Home / Romansa / Kekhilafan Satu Malam / Chapter 71 - Chapter 80

All Chapters of Kekhilafan Satu Malam: Chapter 71 - Chapter 80

171 Chapters

Bab 71: Tanpa Arah

Petugas medis tampan yang dipenuhi bulir-bulir dingin di dahinya itu, tampak fokus melakukan pembedahan pada pasien yang tak lain adalah ayah kandungnya sendiri. Ternyata, jika anggota keluarga yang dibedahnya sendiri, dilema mengungkung hati. Antara tak tega merobek kulit itu dengan senjata tajam di tangan, tetapi harus melaksanakannya karena tuntutan pekerjaan juga menyelamatkan nyawa pasien. Ya, Affandi kalah. Dia memilih menyelamatkan nyawa ayahnya, ketimbang mencari Binar yang pergi entah ke mana. Aiman berjanji akan mencari keberadaan wanita tersebut, asal Affandi segera memfokuskan diri melakukan operasi agar menyelamatkan nyawa ayah mereka. Di luar ruangan operasi, terdapat Aiman yang bersandar di dinding dengan tangan terlipat di dada. Ambar yang duduk di kursi tunggu sambil sesekali melumat bibirnya sendiri, cemas melandanya. Sementara Syelira juga tak mau kalah menanti ayah mertuanya selesai dioperasi. Walaupun Ambar dan Aiman telah memaksa wanita itu
Read more

Bab 72: Dirinya yang Asing

Kesehariannya, kini Binar disibukan oleh jajanan manis berupa kue-kue sederhana, berupa; kue bangkit, klepon, cucur, juga kue telur gabus. Semua dikemas dalam kantung plastik bening, lalu dijajakan di jalan-jalan. Keliling di bawah terik matahari seraya menenteng sebuah box plastik. Kini, Mbah Mai punya teman saat keliling berjualan kue. Menghampiri satu per satu mobil yang berhenti di lampu merah, menawarkan jajanan manis tersebut. Walaupun lelah dan kecapean, wanita yang telah menggunting pendek rambutnya itu, selalu mensyukuri hal tersebut. Setidaknya, kehadiran dia dapat sedikit membantu pekerjaan Mbah Mai. Mulai dari mengaduk adonan, memasak, mengemas, dan menjajakan kue-kue tersebut. Mbah Mai orangnya sangat baik, dia selalu memerhatikan kondisi kehamilan Binar. Dia juga sangat rajin membawa Binar untuk cek kondisinya ke klinik kandungan. Binar seperti menemukan sosok ibu di tubuh tua Mbah Mai. "Capek, Nak?" tanya Mbah Mai yang melihat Binar menyadarkan len
Read more

Bab 73: Si Pembawa Rezeki

Kedua wanita berbeda usia itu saling menenteng bungkusan plastik yang berisi kotak-kotak jajanan kue yang dipesankan pembeli istimewanya semalaman. Senyum terpatri di wajah keduanya, tak sabar menjemput rezeki. Hari ini, untuk pertama kalinya baik Mbah Mai maupun Binar membuat kue sebanyak itu. "Sepertinya sudah ini ya, alamatnya, Mbah?" Binar mencocokkan alamat tempat pada kartu nama yang diberikan Liana semalam. Sekarang, mereka sedang berada di depan apartemen yang sangat besar, tinggi, dan mewah. Mata wanita tua itu tampak berbinar-binar memandang ke atas. Namun, mereka tak dibiarkan masuk begitu saja. Para petugas keamanan memindai penampilan Mbah Mai yang hanya mengenakan rok dan baju lengan panjang yang tampak usang. Begitu pula dengan daster kuning sederhana yang dikenakan oleh Binar. "Kami di sini mau membawa pesanan Mbak Liana. Dia bilang tinggal di apartemen ini." Binar menyodorkan secarik kartu nama pada si penjaga keamanan itu. Si
Read more

Bab 74: Perasaan Affandi

Binar melangkah cepat meninggalkan ruangan dokter kandungan itu. Di belakang sana, terdapat seorang pria tampan dengan jas putih bersihnya, berusaha untuk mengejar langkah kaki wanita hamil itu. Benar saja dugaan Affandi selama ini, jika Binar masih marah dengannya akibat kejadian di apartemennya malam itu. Affandi mengayunkan kaki lebar dan bergerak cepat, memalang langkah kecil Binar. "Minggir, Dok!" seru Binar menatap tajam sang dokter. Rasanya dia sangat muak dengan Affandi yang menurutnya sok kecakepan, terlebih lagi saat teringat di ruangan dokter kandungan tadi, Affandi mengaku jika dirinyalah ayah dari bayi yang dikandungnya. "Astaga ..., saya tidak menyangka, jika Dokter Affandi sudah menikah. Punya istri secantik ini lagi." Terngiang lagi ucapan dokter wanita tadi di kepala Binar. "Hehe, saya sengaja untuk tidak pamerin pernikahan saya, Dok. Sebab Dokter lihat saja sendiri, istri saya secantik ini. Saya takut dilirik dokter-dokter pria di sini
Read more

Bab 75: Kelakuan Affandi

Beberapa bungkus kotak yang berisi jajanan kue sederhana itu, dibawa ke rumah sakit oleh Syeira saat menjenguk ayah mertuanya. Syeira berinisiatif untuk membagikan kue-kue tersebut pada orang-orang rumah sakit. Dia meminta tolong pada Affandi agar membagikan kue-kue itu ke teman-teman kerjanya atau pasien di sekitar. Affandi pun menuruti tanpa banyak protes atau bertanya. Beberapa perawat yang mendapat kotak dari petugas medis tampan itu, mengucapkan terima kasih pada Affandi. Terlebih lagi jika yang diberi perawat wanita, sudah tentu mereka akan tersipu-sipu, seolah Affandi baru saja memberikan seperangkat alat salat. Dulu, jika ada perawat wanita yang tersipu-sipu kepadanya seperti itu, maka Affandi akan menambah tebar pesonanya. Paling tidak sampai si lawan jenis klepek-klepek, meleleh, sampai bertekuk lutut di hadapannya. Namun, Affandi kali ini hanya menganggukan kepala sungkan seraya tersenyum tipis, lalu pergi dari hadapan perawat wanita tersebut. Sebelum si perawat
Read more

Bab 76: Boneka Perasaan

Pintu kayu berwarna cokelat tua itu dibanting tepat di hadapan Affandi. Petugas medis itu meringis, sakit karena diusir juga perih di pipi kirinya akibat dia yang refleks memegang perut Binar tadi. Tak tanggung-tanggung, sikap refleksi yang dilakukan Affandi tadi sampai bergerak mengusap perut buncit Binar. Wanita mana coba yang tangannya tak akan melayang, mendapat perlakuan tiba-tiba seperti itu dari seorang pria yang bukan mahrom, terlebih lagi dari Affandi--yang menurut Binar seorang pria nakal. "Ya ampun ... ini kenapa, kok diusir begitu, Nak Dokter?" Mbah Mai yang melihat kejadian bantingan pintu, langsung mendekat ke Affandi yang bersiap memasuki mobil hitamnya. Sekali lagi, Affandi mengusap pipi tirusnya dengan jemari. Timbul senyuman tipis di wajah petugas medis itu, mengingat Binar sudah banyak berubah sekarang. Bukan Binar yang lemah dan gampang menangis seperti dulu. "Tidak apa-apa, Mbah. Anggap saja ini tamparan karena kesalahanku kemarin."
Read more

Bab 77: Terjebak di Lift

Affandi merengkuh Binar dengan erat, menarik tubuh wanita itu mendekat ke dinding. Tatapan Affandi mendelik, mengelilingi ruang lift yang sempit itu dengan tatapan waspada."Shhh, nggak apa-apa. Aku nggak akan biarin kamu kenapa-napa, Nona." Affandi mengusap-usap belakang kepala Binar. Lift berhenti bergerak turun dengan tiba-tiba pula. Membuat kedua tubuh itu seperti terjatuh, Affandi menahan bobot tubuh Binar, agar tubuhnya tak terbentur lantai. "Kau baik-baik saja?" tanyanya cepat memerhatikan wajah Binar yang masih tenggelam dalam dekapannya. Binar segera melepaskan pelukan seraya mengucapkan kata maaf, memperbaiki helai rambutnya yang menutupi wajah, dan menjauhi Affandi. "Kau baik-baik saja?" Lagi, Affandi menanyakan hal yang sama. "Hmm." Binar mengangguk sambil memfokuskan pandangan pada dada Affandi. Ada bekas lipstik-nya di sana. Ya, Binar yang sekarang memang mulai memakai make-up, walaupun hanya sekadar
Read more

Bab 78: Cinta yang Tulus Dari Affandi

Petugas medis yang terkenal nakal itu, sekarang terbaring di ranjang berukuran king di dalam kamar apartemen milik Liana. Di samping ranjang, ada Binar yang setia menunggu Affandi agar segera tersadar, dengan pertanyaan-pertanyaan yang siap dia lontarkan untuk pria itu. Pikiran wanita itu melayang, ke beberapa menit sebelumnya. "Apa hubungan Mbak Liana dengan Dokter Affandi?""Apa Dokter Affandi menjadikan Mbak Liana sebagai korban cintanya juga?""Sejak kapan kalian berhubungan?""Mending, Mbak Liana jauh-jauh saja dengan Dokter Affandi. Dia suka mematahkan hati seorang wanita. Dia hanya memanfaatkan setiap wanita yang ditemuinya.""Ya, kau benar. Affandi hanya memanfaatkan setiap wanita yang ditemuinya. Begitu pula denganku, demi dirimu." Liana terkekeh lirih sambil menggenggam pundak Binar. Maksud perkataan Liana terngiang-ngiang di pikiran Binar. Memanfaatkan Liana demi dirinya? Ketika meminta penjelasan lebih lanjut dari L
Read more

Bab 79: Kedekatan Vs Keretakan

Binar menatap jalan yang di mana pohon dan kendaraan berpapasan melewati mereka. Tak sekali pun dia menoleh ke pria yang duduk di sampingnya. Sementara Affandi hanya diam sambil fokus menyetir, tak tahu harus bicara apa setelah perasaan dan kelakuannya dibongkar semua oleh Liana tadi. Sempat Binar memberikan penolakan saat Affandi mengajaknya pulang, tetapi setelah dibujuk dan dibujuk, akhirnya Binar pasrah. Kasihan, juga tak enak yang selalu menolak. "Balonku ada lima, rupa-rupa warnanya ...." Di lampu merah, ada seorang bocah lelaki mampir di depan kaca mobil Affandi yang berhenti. Bocah itu membawa kerincing di tangan, memukul-mukulkan dengan tangannya yang lain, lalu bernyanyi dengan riang gembira. Binar menoleh memandang bocah yang berada di bagian pintu Affandi tersebut. Tampak Affandi mengeluarkan lembaran uang berwarna biru dari saku celananya, lantas diberikan oleh bocah tersebut. "Waah, ini seriusan sebanyak ini, Om?" Mata bocah berkulit hitam
Read more

Bab 80: Hancurnya Perasaan Aiman

Kedua wanita beda usia di dalam kamar itu, terperanjat mendengar suara tertahan Aiman yang berada di balik pintu, juga melihat beberapa barang hadiah bawaannya yang memenuhi bawah celah pintu. Syeira segera berdiri dengan tegang kala melihat Aiman mendorong daun pintu dengan lemah, lemas, syok melanda pria itu. "Ma-Mas ...." Wanita itu melumat bibirnya sambil meremas punggung tangan sendiri. Sementara Susan memucat, kala melihat Aiman melemparkan tatapan tajam ke arahnya. "Jadi ...." Aiman tak sanggup mengeluarkan kalimat walau sepatah kata pun, otaknya tumpul, jantungnya serasa diremas, bahkan tungkai pria itu serasa lemas. Syeira-nya, Syeira yang sangat dia cintai, kembali mengkhianatinya. Bahkan, pengkhianatan ini sangat besar ketimbang dia yang berpura-pura baik dan menerima Binar sebagai madunya kemarin, tetapi setelah itu ingin melenyapkannya. Syeira ternyata hanya berpura-pura hamil, lalu membuat Aiman menari sesuai dengan perintahnya. Selama beb
Read more
PREV
1
...
678910
...
18
DMCA.com Protection Status