Semua tatapan tajam seolah mencemooh Affandi dalam diam. Hal tersebut benar-benar membuat petugas medis itu merasa terasingkan dengan orang-orang yang masih berstatus keluarganya. Sang ayah yang menggeleng-geleng dengan sunggingan senyum merendahkan, sang ibu dengan tatapan berkilat seolah memberitahu Affandi bahwa dia sama saja dengan ibu kandungnya yang pernah merebut sang suami dahulu, dan sang abang yang menatapnya paling dingin, seolah mengatakan bahwa mereka tak punya hubungan apa pun, dan selamat telah menerima bekas dari sang abang. Akal Affandi tumpul oleh semua tatapan juga bisikan-bisikan yang memenuhi kepalanya. Entah, yang dipikirkannya itu benar atau tidak. Affandi merasa terpojok, dikucilkan, dan direndahkan serendah-rendahnya.
"Jawab Affandi, apa yang diucapkan oleh Aiman itu benar atau tidak?" Adipati berucap setengah membentak, geram melihat Affandi yang sejak tadi diam dengan tatapan nanar.Lagi, tatapan Affandi mengelilingi orang-orang yang kaLangkah gontai Affandi melewati koridor yang panjang. Perasaannya mendadak gamang tentang sang ayah. Walaupun sama sekali tidak ada rasa sayang untuk pria tua tersebut, tetapi melihat tubuh ayahnya yang dijalari alat-alat medis tadi, tiba-tiba Affandi merasa takut kehilangan. Terlebih lagi, yang dia tahu si ayah mengalami serangan jantung akibat perkataannya tadi. Affandi menekan beberapa angka digit pada pintu apartemen. Ya, dia memilih kembali pulang ke apartemennya. Jika dia tahu pulang ke rumah orang tuanya hanya membuat masalah sebesar tadi, maka lebih baik Affandi tidak usah pulang ke rumah. Terlebih lagi, Affandi merasa tidak becus, baik sebagai anak maupun seorang dokter. Ambarawati benar-benar menjaga ketat tubuh suaminya dari Affandi, tidak membiarkan dia untuk ikut merawat sang ayah. "Dokter?" Binar yang sedang menyuap sayur di mulutnya itu terhenti, ketika melihat Affandi yang tiba-tiba datang dengan tampang kacau. Kemeja kusut, wajah mendu
Petugas medis tampan yang dipenuhi bulir-bulir dingin di dahinya itu, tampak fokus melakukan pembedahan pada pasien yang tak lain adalah ayah kandungnya sendiri. Ternyata, jika anggota keluarga yang dibedahnya sendiri, dilema mengungkung hati. Antara tak tega merobek kulit itu dengan senjata tajam di tangan, tetapi harus melaksanakannya karena tuntutan pekerjaan juga menyelamatkan nyawa pasien. Ya, Affandi kalah. Dia memilih menyelamatkan nyawa ayahnya, ketimbang mencari Binar yang pergi entah ke mana. Aiman berjanji akan mencari keberadaan wanita tersebut, asal Affandi segera memfokuskan diri melakukan operasi agar menyelamatkan nyawa ayah mereka. Di luar ruangan operasi, terdapat Aiman yang bersandar di dinding dengan tangan terlipat di dada. Ambar yang duduk di kursi tunggu sambil sesekali melumat bibirnya sendiri, cemas melandanya. Sementara Syelira juga tak mau kalah menanti ayah mertuanya selesai dioperasi. Walaupun Ambar dan Aiman telah memaksa wanita itu
Kesehariannya, kini Binar disibukan oleh jajanan manis berupa kue-kue sederhana, berupa; kue bangkit, klepon, cucur, juga kue telur gabus. Semua dikemas dalam kantung plastik bening, lalu dijajakan di jalan-jalan. Keliling di bawah terik matahari seraya menenteng sebuah box plastik. Kini, Mbah Mai punya teman saat keliling berjualan kue. Menghampiri satu per satu mobil yang berhenti di lampu merah, menawarkan jajanan manis tersebut. Walaupun lelah dan kecapean, wanita yang telah menggunting pendek rambutnya itu, selalu mensyukuri hal tersebut. Setidaknya, kehadiran dia dapat sedikit membantu pekerjaan Mbah Mai. Mulai dari mengaduk adonan, memasak, mengemas, dan menjajakan kue-kue tersebut. Mbah Mai orangnya sangat baik, dia selalu memerhatikan kondisi kehamilan Binar. Dia juga sangat rajin membawa Binar untuk cek kondisinya ke klinik kandungan. Binar seperti menemukan sosok ibu di tubuh tua Mbah Mai. "Capek, Nak?" tanya Mbah Mai yang melihat Binar menyadarkan len
Kedua wanita berbeda usia itu saling menenteng bungkusan plastik yang berisi kotak-kotak jajanan kue yang dipesankan pembeli istimewanya semalaman. Senyum terpatri di wajah keduanya, tak sabar menjemput rezeki. Hari ini, untuk pertama kalinya baik Mbah Mai maupun Binar membuat kue sebanyak itu. "Sepertinya sudah ini ya, alamatnya, Mbah?" Binar mencocokkan alamat tempat pada kartu nama yang diberikan Liana semalam. Sekarang, mereka sedang berada di depan apartemen yang sangat besar, tinggi, dan mewah. Mata wanita tua itu tampak berbinar-binar memandang ke atas. Namun, mereka tak dibiarkan masuk begitu saja. Para petugas keamanan memindai penampilan Mbah Mai yang hanya mengenakan rok dan baju lengan panjang yang tampak usang. Begitu pula dengan daster kuning sederhana yang dikenakan oleh Binar. "Kami di sini mau membawa pesanan Mbak Liana. Dia bilang tinggal di apartemen ini." Binar menyodorkan secarik kartu nama pada si penjaga keamanan itu. Si
Binar melangkah cepat meninggalkan ruangan dokter kandungan itu. Di belakang sana, terdapat seorang pria tampan dengan jas putih bersihnya, berusaha untuk mengejar langkah kaki wanita hamil itu. Benar saja dugaan Affandi selama ini, jika Binar masih marah dengannya akibat kejadian di apartemennya malam itu. Affandi mengayunkan kaki lebar dan bergerak cepat, memalang langkah kecil Binar. "Minggir, Dok!" seru Binar menatap tajam sang dokter. Rasanya dia sangat muak dengan Affandi yang menurutnya sok kecakepan, terlebih lagi saat teringat di ruangan dokter kandungan tadi, Affandi mengaku jika dirinyalah ayah dari bayi yang dikandungnya. "Astaga ..., saya tidak menyangka, jika Dokter Affandi sudah menikah. Punya istri secantik ini lagi." Terngiang lagi ucapan dokter wanita tadi di kepala Binar. "Hehe, saya sengaja untuk tidak pamerin pernikahan saya, Dok. Sebab Dokter lihat saja sendiri, istri saya secantik ini. Saya takut dilirik dokter-dokter pria di sini
Beberapa bungkus kotak yang berisi jajanan kue sederhana itu, dibawa ke rumah sakit oleh Syeira saat menjenguk ayah mertuanya. Syeira berinisiatif untuk membagikan kue-kue tersebut pada orang-orang rumah sakit. Dia meminta tolong pada Affandi agar membagikan kue-kue itu ke teman-teman kerjanya atau pasien di sekitar. Affandi pun menuruti tanpa banyak protes atau bertanya. Beberapa perawat yang mendapat kotak dari petugas medis tampan itu, mengucapkan terima kasih pada Affandi. Terlebih lagi jika yang diberi perawat wanita, sudah tentu mereka akan tersipu-sipu, seolah Affandi baru saja memberikan seperangkat alat salat. Dulu, jika ada perawat wanita yang tersipu-sipu kepadanya seperti itu, maka Affandi akan menambah tebar pesonanya. Paling tidak sampai si lawan jenis klepek-klepek, meleleh, sampai bertekuk lutut di hadapannya. Namun, Affandi kali ini hanya menganggukan kepala sungkan seraya tersenyum tipis, lalu pergi dari hadapan perawat wanita tersebut. Sebelum si perawat
Pintu kayu berwarna cokelat tua itu dibanting tepat di hadapan Affandi. Petugas medis itu meringis, sakit karena diusir juga perih di pipi kirinya akibat dia yang refleks memegang perut Binar tadi. Tak tanggung-tanggung, sikap refleksi yang dilakukan Affandi tadi sampai bergerak mengusap perut buncit Binar. Wanita mana coba yang tangannya tak akan melayang, mendapat perlakuan tiba-tiba seperti itu dari seorang pria yang bukan mahrom, terlebih lagi dari Affandi--yang menurut Binar seorang pria nakal. "Ya ampun ... ini kenapa, kok diusir begitu, Nak Dokter?" Mbah Mai yang melihat kejadian bantingan pintu, langsung mendekat ke Affandi yang bersiap memasuki mobil hitamnya. Sekali lagi, Affandi mengusap pipi tirusnya dengan jemari. Timbul senyuman tipis di wajah petugas medis itu, mengingat Binar sudah banyak berubah sekarang. Bukan Binar yang lemah dan gampang menangis seperti dulu. "Tidak apa-apa, Mbah. Anggap saja ini tamparan karena kesalahanku kemarin."
Affandi merengkuh Binar dengan erat, menarik tubuh wanita itu mendekat ke dinding. Tatapan Affandi mendelik, mengelilingi ruang lift yang sempit itu dengan tatapan waspada."Shhh, nggak apa-apa. Aku nggak akan biarin kamu kenapa-napa, Nona." Affandi mengusap-usap belakang kepala Binar. Lift berhenti bergerak turun dengan tiba-tiba pula. Membuat kedua tubuh itu seperti terjatuh, Affandi menahan bobot tubuh Binar, agar tubuhnya tak terbentur lantai. "Kau baik-baik saja?" tanyanya cepat memerhatikan wajah Binar yang masih tenggelam dalam dekapannya. Binar segera melepaskan pelukan seraya mengucapkan kata maaf, memperbaiki helai rambutnya yang menutupi wajah, dan menjauhi Affandi. "Kau baik-baik saja?" Lagi, Affandi menanyakan hal yang sama. "Hmm." Binar mengangguk sambil memfokuskan pandangan pada dada Affandi. Ada bekas lipstik-nya di sana. Ya, Binar yang sekarang memang mulai memakai make-up, walaupun hanya sekadar
Malam kian larut, ditemani gerimis serta angin yang kencang. Abimanyu memanahkan tatapan pada rintik-rintik hujan yang menetes. Pikirannya tenggelam, entah ke mana. Beberapa kali dia mendengar sang ibu mengetuk pintu kamarnya, meminta dia agar keluar makan malam. Tapi Abimanyu memilih bungkam. Entahlah, rasanya Abimanyu belum bisa menerima keadaan jika Chelsi adalah adiknya. Rasanya, Abimanyu ingin meminta pada ibunya agar membuang saja gadis itu. Jujur, Abimanyu kurang menyukai kehadiran Chelsi. Bahkan sangat! Sebab kasih sayang ayah dan ibunya mulai terbagi pada gadis itu. Terlebih, Abimanyu menyimpan perasaan pada Chelsi. "Bagaimana caranya membuang perasaan bodoh ini?!"Terdengar bunyi mengkriuk lapar dari perut sang pria. Abimanyu memutuskan untuk turun ke lantai bawah. Melewati kamar yang dalamnya bernuansa warna pink itu, Abimanyu terhenti sekejap. Terus jalan lagi. Hasratnya ingin masuk ke dalam sebenarnya. Rum
Sudah berhari-hari kini Chelsi tinggal di kediaman Adipati. Dia mulai mengakrabkan diri dengan semua hal yang ada di rumah besar itu. Baik dengan kedua orang tuanya, para ART, peraturan, ruangan, aktivitas, bahkan perabotan. Hanya satu hal yang belum Chelsi akrabkan. Abimanyu. Semenjak Chelsi menginjakan kaki di rumah Adipati sebagai putri kandung Affandi dan Binar, keberadaan sang abang tersebut seperti hilang di telan bumi. Abimanyu tak pernah pulang ke rumah, hampir seminggu malah sekarang. Binar khawatir tentang keberadaan sang putra. Ditelepon pun, ponsel pria itu tak aktif. Hal tersebut makin membuat hati Binar tak tenteram. "Iya, Bang Abi ke kantor beberapa hari yang lalu. Hanya sebentar, karena dia harus keluar negeri mengurusi tender di sana." Penjelasan Angkasa lewat telepon sedikit membuat Binar mengembuskan napas lega. Tapi masa sesibuk itu Abimanyu, sampai tak punya waktu sedikit pun buat bicara dengan ibunya. Binar memilih mengirimkan
"Chelsi." Gadis itu sedikit tersentak ketika kedua bahunya dipegang oleh Syeira."Ah, iya. Kenapa?" Chelsi menatap Syeira dengan sorot kebingungan. "Ayo, masuk." Syeira merangkul gadis manis itu. "Saya nggak nyangka, ternyata kamu putrinya Binar dan Affandi. Kamu tidak pernah tau, seterpukul apa dulu Binar saat bayinya dinyatakan meninggal di ruang inkubator."Chelsi tertegun mendengar hal tersebut. Dia menatap Binar yang sejak tadi menatapnya dengan mata basah. Terasa sakit hati gadis itu melihat wajah Binar yang terus-terusan meneteskan air mata itu. Lantas pandangannya mengarah ke Affandi. Petugas medis itu juga tampak basah matanya, dengan wajah memerah, berusaha menahan tangis. Apakah benar, kedua orang tersebut adalah orang tuanya? Chelsi bahkan tak berani bermimpi untuk hal itu. "Sini." Affandi meraih lengan halus Chelsi, mengajaknya agar lebih menempel padanya. Telapak tangannya, Affandi letakkan di dada sendiri seray
Serempak mata orang-orang di dalam ruangan tersebut membulat sempurna. Terlebih Vena, tubuh wanita itu menegang dengan bulir-bulir yang mulai mencuat di pelipis. Tungkainya melemas. Perlahan, dia memutar kepalanya, melihat sang putri yang masih dicekal erat oleh petugas medis kesehatan itu. Sementara Chelsi hanya menatap Affandi dengan tatapan syok. Mana mungkin? Tapi benarkah? Pikiran dan perasaan gadis itu campur aduk. Lalu dia menatap sang ibu--Vena. Mata Chelsi berkaca-kaca, melihat wajah memucat ibunya. Apakah mungkin yang dikatakan sang dokter benarkah nyatanya? Dia ...."Lepaskan putriku, Venuska!" Kembali Affandi bersuara tegas, menatap tajam pada Vena. Jelas hal tersebut membuat nyali wanita itu menciut. Tapi tidak, Chelsi tetap putrinya!"Tidak! Dia anakku! Dia putriku. Hanya putriku!" Vena menarik kembali Chelsi, agak kasar. Namun, Affandi tetap menahan."Sakit," r
Akhirnya, Abimanyu, Chelsi, juga Angaksa pergi ke rumah sakit. Abimanyu dan Chelsi semobil? Tentu saja tidak. Gadis itu semobil dengan calon suaminya. Membiarkan dada Abimanyu terbakar di mobil lainnya sana.Abimanyu memilih melajukan kecepatan mobilnya di atas rata-rata. Pergi entah ke mana. Hendak mendinginkan dulu perasaannya yang memanas.**"Saya di sini saja, Bu. Nggak usah masuk ke dalam." Seorang wanita berusia senja itu, tampak sungkan ketika lengannya ditarik oleh Syeira masuk ke ruang rawat Binar. Lebih tepatnya, dia takut masuk ke dalam. Takut bertemu dengan si petugas medis yang dulunya pernah menjadi mantannya itu.Tadi, di saat mereka kembali bertemu demi membahas tentang pernikahan Angkasa dan Chelsi, tiba-tiba Affandi menelepon, memberitahukan berita gembira. Jika Nona kesayangannya telah sadar dari koma. Jelas hal tersebut juga menjadi s
Biasanya, jika Abimanyu dulu terpaksa harus mengantar Friska, maka gadis itu akan berceloteh panjang lebar hingga membuat kuping Abimanyu terasa panas. Bukan hanya itu, Friska juga suka sekali menempel pada lengan berotot Abimanyu. Hingga membuat sang pria gerah juga geram setengah mati.Namun sekarang, hampir lima belas menit perjalanan pun, gadis berkuncir kuda itu belum juga membuka suara. Dia hanya menoleh ke arah luar jendela. Memerhatikan gedung-gedung yang berpapasan dengan mereka. Diamnya Friska malah membuat perasaan Abimanyu tak enak. Abimanyu memang lebih menyukai suasa yang hening ketimbang ribut, tetapi diamnya Friska malah membuat pria itu resah.'Kau terlihat seperti jalang yang haus belaian.' Lagi, kalimat itu mengusik pikiran Abimanyu. Dia tak ingat betul kalimat apa saja yang meluncur dari mulutnya saat emosi waktu itu. Tapi yang Abimanyu tahu, kemungkinan salah satu ucapannya benar-b
Perlahan-lahan, kelopak mata yang tampak lemah itu berkedip pelan. Ingin membuka mata, tetapi silau mentari begitu menusuk. Kembali dia menutup mata erat. Tangannya terasa menyentuh sebuah permukaan berbulu lebat. Sebuah rambut. Diusapnya rambut tersebut dengan pelan. Aksinya tersebut malah mengganggu tidur si empu rambut. Abimanyu menggeliat, dan gesekan kepalanya pada samping perut sang ibu, membuat si empu perut melenguh. Melotot langsung kedua bola mata itu."Mah?" Abimanyu bangkit berdiri, memanggil ayahnya yang tidur di samping sofa di belakangnya."Tangan Mama gerak lagi." Hati Abimanyu berdesir hangat. Sangat bahagia melihat wajah ibunya yang terus menunjukkan respon aktif."Nona?" Affandi mengusap pipi Binar, tampak berkaca-kaca mata petugas medis itu melihat bibir Binar yang bergerak-gerak."A--bi ..., bagai-mana kead---"
Dua sejoli yang saling membulat matanya itu sama-sama menatap tanpa berkedip. Abimanyu masih tetap menahan pinggang Chelsi, sedangkan gadis itu meringis ketakutan dengan debaran jantung yang menggila mendengar suara panggilan di luar pintu. Itu suara Syeira. Bagaimana jika ibunya Angkasa tersebut melihat dirinya dan Abimanyu dalam satu kamar, dipeluk sang pria pula."Pak, saya mohon, lepaskan saya," cicit gadis itu menatap wajah Abimanyu di samping kiri kepalanya."Kenapa, hmm?" Abimanyu malah mendekatkan wajahnya di bahu Chelsi, membuat debaran jantung gadis itu kian jadi. Serasa hampir meledak saja jantungnya."Chelsi, kamu masih di dalam 'kan?" Syeira kembali mengetuk pintu."Pak, saya mohon." Chelsi meringis, menjauhkan wajahnya dari rahang Abimanyu yang kasar karena bulu-bulu tipis yang memenuhi pipinya."Aku mau mele
Melihat Abimanyu yang bergerak mendekat setelah menutup pintu, Chelsi menatap waspada. Terlebih dirinya yang hanya mengenakan handuk, tumpahan air minum tadi lumayan membuat gaunnya basah parah. Syeira menyarankan agar Chelsi mengganti pakaian basah tersebut dengan gaunnya."Pak, keluar dari sini!" Chelsi gegas menarik selimut menutupi tubuhnya.Abimanyu terus mengayunkan langkah dengan tatapan yang tak bisa diartikan. Chelsi mundur perlahan dengan tatapan yang tak terlepas dari mata elang itu. Abimanyu terus mendekat, mengikis jarak, terus, dan terus. Sampai membuat gadis yang membalut tubuhnya dengan selimut itu terpojok di dinding.Chelsi kelabakan. Mengerjap beberapa saat, dan menoleh ke belakang. Lalu kembali mendongak, menatap mata elang itu yang berada tepat di depan keningnya. Dia hendak kabur, tetapi Abimanyu sigap menekan dinding sebelah kiri gadis itu. Chelsi henda