Di ruangan berwarna putih bersih dengan bau obat-obatan yang menusuk indra penciuman, wanita hamil itu meronta-ronta dengan mata mendelik tajam pada semua orang. Sesekali dia melingkarkan tangan diperutnya yang membuncit, sesekali mengigit bibir demi menahan rasa sakit yang menerjang perutnya, sesekali pula mencengkeram bantal dan ... tangan Affandi yang berdiri di sampingnya.
"Pe-pergi ...! Aku, aku ... tidak--arh!"Binar mencengkeram bantal sambil memegang perutnya, lalu mendelik ke arah Affandi yang menatapnya nanar. Ada banyak yang diucapkan petugas medis itu, tetapi tak satu pun yang berhasil ditangkap oleh indra pendengaran Binar, sebab rasa sakit yang menjalar dari pinggang, ke tulang belakang, dan merambat naik di otaknya. Padahal sudah diberi suntik pereda rasa sakit, hanya saja dosisnya rendah. Wajah Binar dibanjiri keringat dingin, bahkan dia terlihat memucat. Dadanya naik turun dengan cepat. Sesekali dia mengangkat tubuhnya ke atas, lalu membantingnya"Allah Akbar ...."Pria berkemeja hitam dengan wajah yang tampak basah itu, melaksanakan gerakan salat dengan khusyuk, walaupun kakinya masih sakit jika ditekan saat duduk dan hendak berdiri. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Aiman kembali datang mendekat pada Yang Maha Kuasa. Bahkan pria itu telah lupa, kapan terakhir kalinya dia meminta pada Tuhan. Kehidupan yang mewah dan merasa mempunyai segalanya, membuat Aiman melupakan Yang Maha Kuasa, Yang Maha Segalanya. Aiman menengadahkan tangan, merayu, meminta, dan memohon pada yang Maha Kuasa untuk menyelamatkan nyawa Binar juga bayi yang dikandungnya. Jikalau bisa. Sudah berjam-jam pintu ruang operasi ditutup dan menyembunyikan kondisi terkini sang wanita hamil itu, Aiman tak tahu sampai sekarang bagaimana kondisi Binar, bagaimana kondisi jagoan kecilnya. Apakah mereka selamat, apakah ada salah satu dari mereka ..., ah, bahkan Aiman tak mampu untuk sekadar membayangkan kehilangan salah satunya. Walaupun dia
Bunyi elektrokardiogram memenuhi ruang rawat VVIP yang ditempati wanita berparas ayu, yang kini tubuhnya dililiti banyak kabel dan selang infus rumah sakit itu. Setelah dinyatakan selamat melawan maut, Binar harus dirawat intensif. Bahkan, wanita itu belum juga siuman setelah tak sadarkan diri di ruang operasi tadi. Tapi setidaknya, ada harapan baru untuk Binar tetap hidup. Demi anaknya, Binar berhasil melawan maut. Dia mendapat mukjizat yang tak disangka-sangka. Jelas hal tersebut mengundang keharuan bagi orang-orang di sekitarnya tadi. Bahkan Aiman dan Affandi saling berpelukan haru, melupakan persaingan dingin di antara mereka. "Oalah, ini bagaimana kondisinya, Nak Binar?" Mbah Mai datang dengan tergopoh di kamar rawat Binar, dia ditelepon oleh Affandi. "Kondisinya masih serius, Mbah. Dia masih sangat lemah. Tapi do'ain saja, semoga lekas membaik dan sehat seperti sedia kala." Affandi menyahut, tanpa melepaskan tatapan dari wanita yang terbaring di ranjan
Mendengar suara abangnya, Affandi lantas berbalik memunggungi sumber suara, lalu menganyunkan kaki menjauh, setengah berlari. "Aku masih sibuk!" ucap Affandi di tengah lorong sana, tanpa berbalik badan, tanpa pertanyaan apa pun dari Aiman. Hal tersebut membuat alis tebal Aiman hampir menyatu, terlebih mendengar suara sang adik yang sedikit aneh. "Dia kenapa?" "Ada apa, Aiman?" Ambar bertanya di balik punggung sang putra. "Itu tadi Affandi, dia seperti terdengar ... menangis?" Aiman bahkan tak percaya dengan apa yang diucapkannya. Masa iya sang adik itu menangis? Kalaupun iya, tapi kenapa? Apa yang membuat dia menangis? **Wanita tua dengan tampilan sederhana, ditemani oleh putri bungsunya, perlahan mengayunkan kaki masuk ke ruang rawat Binar. Wanita tua itu langsung berderai air mata, melihat sang putri sulung yang masih terbaring lemah dengan banyaknya selang-selang rumah sakit yang melilit di tubuh mungil itu.
Suara tangisan bayi terdengar begitu kencang di pagi hari. Suaranya begitu bising, melengking hingga menusuk ke indra pendengaran wanita itu. Dia ingin bangkit, memeluk dan mendiamkan bayi yang sedang menangis itu. Perlahan-lahan, jemari Binar bergerak-gerak. Lalu disusul oleh kelopak matanya yang bergerak. "Syukurlah, kau sudah sadar. Hey, bangunlah ...." Sebuah suara bariton memenuhi pendengaran Binar. Kelopak matanya yang agak berat, perlahan-lahan dia buka. Samar-samar seorang pria dengan kemeja putih menanti Binar agar siuman. Selarik simpul yang lebar tercipta di bibir pria itu. Sangat bahagia melihat wanita yang telah tak sadarkan selama beberapa hari ini akhirnya sadar juga. "Bang Aiman ...," ucap Binar lirih setelah pandangannya mulai jernih. Aiman duduk di sampingnya dengan wajah penuh kebahagiaan. "Put-putraku mana?" Binar hendak bangkit, tetapi Aiman segera menahannya. "Kamu tenang saja, dia selamat. Kalian berdua selamat." Ai
Hari-harinya Binar habiskan di kamar dengan ditemani beberapa perawat yang memperlakukan dia seperti bayi. Mengantar Binar ke sana kemari, mendandaninya, membantu makan, dan memastikan Binar memakan obatnya tepat waktu. "Sudah cukup, aku bisa sendiri!" keluh Binar menepis pakaian yang hendak dikenakan padanya. "Aku sudah sehat!" "Tapi ... ini sudah tugas kami, Nyonya. Kami akan dapat marah jika tidak melakukan tugas kami dengan baik." Sang perawat menunduk, merasa takut-takut. Binar mengembuskan napas kasar. Sebenarnya dia bukan kesal pada beberapa perawat itu. Dia kesal pada hidupnya sendiri. Ini sudah seminggu semenjak pulang dari rumah sakit itu, tetapi dia tak sekali pun bermesraan dengan sang putra sepuasnya. Aiman hanya membawa putra mereka sebentar di kamar Binar, lalu Ambar akan mengambil kembali anak tersebut untuk dibawa pergi. Entah difoto, didandani, diajak bicara, atau diajak keluar. Ambar yang berkuasa atas bayinya. Sementar
Aiman dan Binar kini duduk berhadapan di sebuah cafe dengan ditemani secangkir cappucino. Keduanya menjatuhkan pandangan pada cairan cokelat itu. Sudah hampir sepuluh menit, tetapi belum ada yang membuka suara di antara keduanya. Mereka sama-sama larut dalam pikiran masing-masing. "Bagaimana keadaanmu?" Akhirnya, Syeira membuka obrolan. Aiman hanya mengangguk pelan, menjawab. "Selamat, ya." Senyum lebar ditampakkannya. "Aku dengar-dengar, putramu sudah lahir."Aiman menangkap jelas raut yang dipaksakan di dalam senyuman itu. Dia tahu, Syeira sesak saat mengucapkan hal tersebut. "Maaf atas segala kebohonganku kemarin." Syeira menunduk sambil mengepalkan tangan erat. "Aku memang sudah salah karena membohongimu dengan pura-pura hamil. Tapi, aku nggak pernah menyesal dengan hal itu. Bukankah kita harus melakukan segala cara demi orang yang kita cintai?" Tatapan Syeira mulai berkaca-kaca. Kini giliran Aiman yang mengepalkan tangan era
Pagi harinya Binar sudah diasyikan dengan memandikan Abimanyu. Gelembung-gelembung lembut membalut tubuh mungil putranya menciptakan licin di tangan Binar. Dengan segala kehati-hatian Binar memandikan bayinya itu. Terlebih, ada Ambar di ambang pintu kamar mandi yang mengawasi. Ya, setelah dimintai baik-baik dan diberikan pengertian oleh Aiman kemarin tentang kekesalan Binar yang ingin merawat bayinya juga, Ambar kini memberikan Abimanyu untuk dirawat oleh Binar. Tentu harus dalam pengawasannya, sebab Binar baru menjadi seorang ibu. Masih awam untuk hal-hal yang bersangkutan dengan bayi. "Hati-hati bungkus kepalanya, Binar!" peringat Ambar dengan tatapan waspada. Binar mengangguk, lalu membalut tubuh bayinya dengan handuk. Melilitnya dengan baik sesuai apa yang diajarkan wanita senja itu. "Cayang, kenapa? Dingin, ya?" Binar menggendong sang putra yang menangis usai dimandikan. Wajah, rambut, dan baju wanita itu juga tampak basah. Memang masih belum
Kepergian petugas medis itu dari ruang meja makan meninggalkan perasaan yang kacau pada hati Binar. Namun sebisa mungkin, dia ingin melenyapkan perasaan bodoh itu. Binar mengepalkan tangan erat, sembari menahan gejolak di pikirannya. Ada Syeira di sini, dan perkataan Tuan Adipati pasti didengar juga olehnya. Kata Aiman, dia sudah membereskan Syeira. Apa maksudnya? "Jadi, kamu sudah siap jadi menantu di rumah ini?" Ambar menimpali, memastikan jawaban Binar. Wanita yang tengah menunduk itu mengigit bibirnya sendiri, sesekali dia melirik kosong pada dinding yang melenyapkan punggung Affandi tadi. Ambar mengikuti arah pandang Binar. "Nyari apa?""Ah, tidak ada, Bu." Binar gelagapan. "Nyari Affandi?" tebak wanita tua itu. Binar melongo sesaat, lalu menggeleng cepat. "Jadi, sudah siap menantu di rumah ini?" Ambar mengulang pertanyaannya. Sekarang, pandangan Binar lari ke Syeira yang sedang sibuk meneguk ko
Malam kian larut, ditemani gerimis serta angin yang kencang. Abimanyu memanahkan tatapan pada rintik-rintik hujan yang menetes. Pikirannya tenggelam, entah ke mana. Beberapa kali dia mendengar sang ibu mengetuk pintu kamarnya, meminta dia agar keluar makan malam. Tapi Abimanyu memilih bungkam. Entahlah, rasanya Abimanyu belum bisa menerima keadaan jika Chelsi adalah adiknya. Rasanya, Abimanyu ingin meminta pada ibunya agar membuang saja gadis itu. Jujur, Abimanyu kurang menyukai kehadiran Chelsi. Bahkan sangat! Sebab kasih sayang ayah dan ibunya mulai terbagi pada gadis itu. Terlebih, Abimanyu menyimpan perasaan pada Chelsi. "Bagaimana caranya membuang perasaan bodoh ini?!"Terdengar bunyi mengkriuk lapar dari perut sang pria. Abimanyu memutuskan untuk turun ke lantai bawah. Melewati kamar yang dalamnya bernuansa warna pink itu, Abimanyu terhenti sekejap. Terus jalan lagi. Hasratnya ingin masuk ke dalam sebenarnya. Rum
Sudah berhari-hari kini Chelsi tinggal di kediaman Adipati. Dia mulai mengakrabkan diri dengan semua hal yang ada di rumah besar itu. Baik dengan kedua orang tuanya, para ART, peraturan, ruangan, aktivitas, bahkan perabotan. Hanya satu hal yang belum Chelsi akrabkan. Abimanyu. Semenjak Chelsi menginjakan kaki di rumah Adipati sebagai putri kandung Affandi dan Binar, keberadaan sang abang tersebut seperti hilang di telan bumi. Abimanyu tak pernah pulang ke rumah, hampir seminggu malah sekarang. Binar khawatir tentang keberadaan sang putra. Ditelepon pun, ponsel pria itu tak aktif. Hal tersebut makin membuat hati Binar tak tenteram. "Iya, Bang Abi ke kantor beberapa hari yang lalu. Hanya sebentar, karena dia harus keluar negeri mengurusi tender di sana." Penjelasan Angkasa lewat telepon sedikit membuat Binar mengembuskan napas lega. Tapi masa sesibuk itu Abimanyu, sampai tak punya waktu sedikit pun buat bicara dengan ibunya. Binar memilih mengirimkan
"Chelsi." Gadis itu sedikit tersentak ketika kedua bahunya dipegang oleh Syeira."Ah, iya. Kenapa?" Chelsi menatap Syeira dengan sorot kebingungan. "Ayo, masuk." Syeira merangkul gadis manis itu. "Saya nggak nyangka, ternyata kamu putrinya Binar dan Affandi. Kamu tidak pernah tau, seterpukul apa dulu Binar saat bayinya dinyatakan meninggal di ruang inkubator."Chelsi tertegun mendengar hal tersebut. Dia menatap Binar yang sejak tadi menatapnya dengan mata basah. Terasa sakit hati gadis itu melihat wajah Binar yang terus-terusan meneteskan air mata itu. Lantas pandangannya mengarah ke Affandi. Petugas medis itu juga tampak basah matanya, dengan wajah memerah, berusaha menahan tangis. Apakah benar, kedua orang tersebut adalah orang tuanya? Chelsi bahkan tak berani bermimpi untuk hal itu. "Sini." Affandi meraih lengan halus Chelsi, mengajaknya agar lebih menempel padanya. Telapak tangannya, Affandi letakkan di dada sendiri seray
Serempak mata orang-orang di dalam ruangan tersebut membulat sempurna. Terlebih Vena, tubuh wanita itu menegang dengan bulir-bulir yang mulai mencuat di pelipis. Tungkainya melemas. Perlahan, dia memutar kepalanya, melihat sang putri yang masih dicekal erat oleh petugas medis kesehatan itu. Sementara Chelsi hanya menatap Affandi dengan tatapan syok. Mana mungkin? Tapi benarkah? Pikiran dan perasaan gadis itu campur aduk. Lalu dia menatap sang ibu--Vena. Mata Chelsi berkaca-kaca, melihat wajah memucat ibunya. Apakah mungkin yang dikatakan sang dokter benarkah nyatanya? Dia ...."Lepaskan putriku, Venuska!" Kembali Affandi bersuara tegas, menatap tajam pada Vena. Jelas hal tersebut membuat nyali wanita itu menciut. Tapi tidak, Chelsi tetap putrinya!"Tidak! Dia anakku! Dia putriku. Hanya putriku!" Vena menarik kembali Chelsi, agak kasar. Namun, Affandi tetap menahan."Sakit," r
Akhirnya, Abimanyu, Chelsi, juga Angaksa pergi ke rumah sakit. Abimanyu dan Chelsi semobil? Tentu saja tidak. Gadis itu semobil dengan calon suaminya. Membiarkan dada Abimanyu terbakar di mobil lainnya sana.Abimanyu memilih melajukan kecepatan mobilnya di atas rata-rata. Pergi entah ke mana. Hendak mendinginkan dulu perasaannya yang memanas.**"Saya di sini saja, Bu. Nggak usah masuk ke dalam." Seorang wanita berusia senja itu, tampak sungkan ketika lengannya ditarik oleh Syeira masuk ke ruang rawat Binar. Lebih tepatnya, dia takut masuk ke dalam. Takut bertemu dengan si petugas medis yang dulunya pernah menjadi mantannya itu.Tadi, di saat mereka kembali bertemu demi membahas tentang pernikahan Angkasa dan Chelsi, tiba-tiba Affandi menelepon, memberitahukan berita gembira. Jika Nona kesayangannya telah sadar dari koma. Jelas hal tersebut juga menjadi s
Biasanya, jika Abimanyu dulu terpaksa harus mengantar Friska, maka gadis itu akan berceloteh panjang lebar hingga membuat kuping Abimanyu terasa panas. Bukan hanya itu, Friska juga suka sekali menempel pada lengan berotot Abimanyu. Hingga membuat sang pria gerah juga geram setengah mati.Namun sekarang, hampir lima belas menit perjalanan pun, gadis berkuncir kuda itu belum juga membuka suara. Dia hanya menoleh ke arah luar jendela. Memerhatikan gedung-gedung yang berpapasan dengan mereka. Diamnya Friska malah membuat perasaan Abimanyu tak enak. Abimanyu memang lebih menyukai suasa yang hening ketimbang ribut, tetapi diamnya Friska malah membuat pria itu resah.'Kau terlihat seperti jalang yang haus belaian.' Lagi, kalimat itu mengusik pikiran Abimanyu. Dia tak ingat betul kalimat apa saja yang meluncur dari mulutnya saat emosi waktu itu. Tapi yang Abimanyu tahu, kemungkinan salah satu ucapannya benar-b
Perlahan-lahan, kelopak mata yang tampak lemah itu berkedip pelan. Ingin membuka mata, tetapi silau mentari begitu menusuk. Kembali dia menutup mata erat. Tangannya terasa menyentuh sebuah permukaan berbulu lebat. Sebuah rambut. Diusapnya rambut tersebut dengan pelan. Aksinya tersebut malah mengganggu tidur si empu rambut. Abimanyu menggeliat, dan gesekan kepalanya pada samping perut sang ibu, membuat si empu perut melenguh. Melotot langsung kedua bola mata itu."Mah?" Abimanyu bangkit berdiri, memanggil ayahnya yang tidur di samping sofa di belakangnya."Tangan Mama gerak lagi." Hati Abimanyu berdesir hangat. Sangat bahagia melihat wajah ibunya yang terus menunjukkan respon aktif."Nona?" Affandi mengusap pipi Binar, tampak berkaca-kaca mata petugas medis itu melihat bibir Binar yang bergerak-gerak."A--bi ..., bagai-mana kead---"
Dua sejoli yang saling membulat matanya itu sama-sama menatap tanpa berkedip. Abimanyu masih tetap menahan pinggang Chelsi, sedangkan gadis itu meringis ketakutan dengan debaran jantung yang menggila mendengar suara panggilan di luar pintu. Itu suara Syeira. Bagaimana jika ibunya Angkasa tersebut melihat dirinya dan Abimanyu dalam satu kamar, dipeluk sang pria pula."Pak, saya mohon, lepaskan saya," cicit gadis itu menatap wajah Abimanyu di samping kiri kepalanya."Kenapa, hmm?" Abimanyu malah mendekatkan wajahnya di bahu Chelsi, membuat debaran jantung gadis itu kian jadi. Serasa hampir meledak saja jantungnya."Chelsi, kamu masih di dalam 'kan?" Syeira kembali mengetuk pintu."Pak, saya mohon." Chelsi meringis, menjauhkan wajahnya dari rahang Abimanyu yang kasar karena bulu-bulu tipis yang memenuhi pipinya."Aku mau mele
Melihat Abimanyu yang bergerak mendekat setelah menutup pintu, Chelsi menatap waspada. Terlebih dirinya yang hanya mengenakan handuk, tumpahan air minum tadi lumayan membuat gaunnya basah parah. Syeira menyarankan agar Chelsi mengganti pakaian basah tersebut dengan gaunnya."Pak, keluar dari sini!" Chelsi gegas menarik selimut menutupi tubuhnya.Abimanyu terus mengayunkan langkah dengan tatapan yang tak bisa diartikan. Chelsi mundur perlahan dengan tatapan yang tak terlepas dari mata elang itu. Abimanyu terus mendekat, mengikis jarak, terus, dan terus. Sampai membuat gadis yang membalut tubuhnya dengan selimut itu terpojok di dinding.Chelsi kelabakan. Mengerjap beberapa saat, dan menoleh ke belakang. Lalu kembali mendongak, menatap mata elang itu yang berada tepat di depan keningnya. Dia hendak kabur, tetapi Abimanyu sigap menekan dinding sebelah kiri gadis itu. Chelsi henda