Eira bersiap pergi ke rumah sakit untuk menjenguk Gilang sekaligus kembali bertemu dengan dokter dan membicarakan masalah operasi yang harus dilakukan pada Gilang. Dia baru saja sampai di teras, kala seorang penjaga menghampirinya dengan wajah panik. “Nyonya Asih ada di depan, dia sedang memaksa masuk.” Laporan dari penjaga itu, membuat Eira melebarkan matanya sambil mengalihkan perhatian ke arah gerbang yang masih tertutup rapat. “Untuk saat ini, sebaiknya Nyonya muda tetap di dalam rumah. Kami akan mencoba membujuk Nyonya Asih untuk kembali lain hari.” Penjaga itu kembali berbicara, sebelum akhirnya berpamitan kembali ke gerbang. Eira menatap kepergian penjaga itu, hingga akhirnya matanya terhenti di pagar tinggi yang membatasi area dalam rumah dan luar. Sejenak dia memilih tetap berdiri di sana sambil memperhatikan para penjaga yang tampak sibuk saling membantu membujuk Asih. Eira menghembuskan napas, entah mengapa sela
“Ini pasti ulah kamu, kan? Menyebarkan fitnah untuk anakku dan menuduhnya berselingkuh dengan Alderia? Dasar tidak tahu malu!” Asih menatap Aryan penuh amarah. Da tidak terima dengan rumor tentang Juna yang masih beredar. Kebencian yang sudah mengakar selama dua tahun ini, sekarang semakin bertambah karena rumor yang beredar di luar sana. “Sebaiknya kita ke dalam dulu, Tante. Saya bisa jelaskan semuanya,” ujar Aryan masih mencoba menerima Asih degan ramah. Dia sudah bisa menebak kekacauan apa lagi yang akan terjadi imbas dari rumor itu. Salah satunya adalah Asih yang murka seperti sekarang ini. Selama ini, dia tak pernah tahu jika sebelum meninggal Juna telah berselingkuh dengan Alderia, yang saat itu masih menjadi istri sahnya. “Jangan berbelit, Aryan! Cepat katakan alasanmu berbuat begitu pada anakku, hah? Apa masih kurang semua yang sudah kamu lakukan selama ini? Bahkan kamu sudah membuat Juna meninggal! Kamu lupa?!” teriak Asih sambil bergerak me
“Aku cuman khawatir!” Eira berteriak frustrasi karena sudah terlalu tertekan dengan kondisi Aryan yang terlalu mendominasi. Dia perlahan membuka matanya dengan napas yang masih tertahan di tenggorokan. Dia baru menghembuskannya kala melihat Aryan sudah membawa dua langkah kakinya menjauh, sepertinya lelaki itu cukup terkejut oleh teriakannya yang tiba-tiba.“Khawatir?” Aryan menatap heran wajah Eira. Dia sempat terpaku beberapa saat, setelah mendengar ucapan Eira. Bukan karena suaranya yang melengking hingga menusuk ke gendang telinga, tetapi kata terakhirnya membuat Aryan merasa asing.Selama ini, tak ada perempuan yang pernah mengucapkan kata itu padanya selain Maheswari. Terutama setelah kejadian dua tahun lalu. Semua keluarga besar keluarga Edzard termakan oleh sangkaan Asih yang menuduhnya sebagai pembunuh. Mereka cenderung menghindarinya dan tak acuh. Jika pun ada yang berani berbicara, maka yang ke luar hanyalah perkataan menyakitkan. Alasan itu pula yan
Eira mengerjapkan matanya yang masih terasa berat, dia tatap samar wajah Aryan yang berdiri tepat di depannya. Entah jam berapa sekarang, hingga lelaki itu sudah membangunkannya. “Ada apa?” tanya Eira sambil mengalihkan perhatiannya pada jam yang menempel di dinding ruangan itu. Sesaat kemudian, Eira menghembuskan napas lemah sambil kembali ingin berbaring. “Jangan tidur lagi.” Aryan berbicara cepat, sementara tangannya bergerak menahan tubuh gadis itu untuk tetap duduk. Eira menghembuskan napas lelah. “Ini baru jam tiga pagi, Pak. Saya baru tidur satu setengah jam yang lalu.” Saat ini, matanya sangat sulit untuk terbuka. “Tidak bisa, ayo bangun dan segera bersiap untuk melakukan konferensi pers besok pagi,” ujar Aryan tegas. Dia masih menatap wajah lemah dan sedikit sembap khas bangun tidur istri kontraknya. Sontak, perkataan Aryan langsung membuat Eira membuka matanya selebar mungkin, dia tatap wajah tegas dan dingin Aryan dengan sorot mata terkejut dan tak setuju. “Apa? Konfere
“Aku gak mau jadi janda.” Suara Eira terdengar sedikit bergetar dan terputus-putus, sepertinya dia ragu dengan ucapannya sendiri. “Heuh?” Aryan tak bisa lagi menahan rasa heran sekaligus sesuatu yang seolah menggeletik di dalam perutnya. “Kamu tidak mau menjadi janda?” “Eum,” angguk Eira. “Bukankah kita sudah berjanji akan mengakhiri semua kepura-puraan ini setelah satu tahun? Lalu, sekarang kamu tidak mau aku ceraikan?” Aryan tersenyum miring, dia membuang muka sesaat sebelum kembali beralih pada wajah gadis di depannya. Aryan masih tidak habis pikir, kenapa Eira bisa berubah pikiran secepat ini. Kepalanya mulai berisik dengan segala prasangka yang bermunculan. Dia beranjak berdiri lalu berjalan beberapa langkah menjauh dengan salah satu tangan di pinggang. Eira mengangkat kepalanya seiring dengan pergerakan tubuh Aryan, dia tatap punggung lebar yang kini tampak sedikit berguncang karena tawa lirih yang terdengar. ‘Apa yang sala
Aryan menarik napas dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Dia baru saja menghentikan langkahnya tepat di depan kamar utama, di mana Eira berada di dalamnya. Aryan menatap pintu di depannya, dia merasakan tangannya mulai berat, seolah ada sesuatu yang menahannya di bawah sana. Namun, Aryan memaksakan kehendaknya dan mulai mengangkat tangannya. Perlahan dia ketuk pintu itu ... sekali, belum ada jawaban apa pun dari dalam sana. Dua kali ... kerutan di kening Aryan mulai terlihat kala dia tak mendengar suara apa pun dari dalam. “Eira....” Aryan mencoba memanggil gadis yang tengah merajuk di dalam sana. Namun, masih tak ada jawaban. Tidak menyerah, Aryan kembali mengetuk pintu dengan lebih kencang. “Oke!” Aryan menelan salivanya, merasa sulit mengucapkan kata selanjutnya. "Aku minta maaf.” Aryan menundukkan kepala hingga ubun-ubunnya menyentuh daun pintu. Tiba-tiba hatinya merasa resah, karena tak juga ada jawaban dari dalam. 'Ke mana sebenarnya dia? Apa dia benar-benar marah padaku hi
“Jadi kamu memilih menyelesaikan masalah dengan cara seperti ini?” tanya Edrik pada Aryan yang tengah duduk tegak di depannya. Ada pula Maheswari dan Eira di samping keduanya. Edrik dan Maheswari segera datang ke rumah Aryan dan Wira begitu melihat video yang diunggah di akun i*******m anak lelakinya. Mereka tak menyangka jika Aryan akan benar-benar melakukan rencana ini, walau memang tak mengadakan konferensi pers secara langsung. “Lalu, apa lagi yang harus aku lakukan agar berita ini berhenti? Mereka bahkan terus membicarakan rumor tidak jelas seperti itu walau kita sudah berusaha menutup sumber berita dan orang-orang yang membagikannya. Akan terlalu merepotkan dan menghabiskan banyak dana untuk membuat mereka semua diam,” jawab Aryan. Dia menatap lurus ke depan, melihat wajah sang ayah dengan penuh percaya diri. Tak ada keraguan yang terpancar darinya akan keputusan yang dia ambil.Awalnya, Aryan akan melakukan konferensi secara langsung dengan Eira di sampingnya, tetapi karena Ei
Eira mendongakkan kepala, matanya menatap seorang lelaki yang kini tampak berjongkok di sampingnya. “Nathan?” gumam Eira. Dia mengernyitkan keningnya, menatap bingung keberadaan Nathan di tempat itu. “Hai....” Laki-laki itu tersenyum lebar pada Eira. Tangannya melabai di samping wajahnya. Walau masih merasa bingung, Eira memaksakan senyumnya untuk membalas keramahan Nathan. Dia mengangguk samar, lalu mengalihkan perhatiannya kembali pada pintu ruang operasi yang masih tertutup. “Sedang menunggu seseorang?” tanya Nathan. Dia sedikit memajukan tubuhnya, demi melihat wajah Eira. Eira mengangguk. Dia kembali mengalihkan perhatiannya pada Nathan lalu mulai mengajukan pertanyaan. “Kamu sendiri, sedang apa di sini?” Laki-laki yang tak pernah kehilangan senyumnya itu tampak mengedarkan pandangannya sebelum menjawab pertanyaan Eira. “Menemui seorang teman lama.” Eira kembali mengangguk samar sebagai jawaban. “Siapa?” Eira kembali mengalihkan perhatiannya pada Nathan setelah mendengar sa
Eira menghentikan langkahnya di pintu begitu matanya melihat keberadaan Dikta yang sedang berdiri sambil berbincang dengan salah satu rekan kerjanya di tempat parkir. Dia yang sudah selesai bekerja sama sekali tak menyadari keberadaan laki-laki itu sebelumnya. Lokasinya yang berada di pojok parkir, membuat Dikta tak terlihat dari dalam minimarket.“Kenapa Bang Dikta ke sini lagi sih?” gumam Eira. Dia meringis pelan, merasa tak nyaman akan keberadaan mantan rekan kerjanya itu.Reaksi Eira berbanding terbalik dengan Dikta yang tampak langsung menatapnya dengan berbinar, bahkan senyum di bibirnya merekah. Walau enggan, demi kesopanan Eira terpaksa menemui Dikta dan menyapa. “Bang Dikta,” ujarnya yang diiringi senyum tipis dan anggukkan kepala samar.“Tuh, yang ditunggu udah dateng. Kalau gitu, gue masuk dulu,” ujar seorang lelaki yang merupakan rekan kerja Eira.“Apaan sih, Bang?” Eira merengut, tak terima dengan godaan sang rekan kerja
Eira mengerjap pelan kala sinar matahari pagi mengusik tidur lelapnya. Dia memicingkan mata sambil menatap sekitar di mana dia tertidur semalam, setelah melampiaskan kekesalannya pada Aryan yang tak kunjung kembali.Bosan menunggu, akhirnya Eira memutuskan menonton drama favoritnya hingga perlahan kesadarannya direnggut begitu saja kala lelah sudah tak lagi dapat dia tahan. Eira terlelap dalam posisi yang entah bagaimana.Mengingat itu, Eira kembali mengerucutkan bibirnya. Entah jam berapa suaminya itu kembali ke kamar? “Jangan-jangan dia malah belum balik sampai sekarang?” gumam Eira sambil melihat ke arah pintu ruang kerja yang masih tertutup rapat.Namun sesaat kemudian, perhatiannya teralihkan pada laptop miliknya yang sudah tersimpan rapi di atas meja, begitu juga dengan sisa kekesalannya yang sudah membaik. “Enggak mungkin kan kalau Pak Aryan yang membereskan semua ini?” gumam Eira. Dia duduk di ujung ranjang sambil terus menelit
Aryan tersenyum miring begitu dia menutup pintu kamarnya rapat, dia melirik ke belakang seolah bisa melihat Eira yang sedang menahan kesal di dalam sana.‘Dia pasti sedang kesal sekarang.’ Ingatan Aryan kembali pada saat dirinya baru saja sampai di restoran di dekat rumah sakit tempat Gilang dirawat. Sebenarnya dia bisa melihat Eira menemui Dikta. Namun, sayang sekali ketika itu dirinya sudah bersama klien yang ingin bekerja sama, hingga Aryan hanya bisa melihat dan membiarkannya dengan hati yang dongkol.Saat itu, sebenarnya Aryan sudah tahu semuanya. Bahkan dia mendengar dengan jelas apa yang diucapkan Dikta ketuka dirinya menerima telepon di ponsel Eira. Tampaknya laki-laki tidak tahu malu itu memang tengah mendekati Eira, padahal dia sudah tahu kalau Eira telah bersuami. Wajah Aryan langsung berubah serius kala dia sudah sampai di lantai satu dan melihat keberadaan Alderia di ruang tamu. Wanita itu tampak tersenyum semringah saat melihat Aryan berjalan ke arahnya.“Ar....” Alderi
Eira menarik napas dalam lalu menghembuskannya kasar, dia sempat berhenti terlebih dahulu sebelum kembali mengetuk pintu Aryan untuk memberitahu keberadaan Alderia. Matanya melihat hujan yang semakin deras bahkan sebuah gemuruh yang cukup kencang terdengar menggelegar di ujung langit. Dia menyempatkan menutup dulu pintu menuju balkon lalu kembali ke depan ruang kerja Aryan.“Apa, Pak Aryan beneran marah padaku?” gumam Eira ketika pintu di depannya tak kunjung terbuka, padahal ini sudah ketiga kalinya dia mengetuk.“Pak, ada tamu di bawah." Eira kembali berbicara dengan sedikit berteriak, takut tak terdengar oleh Aryan. Namun, pintu tak juga terbuka. “Kayaknya gak mungkin deh kalau dia ketiduran.”“Apa aku buka aja ya.” Eira tatap gagang pintu yang tak kunjung bergerak itu. Perlahan tangannya mulai menyentuh dan mencoba menggerakkannya. “Enggak dikunci,” ujarnya pelan.“Pak Aryan, aku masuk ya,” sambungnya dengan suara yang sedikit lebih ker
“Apa yang Bapak lakukan?!” Eira melebarkan matanya kala melihat Aryan yang sudah menempelkan ponselnya di telinga sambil menyeringai. Tubuhnya gemetar ketakutan akan apa yang terjadi berikutnya jika sampai itu adalah telepon dari Dikta. Mulutnya tertutup rapat saat jari telunjuk Aryan menempel tepat di tengahnya dengan posisi yang masih sama. Hanya beberapa detik laki-laki itu seperti mendengarkan sesuatu dari seberang sana hingga akhirnya dia menjatuhkan ponselnya dan dengan gerakan cepat menempelkan kedua bibir mereka hingga tak ada kesempatan bagi Eira untuk menghindar atau menolaknya. Setelah beberapa saat sama-sama terdiam, perlahan Aryan mulai menggerakkannya. Laki-laki itu melakukannya lumayan lama, hingga mampu membuat Eira melupakan semua rasa takut, kebimbangan, dan semua masalah hidupnya untuk sesaat.“Kamu milikku ... tidak ada yang boleh memilikimu selain aku, Eira Zafran,” ujar Aryan begitu dia melepaskan bibir Eira. Napasnya yang memburu bahkan masih terdengar jelas di
“Sedang apa kamu di sini?” Aryan menatap tajam kedua orang di depannya hingga kerutan di keningnya terlihat jelas.“Arya?” Nathan tak kuasa menahan rasa terkejutnya ketika dia menyadari keberadaan sang sahabat tepat di depannya. Dia berdiri sambil tertawa hambar demi menutupi kecanggungan yang tiba-tiba menggelayuti dirinya.“Sejak kapan lo ada di sini?” tanyanya. Dia merangkul pundak Aryan seolah tak terjadi apa pun, walau nada suaranya yang bergetar tak dapat dia kendalikan. “Eira....” Suara rendah dan penuh penekanan itu dia tujukan pada gadis yang sejak tadi hanya diam dengan wajah pucat pasi, seolah baru saja terpergok tengah berselingkuh. Dia bahkan tak mengalihkan sedikit pun pandangannya pada Nathan yang kini berada di sampingnya.Eira mengedipkan matanya pelan, perlahan dia gulirkan pandangannya pada laki-laki yang sejak tadi sudah menghantui pikirannya. Beginikah rasanya jika kita ketahuan ketika sedang melakukan kesalahan? Dia
“Uhuk!” Eira terbatuk sambil mengerjap cepat, tubuhnya pun otomatis mundur dengan gerakan kaku. ‘Apa yang kamu pikirkan, Ra?’ tangannya kembali mencoba membuka pintu mobil. Namun, ternyata kembali tidak berhasil karena masih terkunci.“Tolong buka pintunya....” Akhirnya Eira kembali memberanikan diri untuk menatap wajah Aryan walau hanya sekilas, sementara tangannya masih mencoba membuka pintu berulang kali.Eira segera ke luar dan berjalan cepat masuk ke rumah sakit, begitu dia berhasil membuka pintu. Dalam hati dia terus merutuki dirinya sendiri yang sempat memikirkan hal yang tidak-tidak bersama dengan Aryan.Sementara itu, Aryan yang masih terpaku di dalam mobil dengan pikiran yang tak bisa beralih dari kejadian tadi, hanya tersenyum tipis kala dia melihat Eira yang berjalan setengah berlari menuju rumah sakit. “Kenapa dia harus bersikap malu seperti itu? Apa dia juga sempat berpikir hal yang sama denganku?”Aryan terkekeh pelan sambi
“Sayang?” Dikta menatap penuh tanya pada interaksi Eira dan Aryan. “Apa maksudnya ini, Ra? Siapa dia?” tanya Dikta sambil menatap penuh tuntutan pada Eira. Dia butuh penjelasan. “Begini, Bang. Eum....” Eira berusaha menjelaskan walau tiba-tiba saja lidahnya terasa sulit untuk digerakkan. Dia bingung harus mengatakan apa pada Dikta. Matanya melebar saat Aryan tiba-tiba maju dan berdiri tepat di tengah-tengah antara dirinya dan Dikta. “Perkenalkan, saya Aryan, suami Eira,” ujar Aryan dengan nada suara tegas dan jelas. Dia mengulurkan tangannya, meminta berjabat dengan Dikta. Seringai miring dan penuh kemenangan terlihat menghiasi wajah tampannya. Eira merengut, dia tatap wajah puas Aryan dengan hati bertanya-tanya. 'Apa maksudnya ini?'“Suami?” Dikta berusaha melihat Eira yang berada di belakang tubuh Aryan. Dia tak peduli pada tangan Aryan, yang dirinya butuhkan saat ini adalah sebuah penjelasan dari Eira langsung. “Kamu sudah menikah, Ra?”"I-itu ... aku...." Eira meringis sambil m
“Kamu benar-benar melaporkan Alderia ke polisi, Ar?” tanya Nathan. Saat ini mereka berdua sedang berada di kantor Aryan. Nathan sengaja mendatangi sahabatnya secara langsung setelah mendengar berita yang beredar tentang Alderia dari Sherin.Aryan menangguk. Dia memang tidak main-main dengan ucapannya beberapa hari lalu. Laki-laki itu tampak membungkukkan tubuhnya hingga kedua siku tangannya bertumpu di lutut bagian atas. Tatapan matanya tampak tajam menusuk pada Nathan, walau seringai di bibirnya tampak jelas.“Siapa pun yang berani mengusik ketenangan keluarga gue, gue akan tindak tegas. Lo sudah tahu pasti tentang itu kan, Than? Gue tidak pernah berubah jika itu soal keamanan dan ketenangan keluarga gue,” ujar Aryan dengan begitu ringan, seolah tanpa beban.“Gue tahu,” angguk Nathan. Namun, kini dia juga memajukan tubuhnya hingga mendekat pada Aryan, lalu melanjutkan perkataannya dengan nada yang terdengar sedikit canggung. “Tapi, apa itu tidak terlalu kejam? Walau bagaimana pun, A