“Di rumahnya Nana itu bagus Oma, ada kolam renangnya, ada aquarium yang juga yang banyak ikan, trus trus ada patungnya juga yang besar-beeesaaaarr kaya di film Ultramen!” tutur Zaki menggebu-gebu, menceritakan pengalamannya main ke rumah Ami Safira. “Semangat banget ini, Bil, ceritanya. Sampai monyong monyong begini.” Mama Dina terkekeh. “Tapi ditinggalin nggak mau tuh, Ma. Pokoknya harus sama ibu,” Nabila menanggapi. “Nanti Zaki ngga bisa jajan,” katanya. “Jajan aja yang dipikirin, pantesan perutnya makin gembul,” omel Nabila membuat Zaki menghentakkan kakinya ke lantai. “Heeuuhh!” Anak itu pergi menyusul opanya. Mengganggu lelaki itu yang tengah sibuk memilah-memilih alat di online shop untuk kebutuhan bengkel mobilnya. “Orangnya masih muda ya, Bil, Aminya Mas Aditya ini?” tanya Mama Dina sangat ingin tahu seberapa keren calon besannya tersebut. “Enggak juga, sih. Malah lebih tua beliau kayaknya daripada mama. Orang jalannya aja udah nggak terlalu gesit lagi," jelas Nabila, "
“Yeayyy, Om sama Nainai datang, Bu! Om datang!” seru Zaki menunjuk ke arah luar, kala ia sedang bermain di ruang tamu, lalu mendapati mereka turun dari mobilnya yang berhenti di halaman rumah. Pun tak hanya berdua, melainkan bersama beberapa orang lainnya yang sepertinya, saudara atau kerabat dekat Aditya. “Iya, Sayang iya.” Nabila tersenyum dan mencium putranya. “Kok, Om sama Nainai ke rumah kita sih, Bu? Mau main sama Jaki, ya?” tanya dia. “Kan kemarin kita udah ke sana, jadi sekarang gantian Nainai sama Om yang ke sini,” jawab Nabila tak bisa menjelaskan hal lain lagi—yang tak mungkin Zaki mengerti tentang urusan orang dewasa. “Yeayy, Zaki mau sama Nainai, ah!” tanpa menunggu persetujuan sang ibu, Zaki langsung berlari ke depan untuk menyambut orang-orang yang dianggapnya spesial tersebut. Nabila tersenyum bangga. Ia menatap sahabatnya Dara—yang sudah berperan sangat banyak untuk membantu dirinya. Mempersiapkan segala sesuatunya selama dua hari ini. Terutama untuk mendek
“Begini, Mas Adit, Bu Safira. Kalau untuk yang satu itu saya serahkan sepenuhnya kepada anak saya, Nabila. Karena sebagai orang tua ... saya hanya bisa mendukung apa yang menjadi keputusannya, selama menurutnya itu baik. Toh, jikapun dilarang, mereka pasti akan punya caranya sendiri. Mereka sudah sama sama dewasa.” Semua orang yang ada di sana mengangguk paham, karena ucapan Papa Rudy barusan sangat relevan dengan kenyataannya. “Tapi mas Aditya, Bu Safira, anak saya satu-satunya ini pernah mengalami kegagalan di pernikahannya yang sebelumnya. Jadi sebagai seorang ayah, saya sering menasehatinya untuk lebih berhati-hati dalam mencari pasangan. Sebab saya nggak mau kejadian yang sebelumnya kembali terulang. “Jadi sebelum kalian melangkah lebih jauh, alangkah baiknya kalau saya pastikan sekarang saja. Apa Mas Aditya sudah benar-benar yakin dengan anak saya?” “Iya, Om. Saya sangat serius. Kalau nggak serius, saya nggak mungkin berani membawa keluarga saya ke sini untuk meminta restu
Back to kantor. Nabila baru saja menutup laptopnya. Dia yang pada saat itu hendak melakukan ibadah empat rakaatnya, pasti selalu menuju ke toilet terlebih dahulu untuk bebersih dan pastinya, mengambil air wudu sekaligus. Hendaknya ketika melintas, harusnya ia langsung memasuki toilet tersebut. Tetapi rupanya Tuhan sedang menunjukkan sesuatu padanya, dari pembicaraan beberapa orang di dalam sana. Sehingga ia memilih bertahan di luar untuk mencuri dengar. Demi Tuhan, Nabila tidak akan peduli jika yang mereka sebut-sebut adalah nama orang lain. Ia sama sekali tak ada urusan dengan mereka. Tapi jika begini, maka jangan salahkan jika ia nantinya harus turun tangan. Andai kiranya mereka menjelek-jelekkan dirinya dengan sangat keterlaluan. Memang benar nama Nabila bukan hanya dirinya saja, tapi Nabila meyakini Nabila yang mereka maksud adalah dirinya. Kerena tidak ada lagi karyawati yang bernama Nabila di kantor ini yang sedang memiliki hubungan dengan Aditya. “Halahhh! Palinga
Dua minggu berlalu semenjak kejadian di kantor saat itu, tentang kabar-kabar miring mengenai hubungan Nabila dengan Aditya yang katanya, Nabila hanya akan dijadikan pelampiasan saja. Dan lagi-lagi mereka tidak tahu kalau kemarin Nabila sudah resmi bertunangan dengan Aditya. Hingga kini mereka sedang mencicil melakukan proses persiapan pernikahan. Mereka tidak terlalu ngeh dengan cincin berlian indah yang kini sudah tersemat di jari Nabila. Tapi bukan berarti Nabila sedang berusaha menyembunyikannya--sama sekali tidak. Sebab jika nanti memang ada orang yang benar-benar bertanya, sudah sampai di mana hubungan mereka, maka sudah pasti akan Nabila jawab dan takkan ia tolak kebenarannya. Tetapi ya sudahlah, begini saja juga tak masalah. Nabila tak haus pengakuan. Lagipula pasti akan berisik jika ia mendengar banyak orang bertanya-tanya. Biar saja mereka dengan asumsinya itu. “Emangnya kamu nggak mau konfirmasi apa gitu ke mereka?” tanya Risa yang sesungguhnya dia juga belum tahu,
Di depan cermin besar, Nabila sedang mencocokkan gaun pengantinnya. Cantik dan seksi, namun tetap sopan dan tertutup. Sebuah maxi dress dengan brokat di bagian dada dan punggungnya, menciptakan penampilan yang memikat dan elegan. Sementara detail pleats pada bagian rok belakang memberikan kesan menarik pada gaun yang berwarna putih tersebut. “Gimana, Mas? oke nggak?” Nabila meminta pendapat pada Aditya yang hanya bisa membeku, melihat betapa cantik calon istrinya.Tubuh wanita yang biasa dibungkus dengan outfit kantoran, sekarang dipakaikan gaun yang indah yang ternyata secantik itu, hingga tak mampu menyembunyikan keindahan sekaligus keanggunan yang ada di dalam diri sang calon istri. “Mas gimana? Kok malah bengong?”“Cantik, Bil, cantik banget. Mas sampai nggak bisa ngomong apa-apa.”Owner butik tersebut terkekeh. “Padahal ini belum make up loh, Mas. nanti kalau udah make up pasti jauh lebih pangling lagi.”“Iya kah? Bikin khilaf mata aja.”“Iya Mas, emang udah bener cepetan nik
Di Mall, Ami Safira membaca list belanjaannya, meneliti barang apa yang sekiranya belum mereka beli untuk hampers pernikahan. Mengapa ia meminta Nabila untuk memilih semuanya sendiri? Karena Ami tak ingin pemberiannya nanti malah tak sesuai dari segi ukuran atau model, lalu akan berakhir sia-sia. Jadi lebih baik seperti ini saja. Toh, ia yakini demikian tak akan mengurangi kesan spesial apapun. Barang-barang ini akan tetap terlihat istimewa setelah ditata di dalam kotak parsel. “Mukena, baju tidur, dalaman, make up, skincare, parfum, semuanya udah. Tinggal sandalnya yang belum. Biasanya bila pakai merek apa?”“Apa aja aku mah, Mi. Yang penting nyaman dipakai. Aku mah nggak kayak Mas Aditya yang apa harus bermerek,” jawab Nabila. Ami terkekeh. Padahal Aditya juga kurang lebihnya sama dengan Nabila. Anak itu juga tak terlalu peduli dengan yang namanya label atau merek. Apapun dipakainya yang penting nyaman dan dia suka modelnya. Yang membuat mereka berbeda adalah alasannya. Aditya
“Tadi aku ketemu Dewa di butik, Ma,” tutur Nabila tak lama setelah Aditya mengantarnya dan Zaki, lalu pulang bersama Aminya.“Nah, kebetulan banget kamu ngomong gini. Mama jadi ingat sesuatu.” Mama kini mengeluarkan selembar kertas undangan ke atas meja untuk ia tunjukkan pada Nabila. Di sana, tertulis jelas nama Dewa dan Fuja yang menjadi nama pengantinnya. “Nggak tau diri banget ya, mereka. Udah ketahuan selingkuh bukannya introspeksi diri malah buru-buru disahkan. Orang lain mah, biasanya malu gitu, trus menghilang beberapa lama dari peredaran sampai orang agak sedikit lupa sama kelakuan minusnya. "Ini mah enggak. Malah kayak nggak punya rasa bersalah sama sekali. Udah untung aku baik hati, nggak aku viralin. Coba kalau aku viralin, udah hancur sekalian dua-duanya.”“Bila ngomong kayak gini nggak lagi ngrasa cemburu kan?”“Hihh, amit-amit nyemburuin mereka. Cuma heran aja rasanya, apalagi sama Dewa. Katanya nggak cinta-nggak cinta sama Fuja, cintanya sama kamu tok. Tapi kenyataa
“Udah ah, Mas. Capek.”Aditya menghentikan langkahnya ketika mendengar Nabila mengeluh. Ditatap nya sang istri yang kini sudah terdengar ngos-ngosan, sedang satu tangannya mengusap perut besarnya. Sembilan bulan usia kandungannya membuat dia menjadi semakin malas-malasan. Hobinya rebahan dan makan-makan camilan. “Baru juga jalan lima menit, Sayang. Kan kata dokter kamu harus lebih banyak jalan biar peredaran darahmu lancar. Kalau kamu mageran baby nggak akan turun-turun panggul kan?”“Aku nggak males, Mas. Tapi emang udah capek aja. Capek banget. Pengen minum, tapi yang manis-manis.”“BB-nya adek itu udah agak berlebih. Tadi pagi kan Bila sebelum sarapan udah minum teh manis. Masa sekarang mau minum yang manis-manis lagi?”“Ini anak kamu yang pengen loh, Mas. Jahat banget sumpah kalau nggak dibolehin.” Nabila langsung ngambek. Astaga... capek sekali loh, Aditya menjaga istrinya dari makanan-makanan yang manis. Ya, anak mereka berjenis kelamin perempuan. Pantas kalau masih di dalam
Harusnya sih, harusnya. Setiap kali ada karyawan lama yang akan resign, mereka pasti akan mengadakan acara kumpul-kumpul untuk perpisahan. Ya mungkin sekedar untuk makan-makan traktiran, spesial dan terakhir dari orang yang akan resign itu.Tapi karena posisinya berbeda--lebih tepatnya Nabila bukan seorang karyawan yang sederhana nya, disukai oleh banyak orang meskipun dia berprestasi, jadi yang ditraktir makan siang hanya satu orang, yakni Risa.Gadis itu sangat senang setelah mengetahui bahwa ia akan ditraktir sepuasnya. Bahkan diperbolehkan membawa makanannya pulang untuk keluarga di rumah. Nabila bilang, ini spesial untuknya karena hanya dirinya satu-satunya orang yang mendapatkan hadiah tersebut. Dari uang pesangonnya yang masih banyak. “Bukan cuman uang pesangon, Bil. Tapi uang bulananmu dari Pak Bos juga pasti nilainya nggak kecil kan?”“Ya, alhamdulillah...”“Berapa kamu dikasih sama suamimu, Bil? Kasih aku bocoran tipis-tipis lah, aku beneran pengen tahu.”“Dia nggak kasih
Ok, satu persatu persoalan Nabila sudah selesai. Siapa ayah kandung Zaki, bagaimana dulu itu bisa terjadi dan ke mana para pelaku dihukum saat ini, semua sudah dibereskan. “Kecuali satu, Bil. Ya, cuma tinggal satu aja, beresin anggota tim kamu yang rese itu.” “Kayaknya kalau itu nggak usah deh, Mas. Toh, aku juga yang salah karena aku dah wara-wiri nggak masuk kerja. Lagian kalau mereka tau aku udah nikah mereka nggak bakalan ngomong gitu.” “Kamu boleh bilang nggak papa, tapi sebagai suamimu aku nggak suka istri kesayanganku digituin. Tetep aja mereka bakalan kukasih sanksi nanti.” Aditya sama sekali tak goyah dengan ketidak tegaan Nabila. “Kan aku juga udah mau keluar sih, Mas. Besok terakhir.” “Kelakuan mereka pasti nggak akan jauh beda ke anak baru nantinya.” “Belum tentu," sahut Nabila segera, “udahlah, Mas. Aku yakin mereka cuma lagi capek aja kemarin. Sebelumnya nggak pernah, kok. Soalnya aku cuti terus, jadi ya wajarlah kalau mereka marah.” “Biar itu jadi urusanku, Bil.
Karena kabarnya Zaki dan Mama Dina ada di rumah Ami Safira, jadi Nabila dan Aditya langsung menuju ke sana. Namun tepat mereka sampai di sana, bukan hanya Mama Dina dan Zaki yang mereka dapati, tapi juga Papa Rudi. “Loh, kok, Papa ada di sini juga?” Nabila tak bisa menahan diri untuk bertanya. “Iya kebetulan Papa ada urusan sama beliau.” Lelaki itu mengerahkan pandangannya pada Ami Safira. “O-oohh?” dari nada suaranya, Nabila terdengar bingung. Anak itu sebenarnya sangat penasaran, ingin bertanya ada apakah gerangan urusan yang dimaksud oleh Papanya. Sebab sebelumnya mereka tidak saling mengenal, baru kenal pertama kali setelah Ami Safira datang ke rumah. Nabila takut Papanya sedang bertindak jauh tanpa persetujuannya lebih dulu--yang pada akhirnya akan merugikannya sebagai seorang menantu. Tapi kemudian buru-buru Nabila menepis pikirannya yang buruk itu. Tidak mungkin lelaki yang selalu memiliki perencanaan sangat matang tersebut, melakukan tindakan memalukan di bawah ha
“Hayooo, abis ngapain baru dateng langsung cuci tangan?” Sebuah suara dari belakang mengejutkan Nabila yang tengah menyabuni tangannya di depan wastafel.Bukan, bukan karena dia kagetan. Tapi karena pemilik suara itulah yang membuat dia terkejut sekaligus senang setengah mati. Karena salah satu bestie nya sudah kembali ke kantor lagi. Hingga dia bisa berbagi cerita dan bersenda gurau bersamanya. “Oh my God, Risaaa!” langsung saja Nabila memeluknya yang di balas dengan putaran bola mata. “Iyuhh, apaan sih? Lebay amat punya teman. Baru ditinggal sehari aja langsung gila. Awas ah, risih gue dah kaya lesbong aja kita,” ujarnya. Namun bukan teman namanya kalau langsung tersinggung. Perkataan-perkataan nyelekit itu sudah biasa keluar dari mulut Risa. Makanya Nabila sudah tidak pernah kaget lagi jika Risa mencibirnya ratusan kali pun. “Kamu kali yang gila. Lagian dipeluk temen bukannya seneng. Itu artinya kamu dikangenin.”“Males dikangenin sama kamu! Mending dikangenin sugar daddy.”“
“Kita nanti main, yuk!”“Mau main ke mana?”“Jaki mau berenang di rumahnya Nainai.”“Boleh ... kapan?” agar Aditya bisa menanggapi secara penuh permintaan Zaki barusan, ia menjauhkan benda yang sedari tadi menjadi fokusnya ke meja, yakni si setan gepeng. “Besok yah?” kedua bola mata Zaki berbinar penuh pengharapan. “Tapi besok Papa sama Ibu kerja, Nak. Gapapa ya, kalau berenangnya cuma ditemenin sama Nainai?”“Hu'um.” Zaki kemudian naik ke atas pangkuan Aditya untuk berbisik, “Boleh tonton spidermen ga, tapi yang anak gede.”Mungkin yang Zaki maksud adalah Spiderman yang versi orang dewasa, bukan kartun. Tapi yang Aditya tahu, Nabila belum membolehkannya karena Zaki belum cukup umur untuk menyaksikan. “Ngga boleh, Nak. Yang gede buat anak gede, kalau anak kecil bolehnya nonton kartun.”“Dikit aja, Om ... eh, Pa?”Berdebar hati Aditya begitu Zaki memanggilnya dengan sebutan Papa. Ini pertama kalinya meskipun Zaki tampak ragu-ragu saat mengucapkannya. “Apa tadi manggilnya? Coba Pa
“Dari mana, Bil? Papa sama Mas Ditya pergi, kamu juga,” tanya Mama Dina ketika Nabila baru saja tiba di rumah. “Iya, ada keperluan bentar,” jawab Nabila, “si bocil nggak bangun kan?”“Nggak kedengaran nangis sih.” Mama Dina mematikan kompornya dan memberikan kuah sup daging buatannya pada Nabila untuk anak itu cicipi. “Gimana rasanya? Udah pas? Udah enak? Kurang apa?”“Kurang banyak, Ma. Kurang kalau sesendok doang.”Mama Dina terkekeh. Sebab jawaban itu menandakan bahwa masakannya telah berhasil. “Ya udah kalau Bila mau ya ambil aja. Nggak usah nunggu nanti. Nanti bayimu malah kelaperan.”“Mama sama Ami nih, sama aja. Sama-sama ngebet aku buruan punya bayi. Baru juga seminggu kita nikah.”“Namanya juga orang tua. Nggak sabar liat anak-anaknya bahagia.”“Iya, tapi nggak mau diburu-buruin juga, Ma. Aku juga tadinya pengen cepet, tapi belakangan setelah liat postingan temen yang ngeluh berapa repotnya ngurus baby born, aku baru nyadar kalau punya anak bayi tuh capek. Padahal dulu perju
“Kamu tahu kenapa Papa ngajak kamu ke sini?” tanya papa Rudi tegas. Sekarang keduanya sudah berada di bengkel, tepatnya di ruangan khusus biasa Papa Rudi mengurus segala rekapitulasi dan evaluasi bengkelnya. Mereka duduk berhadapan, dengan Aditya yang kini menunduk dalam menanti semua rahasia besarnya akan terungkap. Dalam hati ia tersadar, betapa nikmat hidupnya sehari-hari yang selalu bisa bernapas lega, tapi ia tak pernah mensyukurinya. Giliran sudah diberi pelajaran ini saja, dia baru mengaku membutuhkannya dan meminta agar nikmat itu kembali. “Karena Zaki?” jawab Aditya langsung saja. Hingga tak lama Pak Rudi mengangguk, mengiyakan dugaannya. Sudah tak ada lagi pilihan untuk Aditya selain berterus terang. Memangnya kapan lagi dia bisa mendapatkan momen yang pas? “Maaf, Pa, mungkin ini terdengar sangat mengejutkan. Karena orang yang selama ini papa cari-cari, ternyata malah ada di depan mata dan jadi menantu Papa sendiri.” “Papa kecewa sama kamu!” Namun kendatipun b
Nabila tiba di rumah ketika mendapati Zaki tengah menangis sangat kencang sampai tak bisa terlolong oleh Mama Dina.Ah, kasihan sebenarnya wanita tua itu. Pasti puyeng sekali mengurusi anaknya yang belakangan gampang banget tantruman ini. Bocah itu mengatakan ingin ikut berenang temannya--anak tetangga sebelah. Tapi mamanya tak mengizinkan karena beliau merasa harus meminta izin pada Nabila. “Lagian harus banget sekarang ya, Nak? Kan bisa besok. Ini udah sore, bentar lagi juga magrib. Emangnya nggak takut sama hantu penunggu kolam itu?”“Nggak! Jaki ngga mau ada hantunya!” teriaknya membalas bujukan sang ibunda. “Ya udah, makanya besok aja renangnya.”“Huwaaaaa! Maunya Jaki sekaraaaanggg! Tapi ngga mau yang ada hantunyaaa!" serunya dengan lebih keras. Nabila jadi berang. “Heh, nggak usah teriak-teriak bisa kan?""Biarin?! Ibu jahat?! Jaki ngga suka sama ibuu?!" Brakk!Sebuah mainan terlempar dari tangannya. "Ibu heran ya sama Zaki yang sekarang. Nyebelin kelakuannya yang apa-apa