Home / Romansa / Kekhilafan Satu Malam / Chapter 41 - Chapter 50

All Chapters of Kekhilafan Satu Malam: Chapter 41 - Chapter 50

171 Chapters

Bab 41: Salah Mengira

Lagi-lagi Affandi harus mendapatkan bogem mentah dari sang kakak usai mengatakan bahwa kejadian penuduhan Binar semalam, sang istri tercinta Syeira juga ikut andil dalam rencana ibunya dalam memfitnah Binar agar segera diusir dari rumah. Mereka berdua sekongkol untuk menyingkirkan Binar. Tentu Aiman tak akan mudah percaya begitu saja, dan yang lebih parahnya ialah, fakta yang diberikan oleh Affandi itu malah menjadi bumerang bagi dirinya. Aiman tak mempercayai, dan mengira Affandi hanya ingin mengadu domba antara hubungannya dengan Syeira saja. Aiman juga mengira bahwa Affandi ingin mencuri perhatian ibunya dengan merusak nama baik Aiman. Bukan hanya itu saja, Affandi juga mengira bahwa Affandi berniat untuk merebut Binar darinya. Jika sang ibu benar-benar membawa Binar untuk tinggal di rumah mereka, maka Affandi bisa ikutan tinggal juga di sana. Dan berusaha mencuri hati wanita berparas ayu itu. "Aku tau kau selama ini kurang kasih sayang, aku juga tau kau
Read more

Bab 42: Pengusiran

Pagi kembali tiba. Suasana begitu dingin dengan awan yang menggelap disertai angin kencang. Namun, suasana hati Syeira berbanding terbalik dengan suasana cuaca hari ini. Wanita itu bermondar-mandir di tepi kolam, sedangkan sang ibu duduk di bangku panjang sambil mengetuk-ngetuk jemari lentiknya di pinggir bangku. Tampak berpikir keras. "Bagaimana ini, Mami? Mas Aiman pasti akan sangat mengawasi setiap gerak-gerik Mami. Aku juga bisa dicurigai." Syeira menatap kesal pada ibunya yang masih memasang ekspresi datar. Semalam, Aiman membeberkan pada Syeira tentang dugaan Affandi pada dirinya dan sang ibu. "Apa benar, Binar kemarin sempat terjatuh dari tangga?" Aiman yang berbaring di samping Syeira, malah membahas tentang sang istri kedua. Kuping Syeira panas, begitu pula dengan hatinya. "Aku nggak tau soal hal itu, Mas." Syeira menjawab sekenanya. Aiman menghadap Syeira, menatap lekat dan dalam. "Affandi bilang, kau sama Mami bekerja sama untuk menyingkirkan Binar dari rumah ini. Apaka
Read more

Bab 43: Pendekatan

Di sepanjang perjalanan pulang, tak henti-hentinya Binar menitikkan bulir air mata. Setelah menangkap tubuh istrinya yang hampir terjatuh sebab didorong oleh sang adik yang memang memiliki perangai kasar tadi, Aiman segera menarik istri kecilnya itu pulang. Walaupun sejatinya Binar belum ingin meniggalkan sang ibu yang masih proses pemulihan. "Sudah, nanti kita jenguk ibumu lagi." Aiman mengusap wajah Binar. Kini, mereka berheti di sebuah pinggir taman yang sangat cantik juga hijau. Ada sebuah air mancur di tengah-tengah taman tersebut, Aiman berniat mengajak Binar ke sana. "Ibu belum mau memaafkanku." Lirih, Binar berucap. Sorot penuh rasa bersalah terukir jelas di mata bulatnya. "Ibumu pasti akan segera memafkanmu. Semarah apa pun seorang ibu pada anaknya, cepat atau lambat, dia pasti akan segera memafkan kita." Aiman tersenyum simpul membayangkan wajah ibunya. Sebesar apa pun masalah yang Aiman ciptakan, sang ibu pasti akan selalu memb
Read more

Bab 44: Posisi Rawan

Binar mematung, membeku, sementara jantungnya bertepuk riuh, mengguncang dada yang sedang menjadi sandaran kepala Aiman tersebut. Tangannya Binar genggam erat, mata wanita itu bahkan tak sanggup untuk sekedar berkedip atas apa yang dilakukan Aiman. Begitu tiba-tiba, dan tak diprediksi. Setelah beberapa menit menyandarkan kepala di dada Binar, perasaan Aiman yang tadinya memanas bagaikan lahar yang menggelegak, perlahan surut dan tenang. Pendengaran Aiman menangkap irama yang unik. Seperti sebuah gendang yang bertabuh cepat, dan itu menenangkan perasaan Aiman. Pria itu bahkan tak peduli apa yang dilakukannya itu telah menciptakan wajah seorang wanita memerah dengan tubuh yang membeku. Ah, pria memang selalu mau sesukanya, dan tak pernah peka. "Apa kau sehat?" Setelah sekian menit, akhirnya pria itu bersuara juga. Dia menarik kepalanya menjauh dari dada Binar. Maka terpampanglah paras ayu yang memerah itu di mata Aiman. Terlihat sangat menggemaskan dan ... men
Read more

Bab 45: lagi-lagi Susan Menghukum

Aiman mengayunkan kaki, mendekat ke ambang pintu. Tatapannya mengikuti ke mana arah pandang Syeira. Ke Binar. Wanita dengan baju tunik berwarna krem itu sedang mengayunkan langkahnya ke dapur, sesekali dia mengibas pelan rambut panjangnya yang masih basah ke belakang. Aiman ikut mengernyit melihat Binar pagi ini. "Tapi ... apa masalahnya keramas di pagi hari? Bukankah hal itu akan membuat kita segar dalam menjalani hari. Keramas di pagi hari bukan selalu kita melakukan hubungan badan di waktu malamnya, 'kan?"Makin jauh omongan Aiman, makin hilang kepercayaan Syeira padanya. Terlebih lagi, suaminya itu juga keramas pagi ini. Ya, walaupun Aiman selalu membasahi rambutnya setiap kali pergi kantor. Namun, Syeira memercayai jika suaminya itu telah tidur bersama madunya. Itulah alasan rambut basah Aiman pagi ini. "Tega kamu, Mas!" seru Syeira sambil mendorong dada Aiman. Lantas, dia berlari ke kamar ibunya. Aiman hanya menatap punggung Syeira s
Read more

Bab 46: Ambarawati vs Susan Adella

Seorang wanita dengan rambut disanggul rapi dan dress cokelat kemerahan, turun dari mobil putih sambil melayangkan tatapan aneh pada Susan yang sedang berdiri di samping mobil. Susan yang terlihat sedikit cemas dengan melirik kanan-kiri, membuat mata Amabrawati memicing. Tentu dia sudah tahu watak buruk besannya itu, yang suka mencari masalah dengan orang-orang, juga suka membesar-besarkan masalah dengan suara cemprengnya. "Apa yang kau lakukan di sini?" To the point, Ambar bertanya. Susan membuang muka sambil bersedekap. "Sekarang saya tinggal di sini?"Alis Ambar bertaut tak suka. "Menumpang?" sahutnya seperti sebuah penghinaan besar pada Susan. Mata wanita berambut pirang itu mendelik tajam pada sang besan. Memang hubungan mereka beberapa tahun belakangan ini kurang baik, di mulai dari Ambar yang mendesak purtrinya Susan agar secepatnya memiliki anak. Susan tahu betul bagaimana pengorbanan Syeira agar secepatnya bisa memiliki anak, teta
Read more

Bab 47: Sebuah Rencana Matang

Pria yang masih mengenakan kemeja kantor warna-warni itu, terlihat panik sambil membopong tubuh istrinya ke kamar. Sementara sang istri tampak meringis dengan kaki yang basah. Sang pria bahkan rela meninggalkan pekerjaan di kantor sebab ditelepon oleh istrinya itu, yang mengatakan terjatuh dari kamar mandi dan kakinya keseleo parah. Sementara di rumah tak ada satu pun orang yang membantunya. "Sakit, Mas!" Syeira meringis saat Aiman memegang pergelangan kakinya. "Bagaimana bisa kamu sampai jatuh? Makanya, lain kali hati-hati!" Aiman menggerutu sambil berpikir. "Apa harus dipanggilkan tukang pijat atau aku bawa kamu ke rumah sakit?" tanyanya. "Sudah, nggak usah, Mas. Ini pasti ntar lagi bakalan sembuh." Syeira menggerak-gerakkan kakinya pelan. "Bagaimana bisa sembuh kalau tidak diobati?" Gemas juga Aiman pada istrinya itu. "Aku nggak mau ke rumah sakit, Mas. Malas!" "Ok, aku panggilkan tukang pijit." Aiman merogoh ponsel
Read more

Bab 48: Si Penyelamat Konyol

Suara gebukan bogem mentah memenuhi indra pendengaran seiring dengan pecahnya sudut bibir seseorang. Binar menutup mulutnya disertai mata yang membelakak lebar melihat aksi di hadapannya. Kepalan tinju si penjahat itu tidak mengenai wajah Binar, melainkan wajah Affandi. Pria itu langsung mengorbankan wajahnya di saat bogem mentah si penjahat melayang ke wajah Binar tadi. Tangan Affandi terkepal erat, tatapannya menajam pada yang memukulinya. Dalam sekejap, pria berwajah sangar di hadapannya sudah tersungkur di aspal setelah dia melayangkan tendangan. Affandi susul serangan dengan kembali menendang-nendang pria tersebut tanpa ampun. "Aaa, tolong!" Tendangan Affandi terhenti ketika mendengar Binar berteriak. Leher wanita itu sudah berada dalam pitingan preman lainnya. "Berhenti atau gue bunuh pacar lo ini?""Hah? Pacar?" Binar protes dengan lirih. Sementara Affandi hanya menatap wanita itu intens. Sang preman yang mendengar ucapan aneh Binar, memperkuat pitingannya. Hingga membuat wa
Read more

Bab 49: Membuatnya Berani

Tinju Aiman terhenti di udara, Affandi mengambil kesempatan dengan menjauh secepatnya dari sang abang. Aiman makin emosi kala melihat siapa yang berani-beraninya menahan tinjunya itu. Di balik punggung Aiman, Binar menggengam lengan pria tersebut dengan erat. "Jangan pukuli dia! Dokter Affandi tidak salah apa pun!" jelas Binar sambil perlahan melepaskan tangan Aiman. Wanita itu menunduk. Hal itu membuat Aiman mengeraskan rahang. Tak terima mendengar istri keduanya membela pria lain di hadapannya. Ingin mengatakan kalimat yang merendahkan wanita itu, tetapi Aiman berusaha menahan diri. Jangan sampai dia melontarkan kalimat cemoohan dan mengakibatkan kesehatan wanita di hadapannya kembali drop seperti waktu itu. "Kau itu istriku, kenapa keluar tanpa seizinku?" Aiman berucap penuh penekanan. Menatap Binar dan Affandi saling bergantian. Bukan tanpa penyebab emosi itu meroket naik, beberapa kali Affandi yang mencandai akan merebut Binar dariny
Read more

Bab 50: Binar yang Baru

Pagi Binar kali ini, lain dari biasanya. Wanita berparas ayu yang makin hari, makin berisi badannya itu, terdengar bersenandung riang sambil menyiram bunga-bunga. Tak lupa headset tersumpal di kedua kupingnya. Binar yang pagi ini dengan keadaan rambut yang masih basah itu, membiarkan rambut panjangnya tergerai bebas, menanti angin pagi untuk mengeringkan rambut yang basah itu. Binar memang suka sekali membasahi rambutnya di pagi hari, sebab menurut dia dengan cara seperti itu, dia akan lebih bersemangat dan segar menyambut hari. Selepas puas menyirami tanaman, Binar beralih duduk di bangku taman dengan ditemani segelas susu juga sepiring biskuit ibu hamil. Di pangkuan wanita itu terdapat majalah yang isinya tentang kehamilan semua. Binar meneguk susunya, lalu membalikan halaman majalah tersebut. Sesekali dia mengangguk, sesekali pula dia tersenyum hangat membaca isi majalah itu. "Owh, sudah merasa jadi majikan yah, sekarang?" Susan melipat tangan di dada. Di
Read more
PREV
1
...
34567
...
18
DMCA.com Protection Status