Semua Bab Kekhilafan Satu Malam: Bab 81 - Bab 90

171 Bab

Bab 81: Aiman Kritis

Affandi langsung mengayunkan kakinya, setengah berlari menyusuri koridor, menuju ke ruang operasi. Kata teman seprofesinya, sang abang sudah ada di ruangan sana. Terbaring tak sadarkan diri dengan kepala bocor juga tangan dan kaki yang cedera. Kebiasaan Aiman yang selalu melampiaskan amarahnya dengan ngebut-ngebutan di jalan raya, mendapat batunya sekarang. Dia yang sedang melajukan mobil dengan kecepatan tinggi, kurang memperhatikan adanya kendaraan dari arah berlawanan. Membuat dia membanting setir, hingga mobil yang ditumpangi terguling di bawah jalan yang agak curam. Untung orang-orang di sekitar yang melihat langsung melaporkan hal tersebut kepada pihak yang berwajib. "Kita harus segera melakukan operasi di kepalanya. Ada pendarahan di otak," ucap pria teman sejawat Affandi. Segera Affandi memakai pakaian operasinya. Memerhatikan sang abang dengan helaan napas yang tertahan. Darah yang menempel di kepala sang abang, juga lebam di tubuh dan lengan, sanga
Baca selengkapnya

Bab 82: Menyadarkan Aiman

Selang infus menjalar, melilit punggung tangan Binar. Setelah merasakan sakit melilit pada perutnya, wanita itu segera dilarikan di rumah sakit sebab tak sadarkan diri. Mbah Mai pikir Binar akan segera melahirkan, tetapi sampai saat ini juga tak ada tanda-tanda proses pembukaan yang dialami wanita hamil itu. Binar hanya merasakan sakit pada perutnya, seolah-olah bayi yang ada di dalam sana ikut merasa sedih dengan apa yang terjadi pada ayah biologisnya--Aiman. "Kenapa Binar belum sadarkan diri juga ya, Nak Dok?" Mbah Mai menatap Affandi yang menyandarkan lengannya di dinding sambil menatap Binar di atas tempat tidur. Mendengar Binar yang memekik kesakitan di telepon semalam, Affandi langsung melajukan mobilnya menuju rumah wanita pujaannya itu. Sampai di sana, Affandi sudah mendapati Binar tak sadarkan diri, dengan Mbah Mai yang khawatir, meminta pada tetangga agar membawa Binar ke rumah sakit. Kebetulan Affandi langsung sigap datang, dan membawa Binar pergi bers
Baca selengkapnya

Bab 83: Mengemis Cinta, Ingin Rujuk Kembali

"Ya sudah, baiknya kita tinggalin dulu mereka berdua. Jangan pada berkumpul di sini. Berikan Bang Aiman udara." Setelah menarik napas yang terasa sesak, Affandi berusaha profesional. Ambar mengangguk, lalu melangkah mendekati Aiman yang ada di ranjang. Mengusap bahu putra sulungnya itu, lantas mengusap kepala Binar dengan sayang, tak lupa juga mengusap perut buncit Binar. "Sehat-sehat untuk kalian semua." Ambar berucap dengan mata berkaca-kaca. Tampak terharu dengan kedatangan Binar yang mampu membuat putranya siuman. "Terima kasih, Bu." Binar kembali berucap formal. Ambar melirik Syeira yang masih berdiam di pojok sambil meremas punggung tangannya, sedih dan ketakutan. Takut sampai Aiman menceraikannya, takut sampai Ambar membencinya sebab sudah membohongi dia soal momongan. Sementara Susan selalu setia di samping putrinya. Mengusap-usap bahu Syeira yang naik turun. "Syeira, apa kamu tidak ingin mengatakan sesuatu pada Aiman?"
Baca selengkapnya

Bab 84: Syeira Tak Hamil

Aiman kembali tak sadarkan diri dengan kondisi yang melemah lagi. Binar keluar dari ruang ICU dengan perasaan bersalah, mungkin tak seharusnya dia langsung mengacaukan pikiran pria itu dengan menolak keinginannya tadi. Aiman baru saja sadar dari kritis, harusnya Binar mungkin memaklumi dulu permintaan pria itu yang menurutnya aneh. Untuk apa lagi Aiman meminta rujuk kembali, sementara dia sudah punya Syeira juga bayinya. Pikiran tersebut memenuhi pikiran Binar, apakah Aiman mengajaknya bersama hanya untuk mengambil anak yang dikandungnya saja? Kalau seperti itu, Binar tentu tak akan pernah mau. Bayi itu miliknya saja! "Kamu di sini, toh. Dari tadi Mbah cari-cari!" Wanita tua dengan baju kaus panjang itu, setengah berseru saat melihat Binar duduk di sebuah bangku taman rumah sakit. Mbah Mai sudah tahu jika Binar ada di ruang ICU menemui mantan suaminya, diberitahu oleh Affandi sebelumnya. Namun, sesampainya di sana, Mbah Mai tak menemukan sang anak angkat itu. Mba
Baca selengkapnya

Bab 85: Menginginkan Binar Kembali

"Masuk, silahkan masuk, Bu!" Mbah Mai menarik sebuah bangku. Namun, sang tamu tak sedikit pun mengalihkan pandangan ke arahnya. Sang tamu tetap menatap lekat pada Binar yang tampak mengernyitkan alis, bingung dengan kehadiran wanita sosilita itu di tokonya. "Mau pesan kue apa, Bu?" Mbah Mai kembali bersuara, tetapi Ambar hanya menggeleng pelan menanggapi. Tatapannya masih lekat pada Binar. Pada kandungannya, pada penerus keluarganya. Ambar mendekat pada Binar. "Bagaimana keadaanmu? Keadaan kandunganmu?" tanyanya to the point. Binar hanya mengangguk pelan, lantas menjauh sedikit. Merasa risi juga bingung dengan Ambar yang tiba-tiba peduli dengan dirinya, apalagi sampai mengunjungi toko kuenya. "Maaf, Bu Ambar tau tempat ini dari siapa?" Binar bertanya basa-basi, mengusir ketegangan yang menemani. "Dari Affandi." Ambar menjawab santai sambil mengedarkan pandangan ke sekitar. Binar merasa terperangah mendengar jawaban Ambar. J
Baca selengkapnya

Bab 86: Binar Kalah

Mobil sliver yang dikendarai Affandi, memasuki pekarangan rumah yang begitu sejuk. Sebuah rumah berbadan beton yang kokoh dengan cat putih merah terpampang di depan mata. Ya, akhirnya Binar mengalah. Dia mengiyakan permintaan Affandi untuk datang ke rumah. Ingin melihat kondisi Aiman. "Apa kau marah padaku, Nona?" Affandi melepaskan sabuk pengaman. Entahlah, rasa bersalah tiba-tiba menjalari dada petugas medis itu. Benarkah langkahnya mengajak Binar ke rumah orang tuanya? Affandi tak berdaya dengan permintaan Ambar yang memohon agar mengajak Binar tinggal bersama mereka. Affandi begitu menyayangi Ambar, terlebih di saat Ambar mulai menganggapnya ada. Affandi tak berani untuk menolak keinginannya. "Kenapa aku harus marah?" Binar bersiap untuk turun. "Maaf, jika aku sudah mengajakmu ke sini." Berubah pikiran pula petugas medis itu. "Jika kamu nggak ingin masuk ke dalam, maka aku akan segera membawamu pulang," tawarnya. Binar menatap bangunan bes
Baca selengkapnya

Bab 87: Tinggal di Rumah Orang Tua Aiman

"Ya, nggak apa-apa, Mbah bisa atur semuanya. Di sini juga sudah ada beberapa tetangga yang mau kerja sama Mbah. Kamu di sana hati-hati ya, jangan lupa makan, jangan sedih, dan jangan banyak pikiran," ucap Mbah Mai di seberang sana lewat panggilan via telepon. Binar sedang meneleponnya, ingin berpamitan tinggal di rumah Aiman. Binar hanya mendengarkan sederet pesan-pesan yang masih ingin dilontarkan wanita tua itu. Sesekali dia memandang Aiman yang duduk menyandarkan punggung di sandaran ranjang. Ya, Binar memutuskan untuk tinggal di rumah orang tuanya Aiman. Setidaknya, sampai pria itu sehat seperti sedia kala. "Nak Binar, apa ada Nak Dokter di sana?" tanya Mbah Mai. Binar menatap Affandi yang sedang berdiri di balkon. "Iya, ada, Mbah.""Tolong berikan ponselnya pada Nak Dokter, ada yang mau Mbah bicarakan dengannya."Binar pun mengayunkan kaki ke arah balkon, menghampiri Affandi yang sedang membelakanginya. Pria itu sedang fokus meman
Baca selengkapnya

Bab 88: Hanya Menginginkan Si Calon Bayi

"Ka-kau di sini?" Syeira menggigit bibirnya sendiri. Lantas, memandang Affandi yang tampak datar. Mendengar suara Binar yang berdiri di ambang pintu, tentu membuat Syeira merasa syok. Wanita itu, wanita yang paling Syeira takuti hadir kembali di antara hubungan pernikahannya dengan Aiman, justru sekarang sedang berada di rumah mertuanya. Pasti Ambar yang menginginkan Binar untuk datang, sebab sekarang tahu dirinya tak hamil sama sekali, pikir Syeira kalut. "Kak Syeira mau menemui Bang Aiman? Dia baru aja selesai makan tadi?" Binar berusaha bersikap biasa saja, karena memang dirinya dan Aiman sudah tak punya hubungan apa pun lagi. Namun, perkataan Binar justru bagai cambukan derita di telinga Syeira. Binar baru saja dekat dengan suaminya. Hal tersebut menambah rasa sakit Syeira. Membuat dia cemburu. Syeira menggeleng cepat dengan tatapan nanar, lalu beringsut dan lari dari halaman rumah. "Kak Syeira!" Binar memanggil, tetapi tak digubris oleh w
Baca selengkapnya

Bab 89: Dia Milikku!

Binar masuk ke kamar Aiman setelah selesai mandi. Wajah wanita hamil itu tampak segar, putih, bersih, juga berkilau. Pipinya yang tembem selalu menenggelamkan mata bulatnya ketika selarik simpul tercipta di wajahnya. Binar yang telah mengganti pakaian tidurnya dengan daster fuji merah muda bermotif kelinci itu, menyapa pelayan yang berpapasan dengannya sambil mendorong troll rak makanan yang diantar pada Aiman. "Pagi, Bang Aiman." Binar lanjutkan sapaannya pada Aiman. Pria yang di atas kursi roda itu hanya mengangguk singkat, sambil memindai penampilan Binar yang tampak ... mempesona. Membuat Aiman jatuh cinta berkali-kali, membuat Aiman terlena semabuk-mabuknya. Entah memang karena cinta yang membuat perasaan Aiman sebesar itu, atau karena emosinya pada Syeira, yang ingin membuat dia melampiaskan hasratnya pada Binar. Aiman tak tahu. Yang Aiman tahu, dia sangat ingin mendekap Binar, menghilangkan dahaga dan api yang membara di dadanya. "Bang Aiman sud
Baca selengkapnya

Bab 90: Menyelamatkan Bayi Atau Ibu Si Bayi?

Di ruangan berwarna putih bersih dengan bau obat-obatan yang menusuk indra penciuman, wanita hamil itu meronta-ronta dengan mata mendelik tajam pada semua orang. Sesekali dia melingkarkan tangan diperutnya yang membuncit, sesekali mengigit bibir demi menahan rasa sakit yang menerjang perutnya, sesekali pula mencengkeram bantal dan ... tangan Affandi yang berdiri di sampingnya. "Pe-pergi ...! Aku, aku ... tidak--arh!" Binar mencengkeram bantal sambil memegang perutnya, lalu mendelik ke arah Affandi yang menatapnya nanar. Ada banyak yang diucapkan petugas medis itu, tetapi tak satu pun yang berhasil ditangkap oleh indra pendengaran Binar, sebab rasa sakit yang menjalar dari pinggang, ke tulang belakang, dan merambat naik di otaknya. Padahal sudah diberi suntik pereda rasa sakit, hanya saja dosisnya rendah. Wajah Binar dibanjiri keringat dingin, bahkan dia terlihat memucat. Dadanya naik turun dengan cepat. Sesekali dia mengangkat tubuhnya ke atas, lalu membantingnya
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
7891011
...
18
DMCA.com Protection Status