Home / Lain / Ifat / Chapter 191 - Chapter 200

All Chapters of Ifat: Chapter 191 - Chapter 200

232 Chapters

Bab 191: Mencari Kado

Bab 191: Mencari Kado**Sehari, dua hari, hingga berhari-hari aku terus saja uring-uringan. Aku sedang tidak punya teman yang cukup karib untuk aku jadikan tempat curhatan. Johan tidak ada di rumah, sekarang sedang berada di Jakarta.Malam hari, di warung kopi Bang Fahmi aku bermain catur melawan Bang Idris. Biasanya butuh sekitar 50 langkah Bang Idris mengalahkan aku. Tapi sekarang,“Kok, sontoloyo begini sih kamu mainnya, Fat?”Aku tersenyum kecut. Semakin kecut, ketika Ciko Junior, di satu pojok warung memainkan gitarnya dan berduet dengan sang ayah, Ciko Senior. Membawakan lagu dangdut milik Bang Haji Rhoma Irama.~ Jreeng..!~ Tapi susahnya menjadi bujangan.~ Kalau malam tidurnya sendirian.~ Hanya bantal guling sebagai teman~ Mata melotot pikiran melayang~ Oh, bujangaaaaan..Oh, kurang asem mereka semua!Bang Fahmi yang sudah berhasil membebaskan diri dari status bujang l
Read more

Bab 192: 40 Hari di Awal Waktu

Bab 192: 40 Hari di Awal Waktu**Setelah menempatkan motorku di areal parkir, aku berjalan pelan sembari mengedarkan pandangan ke sekeliling. Sekilas aku memperhatikan kawasan pertokoan yang baru kali ini aku ketahui.            Sampai di depan toko Tata Collection aku pun berhenti, tepat di depan pintu kacanya. Bayangan diriku sendiri menampil di pintu kaca, dengan rambut yang terkuncir ke belakang dan jenggot di dagu.Sekali memandang ke dalam aku segera tahu apa-apa saja yang dijual oleh toko Tata Collection ini. Sesaat, aku ragu.“Toko ini pasti tidak berbeda dengan toko kebanyakan.” Kataku dalam hati.Isinya pasti hanyalah busana, dari atas ke bawah, dan dari luar ke dalam. Dari S sampai M, dari L sampai XXXL. Lihat saja patung-patung manekin di dalam situ.Aku pun berbalik dan ingin pergi. Namun, tepat ketika aku membalikkan badan, ekor mataku menangkap sesuatu
Read more

Bab 193: Cinta dan Penampikan

Bab 193: Cinta dan Penampikan**Baru saja Anggun memasuki kamar hotel tempatnya menginap di kota Makassar. Gerakan tangannya mengurai ikatan rambut diiringi oleh sebuah pertanyaan dari Herna.“Jadi, kalian sudah menentukan tanggal?”“Belum.” Jawab Anggun pendek.“Belum?”“Iya, belum.”“Sudah tiga bulan lebih kalian lamaran tapi belum menentukan tanggal?”“Entahlah, tiba-tiba saja aku ragu melanjutkan hubungan pertunanganku ini.”“Hayo, jangan sampai disalip Christine lho.”“Tidak apa-apa. Kalau Christine mau duluan menikah, silahkan saja. Kalau memang sudah jodohnya mana mungkin bisa ditahan-tahan.”“Serius?” Goda Christine yang tiba-tiba mendekatkan wajahnya pada Anggun.“Nanti kamu ngiri.”“Ngiri? Tidak-lah ya! Hanya saja, kalau aku boleh kasih saran ke kamu, jangan
Read more

Bab 194: Orang Yang Tepat?

Bab 194: Orang Yang Tepat?**“Itu sebagai urusanmu dengan Tuhanmu. Tapi sebagai urusanmu dengan aku, kamu kerjakan dulu shalat empat puluh hari itu!”Dia, dia.., menampik aku!Jlebb..??Mana jlebb??Mengapa aku tidak mendengar bunyi ‘jlebb’??Oh, pantas saja, pisau belati yang bernama ‘sakit hati’ itu telah menusuk aku dengan diam-diam dan sangat perlahan.Ya Tuhan, begini rupanya rasa sakit akibat penampikan itu. Begini ternyata yang dirasakan Jihan dulu waktu aku menolaknya.Juga begini rasanya ketika dulu aku membuat Leony dan juga Jihan menangis di pelataran mall SKA. Dan mungkin begini pulalah yang dirasakan Mira dulu ketika aku melihatnya menangis di bandara.Lalu, apakah sekarang aku harus menangis untuk semua penampikan ini? Tidak!Aku tidak boleh menangis. Aku adalah laki-laki yang kuat. Aku mahir dalam seni beladiri dan terampil pula dalam mengalahkan lawan.
Read more

Bab 195: Kisah Seorang Bujangan

Bab 195: Kisah Seorang Bujangan**“Apa aku harus menghabisinya?”Wanita bercadar memelototkan mata pada lelaki tegap yang ternyata memang bernama Adi Wicaksono itu, pensiunan militer dengan pangkat Sersan Mayor, prajurit terbaik di masa-masa dinasnya dahulu, juga mantan sniper yang bisa menghabisi musuh dari jarak ribuan meter.  “Jangan!” Pekik wanita bercadar dengan satu gebrakan kecil di meja.Adi Wicaksono tersenyum sinis lagi.“Kalau Ibu mau, aku bisa menghabisi dia.”“Aku bilang, jangan!”“Maaf, aku hanya memberi tahu saja, aku punya kemampuan untuk menghabisi dia.”Wanita bercadar menarik nafas dalam. Dadanya menggemuruh menahan perasaan gelisah dan amarah.“Tapi kalau Ibu menyuruh saya untuk membunuh si Muhammad Fatih itu, mohon maaf, Ibu salah orang. Bukan untuk hal semacam ini saya dididik oleh militer dulu.”Wanita berc
Read more

Bab: 196 Apa-apa

Bab: 196  Apa-apa**Hari sudah menjelang pukul sebelas malam ketika aku memasuki gang Melur dan menuju ke rumahku. Ciko sudah pulang lebih dulu karena besok pagi ia harus berkuliah.Aku tersenyum mengenang bagaimana dulu aku mengenal Ciko, dari ia masih duduk di kelas satu SMA hingga tanpa terasa sekarang ia sudah berkuliah di sebuah perguruan tinggi swasta di Bandar Baru ini.Di pertengahan gang, aku berpapasan dengan seseorang yang juga mengendarai motor. Sepertinya, ia datang dari arah jalan Bunga Kertas sana, dan memintas jalan ke Bunga Tanjung melalui gang Melur ini.Sepersekian detik aku menatap wajahnya barangkali aku mengenalnya. Sebuah tegur sapa biasa aku lakukan pada siapa pun mereka yang tinggal di sekitar kawasan sini.Akan tetapi, mmm.., aku tidak mengenalnya. Sekilas, posturnya yang gagah dan tegap mengingatkan aku pada Pramono, juga Bondan dan Wisnu mantan anak buah Josep.Tidak lebih dari satu detik aku dan si l
Read more

Bab 197: Selembar Buku Diary

Bab 197: Selembar Buku Diary** “Tunggu, Jo, tunggu. Sepertinya aku melihat sesuatu.”“Sesuatu? Apa?”Perlahan aku bangkit dari kursiku. Sembari menyipitkan mata aku berjalan pelan-pelan ke arah depan.Keluar dari teras aku sedikit membungkukkan badan, dan terus menyorotkan pandangan pada sesuatu yang bergerak-gerak di tengah gang Melur sana, tepat di sekitar semak yang bersisian dengan bekas gubuk Pak Latif.Semakin dekat, degup jantungku semakin meningkat.“Ada apa, Fat?” Tanya Johan dari seberang telepon.Aku menempelkan ponsel ke mulutku sendiri, menyahut Johan dengan;“Sssstt..!”Tiba-tiba saja, ada yang bergerak dengan sangat cepat ke arahku. Sontak saja aku memekik keras.“Aaaaakh..!” ******** Riska tersentak!Tubuhnya sampai terlonjak dari kursi yang ia duduki dalam kamarnya. Ha
Read more

Bab 198: Bersama Kuntilanak

Bab 198: Bersama Kuntilanak Sesuai dengan kebiasaan baruku sejak beberapa bulan terakhir ini, aku bangun pagi. Pukul lima lewat tiga puluh aku sudah bersiap di depan rumah dengan setelan lari pagi.Sepatu, celana training, plus sweater dengan hoodie yang selalu aku tutupkan ke kepalaku. Air minum? Botol Winnie The Pooh?Tidak usah. Nanti aku bisa membeli air mineral di warung mana pun nanti aku ingin minum.Bahu dan lengan kananku tidak sedang kambuh. Demikian juga dengan kaki kiriku. Satu lagi, gusi dan gigi-gigi implanku juga sedang bersahabat.Aku bisa menuntaskan jogging pagi ini paling tidak hingga sampai di dekat simpang Kubang Raya sana. Sekitar lima kilometer jaraknya dari rumah.Pergi pulang, lumayanlah untuk melatih jantung dan paru-paru yang belakangan selalu aku cekoki dengan racun tembakau.Sembari berlari aku mengingat-ingat obrolanku semalam dengan Johan melalui telepon. Benar juga apa yang dia bilang.
Read more

Bab 199: Cinta Yang Tersirat

Bab 199: Cinta Yang Tersirat**Masih cukup pagi. Baru terang tanah. Matahari bahkan belum menampakkan wajahnya di bentang cakrawala sana. Hanya sinarnya saja yang sudah menyaput langit dengan rona-rona jingga nan keemasan.Seorang lelaki berjaket kumal mengendarai sepeda motornya dengan kecepatan sedang. Di bagian belakang jok motornya itu tergantung sebuah keranjang besar terbuat dari anyaman bambu berisi aneka macam sayuran.Penampilannya seperti kebanyakan orang yang baru pulang dari pasar pagi Arengka, berbelanja kebutuhan dapur sebanyak yang ia bisa bawa, untuk kemudian ia jual di warungnya sendiri di rumah.Ia mengurangi laju motornya ketika sampai di jalan Kartama. Mungkin ada yang sedang ia cari, atau mungkin ada niat di hati untuk menyinggahi suatu tempat, ia pun menolehkan kepalanya kanan dan kiri.Hingga tak lama kemudian, ia sampai di sebuah persimpangan yang tergolong sedang, tidak kecil namun juga tidak besar.Di pangka
Read more

Bab 200: Alamat di Surga

Bab 200: Alamat di Surga**Terus menjaga ritme dalam berlari, aku sekarang memasuki jalan yang mengarah ke daerah Kubang. Hari-hari sepi yang aku jalani belakangan ini, juga kejadian-kejadian yang menyesakkan hati membuat aku terus saja mengkhayalkan kehadiran Kassandra.Meski pada kenyataannya aku berbicara dengan diriku sendiri.Tiiinn..! Tiiinn..! Terdengar salak klakson sepeda motor. Sontak aku terkejut.“Awas, Mas..!” Pekik Kassandra di dalam khayalanku.Aku pun menggeser posisiku berlari sedikit lebih ke tepi. Sebuah sepeda motor melintas tepat di sampingku.Pengemudinya, seorang lelaki berjaket kumal dengan wajahnya yang tertutup kaca helm pasti menggerutui aku yang berlari pagi sambil melamun.Keranjang sayur bawaannya yang terikat di jok belakang hampir saja menyerempetku.“Terima kasih ya Kas, sudah memperingatkan aku.”“Tak perlu berterima kasih, Mas.”“
Read more
PREV
1
...
1819202122
...
24
DMCA.com Protection Status