Home / Romansa / Kekhilafan Satu Malam / Chapter 61 - Chapter 70

All Chapters of Kekhilafan Satu Malam: Chapter 61 - Chapter 70

171 Chapters

Bab 61: Dipenjara!

Binar menggeleng ketakutan melihat wanita yang mengenakan dress biru langit itu, Syeira berdiri di depan sana. Tangan Binar gemetar, hendak menyentuh Susan, tetapi diurungkan, lalu kembali menggeleng ketakutan. Pikirannya mendadak tumpul akibat rasa takut dan bersalah yang menyerang secara bersamaan. Terlebih lagi ketika melihat ibunya Aiman---Ambarawati ikutan muncul dari balik pintu. Menatap dirinya dengan mata membulat, lalu bergantian menatap Susan yang bersimbah darah keningnya. "Aku ... aku ...." Binar beringsut menjauh ketika Syeira berlari menghambur, memeriksa kondisi ibunya. "Apa yang kamu lakukan pada Mami?" seru Syeira menatap Binar dengan mata berkaca-kaca. Tangannya gemetar menutup pendarahan di kening ibunya. "Kenapa Mami bisa sampai berdarah seperti ini?"Ambar ikutan mendekat, tatapan wanita itu masih syok melihat kejadian di hadapannya. Lantas, dia menatap Binar yang terus menggeleng-geleng sejak tadi. Mata wanita itu sudah dialiri
Read more

Bab 62: Takut Pulang ke Rumah!

Pandangan pria itu berubah tajam melihat kondisi Binar yang memprihatinkan. Rambutnya kacau, matanya sembab, dengan hidung memerah. Sepertinya sejak mengantarkannya pulang ke rumah kembali, aktivitas wanita itu hanya menangis, menangis, dan menangis. "Tolong aku, Dok, tolong bebaskan aku dari sini! Aku tidak bersalah. Sumpah!" Binar menempelkan wajahnya pada sela jeruji besi, meminta Affandi untuk mengeluarkannya dari sana. Affandi meraup wajahnya kasar, pikiran pria itu melayang pada ke beberapa puluhan menit yang lalu. "Kamu suka sekali menjadi pahlawan bagi wanita gatel itu, 'kan? Sana, bantu dia agar terlepas dari jeruji besi!" Begitulah ucapan Susan di telepon. Tentu Affandi tak memercayai begitu saja. Dia mencoba menelepon Aiman, tetapi abangnya itu sama sekali tak mengangkat panggilannya. Affandi berdecak kesal, dia paham betul bagaimana sifat wanita yang dia anggap nenek sihir itu. Segera Affandi menelepon kembali Susan, menanyaka
Read more

Bab 63: Rencana Sempurna

Lilin memenuhi ruangan kamar Aiman dan Syeira. Setibanya pria itu di rumah, istrinya Syeira langsung menyambut dengan suasana penuh romantis. Taburan kelopak mawar memenuhi ranjang, sedangkan lilin aroma terapi terpajang rapi di sudut-sudut ruangan. Membuat Aiman yang kelelahan sepulang kantor sedikit lebih rileks saat menghirup aroma terapi tersebut. Ruangan yang temaram, membuat Aiman sedikit memicingkan mata saat melihat wanita berambut panjang bergelombang dengan gaun tidur merah menyala di atas ranjang. "Kamu sudah pulang, Mas? Kemarilah, aku merindukanmu." Syeira menepuk ranjang di sampingnya. Aiman hanya mengulum senyum. Semenjak hamil, istri pertamanya itu super manja sekali. Dan jika kemauannya tidak dituruti, maka dia akan mengambek khas anak kecil. Benar-benar membuat hati Aiman merasa gemas. Aiman membuka dasi yang seharian membelit lehernya, juga jas yang membungkus tubuh tegap itu. Lantas, membuangnya ke sembarang arah. "Tun
Read more

Bab 64: Duel Mematikan Antara Dua Saudara!

Semalaman terkurung nikmat bersama istri pertama, pagi harinya Aiman langsung meluncur ke lantai bawah. Satu orang yang tak sabar ingin dia temui, Binar. Sudah hampir dua hari, Aiman tak lagi bicara dengan istri keduanya itu. Tidak tahu bagaimana kondisi Binar setelah pertengkaran di malam dia pulang dari rumah sakit waktu itu. Namun sayang, diketukan kesekian kalinya pun, pintu berwarna putih itu tak kunjung ada tanda-tanda yang membukakan. Hati Aiman mulai resah, takut terjadi sesuatu pada Binar, yang sejatinya dia ketahui mental istri keduanya itu sedang diuji oleh penghianaan Susan juga kehamilan Syeira. Aiman paham, Binar pasti sedih. "Binar!" Pintu itu bergetar hebat mendapat ketukak keras Aiman. Pria itu mendengkus kasar, lantas mengalihkan pandangan pada mertuanya yang barusan turun dari lantai dua."Percuma kamu ketak-ketok pintunya, gobloook!" Wanita yang mengenakan gaun tidur panjang itu menekan pelipisnya dengan anggun. "Orang yang kamu
Read more

Bab 65: Cerai!

Affandi merapikan pecahan beling juga kain-kain yang berserakan di lantai. Sesekali pandangan pria itu tertuju pada wanita hamil yang masih membungkus tubuhnya dengan selimut itu, duduk diam terpekur di sofa kecil yang ada di balkon. Memandang kota yang begitu terik dan ramai. Affandi mengembuskan napas kasar melihat hal itu. Sepeninggalnya Aiman dan kedua wanita yang mengikutinya tadi, Binar terdiam bagai raga tanpa jiwa. Pikiran wanita itu terngiang-ngiang oleh perkataan Aiman tadi. 'Kamu aku ceraikan!''Kamu aku ceraikan!''Kamu aku ceraikan!'Binar memukul-mukul kepalanya sendiri sambil berderai air mata, tanpa suara. Hanya isakkan yang terdengar begitu sesak yang menemani. Binar tahu, hal ini pasti akan terjadi juga nantinya. Dia dan Aiman akan berpisah setelah anak yang dikandungnya dilahirkan, sesuai kesepakatan. Namun, bukan bercerai seperti ini. Penuh amarah, penuh hinaan, juga penuh kesalahapahaman. Harga diri Binar jatuh sejatuh-j
Read more

Bab 66: Affandi, Sang Dokter Nakal

Affandi menelan ludah beberapa kali dalam jumlah besar. Sesekali pandangannya melirik resah ke arah Binar, yang saat ini mengenakan kemeja putih miliknya yang kebesaran di tubuh mungil wanita hamil itu. Binar hanya mengenakan kemeja Affandi dengan bawahan celana pendek miliknya yang belum basah. Menyadari Affandi yang menatapnya dengan tatapan aneh, Binar memperbaiki sebelah leher kemeja yang jatuh dari bahunya, sebab terlalu besar. Binar juga menarik ke bawah kemeja itu, menutupi pahanya yang terekspos. "Apa liat-liat?" Binar menaruh spatula di bahunya sambil melemparkan tatapan tajam pada Affandi. Saat ini dia sedang memasak nasi goreng, sementara Affandi duduk di samping meja makan. Menanti makanan tersebut masak.Mendengar bentakan juga melihat pelototan mata Binar, Affandi terkesiap lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling. "Siapa yang ngeliatin kamu? Orang aku lagi natap nasi goreng yang kamu buat," kilah sang dokter, sambil mengobati wajahnya yang bony
Read more

Bab 67: Sadar, dengan Kenakalan

Mata teduh pria yang berprofesi sebagai dokter itu memandang langit-langit kamar dengan perasaan ... nelangsa. Baru kali ini, dia sedih sebab merasa buruk dengan dirinya sendiri. Wajah wanita hamil yang penuh air mata juga deretan kalimat menyesakkan darinya tadi, terngiang-ngiang di kepala Affandi. "Sudah berapa, wanita yang pernah menjadi korban teman tidurmu?""Kalian para pria, mungkin setelah memakai, bisa melupakan dengan begitu mudah setelah hasrat tersalur.""Tapi kami para wanita ..., tidak bisa melupakan hal itu sampai kapan pun. Akan selalu membekas di ingatan, tangan kasar kalian akan terus menempel di tubuh kami, belum lagi jika dari hal itu, menciptakan bayi yang tak berdosa.""Apa kau pernah memikirkan, bagaimana nasib wanita jika ada yang sampai mengandung anakmu?""Apa kau pernah memikirkan, bagaimana nasib wanita yang patah hati jika ditinggal dan sadar bahwa dirinya hanya sebagai permainan ... teman main di r
Read more

Bab 68: Ingin Menikahi Binar

Di meja makan kecil, tampak sebuah sarapan sederhana di atasnya. Kedua wanita dan pria yang tak terikat hubungan apa pun itu, saling mengunyah makanan dengan perasaan hambar. Binar larut dalam pikirannya, tentang akan mengambil langkah apa selanjutnya, agar dia mampu menghidupi calon anaknya seorang diri. Sementara Affandi larut berpikir juga, tentang bagaimana cara agar tetap menahan wanita hamil itu, agar tetap dalam jangkauannya. Tetap bisa memastikan dia baik-baik saja, tetap bisa sigap membantu jika Binar mendapati masalah, entah itu dari orang jahat di luaran sana, atau masalah kandungannya. Kandungan Binar yang sudah cukup membesar, sangat beresiko membiarkan wanita itu pergi sendirian, apalagi tanpa bekal apa pun di luaran sana. "Sekarang, kita tidak ada hubungan apa pun lagi. Mungkin kemarin, aku sebagai kakak iparmu, tapi sekarang Bang Aiman sudah menceriakanku. Aku hanya orang asing, aku tidak ingin merepotkanmu lagi. Aku tidak ingin menjadi bebanmu lagi."
Read more

Bab 69: Luka Affandi

Semua tatapan tajam seolah mencemooh Affandi dalam diam. Hal tersebut benar-benar membuat petugas medis itu merasa terasingkan dengan orang-orang yang masih berstatus keluarganya. Sang ayah yang menggeleng-geleng dengan sunggingan senyum merendahkan, sang ibu dengan tatapan berkilat seolah memberitahu Affandi bahwa dia sama saja dengan ibu kandungnya yang pernah merebut sang suami dahulu, dan sang abang yang menatapnya paling dingin, seolah mengatakan bahwa mereka tak punya hubungan apa pun, dan selamat telah menerima bekas dari sang abang. Akal Affandi tumpul oleh semua tatapan juga bisikan-bisikan yang memenuhi kepalanya. Entah, yang dipikirkannya itu benar atau tidak. Affandi merasa terpojok, dikucilkan, dan direndahkan serendah-rendahnya. "Jawab Affandi, apa yang diucapkan oleh Aiman itu benar atau tidak?" Adipati berucap setengah membentak, geram melihat Affandi yang sejak tadi diam dengan tatapan nanar. Lagi, tatapan Affandi mengelilingi orang-orang yang ka
Read more

Bab 70: Hanya Pemangsa yang Berkedok Sebagai Penolong

Langkah gontai Affandi melewati koridor yang panjang. Perasaannya mendadak gamang tentang sang ayah. Walaupun sama sekali tidak ada rasa sayang untuk pria tua tersebut, tetapi melihat tubuh ayahnya yang dijalari alat-alat medis tadi, tiba-tiba Affandi merasa takut kehilangan. Terlebih lagi, yang dia tahu si ayah mengalami serangan jantung akibat perkataannya tadi. Affandi menekan beberapa angka digit pada pintu apartemen. Ya, dia memilih kembali pulang ke apartemennya. Jika dia tahu pulang ke rumah orang tuanya hanya membuat masalah sebesar tadi, maka lebih baik Affandi tidak usah pulang ke rumah. Terlebih lagi, Affandi merasa tidak becus, baik sebagai anak maupun seorang dokter. Ambarawati benar-benar menjaga ketat tubuh suaminya dari Affandi, tidak membiarkan dia untuk ikut merawat sang ayah. "Dokter?" Binar yang sedang menyuap sayur di mulutnya itu terhenti, ketika melihat Affandi yang tiba-tiba datang dengan tampang kacau. Kemeja kusut, wajah mendu
Read more
PREV
1
...
56789
...
18
DMCA.com Protection Status