Menggelegak darah Aiman mendengar ucapan lancang sang adik. Sementara Affandi hanya menatap tajam, menanti kepalan tangan sang abang yang sejak tadi bergetar melayang di wajahnya. Namun, suara panggilan dari arah luar ruang kerja, memutuskan adu pandang kedua saudara itu. "Mas, kamu di dalam?" Syeira mengetuk pintu, sebab Affandi menguncinya terlebih dahulu tadi, agar orang-orang di luaran sana tidak memergoki dia yang sedang menghajar sang abang. Terutamanya Affandi bersembunyi dari Ambarawati. "Mas Aiman!" Syeira kembali berseru. "Mas, Mama minta kamu turun ke bawah. Ada hal penting yang ingin dia katakan." Baik Aiman maupun Affandi, sama-sama memperbaiki kemeja yang telah kusut. Aiman pergi ke kamar mandi, mencuci muka dan kepala yang terasa memanas. Bukan, bukan hanya itu, tetapi hatinya juga memanas. Apa yang diucapkan Affandi tadi, terngiang-ngiang di kepala Aiman. Berani sekali sang adik yang berniat ingin menggantikan posisinya sebagai suami Binar. Walaupun cinta mati dia
Binar menatap waspada sambil beringsut mundur. Tatapan tajam Aiman seperti mampu menguliti wanita hamil itu hidup-hidup. Sementara Aiman kian memperpendek jarak, bahkan mencondongkan tubuhnya. Menatap dalam manik mata Binar yang basah. "Kau punya hubungan dengan Affandi? Apa kau pernah tidur dengan dia ...."Tangan Binar sontak melayang di pipi tirus Aiman, membuat pria itu menoleh dengan pipi panas. Walaupun lemah, tetapi ketika harga dirinya disinggung oleh suaminya sendiri, masih membuat Binar mampu memberikan pelajaran pada pria itu. "Ternyata ... Anda sama saja dengan ibunya Syeira. Suka menghina rakyat miskin!" Binar mencengkeram dada baju Aiman. Menantang tatapan tajam Aiman. "Selain denganmu, aku belum pernah tidur dengan siapa pun!" ucapnya penuh penekanan. "Kalau bukan ulahmu, aku tidak akan mungkin mengandung benih dari pria yang berpikiran rendah sepertimu. Mungkin sekarang ayahku juga masih hidup, mungkin aku tidak akan ada di
Binar menggeleng ketakutan melihat wanita yang mengenakan dress biru langit itu, Syeira berdiri di depan sana. Tangan Binar gemetar, hendak menyentuh Susan, tetapi diurungkan, lalu kembali menggeleng ketakutan. Pikirannya mendadak tumpul akibat rasa takut dan bersalah yang menyerang secara bersamaan. Terlebih lagi ketika melihat ibunya Aiman---Ambarawati ikutan muncul dari balik pintu. Menatap dirinya dengan mata membulat, lalu bergantian menatap Susan yang bersimbah darah keningnya. "Aku ... aku ...." Binar beringsut menjauh ketika Syeira berlari menghambur, memeriksa kondisi ibunya. "Apa yang kamu lakukan pada Mami?" seru Syeira menatap Binar dengan mata berkaca-kaca. Tangannya gemetar menutup pendarahan di kening ibunya. "Kenapa Mami bisa sampai berdarah seperti ini?"Ambar ikutan mendekat, tatapan wanita itu masih syok melihat kejadian di hadapannya. Lantas, dia menatap Binar yang terus menggeleng-geleng sejak tadi. Mata wanita itu sudah dialiri
Pandangan pria itu berubah tajam melihat kondisi Binar yang memprihatinkan. Rambutnya kacau, matanya sembab, dengan hidung memerah. Sepertinya sejak mengantarkannya pulang ke rumah kembali, aktivitas wanita itu hanya menangis, menangis, dan menangis. "Tolong aku, Dok, tolong bebaskan aku dari sini! Aku tidak bersalah. Sumpah!" Binar menempelkan wajahnya pada sela jeruji besi, meminta Affandi untuk mengeluarkannya dari sana. Affandi meraup wajahnya kasar, pikiran pria itu melayang pada ke beberapa puluhan menit yang lalu. "Kamu suka sekali menjadi pahlawan bagi wanita gatel itu, 'kan? Sana, bantu dia agar terlepas dari jeruji besi!" Begitulah ucapan Susan di telepon. Tentu Affandi tak memercayai begitu saja. Dia mencoba menelepon Aiman, tetapi abangnya itu sama sekali tak mengangkat panggilannya. Affandi berdecak kesal, dia paham betul bagaimana sifat wanita yang dia anggap nenek sihir itu. Segera Affandi menelepon kembali Susan, menanyaka
Lilin memenuhi ruangan kamar Aiman dan Syeira. Setibanya pria itu di rumah, istrinya Syeira langsung menyambut dengan suasana penuh romantis. Taburan kelopak mawar memenuhi ranjang, sedangkan lilin aroma terapi terpajang rapi di sudut-sudut ruangan. Membuat Aiman yang kelelahan sepulang kantor sedikit lebih rileks saat menghirup aroma terapi tersebut. Ruangan yang temaram, membuat Aiman sedikit memicingkan mata saat melihat wanita berambut panjang bergelombang dengan gaun tidur merah menyala di atas ranjang. "Kamu sudah pulang, Mas? Kemarilah, aku merindukanmu." Syeira menepuk ranjang di sampingnya. Aiman hanya mengulum senyum. Semenjak hamil, istri pertamanya itu super manja sekali. Dan jika kemauannya tidak dituruti, maka dia akan mengambek khas anak kecil. Benar-benar membuat hati Aiman merasa gemas. Aiman membuka dasi yang seharian membelit lehernya, juga jas yang membungkus tubuh tegap itu. Lantas, membuangnya ke sembarang arah. "Tun
Semalaman terkurung nikmat bersama istri pertama, pagi harinya Aiman langsung meluncur ke lantai bawah. Satu orang yang tak sabar ingin dia temui, Binar. Sudah hampir dua hari, Aiman tak lagi bicara dengan istri keduanya itu. Tidak tahu bagaimana kondisi Binar setelah pertengkaran di malam dia pulang dari rumah sakit waktu itu. Namun sayang, diketukan kesekian kalinya pun, pintu berwarna putih itu tak kunjung ada tanda-tanda yang membukakan. Hati Aiman mulai resah, takut terjadi sesuatu pada Binar, yang sejatinya dia ketahui mental istri keduanya itu sedang diuji oleh penghianaan Susan juga kehamilan Syeira. Aiman paham, Binar pasti sedih. "Binar!" Pintu itu bergetar hebat mendapat ketukak keras Aiman. Pria itu mendengkus kasar, lantas mengalihkan pandangan pada mertuanya yang barusan turun dari lantai dua."Percuma kamu ketak-ketok pintunya, gobloook!" Wanita yang mengenakan gaun tidur panjang itu menekan pelipisnya dengan anggun. "Orang yang kamu
Affandi merapikan pecahan beling juga kain-kain yang berserakan di lantai. Sesekali pandangan pria itu tertuju pada wanita hamil yang masih membungkus tubuhnya dengan selimut itu, duduk diam terpekur di sofa kecil yang ada di balkon. Memandang kota yang begitu terik dan ramai. Affandi mengembuskan napas kasar melihat hal itu. Sepeninggalnya Aiman dan kedua wanita yang mengikutinya tadi, Binar terdiam bagai raga tanpa jiwa. Pikiran wanita itu terngiang-ngiang oleh perkataan Aiman tadi. 'Kamu aku ceraikan!''Kamu aku ceraikan!''Kamu aku ceraikan!'Binar memukul-mukul kepalanya sendiri sambil berderai air mata, tanpa suara. Hanya isakkan yang terdengar begitu sesak yang menemani. Binar tahu, hal ini pasti akan terjadi juga nantinya. Dia dan Aiman akan berpisah setelah anak yang dikandungnya dilahirkan, sesuai kesepakatan. Namun, bukan bercerai seperti ini. Penuh amarah, penuh hinaan, juga penuh kesalahapahaman. Harga diri Binar jatuh sejatuh-j
Affandi menelan ludah beberapa kali dalam jumlah besar. Sesekali pandangannya melirik resah ke arah Binar, yang saat ini mengenakan kemeja putih miliknya yang kebesaran di tubuh mungil wanita hamil itu. Binar hanya mengenakan kemeja Affandi dengan bawahan celana pendek miliknya yang belum basah. Menyadari Affandi yang menatapnya dengan tatapan aneh, Binar memperbaiki sebelah leher kemeja yang jatuh dari bahunya, sebab terlalu besar. Binar juga menarik ke bawah kemeja itu, menutupi pahanya yang terekspos. "Apa liat-liat?" Binar menaruh spatula di bahunya sambil melemparkan tatapan tajam pada Affandi. Saat ini dia sedang memasak nasi goreng, sementara Affandi duduk di samping meja makan. Menanti makanan tersebut masak.Mendengar bentakan juga melihat pelototan mata Binar, Affandi terkesiap lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling. "Siapa yang ngeliatin kamu? Orang aku lagi natap nasi goreng yang kamu buat," kilah sang dokter, sambil mengobati wajahnya yang bony
Malam kian larut, ditemani gerimis serta angin yang kencang. Abimanyu memanahkan tatapan pada rintik-rintik hujan yang menetes. Pikirannya tenggelam, entah ke mana. Beberapa kali dia mendengar sang ibu mengetuk pintu kamarnya, meminta dia agar keluar makan malam. Tapi Abimanyu memilih bungkam. Entahlah, rasanya Abimanyu belum bisa menerima keadaan jika Chelsi adalah adiknya. Rasanya, Abimanyu ingin meminta pada ibunya agar membuang saja gadis itu. Jujur, Abimanyu kurang menyukai kehadiran Chelsi. Bahkan sangat! Sebab kasih sayang ayah dan ibunya mulai terbagi pada gadis itu. Terlebih, Abimanyu menyimpan perasaan pada Chelsi. "Bagaimana caranya membuang perasaan bodoh ini?!"Terdengar bunyi mengkriuk lapar dari perut sang pria. Abimanyu memutuskan untuk turun ke lantai bawah. Melewati kamar yang dalamnya bernuansa warna pink itu, Abimanyu terhenti sekejap. Terus jalan lagi. Hasratnya ingin masuk ke dalam sebenarnya. Rum
Sudah berhari-hari kini Chelsi tinggal di kediaman Adipati. Dia mulai mengakrabkan diri dengan semua hal yang ada di rumah besar itu. Baik dengan kedua orang tuanya, para ART, peraturan, ruangan, aktivitas, bahkan perabotan. Hanya satu hal yang belum Chelsi akrabkan. Abimanyu. Semenjak Chelsi menginjakan kaki di rumah Adipati sebagai putri kandung Affandi dan Binar, keberadaan sang abang tersebut seperti hilang di telan bumi. Abimanyu tak pernah pulang ke rumah, hampir seminggu malah sekarang. Binar khawatir tentang keberadaan sang putra. Ditelepon pun, ponsel pria itu tak aktif. Hal tersebut makin membuat hati Binar tak tenteram. "Iya, Bang Abi ke kantor beberapa hari yang lalu. Hanya sebentar, karena dia harus keluar negeri mengurusi tender di sana." Penjelasan Angkasa lewat telepon sedikit membuat Binar mengembuskan napas lega. Tapi masa sesibuk itu Abimanyu, sampai tak punya waktu sedikit pun buat bicara dengan ibunya. Binar memilih mengirimkan
"Chelsi." Gadis itu sedikit tersentak ketika kedua bahunya dipegang oleh Syeira."Ah, iya. Kenapa?" Chelsi menatap Syeira dengan sorot kebingungan. "Ayo, masuk." Syeira merangkul gadis manis itu. "Saya nggak nyangka, ternyata kamu putrinya Binar dan Affandi. Kamu tidak pernah tau, seterpukul apa dulu Binar saat bayinya dinyatakan meninggal di ruang inkubator."Chelsi tertegun mendengar hal tersebut. Dia menatap Binar yang sejak tadi menatapnya dengan mata basah. Terasa sakit hati gadis itu melihat wajah Binar yang terus-terusan meneteskan air mata itu. Lantas pandangannya mengarah ke Affandi. Petugas medis itu juga tampak basah matanya, dengan wajah memerah, berusaha menahan tangis. Apakah benar, kedua orang tersebut adalah orang tuanya? Chelsi bahkan tak berani bermimpi untuk hal itu. "Sini." Affandi meraih lengan halus Chelsi, mengajaknya agar lebih menempel padanya. Telapak tangannya, Affandi letakkan di dada sendiri seray
Serempak mata orang-orang di dalam ruangan tersebut membulat sempurna. Terlebih Vena, tubuh wanita itu menegang dengan bulir-bulir yang mulai mencuat di pelipis. Tungkainya melemas. Perlahan, dia memutar kepalanya, melihat sang putri yang masih dicekal erat oleh petugas medis kesehatan itu. Sementara Chelsi hanya menatap Affandi dengan tatapan syok. Mana mungkin? Tapi benarkah? Pikiran dan perasaan gadis itu campur aduk. Lalu dia menatap sang ibu--Vena. Mata Chelsi berkaca-kaca, melihat wajah memucat ibunya. Apakah mungkin yang dikatakan sang dokter benarkah nyatanya? Dia ...."Lepaskan putriku, Venuska!" Kembali Affandi bersuara tegas, menatap tajam pada Vena. Jelas hal tersebut membuat nyali wanita itu menciut. Tapi tidak, Chelsi tetap putrinya!"Tidak! Dia anakku! Dia putriku. Hanya putriku!" Vena menarik kembali Chelsi, agak kasar. Namun, Affandi tetap menahan."Sakit," r
Akhirnya, Abimanyu, Chelsi, juga Angaksa pergi ke rumah sakit. Abimanyu dan Chelsi semobil? Tentu saja tidak. Gadis itu semobil dengan calon suaminya. Membiarkan dada Abimanyu terbakar di mobil lainnya sana.Abimanyu memilih melajukan kecepatan mobilnya di atas rata-rata. Pergi entah ke mana. Hendak mendinginkan dulu perasaannya yang memanas.**"Saya di sini saja, Bu. Nggak usah masuk ke dalam." Seorang wanita berusia senja itu, tampak sungkan ketika lengannya ditarik oleh Syeira masuk ke ruang rawat Binar. Lebih tepatnya, dia takut masuk ke dalam. Takut bertemu dengan si petugas medis yang dulunya pernah menjadi mantannya itu.Tadi, di saat mereka kembali bertemu demi membahas tentang pernikahan Angkasa dan Chelsi, tiba-tiba Affandi menelepon, memberitahukan berita gembira. Jika Nona kesayangannya telah sadar dari koma. Jelas hal tersebut juga menjadi s
Biasanya, jika Abimanyu dulu terpaksa harus mengantar Friska, maka gadis itu akan berceloteh panjang lebar hingga membuat kuping Abimanyu terasa panas. Bukan hanya itu, Friska juga suka sekali menempel pada lengan berotot Abimanyu. Hingga membuat sang pria gerah juga geram setengah mati.Namun sekarang, hampir lima belas menit perjalanan pun, gadis berkuncir kuda itu belum juga membuka suara. Dia hanya menoleh ke arah luar jendela. Memerhatikan gedung-gedung yang berpapasan dengan mereka. Diamnya Friska malah membuat perasaan Abimanyu tak enak. Abimanyu memang lebih menyukai suasa yang hening ketimbang ribut, tetapi diamnya Friska malah membuat pria itu resah.'Kau terlihat seperti jalang yang haus belaian.' Lagi, kalimat itu mengusik pikiran Abimanyu. Dia tak ingat betul kalimat apa saja yang meluncur dari mulutnya saat emosi waktu itu. Tapi yang Abimanyu tahu, kemungkinan salah satu ucapannya benar-b
Perlahan-lahan, kelopak mata yang tampak lemah itu berkedip pelan. Ingin membuka mata, tetapi silau mentari begitu menusuk. Kembali dia menutup mata erat. Tangannya terasa menyentuh sebuah permukaan berbulu lebat. Sebuah rambut. Diusapnya rambut tersebut dengan pelan. Aksinya tersebut malah mengganggu tidur si empu rambut. Abimanyu menggeliat, dan gesekan kepalanya pada samping perut sang ibu, membuat si empu perut melenguh. Melotot langsung kedua bola mata itu."Mah?" Abimanyu bangkit berdiri, memanggil ayahnya yang tidur di samping sofa di belakangnya."Tangan Mama gerak lagi." Hati Abimanyu berdesir hangat. Sangat bahagia melihat wajah ibunya yang terus menunjukkan respon aktif."Nona?" Affandi mengusap pipi Binar, tampak berkaca-kaca mata petugas medis itu melihat bibir Binar yang bergerak-gerak."A--bi ..., bagai-mana kead---"
Dua sejoli yang saling membulat matanya itu sama-sama menatap tanpa berkedip. Abimanyu masih tetap menahan pinggang Chelsi, sedangkan gadis itu meringis ketakutan dengan debaran jantung yang menggila mendengar suara panggilan di luar pintu. Itu suara Syeira. Bagaimana jika ibunya Angkasa tersebut melihat dirinya dan Abimanyu dalam satu kamar, dipeluk sang pria pula."Pak, saya mohon, lepaskan saya," cicit gadis itu menatap wajah Abimanyu di samping kiri kepalanya."Kenapa, hmm?" Abimanyu malah mendekatkan wajahnya di bahu Chelsi, membuat debaran jantung gadis itu kian jadi. Serasa hampir meledak saja jantungnya."Chelsi, kamu masih di dalam 'kan?" Syeira kembali mengetuk pintu."Pak, saya mohon." Chelsi meringis, menjauhkan wajahnya dari rahang Abimanyu yang kasar karena bulu-bulu tipis yang memenuhi pipinya."Aku mau mele
Melihat Abimanyu yang bergerak mendekat setelah menutup pintu, Chelsi menatap waspada. Terlebih dirinya yang hanya mengenakan handuk, tumpahan air minum tadi lumayan membuat gaunnya basah parah. Syeira menyarankan agar Chelsi mengganti pakaian basah tersebut dengan gaunnya."Pak, keluar dari sini!" Chelsi gegas menarik selimut menutupi tubuhnya.Abimanyu terus mengayunkan langkah dengan tatapan yang tak bisa diartikan. Chelsi mundur perlahan dengan tatapan yang tak terlepas dari mata elang itu. Abimanyu terus mendekat, mengikis jarak, terus, dan terus. Sampai membuat gadis yang membalut tubuhnya dengan selimut itu terpojok di dinding.Chelsi kelabakan. Mengerjap beberapa saat, dan menoleh ke belakang. Lalu kembali mendongak, menatap mata elang itu yang berada tepat di depan keningnya. Dia hendak kabur, tetapi Abimanyu sigap menekan dinding sebelah kiri gadis itu. Chelsi henda