Baik Susan maupun Syeira sama-sama membeku kala mendengar suara bariton dari pintu masuk rumah kaca itu. Segera keduanya berbalik, dan melototlah kedua mata wanita-wanita itu. Gelas wine yang ada di sela-sela jemari Syeira, meluncur begitu saja, menghantam keramik, membuatnya hancur berserakan seperti hati Aiman. "M-Mas." Tergagap pula wanita berambut gelombang itu. "Kau ... Syeira ... bagaimana mungkin?" Aiman kehabisan kata-kata. Sungguh, dia tak mempercayai apa yang barusan didengarnya. Sepulangnya kantor, Aiman memeriksa Binar di kamar. Hendak memberikan dia rujak yang dipesankan oleh si ibu hamil tersebut saat Aiman ke kantor. Namun, Aiman tak menemukan Binar di kamarnya. Saat mencari-cari, Aiman tak menemukan siapa pun di rumah besarnya, kecuali si ART yang berada di dapur. Aiman terus mencari, hingga sampai ke rumah kaca. Hampir saja dia menyerukan nama istri pertamanya itu, tetapi urung setelah indra pendengarannya menangkap kalimat bahwa d
Aiman melajukan mobilnya di tempat di mana Binar disekap. Dari pengakuan wanita itu, dirinya disekap di gedung terbengkalai tempat di mana mereka dulunya pernah melakukan kekhilafan. Tentu Binar akan sangat ingat dengan tempat tersebut, sebab di sanalah awal mula hancurnya kehidupan wanita berparas ayu itu. Binar juga ingat betul tempat tersebut, sebab sering terdengar derit kereta api juga deru ombak dari kejauhan. Gedung terbengkalai tersebut memang lumayan besar, ada beberapa petak ruangan yang salah satunya menjadi tempat penyekapan wanita hamil itu. Mobil hitamnya Aiman lajukan dengan kecepatan kilat, mengingat saat menelepon tadi, Binar memutuskan panggilan begitu saja di saat percakapan mereka belum selesai. Seperti ada seseorang yang merebut paksa ponsel dari Binar. Aiman kalut, takut sampai terjadi apa-apa pada istri keduanya tersebut. Sampai Aiman tak menyadari ada kendaraan lain yang mengikuti di belakangnya. "Tolong jangan biarkan mereka sampai kenapa-napa, Tuhan." Pria i
Mobil kembali Aiman lajukan dengan kecepatan kilat. Berbeda dengan tadi, dia hanya sendiri. Sekarang, mereka bertiga semobil. Di kursi penumpang, ada Syeira yang memangku kepala Binar. Wanita hamil itu telah pingsan sekarang. Menyisakan kecemasan yang mendalam, baik pada Aiman maupun Syeira. Terutama pada wanita berparas anggun itu. Andai, andai Binar tak menyelamatkan dirinya, pasti Binar tak akan kenapa-napa seperti sekarang ini. "Halo, Affandi!" Aiman membentak, sebab yang ditelepon terdengar sedang di tempat klub. Terdengar bunyi bising di seberang sana. Terlebih lagi, Affandi yang masih kesal pada sang abang, membuat pria itu malas menanggapi telepon tersebut. Namun, setelah beberapa kali Aiman menelepon, Affandi mengangkat juga. "Apa, Bang?" Affandi keluar dari klub malam sambil mengisap rokok dalam-dalam. "Kamu kenapa baru angkat teleponnya?" dengkus Aiman kesal, "tolong siapin ruang operasi sekarang! Binar kena tikam ....""Apa, Ba
Aiman mondar-mandir di depan pintu kamar, menanti seorang dokter di dalam kamar sana selesai memeriksa kondisi Syeira. Rasa hangat menyelimuti hatinya, andai yang diucapkan sang ibu mertua tadi adalah kenyataan. Bahkan saking senangnya pria itu, dia sampai lupa masih ada istri keduanya yang masih dalam proses pemulihan di rumah sakit. Isi kepala Aiman saat ini hanya dipenuhi tentang buah hatinya bersama Syeira, tentang kebahagiaan ibunya jika mengetahui menantu yang selama ini dianggapnya mandul, akhirnya hamil juga. Terdengar decakkan pada hendel pintu. Aiman segera menghentikan mondar-mandirnya, dan menghampiri dokter yang seusia dengan ibunya itu. "Bagaimana kondisi istri saya, Dok?" tanya Aiman antusias. "Istri Anda baik-baik saja, dia hanya kelelahan juga tekanan emosinya agak tinggi. Makanya itu sampai pingsan ....""Lalu bagaimana dengan kandungannya? Apa benar, dia sedang hamil?" Aiman menyela perkataan sang dokter. Dokte
Pria yang masih mengenakan jas putih bersih itu sigap menahan lengan Binar yang hendak bangun. Dia memaksa Binar agar kembali berbaring. "Luka di perutmu belum kering, jangan banyak gerak dulu!" ucap Affandi tegas. Binar pun patuh dan diam saat diperintahkan. Dia memandang wajah dokter Affandi yang tampak kelelahan di hadapannya. Pria yang pernah dia anggap sebagai pria nakal itu, ternyata sudah banyak menyelamatkan nyawa seseorang. Kemarin nyawa ibunya, dan sekarang dirinya. Pasti dokter Affandi juga yang telah menyelamatkan dia akibat penikaman itu, pikir Binar. "Kamu butuh sesuatu?" Affandi bertanya sambil memerhatikan pecahan gelas yang ada di bawah kakinya. "Mau minum?" tebaknya. Binar pun mengangguk pelan. Affandi bertolak pinggang sambil menggerutu di dalam hati, tentang di mana keberadaan sang abang saat ini. Dia bilang hanya akan pergi sebentar saja, mengurus sesuatu yang penting. Namun, sudah sampai malam juga begini,
Syeira menggerutu sebab Aiman tiba-tiba membelokkan mobilnya ke arah rumah sakit. Aiman baru teringat setelah tenggelam dengan kebahagiaan kehamilan Syeira juga direpotkan mencabut kasus ibu mertuanya. Binar masih dirawat di rumah sakit sekarang. Bagaimana kabar wanita itu? Siapa yang menjaganya selama lebih dari 30 jam ini? Aiman menyugar rambutnya kasar, pikiran kalut terlintas di benak. Terlebih lagi sang adik yang tidak menjawab panggilan teleponnya. "Mas, aku mau tongseng ayam. Sebentar saja. Nanti baru kita jenguk Binar!" Syeira masih berusaha membujuk. "Turuti dulu istrimu, Aiman! Kamu mau calon anakmu nanti sampai ileran gara-gara kamu tidak memberikan keinginan dia tepat waktu." Susan menimpali. Niat dia ingin membuat Aiman menceraikan Binar secepatnya, tetapi malah menjadi rasa bersalah pria itu sebab belum menjenguk istri keduanya tersebut. "Sebentar saja, Sayang. Aku ingin lihat keadaan Binar dulu. Aku belum tau bagaimana perkembangan k
Kaki Binar yang mengenakan sendal jepit itu perlahan melangkah ke ruang tengah yang tampak temaram, di mana terdapat banyak orang-orang dengan penampilan sosialita dan glamour. Sementara wanita hamil itu, hanya mengenakan baju terusan polos selutut dan sandal jepit. Rambut panjangnya disanggul asal di atas kepala. Jika diperhatikan, Binar sangat tak pantas berada di tengah-tengah keramaian itu. Pandangan Binar tertuju pada sepasang sejoli di tengah-tengah ruangan tersebut. Mereka begitu dekat, berpelukan, bertatapan, begitu mesra di bawah lampu gantung yang cantik, dan ditimpa lampu terang. Seolah-olah acara pesta ini hanya difokuskan pada kedua orang itu saja. Aiman dan Syeira. Aiman begitu tampan dengan setelan jas berwarna hitam mengkilap, lengkap dengan dasi kupu-kupu. Sementara Syeira mengenakan dress hitam bertabur glitter di bagian dadanya. Syeira terlihat bagai putri kerajaan yang sering Binar tonton di televisi. Makin minderlah dia kala membandingkan penampilan Syeira dengan
Menggelegak darah Aiman mendengar ucapan lancang sang adik. Sementara Affandi hanya menatap tajam, menanti kepalan tangan sang abang yang sejak tadi bergetar melayang di wajahnya. Namun, suara panggilan dari arah luar ruang kerja, memutuskan adu pandang kedua saudara itu. "Mas, kamu di dalam?" Syeira mengetuk pintu, sebab Affandi menguncinya terlebih dahulu tadi, agar orang-orang di luaran sana tidak memergoki dia yang sedang menghajar sang abang. Terutamanya Affandi bersembunyi dari Ambarawati. "Mas Aiman!" Syeira kembali berseru. "Mas, Mama minta kamu turun ke bawah. Ada hal penting yang ingin dia katakan." Baik Aiman maupun Affandi, sama-sama memperbaiki kemeja yang telah kusut. Aiman pergi ke kamar mandi, mencuci muka dan kepala yang terasa memanas. Bukan, bukan hanya itu, tetapi hatinya juga memanas. Apa yang diucapkan Affandi tadi, terngiang-ngiang di kepala Aiman. Berani sekali sang adik yang berniat ingin menggantikan posisinya sebagai suami Binar. Walaupun cinta mati dia
Malam kian larut, ditemani gerimis serta angin yang kencang. Abimanyu memanahkan tatapan pada rintik-rintik hujan yang menetes. Pikirannya tenggelam, entah ke mana. Beberapa kali dia mendengar sang ibu mengetuk pintu kamarnya, meminta dia agar keluar makan malam. Tapi Abimanyu memilih bungkam. Entahlah, rasanya Abimanyu belum bisa menerima keadaan jika Chelsi adalah adiknya. Rasanya, Abimanyu ingin meminta pada ibunya agar membuang saja gadis itu. Jujur, Abimanyu kurang menyukai kehadiran Chelsi. Bahkan sangat! Sebab kasih sayang ayah dan ibunya mulai terbagi pada gadis itu. Terlebih, Abimanyu menyimpan perasaan pada Chelsi. "Bagaimana caranya membuang perasaan bodoh ini?!"Terdengar bunyi mengkriuk lapar dari perut sang pria. Abimanyu memutuskan untuk turun ke lantai bawah. Melewati kamar yang dalamnya bernuansa warna pink itu, Abimanyu terhenti sekejap. Terus jalan lagi. Hasratnya ingin masuk ke dalam sebenarnya. Rum
Sudah berhari-hari kini Chelsi tinggal di kediaman Adipati. Dia mulai mengakrabkan diri dengan semua hal yang ada di rumah besar itu. Baik dengan kedua orang tuanya, para ART, peraturan, ruangan, aktivitas, bahkan perabotan. Hanya satu hal yang belum Chelsi akrabkan. Abimanyu. Semenjak Chelsi menginjakan kaki di rumah Adipati sebagai putri kandung Affandi dan Binar, keberadaan sang abang tersebut seperti hilang di telan bumi. Abimanyu tak pernah pulang ke rumah, hampir seminggu malah sekarang. Binar khawatir tentang keberadaan sang putra. Ditelepon pun, ponsel pria itu tak aktif. Hal tersebut makin membuat hati Binar tak tenteram. "Iya, Bang Abi ke kantor beberapa hari yang lalu. Hanya sebentar, karena dia harus keluar negeri mengurusi tender di sana." Penjelasan Angkasa lewat telepon sedikit membuat Binar mengembuskan napas lega. Tapi masa sesibuk itu Abimanyu, sampai tak punya waktu sedikit pun buat bicara dengan ibunya. Binar memilih mengirimkan
"Chelsi." Gadis itu sedikit tersentak ketika kedua bahunya dipegang oleh Syeira."Ah, iya. Kenapa?" Chelsi menatap Syeira dengan sorot kebingungan. "Ayo, masuk." Syeira merangkul gadis manis itu. "Saya nggak nyangka, ternyata kamu putrinya Binar dan Affandi. Kamu tidak pernah tau, seterpukul apa dulu Binar saat bayinya dinyatakan meninggal di ruang inkubator."Chelsi tertegun mendengar hal tersebut. Dia menatap Binar yang sejak tadi menatapnya dengan mata basah. Terasa sakit hati gadis itu melihat wajah Binar yang terus-terusan meneteskan air mata itu. Lantas pandangannya mengarah ke Affandi. Petugas medis itu juga tampak basah matanya, dengan wajah memerah, berusaha menahan tangis. Apakah benar, kedua orang tersebut adalah orang tuanya? Chelsi bahkan tak berani bermimpi untuk hal itu. "Sini." Affandi meraih lengan halus Chelsi, mengajaknya agar lebih menempel padanya. Telapak tangannya, Affandi letakkan di dada sendiri seray
Serempak mata orang-orang di dalam ruangan tersebut membulat sempurna. Terlebih Vena, tubuh wanita itu menegang dengan bulir-bulir yang mulai mencuat di pelipis. Tungkainya melemas. Perlahan, dia memutar kepalanya, melihat sang putri yang masih dicekal erat oleh petugas medis kesehatan itu. Sementara Chelsi hanya menatap Affandi dengan tatapan syok. Mana mungkin? Tapi benarkah? Pikiran dan perasaan gadis itu campur aduk. Lalu dia menatap sang ibu--Vena. Mata Chelsi berkaca-kaca, melihat wajah memucat ibunya. Apakah mungkin yang dikatakan sang dokter benarkah nyatanya? Dia ...."Lepaskan putriku, Venuska!" Kembali Affandi bersuara tegas, menatap tajam pada Vena. Jelas hal tersebut membuat nyali wanita itu menciut. Tapi tidak, Chelsi tetap putrinya!"Tidak! Dia anakku! Dia putriku. Hanya putriku!" Vena menarik kembali Chelsi, agak kasar. Namun, Affandi tetap menahan."Sakit," r
Akhirnya, Abimanyu, Chelsi, juga Angaksa pergi ke rumah sakit. Abimanyu dan Chelsi semobil? Tentu saja tidak. Gadis itu semobil dengan calon suaminya. Membiarkan dada Abimanyu terbakar di mobil lainnya sana.Abimanyu memilih melajukan kecepatan mobilnya di atas rata-rata. Pergi entah ke mana. Hendak mendinginkan dulu perasaannya yang memanas.**"Saya di sini saja, Bu. Nggak usah masuk ke dalam." Seorang wanita berusia senja itu, tampak sungkan ketika lengannya ditarik oleh Syeira masuk ke ruang rawat Binar. Lebih tepatnya, dia takut masuk ke dalam. Takut bertemu dengan si petugas medis yang dulunya pernah menjadi mantannya itu.Tadi, di saat mereka kembali bertemu demi membahas tentang pernikahan Angkasa dan Chelsi, tiba-tiba Affandi menelepon, memberitahukan berita gembira. Jika Nona kesayangannya telah sadar dari koma. Jelas hal tersebut juga menjadi s
Biasanya, jika Abimanyu dulu terpaksa harus mengantar Friska, maka gadis itu akan berceloteh panjang lebar hingga membuat kuping Abimanyu terasa panas. Bukan hanya itu, Friska juga suka sekali menempel pada lengan berotot Abimanyu. Hingga membuat sang pria gerah juga geram setengah mati.Namun sekarang, hampir lima belas menit perjalanan pun, gadis berkuncir kuda itu belum juga membuka suara. Dia hanya menoleh ke arah luar jendela. Memerhatikan gedung-gedung yang berpapasan dengan mereka. Diamnya Friska malah membuat perasaan Abimanyu tak enak. Abimanyu memang lebih menyukai suasa yang hening ketimbang ribut, tetapi diamnya Friska malah membuat pria itu resah.'Kau terlihat seperti jalang yang haus belaian.' Lagi, kalimat itu mengusik pikiran Abimanyu. Dia tak ingat betul kalimat apa saja yang meluncur dari mulutnya saat emosi waktu itu. Tapi yang Abimanyu tahu, kemungkinan salah satu ucapannya benar-b
Perlahan-lahan, kelopak mata yang tampak lemah itu berkedip pelan. Ingin membuka mata, tetapi silau mentari begitu menusuk. Kembali dia menutup mata erat. Tangannya terasa menyentuh sebuah permukaan berbulu lebat. Sebuah rambut. Diusapnya rambut tersebut dengan pelan. Aksinya tersebut malah mengganggu tidur si empu rambut. Abimanyu menggeliat, dan gesekan kepalanya pada samping perut sang ibu, membuat si empu perut melenguh. Melotot langsung kedua bola mata itu."Mah?" Abimanyu bangkit berdiri, memanggil ayahnya yang tidur di samping sofa di belakangnya."Tangan Mama gerak lagi." Hati Abimanyu berdesir hangat. Sangat bahagia melihat wajah ibunya yang terus menunjukkan respon aktif."Nona?" Affandi mengusap pipi Binar, tampak berkaca-kaca mata petugas medis itu melihat bibir Binar yang bergerak-gerak."A--bi ..., bagai-mana kead---"
Dua sejoli yang saling membulat matanya itu sama-sama menatap tanpa berkedip. Abimanyu masih tetap menahan pinggang Chelsi, sedangkan gadis itu meringis ketakutan dengan debaran jantung yang menggila mendengar suara panggilan di luar pintu. Itu suara Syeira. Bagaimana jika ibunya Angkasa tersebut melihat dirinya dan Abimanyu dalam satu kamar, dipeluk sang pria pula."Pak, saya mohon, lepaskan saya," cicit gadis itu menatap wajah Abimanyu di samping kiri kepalanya."Kenapa, hmm?" Abimanyu malah mendekatkan wajahnya di bahu Chelsi, membuat debaran jantung gadis itu kian jadi. Serasa hampir meledak saja jantungnya."Chelsi, kamu masih di dalam 'kan?" Syeira kembali mengetuk pintu."Pak, saya mohon." Chelsi meringis, menjauhkan wajahnya dari rahang Abimanyu yang kasar karena bulu-bulu tipis yang memenuhi pipinya."Aku mau mele
Melihat Abimanyu yang bergerak mendekat setelah menutup pintu, Chelsi menatap waspada. Terlebih dirinya yang hanya mengenakan handuk, tumpahan air minum tadi lumayan membuat gaunnya basah parah. Syeira menyarankan agar Chelsi mengganti pakaian basah tersebut dengan gaunnya."Pak, keluar dari sini!" Chelsi gegas menarik selimut menutupi tubuhnya.Abimanyu terus mengayunkan langkah dengan tatapan yang tak bisa diartikan. Chelsi mundur perlahan dengan tatapan yang tak terlepas dari mata elang itu. Abimanyu terus mendekat, mengikis jarak, terus, dan terus. Sampai membuat gadis yang membalut tubuhnya dengan selimut itu terpojok di dinding.Chelsi kelabakan. Mengerjap beberapa saat, dan menoleh ke belakang. Lalu kembali mendongak, menatap mata elang itu yang berada tepat di depan keningnya. Dia hendak kabur, tetapi Abimanyu sigap menekan dinding sebelah kiri gadis itu. Chelsi henda