Semua Bab Kekhilafan Satu Malam: Bab 31 - Bab 40

171 Bab

Bab 31: Lebih Mementingkan

Aiman terkesiap melihat Binar yang tersedak dengan wajah memerah. Sangat terlihat kesakitan dalam batuknya. Aiman meraih gelas yang ada di atas nakas, namun .... "Astaga, kosong!" Aiman panik bukan main, sedangkan Binar terus terbatuk dengan wajah memerah. Bahkan, air matanya meluncur efek batuk tersebut. "Sabar yah, aku cari air dulu!" ucap Aiman langsung berlari keluar. Di depan pintu kamar, Aiman menoleh ke sana kemari, mencari-cari keberadaan adiknya--Affandi. "Di mana anak itu? Giliran dibutuhin malah hilang!" gerutu Aiman. Terpaksa dia berlari ke kantin rumah sakit, yang jaraknya lumayan jauh dari ruang rawat Binar. Aiman berlari laksana maling yang dikejar polisi. Sesampainya di kantin, Aiman langsung menyambar sebotol air mineral, dan memberikan uang merah tanpa menunggu kembaliannya. Meninggalkan si ibu pemilik kantin yang berseru agar dia mengambil kembaliannya. Napas Aiman ngos-ngosan meraih tangkai pintu ru
Baca selengkapnya

Bab 32: Jagoan Papa

Mentari pagi mulai menampakan sinarnya yang kemerah-merahan. Menyinari tirai jendela dan menembus sampai ke sebuah ruangan. Namun, seorang pria yang sedang tidur dengan pipi terbaring di atas tangan yang saling bertumpuk di ranjang sang istri, sama sekali tidak terganggu dengan sinar matahari yang menerobos masuk hingga menyinari wajah tampannya itu. Binar membuka kelopak mata, hendak mengucek mata, tetapi tangannya tak bisa diangkat, sebab Aiman menggengamnya. Pria itu tertidur di atas tumpukkan tangannya sambil menggenggam tangan Binar. Hati Binar menghangat, sehangat mentari pagi hari ini. Sebelah tangannya terangkat, terulur hendak mengelus rambut tebal Aiman. Namun, dia mengurungkan niatnya. 'Sadar, Binar. Kamu itu hanya mesin pembuat anak. Jangan terlena dengan semua perhatian yang dia berikan. Setelah anak ini lahir, kamu akan dibuang layaknya sampah!' Batinnya menyadarkan diri. Binar selalu menanamkan kesadaran pada hatinya dengan kalimat kasar, agar dia tak sampai terlena
Baca selengkapnya

Bab 33: Jamu

Pagi-pagi sekali Syeira sudah sibuk berada di dapur membantu ART-nya Iin memasak makanan. Dia sengaja ingin membuat masakan kesukaan Aiman pagi ini. Sebuah Nastar Strawberry, tetapi diganti namanya oleh Syeira, Nastar Cinta. Itu dikarenakan Syeira membuat nastarnya berbentuk seperti hati. Binar yang belum lama bangun mengayunkan kaki ke dapur, hendak membuat susu. Dia memasang senyum ketika terlibat kontak mata dengan Syeira. "Eh, kamu sudah bangun? Mau ngapain?" Syeira memasukan nastar ke oven sambil bertanya. "Emm, mau buat susu. Kak Syeira lagi buat apa?" Binar mengambil sebuah gelas, tetapi langsung ditahan oleh Syeira. "Biar aku aja," tandas Syeira merebut gelas tersebut dari Binar. "Tapi, Kak ....""Udah, nggak apa-apa. Sesekali, kan nanti anak kamu akan jadi haknya Aiman. Berarti, dia juga akan jadi anakku nantinya." Syeira berucap lembut, tetapi mampu menusuk ke ulu hati Binar. Binar mengangguk, memang
Baca selengkapnya

Bab 34: Teman Berbagi

"Kyaaak!"Binar memekik keras, telapak kakinya yang terbungkus sendal karet tergelincir ke belakang kala menginjak genangan minyak di lantai. Tubuh Binar jatuh ke depan, bagian perutnya hendak menghantam anak-anak tangga ...."Hati-hati!" Tiba-tiba saja sebuah lengan yang terbungkus kaus biru langit menangkap tubuh Binar. Affandi. Petugas kesehatan itu dengan sigap menahan pinggang Binar, sebelum bagian depan wanita itu menghantam anak-anak tangga. Posisi mereka sekarang, Affandi yang sedang menyangga pinggang Binar dalam keadaan bersimpuh sambil menatap lekat mata bulat Binar yang syok. Jarak antara wajah mereka begitu dekat. Binar belum bisa menguasai diri. Tangan lentik wanita itu terjulur dari bahu Affandi ke punggung pria itu. Tangan Binar agak gemetar, sedangkan jantungnya berdebar riuh akibat kejadian barusan. Sementara Affandi juga sedang sibuk dengan debaran jantungnya. Mata bulat Binar yang berada tepat di depan matanya dan terbil
Baca selengkapnya

Bab 35: Ponsel Baru

Baik Aiman maupun Binar sama-sama berseru mendengar ucapan Affandi. Binar mengayunkan kaki, berdiri di samping Aiman sambil memandang tajam pada Affandi. Sementara yang ditatap hanya memasang ekspresi santai sambil sesekali terkekeh. "Jangan macam-macam kamu, Affandi!" dengkus Aiman menatap tajam. "Apa salahku?" Affandi memang paling suka membuat orang emosi. Sekarang, dia malah memasang tampang polos. "Oh, soal kamar tadi? Maksudku tidur di kamar yang berhadapan sama Kakak Ipar. Sengaja tadi, mau lihat Bang Aiman ada rasa tidak sama Kakak Ipar kedua ini? Ternyata sepertinya ada." Affandi melemparkan tatapan pada Binar yang tiba-tiba memerah pipinya dengan perkataan barusan. Terlihat jelas di mata Affandi, bahwa wanita di samping abangnya itu sedang tersipu-sipu. Kasihan sebenarnya, sebab Binar memiliki rasa untuk suami orang. "Jaga omonganmu setelah ini!" Aiman berjalan menyenggol bahu adiknya dengan kasar. Namun, malah membuat
Baca selengkapnya

Bab 36: Sebuah Siasat

Dengan mata yang masih sangat berat, Binar setengah berlari menuju teras kala mendengar suara deru mobil Aiman pergi. Wanita itu kesiangan bangunnya sebab semalam tak bisa tidur memikirkan kondisi sang ibu yang sakit. Adiknya bilang, jika sang ibu tak segera dioperasi, maka ginjalnya yang rusak akan segera merenggut nyawa malaikat tak bersayapnya itu. Semalaman, Binar menangis. Berpikir bagaimana cara agar bisa mendapatkan uang agar ibunya bisa dioperasi dan sehat kembali. Rencananya, dia akan meminjam uang pada Aiman soal hal ini. Namun, dikarenakan terlambat bangun, dia tak sempat mengutarakan isi hatinya. Binar mengusap pipinya yang mulai basah akibat air mata lagi. Menatap punggung mobil Aiman yang sudah menghilang dari balik pagar. "Heh, gobloook!" Terdengar suara nyaring Susan di belakang Binar. Wanita yang masih mengenakan gaun tidur panjang itu menatap Binar aneh, mungkin karena melihat mata wanita itu sembab dan terdapat kantung hitam di bawah matan
Baca selengkapnya

Bab 37: Tuduhan Besar

Rintih gerimis mulai turun membasahi tubuh Binar yang kembali berlari menuju rumah besar Aiman. Jarak antara daerah tempat tinggal Binar lumayan jauh dengan komplek elit perumahan Aiman. Tubuh wanita itu menggigil merasakan kencangnya angin yang menabrak tubuh mungilnya hingga dingin menusuk sampai ke tulang. Binar menekan lutut, lelah mendera. Namun, nyawa sang ibu ada di tangannya saat ini. Dia harus berusaha agar cepat sampai ke rumah dan berusaha mendapatkan uang dari Aiman atau siapa pun di rumah itu. Di pikiran Binar, tak ada tempat yang bisa dimintai tolong selain penghuni rumah besar itu. Sempat dia merutuki dirinya sendiri, kenapa tidak berani untuk meminta tolong pada Affandi tadi pagi. Binar menutup telinganya erat ketika melihat langit berkilat, menanti suara raungan keras di langit sana yang menggetarkan jiwanya. Beruntung, kilatan itu tak ditemani raungan keras. Binar kembali melanjutkan langkahnya, berlari dengan cepat. Tubuhnya kini basah kuyup juga ko
Baca selengkapnya

Bab 38: Mencari Binar

Baik Aiman dan Affandi sama-sama melajukan mobilnya mencari-cari keberadaan Binar. Meninggalkan Syeira dan Susan di rumah yang mengamuk karena rencana mereka yang telah berhasil, tetapi digagalkan oleh kedatangan Affandi yang sebagai pahlawan Binar. "Dasar anak tiri sialan! Kenapa dia begitu membela wanita gatel itu?!" Susan menendang barang-barang yang masih bersirekan di lantai. "Ini semua gara-gara Mami, harusnya Mami sembunyikan baik-baik kalung berlian itu. Jadi ketahuan 'kan!" Syeira malah menyalahkan ibunya. Mereka berdua saling tatap, kesal setengah mati. Namun, tak bisa melakukan hal apa pun lagi. Sekarang, Binar akan kembali lagi ke rumah ini. "Sudahlah, nanti kita pikirkan bagaimana caranya untuk menyingkirkan dia lagi. Selama-lamanya bila perlu!"**Affandi dan Aiman turun di daerah perpasaran, di mana setiap sudut jalan berdiri ruko-ruko dan bangunan lumayan tinggi. Beberapa pengemis jalanan meringkuk di teras-teras t
Baca selengkapnya

Bab 39: Ambar Murka

Aiman membantu mendorong brankar dengan tergesa menuju ke unit gawat darurat. Panik, sangat kentara terlukis di wajah pria bertampang kaukasuoid itu. Melihat sang istri yang tengah hamil tiba-tiba pingsan setelah mengutarakan keinginannya tadi. Dalam perjalanan ke rumah sakit di mana ibunya Binar dirawat, Aiman terkejut melihat Binar yang duduk di sampingnya tiba-tiba terkulai lemas. Aiman mencoba menepuk-nepuk pipi Binar, untuk menyadarkan wanita tersebut. Namun, sang istri sama sekali tak memberi respons. Affandi menyarankan agar Aiman segera membawa Binar ke rumah sakit, biar Affandi sendiri yang menangani kondisi ibunya Binar. Wanita hamil itu harus segera mendapat perawatan intensif, tidak bisa menunda lagi. Mengingat kondisi mental Binar yang terhantam seharian ini. Belum juga ditambah kedinginan diguyur hujan selama berjam-jam. "Mohon tunggu di luar saja, yah, Pak." Seorang perawat wanita menahan Aiman untuk ikutan masuk ke dalam UGD. Aiman
Baca selengkapnya

Bab 40: Ular-ular?

Waktu sudah menunjukkan pukul 04.35, sedangkan Ningsih masih tetap setia menjaga ibunya yang kini telah dipindahkan ke ruang rawat inap. Tentu yang menjadi kesegaran di mata sipit itu sebab adanya Dokter Affandi Wijayakrama di sampingnya. Banyak hal yang mereka bicarakan, Affandi yang humoris tentu gampang sekali berbaur dengan Ningsih yang centil. Bahkan, Affandi mentraktir wanita di hadapannya itu sebuah nasi goreng lengkap dengan cappucino-nya. Affandi paham, pasti Ningsih belum makan sebab menjaga ibunya selama seharian di rumah sakit. "Aku saat ini juga sedang sibuk kuliah ngambil jurusan kedokteran. Berkat kepandaianku, aku mendapat beasiswa untuk kuliah. Tapi yah, begitu ... ongkos harus nyari sendiri." Ningsih meringis. Affandi menopang dagunya, lalu melirik jam sekilas. Sudah hampir satu jam setelah aksi saling kenal, Affandi menemani gadis di hadapannya sambil mendengar semua tentang dia yang memuji-muji diri sendiri. Tentang dia yang jadi primadon
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
18
DMCA.com Protection Status