Binar mematung, membeku, sementara jantungnya bertepuk riuh, mengguncang dada yang sedang menjadi sandaran kepala Aiman tersebut. Tangannya Binar genggam erat, mata wanita itu bahkan tak sanggup untuk sekedar berkedip atas apa yang dilakukan Aiman. Begitu tiba-tiba, dan tak diprediksi. Setelah beberapa menit menyandarkan kepala di dada Binar, perasaan Aiman yang tadinya memanas bagaikan lahar yang menggelegak, perlahan surut dan tenang. Pendengaran Aiman menangkap irama yang unik. Seperti sebuah gendang yang bertabuh cepat, dan itu menenangkan perasaan Aiman. Pria itu bahkan tak peduli apa yang dilakukannya itu telah menciptakan wajah seorang wanita memerah dengan tubuh yang membeku. Ah, pria memang selalu mau sesukanya, dan tak pernah peka. "Apa kau sehat?" Setelah sekian menit, akhirnya pria itu bersuara juga. Dia menarik kepalanya menjauh dari dada Binar. Maka terpampanglah paras ayu yang memerah itu di mata Aiman. Terlihat sangat menggemaskan dan ... men
Aiman mengayunkan kaki, mendekat ke ambang pintu. Tatapannya mengikuti ke mana arah pandang Syeira. Ke Binar. Wanita dengan baju tunik berwarna krem itu sedang mengayunkan langkahnya ke dapur, sesekali dia mengibas pelan rambut panjangnya yang masih basah ke belakang. Aiman ikut mengernyit melihat Binar pagi ini. "Tapi ... apa masalahnya keramas di pagi hari? Bukankah hal itu akan membuat kita segar dalam menjalani hari. Keramas di pagi hari bukan selalu kita melakukan hubungan badan di waktu malamnya, 'kan?"Makin jauh omongan Aiman, makin hilang kepercayaan Syeira padanya. Terlebih lagi, suaminya itu juga keramas pagi ini. Ya, walaupun Aiman selalu membasahi rambutnya setiap kali pergi kantor. Namun, Syeira memercayai jika suaminya itu telah tidur bersama madunya. Itulah alasan rambut basah Aiman pagi ini. "Tega kamu, Mas!" seru Syeira sambil mendorong dada Aiman. Lantas, dia berlari ke kamar ibunya. Aiman hanya menatap punggung Syeira s
Seorang wanita dengan rambut disanggul rapi dan dress cokelat kemerahan, turun dari mobil putih sambil melayangkan tatapan aneh pada Susan yang sedang berdiri di samping mobil. Susan yang terlihat sedikit cemas dengan melirik kanan-kiri, membuat mata Amabrawati memicing. Tentu dia sudah tahu watak buruk besannya itu, yang suka mencari masalah dengan orang-orang, juga suka membesar-besarkan masalah dengan suara cemprengnya. "Apa yang kau lakukan di sini?" To the point, Ambar bertanya. Susan membuang muka sambil bersedekap. "Sekarang saya tinggal di sini?"Alis Ambar bertaut tak suka. "Menumpang?" sahutnya seperti sebuah penghinaan besar pada Susan. Mata wanita berambut pirang itu mendelik tajam pada sang besan. Memang hubungan mereka beberapa tahun belakangan ini kurang baik, di mulai dari Ambar yang mendesak purtrinya Susan agar secepatnya memiliki anak. Susan tahu betul bagaimana pengorbanan Syeira agar secepatnya bisa memiliki anak, teta
Pria yang masih mengenakan kemeja kantor warna-warni itu, terlihat panik sambil membopong tubuh istrinya ke kamar. Sementara sang istri tampak meringis dengan kaki yang basah. Sang pria bahkan rela meninggalkan pekerjaan di kantor sebab ditelepon oleh istrinya itu, yang mengatakan terjatuh dari kamar mandi dan kakinya keseleo parah. Sementara di rumah tak ada satu pun orang yang membantunya. "Sakit, Mas!" Syeira meringis saat Aiman memegang pergelangan kakinya. "Bagaimana bisa kamu sampai jatuh? Makanya, lain kali hati-hati!" Aiman menggerutu sambil berpikir. "Apa harus dipanggilkan tukang pijat atau aku bawa kamu ke rumah sakit?" tanyanya. "Sudah, nggak usah, Mas. Ini pasti ntar lagi bakalan sembuh." Syeira menggerak-gerakkan kakinya pelan. "Bagaimana bisa sembuh kalau tidak diobati?" Gemas juga Aiman pada istrinya itu. "Aku nggak mau ke rumah sakit, Mas. Malas!" "Ok, aku panggilkan tukang pijit." Aiman merogoh ponsel
Suara gebukan bogem mentah memenuhi indra pendengaran seiring dengan pecahnya sudut bibir seseorang. Binar menutup mulutnya disertai mata yang membelakak lebar melihat aksi di hadapannya. Kepalan tinju si penjahat itu tidak mengenai wajah Binar, melainkan wajah Affandi. Pria itu langsung mengorbankan wajahnya di saat bogem mentah si penjahat melayang ke wajah Binar tadi. Tangan Affandi terkepal erat, tatapannya menajam pada yang memukulinya. Dalam sekejap, pria berwajah sangar di hadapannya sudah tersungkur di aspal setelah dia melayangkan tendangan. Affandi susul serangan dengan kembali menendang-nendang pria tersebut tanpa ampun. "Aaa, tolong!" Tendangan Affandi terhenti ketika mendengar Binar berteriak. Leher wanita itu sudah berada dalam pitingan preman lainnya. "Berhenti atau gue bunuh pacar lo ini?""Hah? Pacar?" Binar protes dengan lirih. Sementara Affandi hanya menatap wanita itu intens. Sang preman yang mendengar ucapan aneh Binar, memperkuat pitingannya. Hingga membuat wa
Tinju Aiman terhenti di udara, Affandi mengambil kesempatan dengan menjauh secepatnya dari sang abang. Aiman makin emosi kala melihat siapa yang berani-beraninya menahan tinjunya itu. Di balik punggung Aiman, Binar menggengam lengan pria tersebut dengan erat. "Jangan pukuli dia! Dokter Affandi tidak salah apa pun!" jelas Binar sambil perlahan melepaskan tangan Aiman. Wanita itu menunduk. Hal itu membuat Aiman mengeraskan rahang. Tak terima mendengar istri keduanya membela pria lain di hadapannya. Ingin mengatakan kalimat yang merendahkan wanita itu, tetapi Aiman berusaha menahan diri. Jangan sampai dia melontarkan kalimat cemoohan dan mengakibatkan kesehatan wanita di hadapannya kembali drop seperti waktu itu. "Kau itu istriku, kenapa keluar tanpa seizinku?" Aiman berucap penuh penekanan. Menatap Binar dan Affandi saling bergantian. Bukan tanpa penyebab emosi itu meroket naik, beberapa kali Affandi yang mencandai akan merebut Binar dariny
Pagi Binar kali ini, lain dari biasanya. Wanita berparas ayu yang makin hari, makin berisi badannya itu, terdengar bersenandung riang sambil menyiram bunga-bunga. Tak lupa headset tersumpal di kedua kupingnya. Binar yang pagi ini dengan keadaan rambut yang masih basah itu, membiarkan rambut panjangnya tergerai bebas, menanti angin pagi untuk mengeringkan rambut yang basah itu. Binar memang suka sekali membasahi rambutnya di pagi hari, sebab menurut dia dengan cara seperti itu, dia akan lebih bersemangat dan segar menyambut hari. Selepas puas menyirami tanaman, Binar beralih duduk di bangku taman dengan ditemani segelas susu juga sepiring biskuit ibu hamil. Di pangkuan wanita itu terdapat majalah yang isinya tentang kehamilan semua. Binar meneguk susunya, lalu membalikan halaman majalah tersebut. Sesekali dia mengangguk, sesekali pula dia tersenyum hangat membaca isi majalah itu. "Owh, sudah merasa jadi majikan yah, sekarang?" Susan melipat tangan di dada. Di
Dering ponsel di pagi hari menganggu tidur wanita berambut panjang itu. Binar mengerjap beberapa saat, lalu melirik ponsel yang ada di atas nakas. Hendak meraihnya, tetapi tangan kekar yang melingkar di atas perut, menahan pergerakannya. Sang suami masih tertidur lelap setelah semalaman mengelus-elus perut Binar yang terasa menendang-nendang. Membuat Binar tak bisa tidur, begitupula Aiman. Pria itu memang sudah tak sabar mengajak jagoan kecilnya untuk bermain. Saat tahu buah hatinya menendang-nendang, Aiman yang telah tahu jenis kelamin di perut Binar itu laki-laki, langsung membahas seputar olahraga dan dilanjut sampai pekerjaan. Rasa-rasanya Aiman tak ada ngantuknya mengajak bayi yang masih ada di dalam perut itu bicara. Bahkan, sampai Binar terlelap pun, Aiman masih mengelus perut Binar dan terus bercakap-cakap membahas masa depan calon putranya itu. "Terima kasih, Tuhan." Binar berumam kecil. Sangat bersyukur apa yang terjadi saat ini. Aiman telah mengan
Malam kian larut, ditemani gerimis serta angin yang kencang. Abimanyu memanahkan tatapan pada rintik-rintik hujan yang menetes. Pikirannya tenggelam, entah ke mana. Beberapa kali dia mendengar sang ibu mengetuk pintu kamarnya, meminta dia agar keluar makan malam. Tapi Abimanyu memilih bungkam. Entahlah, rasanya Abimanyu belum bisa menerima keadaan jika Chelsi adalah adiknya. Rasanya, Abimanyu ingin meminta pada ibunya agar membuang saja gadis itu. Jujur, Abimanyu kurang menyukai kehadiran Chelsi. Bahkan sangat! Sebab kasih sayang ayah dan ibunya mulai terbagi pada gadis itu. Terlebih, Abimanyu menyimpan perasaan pada Chelsi. "Bagaimana caranya membuang perasaan bodoh ini?!"Terdengar bunyi mengkriuk lapar dari perut sang pria. Abimanyu memutuskan untuk turun ke lantai bawah. Melewati kamar yang dalamnya bernuansa warna pink itu, Abimanyu terhenti sekejap. Terus jalan lagi. Hasratnya ingin masuk ke dalam sebenarnya. Rum
Sudah berhari-hari kini Chelsi tinggal di kediaman Adipati. Dia mulai mengakrabkan diri dengan semua hal yang ada di rumah besar itu. Baik dengan kedua orang tuanya, para ART, peraturan, ruangan, aktivitas, bahkan perabotan. Hanya satu hal yang belum Chelsi akrabkan. Abimanyu. Semenjak Chelsi menginjakan kaki di rumah Adipati sebagai putri kandung Affandi dan Binar, keberadaan sang abang tersebut seperti hilang di telan bumi. Abimanyu tak pernah pulang ke rumah, hampir seminggu malah sekarang. Binar khawatir tentang keberadaan sang putra. Ditelepon pun, ponsel pria itu tak aktif. Hal tersebut makin membuat hati Binar tak tenteram. "Iya, Bang Abi ke kantor beberapa hari yang lalu. Hanya sebentar, karena dia harus keluar negeri mengurusi tender di sana." Penjelasan Angkasa lewat telepon sedikit membuat Binar mengembuskan napas lega. Tapi masa sesibuk itu Abimanyu, sampai tak punya waktu sedikit pun buat bicara dengan ibunya. Binar memilih mengirimkan
"Chelsi." Gadis itu sedikit tersentak ketika kedua bahunya dipegang oleh Syeira."Ah, iya. Kenapa?" Chelsi menatap Syeira dengan sorot kebingungan. "Ayo, masuk." Syeira merangkul gadis manis itu. "Saya nggak nyangka, ternyata kamu putrinya Binar dan Affandi. Kamu tidak pernah tau, seterpukul apa dulu Binar saat bayinya dinyatakan meninggal di ruang inkubator."Chelsi tertegun mendengar hal tersebut. Dia menatap Binar yang sejak tadi menatapnya dengan mata basah. Terasa sakit hati gadis itu melihat wajah Binar yang terus-terusan meneteskan air mata itu. Lantas pandangannya mengarah ke Affandi. Petugas medis itu juga tampak basah matanya, dengan wajah memerah, berusaha menahan tangis. Apakah benar, kedua orang tersebut adalah orang tuanya? Chelsi bahkan tak berani bermimpi untuk hal itu. "Sini." Affandi meraih lengan halus Chelsi, mengajaknya agar lebih menempel padanya. Telapak tangannya, Affandi letakkan di dada sendiri seray
Serempak mata orang-orang di dalam ruangan tersebut membulat sempurna. Terlebih Vena, tubuh wanita itu menegang dengan bulir-bulir yang mulai mencuat di pelipis. Tungkainya melemas. Perlahan, dia memutar kepalanya, melihat sang putri yang masih dicekal erat oleh petugas medis kesehatan itu. Sementara Chelsi hanya menatap Affandi dengan tatapan syok. Mana mungkin? Tapi benarkah? Pikiran dan perasaan gadis itu campur aduk. Lalu dia menatap sang ibu--Vena. Mata Chelsi berkaca-kaca, melihat wajah memucat ibunya. Apakah mungkin yang dikatakan sang dokter benarkah nyatanya? Dia ...."Lepaskan putriku, Venuska!" Kembali Affandi bersuara tegas, menatap tajam pada Vena. Jelas hal tersebut membuat nyali wanita itu menciut. Tapi tidak, Chelsi tetap putrinya!"Tidak! Dia anakku! Dia putriku. Hanya putriku!" Vena menarik kembali Chelsi, agak kasar. Namun, Affandi tetap menahan."Sakit," r
Akhirnya, Abimanyu, Chelsi, juga Angaksa pergi ke rumah sakit. Abimanyu dan Chelsi semobil? Tentu saja tidak. Gadis itu semobil dengan calon suaminya. Membiarkan dada Abimanyu terbakar di mobil lainnya sana.Abimanyu memilih melajukan kecepatan mobilnya di atas rata-rata. Pergi entah ke mana. Hendak mendinginkan dulu perasaannya yang memanas.**"Saya di sini saja, Bu. Nggak usah masuk ke dalam." Seorang wanita berusia senja itu, tampak sungkan ketika lengannya ditarik oleh Syeira masuk ke ruang rawat Binar. Lebih tepatnya, dia takut masuk ke dalam. Takut bertemu dengan si petugas medis yang dulunya pernah menjadi mantannya itu.Tadi, di saat mereka kembali bertemu demi membahas tentang pernikahan Angkasa dan Chelsi, tiba-tiba Affandi menelepon, memberitahukan berita gembira. Jika Nona kesayangannya telah sadar dari koma. Jelas hal tersebut juga menjadi s
Biasanya, jika Abimanyu dulu terpaksa harus mengantar Friska, maka gadis itu akan berceloteh panjang lebar hingga membuat kuping Abimanyu terasa panas. Bukan hanya itu, Friska juga suka sekali menempel pada lengan berotot Abimanyu. Hingga membuat sang pria gerah juga geram setengah mati.Namun sekarang, hampir lima belas menit perjalanan pun, gadis berkuncir kuda itu belum juga membuka suara. Dia hanya menoleh ke arah luar jendela. Memerhatikan gedung-gedung yang berpapasan dengan mereka. Diamnya Friska malah membuat perasaan Abimanyu tak enak. Abimanyu memang lebih menyukai suasa yang hening ketimbang ribut, tetapi diamnya Friska malah membuat pria itu resah.'Kau terlihat seperti jalang yang haus belaian.' Lagi, kalimat itu mengusik pikiran Abimanyu. Dia tak ingat betul kalimat apa saja yang meluncur dari mulutnya saat emosi waktu itu. Tapi yang Abimanyu tahu, kemungkinan salah satu ucapannya benar-b
Perlahan-lahan, kelopak mata yang tampak lemah itu berkedip pelan. Ingin membuka mata, tetapi silau mentari begitu menusuk. Kembali dia menutup mata erat. Tangannya terasa menyentuh sebuah permukaan berbulu lebat. Sebuah rambut. Diusapnya rambut tersebut dengan pelan. Aksinya tersebut malah mengganggu tidur si empu rambut. Abimanyu menggeliat, dan gesekan kepalanya pada samping perut sang ibu, membuat si empu perut melenguh. Melotot langsung kedua bola mata itu."Mah?" Abimanyu bangkit berdiri, memanggil ayahnya yang tidur di samping sofa di belakangnya."Tangan Mama gerak lagi." Hati Abimanyu berdesir hangat. Sangat bahagia melihat wajah ibunya yang terus menunjukkan respon aktif."Nona?" Affandi mengusap pipi Binar, tampak berkaca-kaca mata petugas medis itu melihat bibir Binar yang bergerak-gerak."A--bi ..., bagai-mana kead---"
Dua sejoli yang saling membulat matanya itu sama-sama menatap tanpa berkedip. Abimanyu masih tetap menahan pinggang Chelsi, sedangkan gadis itu meringis ketakutan dengan debaran jantung yang menggila mendengar suara panggilan di luar pintu. Itu suara Syeira. Bagaimana jika ibunya Angkasa tersebut melihat dirinya dan Abimanyu dalam satu kamar, dipeluk sang pria pula."Pak, saya mohon, lepaskan saya," cicit gadis itu menatap wajah Abimanyu di samping kiri kepalanya."Kenapa, hmm?" Abimanyu malah mendekatkan wajahnya di bahu Chelsi, membuat debaran jantung gadis itu kian jadi. Serasa hampir meledak saja jantungnya."Chelsi, kamu masih di dalam 'kan?" Syeira kembali mengetuk pintu."Pak, saya mohon." Chelsi meringis, menjauhkan wajahnya dari rahang Abimanyu yang kasar karena bulu-bulu tipis yang memenuhi pipinya."Aku mau mele
Melihat Abimanyu yang bergerak mendekat setelah menutup pintu, Chelsi menatap waspada. Terlebih dirinya yang hanya mengenakan handuk, tumpahan air minum tadi lumayan membuat gaunnya basah parah. Syeira menyarankan agar Chelsi mengganti pakaian basah tersebut dengan gaunnya."Pak, keluar dari sini!" Chelsi gegas menarik selimut menutupi tubuhnya.Abimanyu terus mengayunkan langkah dengan tatapan yang tak bisa diartikan. Chelsi mundur perlahan dengan tatapan yang tak terlepas dari mata elang itu. Abimanyu terus mendekat, mengikis jarak, terus, dan terus. Sampai membuat gadis yang membalut tubuhnya dengan selimut itu terpojok di dinding.Chelsi kelabakan. Mengerjap beberapa saat, dan menoleh ke belakang. Lalu kembali mendongak, menatap mata elang itu yang berada tepat di depan keningnya. Dia hendak kabur, tetapi Abimanyu sigap menekan dinding sebelah kiri gadis itu. Chelsi henda