah.Aku tersenyum, sosok di dalam cermin ikut tersenyum. Aku mengepalkan tangan, dia juga mengepalkan tangan.“Aku.. adalah.. petarung!” Kataku. Serentak pula, sosok di dalam cermin itu mengucapkan kalimat yang sama.
Baca selengkapnya

Bab 64: Kemilau Cinta di Bandara

Bab 64: Kemilau Cinta di Bandara** ~~ Oh, burung-burung di angkasa..,~~ Tawanlah hati Muhammad Fatih..,~~ Aku ingin melihat senyumnya sekali lagi..,~~ Tarik tangannya ke dalam pesawatku..,~~ Sedetik saja untuk pengobat rindu.., **** Keluar dari jalan Sudirman, kami masuk ke ruas jalan khusus yang menuju ke bandara. Segera saja pohon-pohon cemara di sisi kiri jalan berkelebat di dalam pandanganku. Lima menit setelahnya kami pun sampai di bandara Sultan Syarif Qasim.Di lobi keberangkatan, Pramono menghentikan mobil, buru-buru keluar dan menunjukkan respect yang sedikit berbeda dari sebelumnya.Dia sendiri yang membukakan pintu untukku. Dia juga yang mengambilkan tas sandangku di bagasi belakang.Aku menerima tasku dan cepat aku berbalik untuk berjalan menuju ruang chek in. Belum lima langkah aku berjalan Pramono memanggilku.“Fat!”
Baca selengkapnya

Bab 65: Di Bawah Kotak Kue

Bab 65: Di Bawah Kotak Kue** “~Manusia macam apa aku ini yang tak tahu berterima kasih~”“~Terima kasih, Ifat, karena telah menolong mengobati jariku yang terluka~”Hatiku sontak berdebar keras membaca pesan pada secarik kertaas ini. Sebentar aku menarik nafas, lalu teruskan membaca.“~Manusia macam apa aku ini yang telah menuduhmu mencuri~”“~Mohon maaf, Ifat, aku tidak menuduhmu. Tapi aku memvonismu, karena aku punya bukti; hatiku hilang dan kini sedang kau pegang!~”Aku terkesiap. Cepat aku mengangkat wajah, menoleh kanan kiri depan dan belakang.Ini pasti Anggun!Aku ingat dia seorang pramugari, tapi aku tak pernah tahu dia bekerja di maskapai yang pesawatnya sedang aku tumpangi ini!Dua orang pramugari pertama tadi aku tahu, dan aku ingat wajahnya. Tapi, ah, ya, ada seorang pramugari lagi yang.., ******** 
Baca selengkapnya

Bab 66: Flash!

Bab 66: Flash!** ++ Ditulis oleh: ANGGUN AULIA RASYID.++  Di Sayap Garuda, Mei 2010.~ Ya Tuhan, mimpi apa aku semalam? Misteri apa ini yang sedang berlaku?~ Begitu mudah Engkau mengabulkan keinginanku. Dia datang padaku, Ya Allah, dia datang padaku. Dia naik di pesawatku! Apa yang harus aku lakukan??~ Sepersekian detik aku terperangah saat melihat dia masuk. Aku terpaku dan seakan degup jantungku berhenti.~ Oh, nyaris saja aku pingsan. Untung ada penumpang lain yang meminta bantuan, dan untung saja dia selalu menunduk sehingga tidak melihatku saat berlalu-lalang.~ Ifat, kamu tidak melihatku, kan? Tapi aku bisa melihatmu dari balik tirai di kabin depan. Aduhai, kamu kenapa, Ifat? Mengapa wajahmu tampak sedih.~ Aku melihatmu Ifat, saat kamu bertegur sapa dengan penumpang lain di sebelahmu. Engkau tersenyum, Ifat, engkau tersenyum! Hatiku bergetar, Fat! Aku harap ini bisa menjadi pengobat rin
Baca selengkapnya

Bab 67: Eroto Romantik

Bab 67: Eroto Romantik**Matahari sore begitu garang, merah terang di langit Jakarta. Semua ruas jalan di ibukota ini dipenuhi aneka macam kendaraan. Berebut ruang, macet, padat merayap.Suara klakson menyalak tak henti-henti. Di salah satu sudut kota, seorang preman berambut gimbal berjalan pongah, meninggalkan seorang korban di samping boks sampah.Preman gimbal itu akan berpesta malam ini. Karena dengan hunusan belati, sang korban sudah memberikan segala miliknya pada bromocorah kelas teri itu.Nasib, juga waktu, memang sesuatu yang mistrius. Aku tak mengetahui bahwa preman gimbal itu adalah preman yang berhasil melarikan diri ketika aku menyelamatkan penumpang saat masih menjadi kondektur bus metromini dulu.Aku juga tak mengetahui, preman itu pula yang kemudian bersama gerombolannya menyayat wajah Joni dan Johan, tepat satu jam setelah ia melarikan diri dariku.Sementara di tempat lain yang sunyi dan tenang, di halaman belakang
Baca selengkapnya

Bab 68: Sang Maestro

Bab 68: Sang Maestro** Jum’at, 21 Mei 2010, pagi, pukul 07.00 WIB. Aku sedang melakukan jogging  di atas treadmill sembari menonton televisi. Lebih kurang sudah setengah jam aku berlari-lari dengan tetap menjaga tempo nafas untuk melatih staminaku.Tidak terlalu cepat, juga tidak terlalu lambat, namun di setiap lima menit aku menghirup nafas lewat hidung sebanyak yang aku dapat, menahannya di dada selama yang aku bisa, dan melepaskannya lewat mulut selambat yang aku sanggup.Begitu terus aku ulangi berkali-kali sambil tetap berlari. Ini merupakan salah satu metode yang dulu pernah diajarkan guru silatku. Akan lebih bagus lagi jika aku melakukan ini sambil berlari di pegunungan atau dataran tinggi.Sembari terus berlari, aku menyimak berita di televisi. Beberapa kali mengganti channel dengan remote, hingga kemudian ada sebuah berita yang membuatku terkejut.Refleks aku
Baca selengkapnya

Bab 69: Underground

Bab 69: Underground** Akhirnya, tibalah pertarungan itu!Josep, Bondan, dan Wisnu menjemput aku pukul sembilan malam. Mereka membawa dua mobil.Josep, Bondan, aku dan Kassandra di dalam mobil pertama. Wisnu, Reynold, dan dua sparring partner itu di mobil lainnya, mengawal kami.“Kamu sudah nonton CD yang aku beri, Fat?” Tanya Josep dari jok depan.“Terlambat.” Jawabku sedikit acuh.“Seharusnya sejak jauh-jauh hari aku menontonnya, agar persiapanku lebih matang. Jujur saja, aku bertanding ini hanya mengharapkan nasib baik.”“Ah, aku minta maaf, Fat. Sayang memang, kita berkenalan terlalu singkat. Tapi aku mohon padamu, kamu harus menang di pertarungan ini.”“Supaya apa? Supaya kamu memenangkan taruhan? Supaya kamu bisa membolak-balik permainan?”“Itu nomor sembilan, Fat. Satu yang terpenting adalah kamu selamat, tidak terluka.”
Baca selengkapnya

Bab 70: Bidadari Melepaskan Sayapnya

Bab 70: Bidadari Melepaskan Sayapnya**“Haah?? Bang Ifat ke mari??” Jihan sampai menegakkan tubuhnya di kursi. Ia lalu merapatkan tubuhnya pada meja yang ada di beranda depan rumah Ika ini.“Kapan itu? Urusan apa?” Ada nada cemburu di dalam pertanyaannya itu.Ika tersenyum. “Sekitar seminggu yang lalu. Eh, lebih, ding. Sepuluh harian begitu lah.”“Ada urusan apa?” Ulang Jihan lagi bertanya.Ika tersenyum lagi, menyadari kecemburuan Jihan itu.“Tidak ada urusan apa-apa kok. Dia hanya menemani Bang Irham mengantar buku untuk Kak Riska.”“Bang Irham ini siapa?”“Teman kerja Bang Ifat.”“Kamu kenal dia?”“Tidak.”“Kamu bilang mengantar buku?”“Iya, buku materi ekskul, punya Kak Riska. Bang Irham bilang, besok istrinya tidak bisa masuk mengajar, jadi dia disuruh istrinya un
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
56789
...
24
DMCA.com Protection Status