Pintu kayu berwarna cokelat tua itu dibanting tepat di hadapan Affandi. Petugas medis itu meringis, sakit karena diusir juga perih di pipi kirinya akibat dia yang refleks memegang perut Binar tadi. Tak tanggung-tanggung, sikap refleksi yang dilakukan Affandi tadi sampai bergerak mengusap perut buncit Binar. Wanita mana coba yang tangannya tak akan melayang, mendapat perlakuan tiba-tiba seperti itu dari seorang pria yang bukan mahrom, terlebih lagi dari Affandi--yang menurut Binar seorang pria nakal.
"Ya ampun ... ini kenapa, kok diusir begitu, Nak Dokter?" Mbah Mai yang melihat kejadian bantingan pintu, langsung mendekat ke Affandi yang bersiap memasuki mobil hitamnya.Sekali lagi, Affandi mengusap pipi tirusnya dengan jemari. Timbul senyuman tipis di wajah petugas medis itu, mengingat Binar sudah banyak berubah sekarang. Bukan Binar yang lemah dan gampang menangis seperti dulu."Tidak apa-apa, Mbah. Anggap saja ini tamparan karena kesalahanku kemarin."Affandi merengkuh Binar dengan erat, menarik tubuh wanita itu mendekat ke dinding. Tatapan Affandi mendelik, mengelilingi ruang lift yang sempit itu dengan tatapan waspada."Shhh, nggak apa-apa. Aku nggak akan biarin kamu kenapa-napa, Nona." Affandi mengusap-usap belakang kepala Binar. Lift berhenti bergerak turun dengan tiba-tiba pula. Membuat kedua tubuh itu seperti terjatuh, Affandi menahan bobot tubuh Binar, agar tubuhnya tak terbentur lantai. "Kau baik-baik saja?" tanyanya cepat memerhatikan wajah Binar yang masih tenggelam dalam dekapannya. Binar segera melepaskan pelukan seraya mengucapkan kata maaf, memperbaiki helai rambutnya yang menutupi wajah, dan menjauhi Affandi. "Kau baik-baik saja?" Lagi, Affandi menanyakan hal yang sama. "Hmm." Binar mengangguk sambil memfokuskan pandangan pada dada Affandi. Ada bekas lipstik-nya di sana. Ya, Binar yang sekarang memang mulai memakai make-up, walaupun hanya sekadar
Petugas medis yang terkenal nakal itu, sekarang terbaring di ranjang berukuran king di dalam kamar apartemen milik Liana. Di samping ranjang, ada Binar yang setia menunggu Affandi agar segera tersadar, dengan pertanyaan-pertanyaan yang siap dia lontarkan untuk pria itu. Pikiran wanita itu melayang, ke beberapa menit sebelumnya. "Apa hubungan Mbak Liana dengan Dokter Affandi?""Apa Dokter Affandi menjadikan Mbak Liana sebagai korban cintanya juga?""Sejak kapan kalian berhubungan?""Mending, Mbak Liana jauh-jauh saja dengan Dokter Affandi. Dia suka mematahkan hati seorang wanita. Dia hanya memanfaatkan setiap wanita yang ditemuinya.""Ya, kau benar. Affandi hanya memanfaatkan setiap wanita yang ditemuinya. Begitu pula denganku, demi dirimu." Liana terkekeh lirih sambil menggenggam pundak Binar. Maksud perkataan Liana terngiang-ngiang di pikiran Binar. Memanfaatkan Liana demi dirinya? Ketika meminta penjelasan lebih lanjut dari L
Binar menatap jalan yang di mana pohon dan kendaraan berpapasan melewati mereka. Tak sekali pun dia menoleh ke pria yang duduk di sampingnya. Sementara Affandi hanya diam sambil fokus menyetir, tak tahu harus bicara apa setelah perasaan dan kelakuannya dibongkar semua oleh Liana tadi. Sempat Binar memberikan penolakan saat Affandi mengajaknya pulang, tetapi setelah dibujuk dan dibujuk, akhirnya Binar pasrah. Kasihan, juga tak enak yang selalu menolak. "Balonku ada lima, rupa-rupa warnanya ...." Di lampu merah, ada seorang bocah lelaki mampir di depan kaca mobil Affandi yang berhenti. Bocah itu membawa kerincing di tangan, memukul-mukulkan dengan tangannya yang lain, lalu bernyanyi dengan riang gembira. Binar menoleh memandang bocah yang berada di bagian pintu Affandi tersebut. Tampak Affandi mengeluarkan lembaran uang berwarna biru dari saku celananya, lantas diberikan oleh bocah tersebut. "Waah, ini seriusan sebanyak ini, Om?" Mata bocah berkulit hitam
Kedua wanita beda usia di dalam kamar itu, terperanjat mendengar suara tertahan Aiman yang berada di balik pintu, juga melihat beberapa barang hadiah bawaannya yang memenuhi bawah celah pintu. Syeira segera berdiri dengan tegang kala melihat Aiman mendorong daun pintu dengan lemah, lemas, syok melanda pria itu. "Ma-Mas ...." Wanita itu melumat bibirnya sambil meremas punggung tangan sendiri. Sementara Susan memucat, kala melihat Aiman melemparkan tatapan tajam ke arahnya. "Jadi ...." Aiman tak sanggup mengeluarkan kalimat walau sepatah kata pun, otaknya tumpul, jantungnya serasa diremas, bahkan tungkai pria itu serasa lemas. Syeira-nya, Syeira yang sangat dia cintai, kembali mengkhianatinya. Bahkan, pengkhianatan ini sangat besar ketimbang dia yang berpura-pura baik dan menerima Binar sebagai madunya kemarin, tetapi setelah itu ingin melenyapkannya. Syeira ternyata hanya berpura-pura hamil, lalu membuat Aiman menari sesuai dengan perintahnya. Selama beb
Affandi langsung mengayunkan kakinya, setengah berlari menyusuri koridor, menuju ke ruang operasi. Kata teman seprofesinya, sang abang sudah ada di ruangan sana. Terbaring tak sadarkan diri dengan kepala bocor juga tangan dan kaki yang cedera. Kebiasaan Aiman yang selalu melampiaskan amarahnya dengan ngebut-ngebutan di jalan raya, mendapat batunya sekarang. Dia yang sedang melajukan mobil dengan kecepatan tinggi, kurang memperhatikan adanya kendaraan dari arah berlawanan. Membuat dia membanting setir, hingga mobil yang ditumpangi terguling di bawah jalan yang agak curam. Untung orang-orang di sekitar yang melihat langsung melaporkan hal tersebut kepada pihak yang berwajib. "Kita harus segera melakukan operasi di kepalanya. Ada pendarahan di otak," ucap pria teman sejawat Affandi. Segera Affandi memakai pakaian operasinya. Memerhatikan sang abang dengan helaan napas yang tertahan. Darah yang menempel di kepala sang abang, juga lebam di tubuh dan lengan, sanga
Selang infus menjalar, melilit punggung tangan Binar. Setelah merasakan sakit melilit pada perutnya, wanita itu segera dilarikan di rumah sakit sebab tak sadarkan diri. Mbah Mai pikir Binar akan segera melahirkan, tetapi sampai saat ini juga tak ada tanda-tanda proses pembukaan yang dialami wanita hamil itu. Binar hanya merasakan sakit pada perutnya, seolah-olah bayi yang ada di dalam sana ikut merasa sedih dengan apa yang terjadi pada ayah biologisnya--Aiman. "Kenapa Binar belum sadarkan diri juga ya, Nak Dok?" Mbah Mai menatap Affandi yang menyandarkan lengannya di dinding sambil menatap Binar di atas tempat tidur. Mendengar Binar yang memekik kesakitan di telepon semalam, Affandi langsung melajukan mobilnya menuju rumah wanita pujaannya itu. Sampai di sana, Affandi sudah mendapati Binar tak sadarkan diri, dengan Mbah Mai yang khawatir, meminta pada tetangga agar membawa Binar ke rumah sakit. Kebetulan Affandi langsung sigap datang, dan membawa Binar pergi bers
"Ya sudah, baiknya kita tinggalin dulu mereka berdua. Jangan pada berkumpul di sini. Berikan Bang Aiman udara." Setelah menarik napas yang terasa sesak, Affandi berusaha profesional. Ambar mengangguk, lalu melangkah mendekati Aiman yang ada di ranjang. Mengusap bahu putra sulungnya itu, lantas mengusap kepala Binar dengan sayang, tak lupa juga mengusap perut buncit Binar. "Sehat-sehat untuk kalian semua." Ambar berucap dengan mata berkaca-kaca. Tampak terharu dengan kedatangan Binar yang mampu membuat putranya siuman. "Terima kasih, Bu." Binar kembali berucap formal. Ambar melirik Syeira yang masih berdiam di pojok sambil meremas punggung tangannya, sedih dan ketakutan. Takut sampai Aiman menceraikannya, takut sampai Ambar membencinya sebab sudah membohongi dia soal momongan. Sementara Susan selalu setia di samping putrinya. Mengusap-usap bahu Syeira yang naik turun. "Syeira, apa kamu tidak ingin mengatakan sesuatu pada Aiman?"
Aiman kembali tak sadarkan diri dengan kondisi yang melemah lagi. Binar keluar dari ruang ICU dengan perasaan bersalah, mungkin tak seharusnya dia langsung mengacaukan pikiran pria itu dengan menolak keinginannya tadi. Aiman baru saja sadar dari kritis, harusnya Binar mungkin memaklumi dulu permintaan pria itu yang menurutnya aneh. Untuk apa lagi Aiman meminta rujuk kembali, sementara dia sudah punya Syeira juga bayinya. Pikiran tersebut memenuhi pikiran Binar, apakah Aiman mengajaknya bersama hanya untuk mengambil anak yang dikandungnya saja? Kalau seperti itu, Binar tentu tak akan pernah mau. Bayi itu miliknya saja! "Kamu di sini, toh. Dari tadi Mbah cari-cari!" Wanita tua dengan baju kaus panjang itu, setengah berseru saat melihat Binar duduk di sebuah bangku taman rumah sakit. Mbah Mai sudah tahu jika Binar ada di ruang ICU menemui mantan suaminya, diberitahu oleh Affandi sebelumnya. Namun, sesampainya di sana, Mbah Mai tak menemukan sang anak angkat itu. Mba
Malam kian larut, ditemani gerimis serta angin yang kencang. Abimanyu memanahkan tatapan pada rintik-rintik hujan yang menetes. Pikirannya tenggelam, entah ke mana. Beberapa kali dia mendengar sang ibu mengetuk pintu kamarnya, meminta dia agar keluar makan malam. Tapi Abimanyu memilih bungkam. Entahlah, rasanya Abimanyu belum bisa menerima keadaan jika Chelsi adalah adiknya. Rasanya, Abimanyu ingin meminta pada ibunya agar membuang saja gadis itu. Jujur, Abimanyu kurang menyukai kehadiran Chelsi. Bahkan sangat! Sebab kasih sayang ayah dan ibunya mulai terbagi pada gadis itu. Terlebih, Abimanyu menyimpan perasaan pada Chelsi. "Bagaimana caranya membuang perasaan bodoh ini?!"Terdengar bunyi mengkriuk lapar dari perut sang pria. Abimanyu memutuskan untuk turun ke lantai bawah. Melewati kamar yang dalamnya bernuansa warna pink itu, Abimanyu terhenti sekejap. Terus jalan lagi. Hasratnya ingin masuk ke dalam sebenarnya. Rum
Sudah berhari-hari kini Chelsi tinggal di kediaman Adipati. Dia mulai mengakrabkan diri dengan semua hal yang ada di rumah besar itu. Baik dengan kedua orang tuanya, para ART, peraturan, ruangan, aktivitas, bahkan perabotan. Hanya satu hal yang belum Chelsi akrabkan. Abimanyu. Semenjak Chelsi menginjakan kaki di rumah Adipati sebagai putri kandung Affandi dan Binar, keberadaan sang abang tersebut seperti hilang di telan bumi. Abimanyu tak pernah pulang ke rumah, hampir seminggu malah sekarang. Binar khawatir tentang keberadaan sang putra. Ditelepon pun, ponsel pria itu tak aktif. Hal tersebut makin membuat hati Binar tak tenteram. "Iya, Bang Abi ke kantor beberapa hari yang lalu. Hanya sebentar, karena dia harus keluar negeri mengurusi tender di sana." Penjelasan Angkasa lewat telepon sedikit membuat Binar mengembuskan napas lega. Tapi masa sesibuk itu Abimanyu, sampai tak punya waktu sedikit pun buat bicara dengan ibunya. Binar memilih mengirimkan
"Chelsi." Gadis itu sedikit tersentak ketika kedua bahunya dipegang oleh Syeira."Ah, iya. Kenapa?" Chelsi menatap Syeira dengan sorot kebingungan. "Ayo, masuk." Syeira merangkul gadis manis itu. "Saya nggak nyangka, ternyata kamu putrinya Binar dan Affandi. Kamu tidak pernah tau, seterpukul apa dulu Binar saat bayinya dinyatakan meninggal di ruang inkubator."Chelsi tertegun mendengar hal tersebut. Dia menatap Binar yang sejak tadi menatapnya dengan mata basah. Terasa sakit hati gadis itu melihat wajah Binar yang terus-terusan meneteskan air mata itu. Lantas pandangannya mengarah ke Affandi. Petugas medis itu juga tampak basah matanya, dengan wajah memerah, berusaha menahan tangis. Apakah benar, kedua orang tersebut adalah orang tuanya? Chelsi bahkan tak berani bermimpi untuk hal itu. "Sini." Affandi meraih lengan halus Chelsi, mengajaknya agar lebih menempel padanya. Telapak tangannya, Affandi letakkan di dada sendiri seray
Serempak mata orang-orang di dalam ruangan tersebut membulat sempurna. Terlebih Vena, tubuh wanita itu menegang dengan bulir-bulir yang mulai mencuat di pelipis. Tungkainya melemas. Perlahan, dia memutar kepalanya, melihat sang putri yang masih dicekal erat oleh petugas medis kesehatan itu. Sementara Chelsi hanya menatap Affandi dengan tatapan syok. Mana mungkin? Tapi benarkah? Pikiran dan perasaan gadis itu campur aduk. Lalu dia menatap sang ibu--Vena. Mata Chelsi berkaca-kaca, melihat wajah memucat ibunya. Apakah mungkin yang dikatakan sang dokter benarkah nyatanya? Dia ...."Lepaskan putriku, Venuska!" Kembali Affandi bersuara tegas, menatap tajam pada Vena. Jelas hal tersebut membuat nyali wanita itu menciut. Tapi tidak, Chelsi tetap putrinya!"Tidak! Dia anakku! Dia putriku. Hanya putriku!" Vena menarik kembali Chelsi, agak kasar. Namun, Affandi tetap menahan."Sakit," r
Akhirnya, Abimanyu, Chelsi, juga Angaksa pergi ke rumah sakit. Abimanyu dan Chelsi semobil? Tentu saja tidak. Gadis itu semobil dengan calon suaminya. Membiarkan dada Abimanyu terbakar di mobil lainnya sana.Abimanyu memilih melajukan kecepatan mobilnya di atas rata-rata. Pergi entah ke mana. Hendak mendinginkan dulu perasaannya yang memanas.**"Saya di sini saja, Bu. Nggak usah masuk ke dalam." Seorang wanita berusia senja itu, tampak sungkan ketika lengannya ditarik oleh Syeira masuk ke ruang rawat Binar. Lebih tepatnya, dia takut masuk ke dalam. Takut bertemu dengan si petugas medis yang dulunya pernah menjadi mantannya itu.Tadi, di saat mereka kembali bertemu demi membahas tentang pernikahan Angkasa dan Chelsi, tiba-tiba Affandi menelepon, memberitahukan berita gembira. Jika Nona kesayangannya telah sadar dari koma. Jelas hal tersebut juga menjadi s
Biasanya, jika Abimanyu dulu terpaksa harus mengantar Friska, maka gadis itu akan berceloteh panjang lebar hingga membuat kuping Abimanyu terasa panas. Bukan hanya itu, Friska juga suka sekali menempel pada lengan berotot Abimanyu. Hingga membuat sang pria gerah juga geram setengah mati.Namun sekarang, hampir lima belas menit perjalanan pun, gadis berkuncir kuda itu belum juga membuka suara. Dia hanya menoleh ke arah luar jendela. Memerhatikan gedung-gedung yang berpapasan dengan mereka. Diamnya Friska malah membuat perasaan Abimanyu tak enak. Abimanyu memang lebih menyukai suasa yang hening ketimbang ribut, tetapi diamnya Friska malah membuat pria itu resah.'Kau terlihat seperti jalang yang haus belaian.' Lagi, kalimat itu mengusik pikiran Abimanyu. Dia tak ingat betul kalimat apa saja yang meluncur dari mulutnya saat emosi waktu itu. Tapi yang Abimanyu tahu, kemungkinan salah satu ucapannya benar-b
Perlahan-lahan, kelopak mata yang tampak lemah itu berkedip pelan. Ingin membuka mata, tetapi silau mentari begitu menusuk. Kembali dia menutup mata erat. Tangannya terasa menyentuh sebuah permukaan berbulu lebat. Sebuah rambut. Diusapnya rambut tersebut dengan pelan. Aksinya tersebut malah mengganggu tidur si empu rambut. Abimanyu menggeliat, dan gesekan kepalanya pada samping perut sang ibu, membuat si empu perut melenguh. Melotot langsung kedua bola mata itu."Mah?" Abimanyu bangkit berdiri, memanggil ayahnya yang tidur di samping sofa di belakangnya."Tangan Mama gerak lagi." Hati Abimanyu berdesir hangat. Sangat bahagia melihat wajah ibunya yang terus menunjukkan respon aktif."Nona?" Affandi mengusap pipi Binar, tampak berkaca-kaca mata petugas medis itu melihat bibir Binar yang bergerak-gerak."A--bi ..., bagai-mana kead---"
Dua sejoli yang saling membulat matanya itu sama-sama menatap tanpa berkedip. Abimanyu masih tetap menahan pinggang Chelsi, sedangkan gadis itu meringis ketakutan dengan debaran jantung yang menggila mendengar suara panggilan di luar pintu. Itu suara Syeira. Bagaimana jika ibunya Angkasa tersebut melihat dirinya dan Abimanyu dalam satu kamar, dipeluk sang pria pula."Pak, saya mohon, lepaskan saya," cicit gadis itu menatap wajah Abimanyu di samping kiri kepalanya."Kenapa, hmm?" Abimanyu malah mendekatkan wajahnya di bahu Chelsi, membuat debaran jantung gadis itu kian jadi. Serasa hampir meledak saja jantungnya."Chelsi, kamu masih di dalam 'kan?" Syeira kembali mengetuk pintu."Pak, saya mohon." Chelsi meringis, menjauhkan wajahnya dari rahang Abimanyu yang kasar karena bulu-bulu tipis yang memenuhi pipinya."Aku mau mele
Melihat Abimanyu yang bergerak mendekat setelah menutup pintu, Chelsi menatap waspada. Terlebih dirinya yang hanya mengenakan handuk, tumpahan air minum tadi lumayan membuat gaunnya basah parah. Syeira menyarankan agar Chelsi mengganti pakaian basah tersebut dengan gaunnya."Pak, keluar dari sini!" Chelsi gegas menarik selimut menutupi tubuhnya.Abimanyu terus mengayunkan langkah dengan tatapan yang tak bisa diartikan. Chelsi mundur perlahan dengan tatapan yang tak terlepas dari mata elang itu. Abimanyu terus mendekat, mengikis jarak, terus, dan terus. Sampai membuat gadis yang membalut tubuhnya dengan selimut itu terpojok di dinding.Chelsi kelabakan. Mengerjap beberapa saat, dan menoleh ke belakang. Lalu kembali mendongak, menatap mata elang itu yang berada tepat di depan keningnya. Dia hendak kabur, tetapi Abimanyu sigap menekan dinding sebelah kiri gadis itu. Chelsi henda