Semua Bab Istri Tanpa Nafkah (Batin): Bab 91 - Bab 100

125 Bab

Bab 91: Tes DNA Zaki

"Oke, kita udah sampai!"Zaki menatap ke sekeliling dari pintu kaca mobil di sebelah kirinya. Bocah itu terdiam. Mungkin bingung karena mereka tidak sampai di mall seperti yang Aditya janjikan."Mana mall nya?" katanya setelah beberapa saat kemudian, "Jaki maunya ke mall, bukan rumah sakit. Jaki kan ga sakit.""Kita mau ke rumah sakit dulu, sebentar," Aditya menanggapi."Ngga mau, Jaki kan maunya ke mall mau beli jajan sama mainan.""Temenin Om periksa dulu ke dokter. Janji sebentar aja." Zaki menggelengkan kepalanya cepat. "Nggak mau. Jaki mau telepon ibu aja sekarang!"Baru sebentar saja, Aditya sudah mulai kewalahan menghadapinya. Pria itu menggaruk kepala. Dia juga sama-sama bingung, bagaimana cara membujuknya agar anak ini tak sampai menangis."Di dalam juga ada banyak mainan, ada Playground nya juga kalau Jek mau main.""Ngga mau, main di rumah sakit ngga seru." Zaki menekuk wajah. Keantusiasan nya hilang seketika. "Sebentar aja, kok, Jek. Nggak sampai lima menit udah selesai.
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-07-05
Baca selengkapnya

Bab 92: Dasar Selir!

“Bu? Selamat siang,” Nabila menyapa setelah beberapa detik keduanya saling bersitatap. Nabila dengan kebingungannya sendiri, mungkin wanita itu juga sama-sama bingungnya dan bertanya-tanya. Ada apa gerangan? Kenapa dirinya bisa keluar dari ruangan Aditya? Meskipun bisa saja dia masuk karena adanya sebuah kepentingan. Ya iyalah, Nabila selain kekasih pria itu—begitulah jelasnya—dia statusnya di kantor ini juga masih seorang budak alias pekerja kan?“Selamat siang juga, Nabila,” jawab Siwi nampak jelas memaksakan senyum. Feeling Nabila terlalu kuat untuk mengetahui jika ada sesuatu yang ingin Siwi katakan melaluinya tatapan matanya yang dalam. Tapi, suatu hal yang lain juga menahannya.Apa ini tentang hubungannya dengan Aditya? Nabila mengira seperti itu. Tapi setelah dipikir-pikir ya, sudahlah. Bagus malah seandainya dia sudah tahu lebih dulu tanpa Aditya mengikrarkannya. Kekasihnya itu jadi tak perlu repot-repot atau risau memikirkan bagaimana cara menyampaikannya agar dia tak samp
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-07-06
Baca selengkapnya

Bab 93: Tuduhan Tanpa Bukti?

“Duduk, Wi.“ Tiwi baru duduk setelah Aditya mempersilahkan. “Thank you, Dit.” “Sengaja dari rumah atau nggak sengaja mampir karena kebetulan lewat?” “Iya, aku udah di rumah. Sengaja, emang ada perlu sama kamu,” katanya. “Sepenting itu sampai kamu bela-belain terbang dari luar negeri?” tanpa menunggu jawaban Tiwi selanjutnya, Aditya menawarkan ia minum lebih dulu, “oh, iya. Kamu mau minum apa, Wi?” “Nggak usah repot-repot, Dit.” “Eh, jangan gitu. Ini udah kewajiban tuan rumah buat menjamu tamunya. Sebentar, ya.” Terkadang, sikap Aditya yang terlalu welcome seperti ini membuat hampir setiap perempuan yang ditanggapinya salah persepsi. Hingga mengira pria ini tertarik padanya. Salah satunya wanita di depannya sekarang ini—yang dianggapnya sebagai sebuah tanda penerimaan. Padahal memang sudah pembawaannya demikian. Anehnya Siwi tak hafal-hafal sifat mantan suaminya. “Kalau bisa jangan yang panas. Aku bisa duduk lebih lama buat nunggu sampai minumnya dingin.” “Es cap
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-07-07
Baca selengkapnya

Bab 94: Zaki Anak Kandungnya

Aditya tak langsung mengembalikan Zaki kepada ibunya lantaran tahu, wanita itu juga sedang sibuk sendiri di ruang shooting untuk launching produk terbarunya. Dan berhubung Zaki masih mengantuk, jadi Aditya menemaninya menonton televisi, sampai kemudian anak ini kembali tertidur. Namun tidak di kamar seperti tadi, melainkan di sofa dekat meja kerjanya. Pria itu tak berusaha memindahkannya ke kamar. Khawatir, Zaki kembali terbangun seperti tadi. Nabila: Mas, Zaki anteng, kan? Sebuah pesan tak lama Aditya terima. Aditya terlebih dahulu memperbaiki duduknya, menyesap kopinya, baru membalas pesannya kemudian. Aditya: anteng. Tadi sempat bangun sebentar, tapi sekarang udah tidur lagi. Nabila: oh iya. Dia emang suka gitu kalau tidur di tempat yang belum dia kenal. Mungkin belum nyaman. Aditya: ya. Nabila: makasih ya, Mas. Maaf lagi-lagi merepotkan. Makanya lain kali jangan minta Zaki datang ke sini. Jadinya gini kan, hehe. Ribet. Aditya: nggak papa, sekalian belajar jadi ayah dia jug
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-07-08
Baca selengkapnya

Bab 95: Jangan Bilang Kalau Kamu Habis....

“Terbukti dari beberapa serangkaian tes, genetik kalian memiliki 99,99 persen kecocokan,” lanjut dokter forensik. “Apa hasil tes DNA akurat?” Aditya bertanya untuk mengantisipasi segala kemungkinan. “Besar sekali pertanggungjawaban kami untuk melakukan tes DNA ini, Pak Aditya. Makanya nggak semua rumah sakit atau laboratorium bisa melakukan tes DNA seperti ini. Jadi, misal pun ditemukan adanya kesalahan, itu sangat kecil. Kecil sekali. Mungkin hanya 0, 01%,” jelas sang dokter menekankan mampir setiap kalimatnya. “Seandainya dok, ini seandainya. Suatu saat nanti saya perlu melakukan tes kedua karena suatu hal dan sebagainya, apakah itu bisa dilakukan?” “Bisa, mau mau sekali, dua kali atau tiga sekalipun kami bersedia,” jawab sang dokter forensik tersebut dengan tegas, “tapi, ada tapinya. Kalau Anda ingin meminta tes DNA yang kedua, berarti Anda harus bisa membuktikan bahwa tes DNA yang pertama itu tidak benar. Ada sogokan kah, atau salah seorang oknum yang tidak bertanggung jawab ka
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-07-08
Baca selengkapnya

Bab 96: Dia Cucumu

“Ami memang mengharap cucu darimu, tapi tidak seperti ini caranya, anakku!“ tak hanya air mukanya yang berubah, nada Ami juga sudah berbeda. “Ami, Ami, tenanglah. Ini nggak seburuk yang Ami pikirkan. Please dengerin aku dulu, Ami. Anakmu ini kecelakaan.” Aditya terus berusaha menenangkan dan meyakinkan sang ibunda. “Nggak ada kecelakaan yang dilakukan dalam keadaan sadar, Anakku.” Ia tetap tak percaya. Anaknya ini dia akui pintar dan cerdik, tapi sangat nakal, begitu yang Ami tahu. “Tidak, Ami. Ini murni sebuah kecelakaan. Please Ami, bisa tenang dan dengerin aku dulu?” Aditya menggenggam kedua tangan ibunya, lalu membawanya ke tempat duduk yang memang sengaja disediakan untuk taman kecil ini. Barulah setelah keduanya duduk dan ibunya berangsur-angsur tenang, Aditya kembali melanjutkan perkataannya, “Ami udah tenang?” Ami tak menjawab pertanyaan Aditya, ia justru menanyakan hal lain, “Anak gadis mana yang kamu rusak kehormatannya, Anakku? Jangan buat Ami malu, jangan buat image mu
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-07-09
Baca selengkapnya

Bab 97: Lato-latonya Ke Mana-mana

Sekitar empat tahun yang lalu, di malam itu Siwi sangat hancur setelah mengetahui bahwa Aditya ternyata baru saja menodai seorang gadis. Di depan mata kepalanya sendiri—secara langsung. Meskipun Aditya melakukannya dalam keadaan tanpa sadar, tetap saja demikian sangat melukai lubuk hatinya yang terdalam. Jadi jika paginya Siwi mendapatkan mata yang sembab, itu bukan karena dirinya sedang akting. Siwi memang sungguhan menangis karena sama-sama merasakan kehancuran. Akibat seseorang yang bahkan sama sekali tak mereka kenal. Apabila Aditya bertanya-tanya, mengapa pintu kamar penginapannya sedikit terbuka ketika dia masuk, tentu saja itu karena ulahnya. Siwi baru saja ke sana atas bantuan bellboy. Sebab niatnya, dia ingin memberikan Aditya kejutan kalau dirinya datang menyusul. Dia sudah biasa seperti ini karena persahabatan keduanya yang sangat dekat, dari mereka kecil. Selain itu ya, karena rasa cintanya terhadap Aditya. Sayang, hanya dia sendiri yang merasakannya, sementara Adit
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-07-09
Baca selengkapnya

Bab 98: Aaaa! Apa Katanya???

“Kok, omnya datang ke sini pagi-pagi? Emang boleh?” tanya Zaki. “Emang boleh, emang boleh ... pakai baju dulu baru nanya!” balas Nabila diuji kesabarannya karena anak itu justru terus menghindarinya acap kali dia mendekat untuk memakaikan pamper. “Ayo pakai celananya, Nak. Zaki anak ibu sayanggg....” huh, gregret gigi ini saat Nabila mengucapkannya. Ingin dia mengamuk, tapi ada orang lain yang mengawasinya saat ini. Nabila juga yakin Aditya tidak akan suka dengan cara kasarnya mengurus anak, seperti tegurannya beberapa waktu lalu di kantor saat mendapatinya memukul Zaki. Bisa-bisa pria itu ilfeel atau bahkan kembali berpikir, akan berlanjut atau tidak dia dengannya. Sementara sikapnya pada satu anak saja sudah dinilai jauh dari kata positif. “Ko ngga ada gantengnya, Bu?” Aditya jadi tertawa mendengarnya. Sementara Nabila merotasikan bola matanya. Siapa yang mengajari anaknya jadi narsis begini coba? “Kok bisa sampai kabur, Bil?” tanya Mama Dina yang saat itu melintas membawa
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-07-10
Baca selengkapnya

Bab 99: Kesan Pertama Ketemu Camer

Di perjalanan menuju ke rumah orang tua Aditya“Besok-besok jangan diulangi lagi, ya, Mas. Kalau mau dateng ke sini minimal chat dulu, lah. Apalagi sampai mau ngajak aku ke rumah orang tuanya Mas. Kan zaman udah canggih sekarang, mestinya nggak susah kalau cuma sekedar kirim pesan.”“Iya Sayang, maaf ya. Mas pikir ini kan hari weekend, kamu nggak akan kemana-mana.”“Justru karena weekend, bisa aja aku pergi kan hari ini, liburan ke mana gitu.”“Emangnya mau ke mana pagi-pagi begini? Mall masih tutup,” Aditya tak kurang jawaban. “Bisa jadi jalan pagi atau olahraga ke mana.”“Nggak susah nyari kalian di hari Sabtu atau Minggu, paling ada di Bukit Golf.”“Kok, Mas tahu kalau hampir tiap weekend kami ke sana?”“Anak kita yang bilang.”Nabila merasa agak aneh saat Aditya mengakui bahwa Zaki adalah 'anak kita'. Tapi beberapa saat kemudian dia memahami, bahwa Zaki memang calon anaknya juga. Jadi Nabila menahan dirinya untuk tidak memprotes perkataan Aditya yang mungkin bisa melukai perasaa
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-07-10
Baca selengkapnya

Bab 100: Kesayangan!

“Ini jagoannya?” tanya Ami Safira dan Nabila mengangguk. “Iya Tante.” Berusaha menampilkan senyumnya sebaik mungkin. “Ganteng sekali, berapa tahun usianya?” beliau berbasa-basi, sembari mengusap pelan kepala Zaki yang masih ada di dalam dekapan Aditya. “Tiga bulan lagi dia ulang tahun yang ke-4 Tante.” “Wahh...” memang tak ada kalimat pujian yang terdengar dari bibir wanita itu, namun dari kedua sorot matanya, beliau sangat tulus juga takjub melihat sang anak. “Mana si, Bibi? Udah selesai belum dia nyiapin kamarnya?” pandangan wanita itu tertuju ke lorong yang menuju ke tengah, di mana letak kamar tersebut sedang dipersiapkan. “Harusnya tadi di jalan Ditya telepon Ami. Supaya kami bisa siapkan kamarnya lebih awal. Jadi begitu sampai, kalian bisa langsung tidurin dia di sana.” Yang diceramahi menjawab, “Nggak kepikir.” Untungnya Bibi tidak lama. Sebab tak sampai lima menit, asisten rumah tangga itu sudah kembali kepada mereka dan mengatakan bahwa kamar tersebut sudah digunaka
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-07-11
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
8910111213
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status