"Kyaaak!"Binar memekik keras, telapak kakinya yang terbungkus sendal karet tergelincir ke belakang kala menginjak genangan minyak di lantai. Tubuh Binar jatuh ke depan, bagian perutnya hendak menghantam anak-anak tangga ...."Hati-hati!" Tiba-tiba saja sebuah lengan yang terbungkus kaus biru langit menangkap tubuh Binar. Affandi. Petugas kesehatan itu dengan sigap menahan pinggang Binar, sebelum bagian depan wanita itu menghantam anak-anak tangga. Posisi mereka sekarang, Affandi yang sedang menyangga pinggang Binar dalam keadaan bersimpuh sambil menatap lekat mata bulat Binar yang syok. Jarak antara wajah mereka begitu dekat. Binar belum bisa menguasai diri. Tangan lentik wanita itu terjulur dari bahu Affandi ke punggung pria itu. Tangan Binar agak gemetar, sedangkan jantungnya berdebar riuh akibat kejadian barusan. Sementara Affandi juga sedang sibuk dengan debaran jantungnya. Mata bulat Binar yang berada tepat di depan matanya dan terbil
Baik Aiman maupun Binar sama-sama berseru mendengar ucapan Affandi. Binar mengayunkan kaki, berdiri di samping Aiman sambil memandang tajam pada Affandi. Sementara yang ditatap hanya memasang ekspresi santai sambil sesekali terkekeh. "Jangan macam-macam kamu, Affandi!" dengkus Aiman menatap tajam. "Apa salahku?" Affandi memang paling suka membuat orang emosi. Sekarang, dia malah memasang tampang polos. "Oh, soal kamar tadi? Maksudku tidur di kamar yang berhadapan sama Kakak Ipar. Sengaja tadi, mau lihat Bang Aiman ada rasa tidak sama Kakak Ipar kedua ini? Ternyata sepertinya ada." Affandi melemparkan tatapan pada Binar yang tiba-tiba memerah pipinya dengan perkataan barusan. Terlihat jelas di mata Affandi, bahwa wanita di samping abangnya itu sedang tersipu-sipu. Kasihan sebenarnya, sebab Binar memiliki rasa untuk suami orang. "Jaga omonganmu setelah ini!" Aiman berjalan menyenggol bahu adiknya dengan kasar. Namun, malah membuat
Dengan mata yang masih sangat berat, Binar setengah berlari menuju teras kala mendengar suara deru mobil Aiman pergi. Wanita itu kesiangan bangunnya sebab semalam tak bisa tidur memikirkan kondisi sang ibu yang sakit. Adiknya bilang, jika sang ibu tak segera dioperasi, maka ginjalnya yang rusak akan segera merenggut nyawa malaikat tak bersayapnya itu. Semalaman, Binar menangis. Berpikir bagaimana cara agar bisa mendapatkan uang agar ibunya bisa dioperasi dan sehat kembali. Rencananya, dia akan meminjam uang pada Aiman soal hal ini. Namun, dikarenakan terlambat bangun, dia tak sempat mengutarakan isi hatinya. Binar mengusap pipinya yang mulai basah akibat air mata lagi. Menatap punggung mobil Aiman yang sudah menghilang dari balik pagar. "Heh, gobloook!" Terdengar suara nyaring Susan di belakang Binar. Wanita yang masih mengenakan gaun tidur panjang itu menatap Binar aneh, mungkin karena melihat mata wanita itu sembab dan terdapat kantung hitam di bawah matan
Rintih gerimis mulai turun membasahi tubuh Binar yang kembali berlari menuju rumah besar Aiman. Jarak antara daerah tempat tinggal Binar lumayan jauh dengan komplek elit perumahan Aiman. Tubuh wanita itu menggigil merasakan kencangnya angin yang menabrak tubuh mungilnya hingga dingin menusuk sampai ke tulang. Binar menekan lutut, lelah mendera. Namun, nyawa sang ibu ada di tangannya saat ini. Dia harus berusaha agar cepat sampai ke rumah dan berusaha mendapatkan uang dari Aiman atau siapa pun di rumah itu. Di pikiran Binar, tak ada tempat yang bisa dimintai tolong selain penghuni rumah besar itu. Sempat dia merutuki dirinya sendiri, kenapa tidak berani untuk meminta tolong pada Affandi tadi pagi. Binar menutup telinganya erat ketika melihat langit berkilat, menanti suara raungan keras di langit sana yang menggetarkan jiwanya. Beruntung, kilatan itu tak ditemani raungan keras. Binar kembali melanjutkan langkahnya, berlari dengan cepat. Tubuhnya kini basah kuyup juga ko
Baik Aiman dan Affandi sama-sama melajukan mobilnya mencari-cari keberadaan Binar. Meninggalkan Syeira dan Susan di rumah yang mengamuk karena rencana mereka yang telah berhasil, tetapi digagalkan oleh kedatangan Affandi yang sebagai pahlawan Binar. "Dasar anak tiri sialan! Kenapa dia begitu membela wanita gatel itu?!" Susan menendang barang-barang yang masih bersirekan di lantai. "Ini semua gara-gara Mami, harusnya Mami sembunyikan baik-baik kalung berlian itu. Jadi ketahuan 'kan!" Syeira malah menyalahkan ibunya. Mereka berdua saling tatap, kesal setengah mati. Namun, tak bisa melakukan hal apa pun lagi. Sekarang, Binar akan kembali lagi ke rumah ini. "Sudahlah, nanti kita pikirkan bagaimana caranya untuk menyingkirkan dia lagi. Selama-lamanya bila perlu!"**Affandi dan Aiman turun di daerah perpasaran, di mana setiap sudut jalan berdiri ruko-ruko dan bangunan lumayan tinggi. Beberapa pengemis jalanan meringkuk di teras-teras t
Aiman membantu mendorong brankar dengan tergesa menuju ke unit gawat darurat. Panik, sangat kentara terlukis di wajah pria bertampang kaukasuoid itu. Melihat sang istri yang tengah hamil tiba-tiba pingsan setelah mengutarakan keinginannya tadi. Dalam perjalanan ke rumah sakit di mana ibunya Binar dirawat, Aiman terkejut melihat Binar yang duduk di sampingnya tiba-tiba terkulai lemas. Aiman mencoba menepuk-nepuk pipi Binar, untuk menyadarkan wanita tersebut. Namun, sang istri sama sekali tak memberi respons. Affandi menyarankan agar Aiman segera membawa Binar ke rumah sakit, biar Affandi sendiri yang menangani kondisi ibunya Binar. Wanita hamil itu harus segera mendapat perawatan intensif, tidak bisa menunda lagi. Mengingat kondisi mental Binar yang terhantam seharian ini. Belum juga ditambah kedinginan diguyur hujan selama berjam-jam. "Mohon tunggu di luar saja, yah, Pak." Seorang perawat wanita menahan Aiman untuk ikutan masuk ke dalam UGD. Aiman
Waktu sudah menunjukkan pukul 04.35, sedangkan Ningsih masih tetap setia menjaga ibunya yang kini telah dipindahkan ke ruang rawat inap. Tentu yang menjadi kesegaran di mata sipit itu sebab adanya Dokter Affandi Wijayakrama di sampingnya. Banyak hal yang mereka bicarakan, Affandi yang humoris tentu gampang sekali berbaur dengan Ningsih yang centil. Bahkan, Affandi mentraktir wanita di hadapannya itu sebuah nasi goreng lengkap dengan cappucino-nya. Affandi paham, pasti Ningsih belum makan sebab menjaga ibunya selama seharian di rumah sakit. "Aku saat ini juga sedang sibuk kuliah ngambil jurusan kedokteran. Berkat kepandaianku, aku mendapat beasiswa untuk kuliah. Tapi yah, begitu ... ongkos harus nyari sendiri." Ningsih meringis. Affandi menopang dagunya, lalu melirik jam sekilas. Sudah hampir satu jam setelah aksi saling kenal, Affandi menemani gadis di hadapannya sambil mendengar semua tentang dia yang memuji-muji diri sendiri. Tentang dia yang jadi primadon
Lagi-lagi Affandi harus mendapatkan bogem mentah dari sang kakak usai mengatakan bahwa kejadian penuduhan Binar semalam, sang istri tercinta Syeira juga ikut andil dalam rencana ibunya dalam memfitnah Binar agar segera diusir dari rumah. Mereka berdua sekongkol untuk menyingkirkan Binar. Tentu Aiman tak akan mudah percaya begitu saja, dan yang lebih parahnya ialah, fakta yang diberikan oleh Affandi itu malah menjadi bumerang bagi dirinya. Aiman tak mempercayai, dan mengira Affandi hanya ingin mengadu domba antara hubungannya dengan Syeira saja. Aiman juga mengira bahwa Affandi ingin mencuri perhatian ibunya dengan merusak nama baik Aiman. Bukan hanya itu saja, Affandi juga mengira bahwa Affandi berniat untuk merebut Binar darinya. Jika sang ibu benar-benar membawa Binar untuk tinggal di rumah mereka, maka Affandi bisa ikutan tinggal juga di sana. Dan berusaha mencuri hati wanita berparas ayu itu. "Aku tau kau selama ini kurang kasih sayang, aku juga tau kau
Malam kian larut, ditemani gerimis serta angin yang kencang. Abimanyu memanahkan tatapan pada rintik-rintik hujan yang menetes. Pikirannya tenggelam, entah ke mana. Beberapa kali dia mendengar sang ibu mengetuk pintu kamarnya, meminta dia agar keluar makan malam. Tapi Abimanyu memilih bungkam. Entahlah, rasanya Abimanyu belum bisa menerima keadaan jika Chelsi adalah adiknya. Rasanya, Abimanyu ingin meminta pada ibunya agar membuang saja gadis itu. Jujur, Abimanyu kurang menyukai kehadiran Chelsi. Bahkan sangat! Sebab kasih sayang ayah dan ibunya mulai terbagi pada gadis itu. Terlebih, Abimanyu menyimpan perasaan pada Chelsi. "Bagaimana caranya membuang perasaan bodoh ini?!"Terdengar bunyi mengkriuk lapar dari perut sang pria. Abimanyu memutuskan untuk turun ke lantai bawah. Melewati kamar yang dalamnya bernuansa warna pink itu, Abimanyu terhenti sekejap. Terus jalan lagi. Hasratnya ingin masuk ke dalam sebenarnya. Rum
Sudah berhari-hari kini Chelsi tinggal di kediaman Adipati. Dia mulai mengakrabkan diri dengan semua hal yang ada di rumah besar itu. Baik dengan kedua orang tuanya, para ART, peraturan, ruangan, aktivitas, bahkan perabotan. Hanya satu hal yang belum Chelsi akrabkan. Abimanyu. Semenjak Chelsi menginjakan kaki di rumah Adipati sebagai putri kandung Affandi dan Binar, keberadaan sang abang tersebut seperti hilang di telan bumi. Abimanyu tak pernah pulang ke rumah, hampir seminggu malah sekarang. Binar khawatir tentang keberadaan sang putra. Ditelepon pun, ponsel pria itu tak aktif. Hal tersebut makin membuat hati Binar tak tenteram. "Iya, Bang Abi ke kantor beberapa hari yang lalu. Hanya sebentar, karena dia harus keluar negeri mengurusi tender di sana." Penjelasan Angkasa lewat telepon sedikit membuat Binar mengembuskan napas lega. Tapi masa sesibuk itu Abimanyu, sampai tak punya waktu sedikit pun buat bicara dengan ibunya. Binar memilih mengirimkan
"Chelsi." Gadis itu sedikit tersentak ketika kedua bahunya dipegang oleh Syeira."Ah, iya. Kenapa?" Chelsi menatap Syeira dengan sorot kebingungan. "Ayo, masuk." Syeira merangkul gadis manis itu. "Saya nggak nyangka, ternyata kamu putrinya Binar dan Affandi. Kamu tidak pernah tau, seterpukul apa dulu Binar saat bayinya dinyatakan meninggal di ruang inkubator."Chelsi tertegun mendengar hal tersebut. Dia menatap Binar yang sejak tadi menatapnya dengan mata basah. Terasa sakit hati gadis itu melihat wajah Binar yang terus-terusan meneteskan air mata itu. Lantas pandangannya mengarah ke Affandi. Petugas medis itu juga tampak basah matanya, dengan wajah memerah, berusaha menahan tangis. Apakah benar, kedua orang tersebut adalah orang tuanya? Chelsi bahkan tak berani bermimpi untuk hal itu. "Sini." Affandi meraih lengan halus Chelsi, mengajaknya agar lebih menempel padanya. Telapak tangannya, Affandi letakkan di dada sendiri seray
Serempak mata orang-orang di dalam ruangan tersebut membulat sempurna. Terlebih Vena, tubuh wanita itu menegang dengan bulir-bulir yang mulai mencuat di pelipis. Tungkainya melemas. Perlahan, dia memutar kepalanya, melihat sang putri yang masih dicekal erat oleh petugas medis kesehatan itu. Sementara Chelsi hanya menatap Affandi dengan tatapan syok. Mana mungkin? Tapi benarkah? Pikiran dan perasaan gadis itu campur aduk. Lalu dia menatap sang ibu--Vena. Mata Chelsi berkaca-kaca, melihat wajah memucat ibunya. Apakah mungkin yang dikatakan sang dokter benarkah nyatanya? Dia ...."Lepaskan putriku, Venuska!" Kembali Affandi bersuara tegas, menatap tajam pada Vena. Jelas hal tersebut membuat nyali wanita itu menciut. Tapi tidak, Chelsi tetap putrinya!"Tidak! Dia anakku! Dia putriku. Hanya putriku!" Vena menarik kembali Chelsi, agak kasar. Namun, Affandi tetap menahan."Sakit," r
Akhirnya, Abimanyu, Chelsi, juga Angaksa pergi ke rumah sakit. Abimanyu dan Chelsi semobil? Tentu saja tidak. Gadis itu semobil dengan calon suaminya. Membiarkan dada Abimanyu terbakar di mobil lainnya sana.Abimanyu memilih melajukan kecepatan mobilnya di atas rata-rata. Pergi entah ke mana. Hendak mendinginkan dulu perasaannya yang memanas.**"Saya di sini saja, Bu. Nggak usah masuk ke dalam." Seorang wanita berusia senja itu, tampak sungkan ketika lengannya ditarik oleh Syeira masuk ke ruang rawat Binar. Lebih tepatnya, dia takut masuk ke dalam. Takut bertemu dengan si petugas medis yang dulunya pernah menjadi mantannya itu.Tadi, di saat mereka kembali bertemu demi membahas tentang pernikahan Angkasa dan Chelsi, tiba-tiba Affandi menelepon, memberitahukan berita gembira. Jika Nona kesayangannya telah sadar dari koma. Jelas hal tersebut juga menjadi s
Biasanya, jika Abimanyu dulu terpaksa harus mengantar Friska, maka gadis itu akan berceloteh panjang lebar hingga membuat kuping Abimanyu terasa panas. Bukan hanya itu, Friska juga suka sekali menempel pada lengan berotot Abimanyu. Hingga membuat sang pria gerah juga geram setengah mati.Namun sekarang, hampir lima belas menit perjalanan pun, gadis berkuncir kuda itu belum juga membuka suara. Dia hanya menoleh ke arah luar jendela. Memerhatikan gedung-gedung yang berpapasan dengan mereka. Diamnya Friska malah membuat perasaan Abimanyu tak enak. Abimanyu memang lebih menyukai suasa yang hening ketimbang ribut, tetapi diamnya Friska malah membuat pria itu resah.'Kau terlihat seperti jalang yang haus belaian.' Lagi, kalimat itu mengusik pikiran Abimanyu. Dia tak ingat betul kalimat apa saja yang meluncur dari mulutnya saat emosi waktu itu. Tapi yang Abimanyu tahu, kemungkinan salah satu ucapannya benar-b
Perlahan-lahan, kelopak mata yang tampak lemah itu berkedip pelan. Ingin membuka mata, tetapi silau mentari begitu menusuk. Kembali dia menutup mata erat. Tangannya terasa menyentuh sebuah permukaan berbulu lebat. Sebuah rambut. Diusapnya rambut tersebut dengan pelan. Aksinya tersebut malah mengganggu tidur si empu rambut. Abimanyu menggeliat, dan gesekan kepalanya pada samping perut sang ibu, membuat si empu perut melenguh. Melotot langsung kedua bola mata itu."Mah?" Abimanyu bangkit berdiri, memanggil ayahnya yang tidur di samping sofa di belakangnya."Tangan Mama gerak lagi." Hati Abimanyu berdesir hangat. Sangat bahagia melihat wajah ibunya yang terus menunjukkan respon aktif."Nona?" Affandi mengusap pipi Binar, tampak berkaca-kaca mata petugas medis itu melihat bibir Binar yang bergerak-gerak."A--bi ..., bagai-mana kead---"
Dua sejoli yang saling membulat matanya itu sama-sama menatap tanpa berkedip. Abimanyu masih tetap menahan pinggang Chelsi, sedangkan gadis itu meringis ketakutan dengan debaran jantung yang menggila mendengar suara panggilan di luar pintu. Itu suara Syeira. Bagaimana jika ibunya Angkasa tersebut melihat dirinya dan Abimanyu dalam satu kamar, dipeluk sang pria pula."Pak, saya mohon, lepaskan saya," cicit gadis itu menatap wajah Abimanyu di samping kiri kepalanya."Kenapa, hmm?" Abimanyu malah mendekatkan wajahnya di bahu Chelsi, membuat debaran jantung gadis itu kian jadi. Serasa hampir meledak saja jantungnya."Chelsi, kamu masih di dalam 'kan?" Syeira kembali mengetuk pintu."Pak, saya mohon." Chelsi meringis, menjauhkan wajahnya dari rahang Abimanyu yang kasar karena bulu-bulu tipis yang memenuhi pipinya."Aku mau mele
Melihat Abimanyu yang bergerak mendekat setelah menutup pintu, Chelsi menatap waspada. Terlebih dirinya yang hanya mengenakan handuk, tumpahan air minum tadi lumayan membuat gaunnya basah parah. Syeira menyarankan agar Chelsi mengganti pakaian basah tersebut dengan gaunnya."Pak, keluar dari sini!" Chelsi gegas menarik selimut menutupi tubuhnya.Abimanyu terus mengayunkan langkah dengan tatapan yang tak bisa diartikan. Chelsi mundur perlahan dengan tatapan yang tak terlepas dari mata elang itu. Abimanyu terus mendekat, mengikis jarak, terus, dan terus. Sampai membuat gadis yang membalut tubuhnya dengan selimut itu terpojok di dinding.Chelsi kelabakan. Mengerjap beberapa saat, dan menoleh ke belakang. Lalu kembali mendongak, menatap mata elang itu yang berada tepat di depan keningnya. Dia hendak kabur, tetapi Abimanyu sigap menekan dinding sebelah kiri gadis itu. Chelsi henda