“Ami memang mengharap cucu darimu, tapi tidak seperti ini caranya, anakku!“ tak hanya air mukanya yang berubah, nada Ami juga sudah berbeda. “Ami, Ami, tenanglah. Ini nggak seburuk yang Ami pikirkan. Please dengerin aku dulu, Ami. Anakmu ini kecelakaan.” Aditya terus berusaha menenangkan dan meyakinkan sang ibunda. “Nggak ada kecelakaan yang dilakukan dalam keadaan sadar, Anakku.” Ia tetap tak percaya. Anaknya ini dia akui pintar dan cerdik, tapi sangat nakal, begitu yang Ami tahu. “Tidak, Ami. Ini murni sebuah kecelakaan. Please Ami, bisa tenang dan dengerin aku dulu?” Aditya menggenggam kedua tangan ibunya, lalu membawanya ke tempat duduk yang memang sengaja disediakan untuk taman kecil ini. Barulah setelah keduanya duduk dan ibunya berangsur-angsur tenang, Aditya kembali melanjutkan perkataannya, “Ami udah tenang?” Ami tak menjawab pertanyaan Aditya, ia justru menanyakan hal lain, “Anak gadis mana yang kamu rusak kehormatannya, Anakku? Jangan buat Ami malu, jangan buat image mu
Sekitar empat tahun yang lalu, di malam itu Siwi sangat hancur setelah mengetahui bahwa Aditya ternyata baru saja menodai seorang gadis. Di depan mata kepalanya sendiri—secara langsung. Meskipun Aditya melakukannya dalam keadaan tanpa sadar, tetap saja demikian sangat melukai lubuk hatinya yang terdalam. Jadi jika paginya Siwi mendapatkan mata yang sembab, itu bukan karena dirinya sedang akting. Siwi memang sungguhan menangis karena sama-sama merasakan kehancuran. Akibat seseorang yang bahkan sama sekali tak mereka kenal. Apabila Aditya bertanya-tanya, mengapa pintu kamar penginapannya sedikit terbuka ketika dia masuk, tentu saja itu karena ulahnya. Siwi baru saja ke sana atas bantuan bellboy. Sebab niatnya, dia ingin memberikan Aditya kejutan kalau dirinya datang menyusul. Dia sudah biasa seperti ini karena persahabatan keduanya yang sangat dekat, dari mereka kecil. Selain itu ya, karena rasa cintanya terhadap Aditya. Sayang, hanya dia sendiri yang merasakannya, sementara Adit
“Kok, omnya datang ke sini pagi-pagi? Emang boleh?” tanya Zaki. “Emang boleh, emang boleh ... pakai baju dulu baru nanya!” balas Nabila diuji kesabarannya karena anak itu justru terus menghindarinya acap kali dia mendekat untuk memakaikan pamper. “Ayo pakai celananya, Nak. Zaki anak ibu sayanggg....” huh, gregret gigi ini saat Nabila mengucapkannya. Ingin dia mengamuk, tapi ada orang lain yang mengawasinya saat ini. Nabila juga yakin Aditya tidak akan suka dengan cara kasarnya mengurus anak, seperti tegurannya beberapa waktu lalu di kantor saat mendapatinya memukul Zaki. Bisa-bisa pria itu ilfeel atau bahkan kembali berpikir, akan berlanjut atau tidak dia dengannya. Sementara sikapnya pada satu anak saja sudah dinilai jauh dari kata positif. “Ko ngga ada gantengnya, Bu?” Aditya jadi tertawa mendengarnya. Sementara Nabila merotasikan bola matanya. Siapa yang mengajari anaknya jadi narsis begini coba? “Kok bisa sampai kabur, Bil?” tanya Mama Dina yang saat itu melintas membawa
Di perjalanan menuju ke rumah orang tua Aditya“Besok-besok jangan diulangi lagi, ya, Mas. Kalau mau dateng ke sini minimal chat dulu, lah. Apalagi sampai mau ngajak aku ke rumah orang tuanya Mas. Kan zaman udah canggih sekarang, mestinya nggak susah kalau cuma sekedar kirim pesan.”“Iya Sayang, maaf ya. Mas pikir ini kan hari weekend, kamu nggak akan kemana-mana.”“Justru karena weekend, bisa aja aku pergi kan hari ini, liburan ke mana gitu.”“Emangnya mau ke mana pagi-pagi begini? Mall masih tutup,” Aditya tak kurang jawaban. “Bisa jadi jalan pagi atau olahraga ke mana.”“Nggak susah nyari kalian di hari Sabtu atau Minggu, paling ada di Bukit Golf.”“Kok, Mas tahu kalau hampir tiap weekend kami ke sana?”“Anak kita yang bilang.”Nabila merasa agak aneh saat Aditya mengakui bahwa Zaki adalah 'anak kita'. Tapi beberapa saat kemudian dia memahami, bahwa Zaki memang calon anaknya juga. Jadi Nabila menahan dirinya untuk tidak memprotes perkataan Aditya yang mungkin bisa melukai perasaa
“Ini jagoannya?” tanya Ami Safira dan Nabila mengangguk. “Iya Tante.” Berusaha menampilkan senyumnya sebaik mungkin. “Ganteng sekali, berapa tahun usianya?” beliau berbasa-basi, sembari mengusap pelan kepala Zaki yang masih ada di dalam dekapan Aditya. “Tiga bulan lagi dia ulang tahun yang ke-4 Tante.” “Wahh...” memang tak ada kalimat pujian yang terdengar dari bibir wanita itu, namun dari kedua sorot matanya, beliau sangat tulus juga takjub melihat sang anak. “Mana si, Bibi? Udah selesai belum dia nyiapin kamarnya?” pandangan wanita itu tertuju ke lorong yang menuju ke tengah, di mana letak kamar tersebut sedang dipersiapkan. “Harusnya tadi di jalan Ditya telepon Ami. Supaya kami bisa siapkan kamarnya lebih awal. Jadi begitu sampai, kalian bisa langsung tidurin dia di sana.” Yang diceramahi menjawab, “Nggak kepikir.” Untungnya Bibi tidak lama. Sebab tak sampai lima menit, asisten rumah tangga itu sudah kembali kepada mereka dan mengatakan bahwa kamar tersebut sudah digunaka
“Itu ada pesawat, Nainai!” tunjuk Zaki ke atas langit, di mana suara itu terdengar. “Duh, Nainai udah nggak bisa ngeliat, Sayang. Mata Nainai sudah rabun,” kekeh Ami Safira. “Nainai harus perliksa ke dokter,” katanya dengan ekspresi polosnya namun terlihat lucu. Ami Safira tersenyum. Lalu mengusap kepala bocah itu. “Udah nggak bisa. Karena Nainai emang udah tua.” “Kayak Oma?” “Iya, betul sekali.” “Omanya Zaki juga halrus pakai kaca mata kalau baca buku,” dia bercerita, benar-benar anak yang sangat menyenangkan. Karena di usianya yang belum empat tahun ini, dia sudah mengetahui banyak hal dan sudah memiliki banyak kosakata. “Keren anakmu, Nak. Dia sangat cerdas,” katanya saat sang anak datang menghampiri, tentunya saat tak ada Nabila tak bersama mereka. Karena Nabila sedang berada di toilet. “Iyalah, siapa dulu ibunya. Kepintaran itu menurun dari ibunya.” “Lagi bangga hati ceritanya?” “Harus, Mi. Karena aku yakin, kali ini aku nggak akan salah pilih lagi.” “Ami harap kalian
“Di rumahnya Nana itu bagus Oma, ada kolam renangnya, ada aquarium yang juga yang banyak ikan, trus trus ada patungnya juga yang besar-beeesaaaarr kaya di film Ultramen!” tutur Zaki menggebu-gebu, menceritakan pengalamannya main ke rumah Ami Safira. “Semangat banget ini, Bil, ceritanya. Sampai monyong monyong begini.” Mama Dina terkekeh. “Tapi ditinggalin nggak mau tuh, Ma. Pokoknya harus sama ibu,” Nabila menanggapi. “Nanti Zaki ngga bisa jajan,” katanya. “Jajan aja yang dipikirin, pantesan perutnya makin gembul,” omel Nabila membuat Zaki menghentakkan kakinya ke lantai. “Heeuuhh!” Anak itu pergi menyusul opanya. Mengganggu lelaki itu yang tengah sibuk memilah-memilih alat di online shop untuk kebutuhan bengkel mobilnya. “Orangnya masih muda ya, Bil, Aminya Mas Aditya ini?” tanya Mama Dina sangat ingin tahu seberapa keren calon besannya tersebut. “Enggak juga, sih. Malah lebih tua beliau kayaknya daripada mama. Orang jalannya aja udah nggak terlalu gesit lagi," jelas Nabila, "
“Yeayyy, Om sama Nainai datang, Bu! Om datang!” seru Zaki menunjuk ke arah luar, kala ia sedang bermain di ruang tamu, lalu mendapati mereka turun dari mobilnya yang berhenti di halaman rumah. Pun tak hanya berdua, melainkan bersama beberapa orang lainnya yang sepertinya, saudara atau kerabat dekat Aditya. “Iya, Sayang iya.” Nabila tersenyum dan mencium putranya. “Kok, Om sama Nainai ke rumah kita sih, Bu? Mau main sama Jaki, ya?” tanya dia. “Kan kemarin kita udah ke sana, jadi sekarang gantian Nainai sama Om yang ke sini,” jawab Nabila tak bisa menjelaskan hal lain lagi—yang tak mungkin Zaki mengerti tentang urusan orang dewasa. “Yeayy, Zaki mau sama Nainai, ah!” tanpa menunggu persetujuan sang ibu, Zaki langsung berlari ke depan untuk menyambut orang-orang yang dianggapnya spesial tersebut. Nabila tersenyum bangga. Ia menatap sahabatnya Dara—yang sudah berperan sangat banyak untuk membantu dirinya. Mempersiapkan segala sesuatunya selama dua hari ini. Terutama untuk mendek
“Udah ah, Mas. Capek.”Aditya menghentikan langkahnya ketika mendengar Nabila mengeluh. Ditatap nya sang istri yang kini sudah terdengar ngos-ngosan, sedang satu tangannya mengusap perut besarnya. Sembilan bulan usia kandungannya membuat dia menjadi semakin malas-malasan. Hobinya rebahan dan makan-makan camilan. “Baru juga jalan lima menit, Sayang. Kan kata dokter kamu harus lebih banyak jalan biar peredaran darahmu lancar. Kalau kamu mageran baby nggak akan turun-turun panggul kan?”“Aku nggak males, Mas. Tapi emang udah capek aja. Capek banget. Pengen minum, tapi yang manis-manis.”“BB-nya adek itu udah agak berlebih. Tadi pagi kan Bila sebelum sarapan udah minum teh manis. Masa sekarang mau minum yang manis-manis lagi?”“Ini anak kamu yang pengen loh, Mas. Jahat banget sumpah kalau nggak dibolehin.” Nabila langsung ngambek. Astaga... capek sekali loh, Aditya menjaga istrinya dari makanan-makanan yang manis. Ya, anak mereka berjenis kelamin perempuan. Pantas kalau masih di dalam
Harusnya sih, harusnya. Setiap kali ada karyawan lama yang akan resign, mereka pasti akan mengadakan acara kumpul-kumpul untuk perpisahan. Ya mungkin sekedar untuk makan-makan traktiran, spesial dan terakhir dari orang yang akan resign itu.Tapi karena posisinya berbeda--lebih tepatnya Nabila bukan seorang karyawan yang sederhana nya, disukai oleh banyak orang meskipun dia berprestasi, jadi yang ditraktir makan siang hanya satu orang, yakni Risa.Gadis itu sangat senang setelah mengetahui bahwa ia akan ditraktir sepuasnya. Bahkan diperbolehkan membawa makanannya pulang untuk keluarga di rumah. Nabila bilang, ini spesial untuknya karena hanya dirinya satu-satunya orang yang mendapatkan hadiah tersebut. Dari uang pesangonnya yang masih banyak. “Bukan cuman uang pesangon, Bil. Tapi uang bulananmu dari Pak Bos juga pasti nilainya nggak kecil kan?”“Ya, alhamdulillah...”“Berapa kamu dikasih sama suamimu, Bil? Kasih aku bocoran tipis-tipis lah, aku beneran pengen tahu.”“Dia nggak kasih
Ok, satu persatu persoalan Nabila sudah selesai. Siapa ayah kandung Zaki, bagaimana dulu itu bisa terjadi dan ke mana para pelaku dihukum saat ini, semua sudah dibereskan. “Kecuali satu, Bil. Ya, cuma tinggal satu aja, beresin anggota tim kamu yang rese itu.” “Kayaknya kalau itu nggak usah deh, Mas. Toh, aku juga yang salah karena aku dah wara-wiri nggak masuk kerja. Lagian kalau mereka tau aku udah nikah mereka nggak bakalan ngomong gitu.” “Kamu boleh bilang nggak papa, tapi sebagai suamimu aku nggak suka istri kesayanganku digituin. Tetep aja mereka bakalan kukasih sanksi nanti.” Aditya sama sekali tak goyah dengan ketidak tegaan Nabila. “Kan aku juga udah mau keluar sih, Mas. Besok terakhir.” “Kelakuan mereka pasti nggak akan jauh beda ke anak baru nantinya.” “Belum tentu," sahut Nabila segera, “udahlah, Mas. Aku yakin mereka cuma lagi capek aja kemarin. Sebelumnya nggak pernah, kok. Soalnya aku cuti terus, jadi ya wajarlah kalau mereka marah.” “Biar itu jadi urusanku, Bil.
Karena kabarnya Zaki dan Mama Dina ada di rumah Ami Safira, jadi Nabila dan Aditya langsung menuju ke sana. Namun tepat mereka sampai di sana, bukan hanya Mama Dina dan Zaki yang mereka dapati, tapi juga Papa Rudi. “Loh, kok, Papa ada di sini juga?” Nabila tak bisa menahan diri untuk bertanya. “Iya kebetulan Papa ada urusan sama beliau.” Lelaki itu mengerahkan pandangannya pada Ami Safira. “O-oohh?” dari nada suaranya, Nabila terdengar bingung. Anak itu sebenarnya sangat penasaran, ingin bertanya ada apakah gerangan urusan yang dimaksud oleh Papanya. Sebab sebelumnya mereka tidak saling mengenal, baru kenal pertama kali setelah Ami Safira datang ke rumah. Nabila takut Papanya sedang bertindak jauh tanpa persetujuannya lebih dulu--yang pada akhirnya akan merugikannya sebagai seorang menantu. Tapi kemudian buru-buru Nabila menepis pikirannya yang buruk itu. Tidak mungkin lelaki yang selalu memiliki perencanaan sangat matang tersebut, melakukan tindakan memalukan di bawah ha
“Hayooo, abis ngapain baru dateng langsung cuci tangan?” Sebuah suara dari belakang mengejutkan Nabila yang tengah menyabuni tangannya di depan wastafel.Bukan, bukan karena dia kagetan. Tapi karena pemilik suara itulah yang membuat dia terkejut sekaligus senang setengah mati. Karena salah satu bestie nya sudah kembali ke kantor lagi. Hingga dia bisa berbagi cerita dan bersenda gurau bersamanya. “Oh my God, Risaaa!” langsung saja Nabila memeluknya yang di balas dengan putaran bola mata. “Iyuhh, apaan sih? Lebay amat punya teman. Baru ditinggal sehari aja langsung gila. Awas ah, risih gue dah kaya lesbong aja kita,” ujarnya. Namun bukan teman namanya kalau langsung tersinggung. Perkataan-perkataan nyelekit itu sudah biasa keluar dari mulut Risa. Makanya Nabila sudah tidak pernah kaget lagi jika Risa mencibirnya ratusan kali pun. “Kamu kali yang gila. Lagian dipeluk temen bukannya seneng. Itu artinya kamu dikangenin.”“Males dikangenin sama kamu! Mending dikangenin sugar daddy.”“
“Kita nanti main, yuk!”“Mau main ke mana?”“Jaki mau berenang di rumahnya Nainai.”“Boleh ... kapan?” agar Aditya bisa menanggapi secara penuh permintaan Zaki barusan, ia menjauhkan benda yang sedari tadi menjadi fokusnya ke meja, yakni si setan gepeng. “Besok yah?” kedua bola mata Zaki berbinar penuh pengharapan. “Tapi besok Papa sama Ibu kerja, Nak. Gapapa ya, kalau berenangnya cuma ditemenin sama Nainai?”“Hu'um.” Zaki kemudian naik ke atas pangkuan Aditya untuk berbisik, “Boleh tonton spidermen ga, tapi yang anak gede.”Mungkin yang Zaki maksud adalah Spiderman yang versi orang dewasa, bukan kartun. Tapi yang Aditya tahu, Nabila belum membolehkannya karena Zaki belum cukup umur untuk menyaksikan. “Ngga boleh, Nak. Yang gede buat anak gede, kalau anak kecil bolehnya nonton kartun.”“Dikit aja, Om ... eh, Pa?”Berdebar hati Aditya begitu Zaki memanggilnya dengan sebutan Papa. Ini pertama kalinya meskipun Zaki tampak ragu-ragu saat mengucapkannya. “Apa tadi manggilnya? Coba Pa
“Dari mana, Bil? Papa sama Mas Ditya pergi, kamu juga,” tanya Mama Dina ketika Nabila baru saja tiba di rumah. “Iya, ada keperluan bentar,” jawab Nabila, “si bocil nggak bangun kan?”“Nggak kedengaran nangis sih.” Mama Dina mematikan kompornya dan memberikan kuah sup daging buatannya pada Nabila untuk anak itu cicipi. “Gimana rasanya? Udah pas? Udah enak? Kurang apa?”“Kurang banyak, Ma. Kurang kalau sesendok doang.”Mama Dina terkekeh. Sebab jawaban itu menandakan bahwa masakannya telah berhasil. “Ya udah kalau Bila mau ya ambil aja. Nggak usah nunggu nanti. Nanti bayimu malah kelaperan.”“Mama sama Ami nih, sama aja. Sama-sama ngebet aku buruan punya bayi. Baru juga seminggu kita nikah.”“Namanya juga orang tua. Nggak sabar liat anak-anaknya bahagia.”“Iya, tapi nggak mau diburu-buruin juga, Ma. Aku juga tadinya pengen cepet, tapi belakangan setelah liat postingan temen yang ngeluh berapa repotnya ngurus baby born, aku baru nyadar kalau punya anak bayi tuh capek. Padahal dulu perju
“Kamu tahu kenapa Papa ngajak kamu ke sini?” tanya papa Rudi tegas. Sekarang keduanya sudah berada di bengkel, tepatnya di ruangan khusus biasa Papa Rudi mengurus segala rekapitulasi dan evaluasi bengkelnya. Mereka duduk berhadapan, dengan Aditya yang kini menunduk dalam menanti semua rahasia besarnya akan terungkap. Dalam hati ia tersadar, betapa nikmat hidupnya sehari-hari yang selalu bisa bernapas lega, tapi ia tak pernah mensyukurinya. Giliran sudah diberi pelajaran ini saja, dia baru mengaku membutuhkannya dan meminta agar nikmat itu kembali. “Karena Zaki?” jawab Aditya langsung saja. Hingga tak lama Pak Rudi mengangguk, mengiyakan dugaannya. Sudah tak ada lagi pilihan untuk Aditya selain berterus terang. Memangnya kapan lagi dia bisa mendapatkan momen yang pas? “Maaf, Pa, mungkin ini terdengar sangat mengejutkan. Karena orang yang selama ini papa cari-cari, ternyata malah ada di depan mata dan jadi menantu Papa sendiri.” “Papa kecewa sama kamu!” Namun kendatipun b
Nabila tiba di rumah ketika mendapati Zaki tengah menangis sangat kencang sampai tak bisa terlolong oleh Mama Dina.Ah, kasihan sebenarnya wanita tua itu. Pasti puyeng sekali mengurusi anaknya yang belakangan gampang banget tantruman ini. Bocah itu mengatakan ingin ikut berenang temannya--anak tetangga sebelah. Tapi mamanya tak mengizinkan karena beliau merasa harus meminta izin pada Nabila. “Lagian harus banget sekarang ya, Nak? Kan bisa besok. Ini udah sore, bentar lagi juga magrib. Emangnya nggak takut sama hantu penunggu kolam itu?”“Nggak! Jaki ngga mau ada hantunya!” teriaknya membalas bujukan sang ibunda. “Ya udah, makanya besok aja renangnya.”“Huwaaaaa! Maunya Jaki sekaraaaanggg! Tapi ngga mau yang ada hantunyaaa!" serunya dengan lebih keras. Nabila jadi berang. “Heh, nggak usah teriak-teriak bisa kan?""Biarin?! Ibu jahat?! Jaki ngga suka sama ibuu?!" Brakk!Sebuah mainan terlempar dari tangannya. "Ibu heran ya sama Zaki yang sekarang. Nyebelin kelakuannya yang apa-apa