Bab 67: Eroto Romantik
**
Matahari sore begitu garang, merah terang di langit Jakarta. Semua ruas jalan di ibukota ini dipenuhi aneka macam kendaraan. Berebut ruang, macet, padat merayap.
Suara klakson menyalak tak henti-henti. Di salah satu sudut kota, seorang preman berambut gimbal berjalan pongah, meninggalkan seorang korban di samping boks sampah.
Preman gimbal itu akan berpesta malam ini. Karena dengan hunusan belati, sang korban sudah memberikan segala miliknya pada bromocorah kelas teri itu.
Nasib, juga waktu, memang sesuatu yang mistrius. Aku tak mengetahui bahwa preman gimbal itu adalah preman yang berhasil melarikan diri ketika aku menyelamatkan penumpang saat masih menjadi kondektur bus metromini dulu.
Aku juga tak mengetahui, preman itu pula yang kemudian bersama gerombolannya menyayat wajah Joni dan Johan, tepat satu jam setelah ia melarikan diri dariku.
Sementara di tempat lain yang sunyi dan tenang, di halaman belakang
Bab 68: Sang Maestro**Jum’at, 21 Mei 2010, pagi, pukul 07.00 WIB.Aku sedang melakukan jogging di atas treadmill sembari menonton televisi. Lebih kurang sudah setengah jam aku berlari-lari dengan tetap menjaga tempo nafas untuk melatih staminaku.Tidak terlalu cepat, juga tidak terlalu lambat, namun di setiap lima menit aku menghirup nafas lewat hidung sebanyak yang aku dapat, menahannya di dada selama yang aku bisa, dan melepaskannya lewat mulut selambat yang aku sanggup.Begitu terus aku ulangi berkali-kali sambil tetap berlari. Ini merupakan salah satu metode yang dulu pernah diajarkan guru silatku. Akan lebih bagus lagi jika aku melakukan ini sambil berlari di pegunungan atau dataran tinggi.Sembari terus berlari, aku menyimak berita di televisi. Beberapa kali mengganti channel dengan remote, hingga kemudian ada sebuah berita yang membuatku terkejut.Refleks aku
Bab 69: Underground**Akhirnya, tibalah pertarungan itu!Josep, Bondan, dan Wisnu menjemput aku pukul sembilan malam. Mereka membawa dua mobil.Josep, Bondan, aku dan Kassandra di dalam mobil pertama. Wisnu, Reynold, dan dua sparring partner itu di mobil lainnya, mengawal kami.“Kamu sudah nonton CD yang aku beri, Fat?” Tanya Josep dari jok depan.“Terlambat.” Jawabku sedikit acuh.“Seharusnya sejak jauh-jauh hari aku menontonnya, agar persiapanku lebih matang. Jujur saja, aku bertanding ini hanya mengharapkan nasib baik.”“Ah, aku minta maaf, Fat. Sayang memang, kita berkenalan terlalu singkat. Tapi aku mohon padamu, kamu harus menang di pertarungan ini.”“Supaya apa? Supaya kamu memenangkan taruhan? Supaya kamu bisa membolak-balik permainan?”“Itu nomor sembilan, Fat. Satu yang terpenting adalah kamu selamat, tidak terluka.”
Bab 70: Bidadari Melepaskan Sayapnya**“Haah?? Bang Ifat ke mari??” Jihan sampai menegakkan tubuhnya di kursi. Ia lalu merapatkan tubuhnya pada meja yang ada di beranda depan rumah Ika ini.“Kapan itu? Urusan apa?” Ada nada cemburu di dalam pertanyaannya itu.Ika tersenyum. “Sekitar seminggu yang lalu. Eh, lebih, ding. Sepuluh harian begitu lah.”“Ada urusan apa?” Ulang Jihan lagi bertanya.Ika tersenyum lagi, menyadari kecemburuan Jihan itu.“Tidak ada urusan apa-apa kok. Dia hanya menemani Bang Irham mengantar buku untuk Kak Riska.”“Bang Irham ini siapa?”“Teman kerja Bang Ifat.”“Kamu kenal dia?”“Tidak.”“Kamu bilang mengantar buku?”“Iya, buku materi ekskul, punya Kak Riska. Bang Irham bilang, besok istrinya tidak bisa masuk mengajar, jadi dia disuruh istrinya un
Bab 71: Pertaruhan**Suasana gedung hingar binger. Musik berdentuman dan beberapa puluh lelaki bersorak sorai. Namun, semua bahana suara itu tidak sampai menjalar keluar, karena teredam sempurna dengan karpet yang melapisi semua lantai, dinding dan langit-langit gedung ini.Di keempat dinding gedung terdapat delapan billboard, atau poster besar yang terpampang dengan jelas. Sorot lampu halogen menyinari kedelapan poster yang ditempelkan berpasang-pasangan itu. Poster itu berisi foto berikut nama petarung yang akan bertanding malam ini.Di bagian tengah gedung, dan rupanya dari situlah pemicu sorak sorai sebagian pengunjung, sebuah bidang berbentuk segi enam dengan tinggi satu meter dari lantai diisi oleh tiga wanita berbusana minim.Mereka berlenggak-lenggok, menari erotis, menikmati semua pelototan lelaki pemuja birahi dengan bangga.Temaram lampu-lampu, juga kelap-kelip warna-warni menjadikan pesona surga dunia di lekuk-lekuk tubuh mereka
Bab 72: Seirama Langkah Pertama**Dalam sebuah ruangan di bagian belakang gedung, aku menunggu suara seseorang di seberang telepon. Aku menghubungi Bang Idris dan meminta tolong padanya untuk memberikan ponsel pada Pak Latif.“As.., assalamu’alaikum.. ini Ifat?” Suara Pak Latif di seberang sana terdengar.Aku tersenyum.“Walaikumsalam.” Jawabku di sini.“Bapak sendiri? Maksudku, Bang Idris masih berada di situ?”“Tidak, saya sekarang sendiri, Fat. Bang Idris langsung kembali ke rumahnya. Jadi, bagaimana Idah, Fat?” Tanya Pak Latif cemas.“Alhamdulillah, baik-baik saja Pak. Saya sudah bertemu dengannya kemarin. Dia sehat dan..,”Tidak akan kukatakan padanya bahwa Idah sangat tertekan dan menderita, agar ia bisa sedikit tenang dan tidak bertambah buruk penyakitnya.“Dan..? Dan apa, Fat?”“Semakin gemuk dan cantik, Pak.&
Bab 73: Delapan Tungkai**Semua keterangan Aldo tentang ring yang lebih menyerupai kandang sirkus ini benar adanya. Namun tak kuduga, begitu aku memasuki ring, sontak aku bergidik.Lantai ring yang terbuat dari kanvas berwarna putih, telah berwarna merah, darah! Darah para petarung sebelumnya yang diseka ala kadarnya. Bau amis segera meruap di hidungku. Nafasku sesak.Benar, aku pernah mempelajari silat, taekwondo, gulat dan kickboxing. Benar, aku pernah meraih medali di ajang pekan olah raga daerah pada salah satu cabang beladiri yang aku ikuti.Tapi itu dulu, dulu sekali. Kemenanganku pun hanya sebatas akumulasi dari poin-poin yang aku dapatkan di setiap babak pertandingan, dan juga di bawah aturan keselamatan yang ketat.Maka kemudian, dari dalam ring yang disebut oktagon ini, di dalam todongan seribuan pasang mata juga kamera-kamera yang menyorotku, aku bisa melihat diriku sendiri..,Yang kerdil ini, yang
Bab 74: First Man Standing**Apakah ini deja vu?Atau kebalikannya?Aneh sekali. Aku merasa pernah mengalami hal ini sebelumnya. Kilatan cahaya menampar-nampar wajahku. Seumpama blitz kamera; flash.. flash.. flash!Di masing-masing kilatan cahaya itu aku melihat Ainun, Idah, Joni dan Johan sedang tersenyum. Namun di antara mereka hanya Joni yang wajahnya bersinar-sinar, dan dari jemarinya, seakan ia ingin memberikannya kepadaku, beberapa kuntum bunga kamboja berjatuhan, berputar seperti gasing tapi lambat, lalu jatuh pasrah diterima tanah.Aku juga melihat Ucon sedang bergulat membebaskan diri dari belitan ular phyton, Pak Latif beserta istri dan semua anaknya, Leony dan seorang lelaki asing yang bergandengan tangan. Aku juga melihat ribuan manusia yang bersorak sorai di sekeliling ring oktagon.Anehnya, di antara penonton itu, aku melihat Jihan, Ika, Riska, juga Anggun, dan semuanya sedang memakai mukena.
Bab 75: Secantik di Dalam Foto**Badanku terasa lebih segar sekarang. Setelah menjenguk Idah di Menteng, aku berencana pulang ke Bandar Baru untuk menjenguk Joni.Bondan dan Wisnu yang mengatur semuanya, menyopiri aku ke sana ke mari, juga mencarikan tiket pesawat untukku. Khusus untuk tiket pesawat, aku bilang,“Jangan Garuda!”“Kenapa?”Dalam benakku terselip wajah Anggun. Tapi kujawab, “aku mau berhemat.”Kontrakku dengan Josep adalah dua belas pertandingan. Jika aku pulang ke Bandar Baru sebelum kontrakku itu selesai maka aku sendiri yang menanggung biaya pulang-pergiku.Bondan melirik Wisnu. “Terserah kamu saja.” Sahut mereka.Perihal ‘tuduhan’ dan ‘vonis’ atas pencurian dari Anggun itu, jujur kuakui, sebenarnya aku merasa tersanjung juga.Tapi cara dia ketika bilang suka, mengerjai aku sampai merasa sedih, itu yang membuat a
Bab 232: Maha Cinta**Baiklah, kalau aku sedang membaca sebuah novel, untuk sementara aku tutup dulu novel ini.Baiklah, aku akan memasuki wilayah kehidupanku yang paling pribadi. Tep! Kring..! Kriiing..!Haah..?? Apa lagi ini? Ponselku berbunyi lagi!Ternyata, setelah membalas SMS dari Bang Fahmi tadi aku lupa untuk mematikannya. Merasa kesal sendiri, aku pun menjangkau ponsel.Entahlah, aneh saja, sebelum mematikan aku masih menyempatkan diri untuk melihat layar ponselku yang menyala.“Nomor asing,” batinku.Panggilan pun berakhir. Sedetik, aku ragu untuk segera mematikan ponsel, hingga kemudian panggilan dari nomor asing tadi pun masuk lagi.Kring..! Kriing..!Karena khawatir terjadi sesuatu yang buruk dengan orang-orang terdekatku di luar sana, akhirnya dengan berat hati aku pun menjawab panggilan.“Halo?” Sapaku.Beberapa saat aku menunggu, tidak ada sahutan.“Halo??”
Bab 231: Belah Duren**Wajahnya merajuk. Sedikit judes, seperti mau marah, mengomel, mencak-mencak, yah, tahu-lah, semacam itulah.“Kenapa lama sekali, Ifat? Kamu belum makan lho.”Aku melirik ke arah belakang Mira. Di satu pojok kamar, ada sebuah meja kecil dengan berupa-rupa hidangan yang telah tertata. Lengkap dengan beberapa batang lilin yang menyala.Aih, romantiknya! Lututku langsung gemetar. Segala yang menegang tadi serentak memudar. Aku tersenyum, dan teruskan langkah memasuki kamar.Tiba-tiba saja, Mira menubrukku, dan memeluk aku dengan sangat erat. Tangannya ia kalungkan ke leherku dengan kekuatan cengkeram yang seakan tak mengizinkan aku pergi walau sesaat.Wajahnya ia lesakkan di dadaku seperti mau bersembunyi. Aku bisa merasakannya, degup jantung Mira yang berkejaran dengan degup jantungku sendiri.“Sabar, Mira, sabar.” Kataku lembut, seraya mengalungkan pula kedua tanganku ke bahunya.
Bab 230: Kehadiran**Usai berfoto-foto, dua orang petugas dari wedding organizer segera mengarahkan Johan menuju ke dalam rumah. Sesi terakhir yang dimaksud juru rias tadi hanya kami lewati sebentar saja.Lagi pula, tamu-tamu undangan yang datang belakangan memang sudah tidak ada lagi yang kami kenal. Semuanya adalah tamu-tamu dari ayah Mira.Kami semua berkumpul di ruang samping. Kami yang aku maksud di sini adalah aku, Johan, Mira dan beberapa orang dari keluarganya.Acara silaturahmi kecil-kecilan, insidentil, dan sangat dadakan pun digelar. Kami semua saling bertanya kabar dan bertukar cerita.“Aku sedang flu, Fat.” Kata Johan.“Pantas saja aku tadi pangling dengan suara kamu.”“Hehe, iya, suaraku sengau ya?”“Iya, tapi tetap merdu kok, tetap asyik, enak dan berkelas artis.”“Kamu memang sengaja mau mengerjai aku ya, Jo?” Tanyaku lagi masih dengan ge
Bab 229: Bawa Aku ke Surgamu**Bahkan, ada pula pekikan histeris dari orang-orang, khususnya perempuan.Ada apa ini? Aku merasa penasaran.Sedang terjadi apa di luar sana?? Aku semakin saja penasaran.Aku ingin berdiri dan segera keluar, tapi Mira menahan tanganku dengan genggaman yang erat. Anehnya, wajah istriku ini tampak biasa-biasa saja, demikian pula dengan kata-katanya yang seakan ingin menenangkan aku.“Jangan khawatir, Fat. Tidak ada apa-apa kok.”Lalu, hampir bersamaan dengan kata-kata Mira itu, terdengar suara-suara yang berasal dari panggung hiburan di depan tadi.Aku menajamkan indera pendengaranku untuk mereka-reka apa yang sebenarnya terjadi. Orang-orang terdengar semakin riuh, ditingkahi pula dengan suara suitan dan, pekikan perempuan yang histeris pun menjadi-jadi.Aku juga mendengar suara distorsi dari perangkat sound sistem.Nguiiing..! Nguiiiing…!Sebentar kemudian su
Bab 228: Sabar Dong, Ciiin..!**Keterkejutanku masih juga belum berhenti. Karena Mira dengan segenap rasa syukurnya, memang benar-benar menyiapkan segala sesuatu di dua belas hari pra pernikahan kami ini.Ia telah menyuruh seseorang untuk mencari alamat Pak Latif di Bukittinggi, dan menjemput orang tua angkatku itu beserta seluruh keluarganya.Tentu saja yang paling spesial bagiku adalah Idah, anaknya yang sulung, yang wajahnya mirip dengan almarhumah Ainun adik kandungku.Mungkin karena ada sedikit hambatan di dalam perjalanan tadi, mereka terlambat dan tidak bisa menyaksikan prosesi ijab kabul kami.Di jelang pukul tiga, barulah mereka tiba. Aku sampai terpana melihat kehadiran mereka, dan demikian pula Idah saat melihatku.Seperti dulu ia yang berlari ke arahku ketika kami bertemu di Rumah Menteng di Jakarta, seperti itu jugalah ia sekarang berlari menuju kepadaku.Ia berlari melewati resepsionis, beberapa pagar ayu yang be
Bab 227: Sang Perantau** Seketika saja, pecahlah tawa orang-orang. Semuanya merasa geli dengan pantun Pak Husni yang salah secara kaidah, tapi sekaligus benar secara maksud.Bahkan di pojok, ada seorang ibu-ibu yang mungkin karena lambat dalam memahami humor yang lumayan berkelas dari Pak Husni itu, ia tertawa paling keras, seorang diri, di mana semua orang telah kembali diam. Dia bahkan sampai tak sadar gigi palsunya terlepas.Pak Husni kemudian berdehem. Sekali, dua kali, seakan sedang menyetel pita suaranya supaya lagu kesayangannya itu enak ia lantunkan.Aku pun semakin penasaran saja, kira-kira lagu apa yang akan ia nyanyikan. Hingga berikutnya, mengalirlah musik dangdut nan manis yang, oh, Ya Tuhan, lagi-lagi.., Bujangan!~ Tapi susahnya menjadi bujangan.~ Kalau malam tidurnya sendirian.~ Hanya bantal guling sebagai teman~ Mata melotot pikiran melayang~ Oh, bujan
Bab 226: Tujuh Koin**Aku dibawa ke suatu ruangan. Di situ telah menunggu beberapa orang, di mana salah satunya adalah juru rias.Aku disuruh membuka baju, maka aku tanggalkanlah kemeja biru dongker kesayanganku, yaitu kemeja kotak-kotak yang dulu ketiaknya pernah dijahit oleh almarhumah Kassandra.Aku dipakaikan busana khas Melayu, yaitu baju teluk belanga, lengkap dengan celana, kain songket dan juga songkok atau kopiyah.Dalam proses periasan itu, aku dikelilingi oleh beberapa orang yang sembari berbincang-bincang mereka memperkenalkan dirinya.Pertama, seorang lelaki yang mengaku sebagai suami Kak Farah.Lalu yang kedua, ini yang membuatku sedikit canggung. Dan saking canggungnya, begitu mudah aku melupakan nama aslinya, hingga berikutnya aku hanya hafal nama panggilannya saja. Yaitu, Gembul.Aku yakin, panggilan Gembul ini didasarkan pada postur tubuhnya yang tinggi besar dan gemuk. Dia menyebut dirinya sebagai adik
Bab 225: Jemputan**Hari-hari berikutnya aku lalui dengan sensasi seperti anak-anak yang sedang menunggu lebaran, tak sabar ingin segera memakai baju baru, sekaligus bisa kembali makan minum siang-siang.Waktu demi waktu, aku dicekam rindu. Hari demi hari, rinduku semakin menjadi-jadi.Karena tak tahan, aku mengirim SMS pada Mira. Satu kata saja, tapi itu sudah cukup mewakili segala perasaanku padanya. “Kangen.”Akan tetapi, tidak dibalas. Baiklah.“Mira, aku kangen.”Tetap tidak dibalas.“Mira, kamu kangen aku tidak, sih?”Akhirnya, Mira pun membalas.“Terus kalau kangen, bagaimana?”“Aku pengin ketemu.”“Terus, kalau sudah ketemu, mau bagaimana?”“Cuma mau bilang, kangen.”“Aku sibuk, Fat.”Selalu begitu, benar, selalu begitu. Setiap aku menghubungi Mira, dia sel
Bab 224: Nol Koma Satu Persen**“Aku tak mau!”Seketika saja aku lemas. Pesan Mira yang terakhir ini aku baca terus berulang-ulang. Seiring dengan itu ada sebuah rasa di dalam hatiku yang mulai menyesakkan.Aku juga mulai merasa cemas, pada kemungkinan apa pun yang akan terjadi di depan sana dan itu bisa apa saja.Pesan Mira pun masuk lagi. Kling! “Memangnya, seharga anak kambing yang kamu maksud itu berapa?”Usai membaca pesannya, aku menunduk. Tanganku mendadak lunglai, mengambil dompetku dari atas lemari.Beberapa lembar lima puluh ribuan sisa pemberian Johan tempo hari, aku lihat dengan mata yang nanar.“Tujuh ratus ribu rupiah.” Balasku pada Mira.Cepat pula Mira membalas.“Tujuh ratus ribu??”Aku menahan nafas.“Aku tak mau, Fat!”Rasa yang mulai menyesakkan tadi, sekarang semakin terasa menyesakkkan.