Eira menggeleng cepat, dia tidak boleh terlena oleh perasaan yang sama sekali tak boleh berkembang. Dia kembali memfokuskan diri memeriksa berkas, sesuai perintah Aryan. Walau, sesekali Eira masih sering mencuri pandang pada wajah tenang Aryan.Sibuk dengan pekerjaan, membuatnya hampir lupa waktu, kini matahari bahkan sudah meninggi, kala Eira mulai merasakan pegal di pinggang dan tengkuknya. Eira meregangkan punggungnya sambil menatap terik siang itu dari jendela, hingga akhirnya ... lagi-lagi, matanya berhenti di wajah Aryan. Rasa iba perlahan menyelinap ke dalam hatinya, mengingat begitu banyak pekerjaan yang harus laki-laki itu lakukan seorang diri.“Aku gak nyangka kalau pekerjaan seorang pemimpin itu sangat banyak. Sekarang aku mengerti, kenapa wajah Bapak selalu terlihat lelah,” gumam Eira, sambil terus memperhatikan wajah Aryan. Dia telusuri setiap lekuk rupa yang begitu sempurna.Tanpa sadar, perlahan tangannya mulai terangkat lalu menyingkirkan rambut yang menjulur menutupi
Baca selengkapnya