“Jadi kamu memilih menyelesaikan masalah dengan cara seperti ini?” tanya Edrik pada Aryan yang tengah duduk tegak di depannya. Ada pula Maheswari dan Eira di samping keduanya. Edrik dan Maheswari segera datang ke rumah Aryan dan Wira begitu melihat video yang diunggah di akun i*******m anak lelakinya. Mereka tak menyangka jika Aryan akan benar-benar melakukan rencana ini, walau memang tak mengadakan konferensi pers secara langsung. “Lalu, apa lagi yang harus aku lakukan agar berita ini berhenti? Mereka bahkan terus membicarakan rumor tidak jelas seperti itu walau kita sudah berusaha menutup sumber berita dan orang-orang yang membagikannya. Akan terlalu merepotkan dan menghabiskan banyak dana untuk membuat mereka semua diam,” jawab Aryan. Dia menatap lurus ke depan, melihat wajah sang ayah dengan penuh percaya diri. Tak ada keraguan yang terpancar darinya akan keputusan yang dia ambil.Awalnya, Aryan akan melakukan konferensi secara langsung dengan Eira di sampingnya, tetapi karena Ei
Eira mendongakkan kepala, matanya menatap seorang lelaki yang kini tampak berjongkok di sampingnya. “Nathan?” gumam Eira. Dia mengernyitkan keningnya, menatap bingung keberadaan Nathan di tempat itu. “Hai....” Laki-laki itu tersenyum lebar pada Eira. Tangannya melabai di samping wajahnya. Walau masih merasa bingung, Eira memaksakan senyumnya untuk membalas keramahan Nathan. Dia mengangguk samar, lalu mengalihkan perhatiannya kembali pada pintu ruang operasi yang masih tertutup. “Sedang menunggu seseorang?” tanya Nathan. Dia sedikit memajukan tubuhnya, demi melihat wajah Eira. Eira mengangguk. Dia kembali mengalihkan perhatiannya pada Nathan lalu mulai mengajukan pertanyaan. “Kamu sendiri, sedang apa di sini?” Laki-laki yang tak pernah kehilangan senyumnya itu tampak mengedarkan pandangannya sebelum menjawab pertanyaan Eira. “Menemui seorang teman lama.” Eira kembali mengangguk samar sebagai jawaban. “Siapa?” Eira kembali mengalihkan perhatiannya pada Nathan setelah mendengar sa
“Ada apa?” tanya Nathan yang baru saja kembali setelah dari toilet, dia menatap heran Eira yang berdiri mematung sambil memegang secarik kertas. Tak juga mendapatkan jawaban dari Eira, Nathan langsung mengambil kertas dari tangan gadis itu dan membacanya. Namun, tak disangka reaksi setelahnya tampak tak jauh berbeda dengan Eira. Nathan tampak memicingkan matanya hingga kerutan di keningnya terlihat jelas. “Apa-apaan ini?” geram Nathan beralih menatap Eira yang kini juga tampak sedang melihatnya dengan sorot mata putus asa. “Dari mana kamu mendapatkan kertas ini?” tanya Nathan pada Eira. Gadis itu mulai meneteskan air matanya. “A-aku tidak tahu.” Eira menggeleng, dia malah mengalihkan pandangan gusarnya ke arah pintu ruang operasi. “Apa yang sebenarnya terjadi pada kakakku? Siapa yang ada di dalam? Kenapa lama sekali?” Air mata Eira semakin deras mengalir membasahi pipi, hatinya yang telah diselimuti rasa khawatir kini semakin tidak tenang karena secarik kertas berisi kata ancaman
“Wati? Apa yang terjadi pada bibiku?” tanya Eira. Dia menatap Aryan penuh tanya. Perlahan kakinya melangkah mendekat pada suami kontraknya.Eira sempat mendengar percakapan Aryan dengan seseorang di seberang telepon, walau mungkin itu tidak semuanya. Mendengar nama sang bibi disebut, memuat Eira bertanya-tanya, ada urusan apa Aryan dengan Wati?Eira memicingkan matanya, kala pandangannya sempat menangkap reaksi terkejut Aryan. Dia semakin yakin kalau memang ada sesuatu yang disembunyikan oleh lelaki di depannya.“Mungkin kamu hanya salah mendengar.” Aryan tersenyum sambil memasukkan kembali ponselnya ke saku. Lalu, meneruskan ucapannya, “Tadi aku sedang membicarakan pekerjaan.”“Benarkah? Aku yakin tadi, Bapak sempat menyebut nama Bi Wati.” Eira masih mencoba memastikan jawaban Aryan.“Iya. Aku hanya sedang membicarakan pekerjaan, tidak yang lain,” jawab Aryan. Dia mengangguk yakin.“Kamu sudah menjenguk Gilang?” tany
“Jadi begini sekarang cara kamu mencari uang untuk pengobatan Gilang? Dengan cara menjadi simpanan lelaki dewasa.” “Bibi....” Eira bergumam lirih. Matanya melebar menatap Wati yang tengah berdiri di samping meja tempat dia dan Aryan makan. “Aku gak nyangka, kamu lebih memilih menjual diri seperti ini daripada menandatangani surat pengalihan kepemilikan saham yang aku tawarkan.” Wati tersenyum miring. Dia menatap hina Eira lalu beralih pada Aryan yang sejak tadi hanya diam sambil memperhatikan interaksi antara Eira dan Wati. “Aku yakin, abang dan kakak iparku di atas sana pasti sedang menangis melihat kelakuan anak perempuan mereka yang selama hidupnya selalu mereka banggakan dan manjakan,” sambung Wati. “Bibi!” Eira mengepalkan tangannya Erat. Dia hendak beranjak berdiri, tetapi Aryan lebih dulu menahannya. Dia sempat ingin melawan dan tidak terima dengan sikap suami kontraknya itu, tetapi akhirnya Eira mengurungkan niatnya setelah me
Setelah memutuskan bunga apa yang akan mereka beli untuk dibawa ke pemakaman, tiba-tiba ponsel Aryan berdering. Laki-laki itu pamit untuk menerima telepon di luar, sementara Eira menunggu buket bunga yang sedang dibuat di ruang tunggu.Eira menikmati masa menunggunya sambil melihat-lihat berbagai macam bunga yang memanjakan mata. Namun, kesenangannya itu harus terhenti kala dia melihat ada beberapa orang perempuan yang masuk sambil bersenda gurau. Dia mengenal salah satunya.Eira memalingkan wajah, berusaha menghindar dari salah satu perempuan itu, tetapi ternyata harapannya tak selalu menjadi kenyataan. Karena kini dia bisa merasakan tatapan dari perempuan yang memakai pakaian santai di depannya. “Aku kira siapa, ternyata gadis miskin yang bermimpi menjadi nyonya besar,” ujar perempuan itu yang tak lain adalah Alderia. Dia bersidekap dada sambil tersenyum miring pada Eira.“Mba Alderia, lama gak bertemu.” Walau malas, Eira masih berusaha
“Aku hanya mengatakan yang sebenarnya. Bukannya kita memang sudah menikah?” jawab Aryan tak acuh. Dia mulai melajukan mobilnya ke luar dari area pemakaman umum.“Iya sih....” Eira bergumam pelan. Dia memang tidak bisa menyangkal kenyataan itu. Namun, bukanlah pernikahan yang mereka jalani tidak seperti pernikahan kebanyakan? Aryan mengangguk puas, dia melirik kilas Eira sambil tersenyum tipis. Lalu, kembali fokus pada jalanan di depannya.“Tapi, pernikahan kita bukan sungguhan, Pak.” Eira menatap Aryan tajam. Entah mengapa, rasanya berat lidahnya untuk mengucapkan kata perjanjian.“Kata siapa? Aku masih menyimpan surat nikahnya.” Aryan menyeringai.“Bapak!” Eira memberengut kesal. Dia tahu laki-laki itu hanya sedang menggodanya. Sudah jelas, keduanya tahu betul keadaan yang sekarang mereka jalani.Aryan terkekeh ringan, dia memilih tak menanggapi kekesalan Eira dengan kata-kata. Dia hanya menggeleng pelan, kala melih
“Alderia? Kamu juga ada di sini?” Nathan menyela Aryan lalu berdiri di samping sahabatnya. Meski dia juga terkejut melihat keberadaan Alderia, tetapi Nathan berusaha untuk bersikap biasa saja. “Iya.” Alderia mengalihkan perhatiannya pada Nathan. Wanita itu tersenyum ramah pada sahabat mantan suaminya. “Kebetulan Sherin adalah temanku, jadi dia minta tolong ditemani olehku untuk datang ke sini.” “Oh....” Nathan mengangguk samar. Matanya melirik ragu ke arah Aryan yang sedang menatapnya tajam. “Kita bicara!” ujar Aryan sambil berbalik dan segera berjalan ke luar restoran. “Sebentar, ya.” Nathan pamit pada Alderia dan Sherin, lalu segera pergi menyusul Aryan. “Ini rencana lo, kan?” tanya Aryan begitu keduanya berhenti di pelataran restoran. Dia mematap curiga Nathan. “Enggak!” Nathan langsung membantah tuduhan Aryan. “Gue aja baru komunikasi sama Sherin sebelum berangkat ke sini, mana gue tahu kalau dia ternyata temennya Alderia,” sambung Nathan, memberi penjelasan. Dia tidak mau ka
Eira menghentikan langkahnya di pintu begitu matanya melihat keberadaan Dikta yang sedang berdiri sambil berbincang dengan salah satu rekan kerjanya di tempat parkir. Dia yang sudah selesai bekerja sama sekali tak menyadari keberadaan laki-laki itu sebelumnya. Lokasinya yang berada di pojok parkir, membuat Dikta tak terlihat dari dalam minimarket.“Kenapa Bang Dikta ke sini lagi sih?” gumam Eira. Dia meringis pelan, merasa tak nyaman akan keberadaan mantan rekan kerjanya itu.Reaksi Eira berbanding terbalik dengan Dikta yang tampak langsung menatapnya dengan berbinar, bahkan senyum di bibirnya merekah. Walau enggan, demi kesopanan Eira terpaksa menemui Dikta dan menyapa. “Bang Dikta,” ujarnya yang diiringi senyum tipis dan anggukkan kepala samar.“Tuh, yang ditunggu udah dateng. Kalau gitu, gue masuk dulu,” ujar seorang lelaki yang merupakan rekan kerja Eira.“Apaan sih, Bang?” Eira merengut, tak terima dengan godaan sang rekan kerja
Eira mengerjap pelan kala sinar matahari pagi mengusik tidur lelapnya. Dia memicingkan mata sambil menatap sekitar di mana dia tertidur semalam, setelah melampiaskan kekesalannya pada Aryan yang tak kunjung kembali.Bosan menunggu, akhirnya Eira memutuskan menonton drama favoritnya hingga perlahan kesadarannya direnggut begitu saja kala lelah sudah tak lagi dapat dia tahan. Eira terlelap dalam posisi yang entah bagaimana.Mengingat itu, Eira kembali mengerucutkan bibirnya. Entah jam berapa suaminya itu kembali ke kamar? “Jangan-jangan dia malah belum balik sampai sekarang?” gumam Eira sambil melihat ke arah pintu ruang kerja yang masih tertutup rapat.Namun sesaat kemudian, perhatiannya teralihkan pada laptop miliknya yang sudah tersimpan rapi di atas meja, begitu juga dengan sisa kekesalannya yang sudah membaik. “Enggak mungkin kan kalau Pak Aryan yang membereskan semua ini?” gumam Eira. Dia duduk di ujung ranjang sambil terus menelit
Aryan tersenyum miring begitu dia menutup pintu kamarnya rapat, dia melirik ke belakang seolah bisa melihat Eira yang sedang menahan kesal di dalam sana.‘Dia pasti sedang kesal sekarang.’ Ingatan Aryan kembali pada saat dirinya baru saja sampai di restoran di dekat rumah sakit tempat Gilang dirawat. Sebenarnya dia bisa melihat Eira menemui Dikta. Namun, sayang sekali ketika itu dirinya sudah bersama klien yang ingin bekerja sama, hingga Aryan hanya bisa melihat dan membiarkannya dengan hati yang dongkol.Saat itu, sebenarnya Aryan sudah tahu semuanya. Bahkan dia mendengar dengan jelas apa yang diucapkan Dikta ketuka dirinya menerima telepon di ponsel Eira. Tampaknya laki-laki tidak tahu malu itu memang tengah mendekati Eira, padahal dia sudah tahu kalau Eira telah bersuami. Wajah Aryan langsung berubah serius kala dia sudah sampai di lantai satu dan melihat keberadaan Alderia di ruang tamu. Wanita itu tampak tersenyum semringah saat melihat Aryan berjalan ke arahnya.“Ar....” Alderi
Eira menarik napas dalam lalu menghembuskannya kasar, dia sempat berhenti terlebih dahulu sebelum kembali mengetuk pintu Aryan untuk memberitahu keberadaan Alderia. Matanya melihat hujan yang semakin deras bahkan sebuah gemuruh yang cukup kencang terdengar menggelegar di ujung langit. Dia menyempatkan menutup dulu pintu menuju balkon lalu kembali ke depan ruang kerja Aryan.“Apa, Pak Aryan beneran marah padaku?” gumam Eira ketika pintu di depannya tak kunjung terbuka, padahal ini sudah ketiga kalinya dia mengetuk.“Pak, ada tamu di bawah." Eira kembali berbicara dengan sedikit berteriak, takut tak terdengar oleh Aryan. Namun, pintu tak juga terbuka. “Kayaknya gak mungkin deh kalau dia ketiduran.”“Apa aku buka aja ya.” Eira tatap gagang pintu yang tak kunjung bergerak itu. Perlahan tangannya mulai menyentuh dan mencoba menggerakkannya. “Enggak dikunci,” ujarnya pelan.“Pak Aryan, aku masuk ya,” sambungnya dengan suara yang sedikit lebih ker
“Apa yang Bapak lakukan?!” Eira melebarkan matanya kala melihat Aryan yang sudah menempelkan ponselnya di telinga sambil menyeringai. Tubuhnya gemetar ketakutan akan apa yang terjadi berikutnya jika sampai itu adalah telepon dari Dikta. Mulutnya tertutup rapat saat jari telunjuk Aryan menempel tepat di tengahnya dengan posisi yang masih sama. Hanya beberapa detik laki-laki itu seperti mendengarkan sesuatu dari seberang sana hingga akhirnya dia menjatuhkan ponselnya dan dengan gerakan cepat menempelkan kedua bibir mereka hingga tak ada kesempatan bagi Eira untuk menghindar atau menolaknya. Setelah beberapa saat sama-sama terdiam, perlahan Aryan mulai menggerakkannya. Laki-laki itu melakukannya lumayan lama, hingga mampu membuat Eira melupakan semua rasa takut, kebimbangan, dan semua masalah hidupnya untuk sesaat.“Kamu milikku ... tidak ada yang boleh memilikimu selain aku, Eira Zafran,” ujar Aryan begitu dia melepaskan bibir Eira. Napasnya yang memburu bahkan masih terdengar jelas di
“Sedang apa kamu di sini?” Aryan menatap tajam kedua orang di depannya hingga kerutan di keningnya terlihat jelas.“Arya?” Nathan tak kuasa menahan rasa terkejutnya ketika dia menyadari keberadaan sang sahabat tepat di depannya. Dia berdiri sambil tertawa hambar demi menutupi kecanggungan yang tiba-tiba menggelayuti dirinya.“Sejak kapan lo ada di sini?” tanyanya. Dia merangkul pundak Aryan seolah tak terjadi apa pun, walau nada suaranya yang bergetar tak dapat dia kendalikan. “Eira....” Suara rendah dan penuh penekanan itu dia tujukan pada gadis yang sejak tadi hanya diam dengan wajah pucat pasi, seolah baru saja terpergok tengah berselingkuh. Dia bahkan tak mengalihkan sedikit pun pandangannya pada Nathan yang kini berada di sampingnya.Eira mengedipkan matanya pelan, perlahan dia gulirkan pandangannya pada laki-laki yang sejak tadi sudah menghantui pikirannya. Beginikah rasanya jika kita ketahuan ketika sedang melakukan kesalahan? Dia
“Uhuk!” Eira terbatuk sambil mengerjap cepat, tubuhnya pun otomatis mundur dengan gerakan kaku. ‘Apa yang kamu pikirkan, Ra?’ tangannya kembali mencoba membuka pintu mobil. Namun, ternyata kembali tidak berhasil karena masih terkunci.“Tolong buka pintunya....” Akhirnya Eira kembali memberanikan diri untuk menatap wajah Aryan walau hanya sekilas, sementara tangannya masih mencoba membuka pintu berulang kali.Eira segera ke luar dan berjalan cepat masuk ke rumah sakit, begitu dia berhasil membuka pintu. Dalam hati dia terus merutuki dirinya sendiri yang sempat memikirkan hal yang tidak-tidak bersama dengan Aryan.Sementara itu, Aryan yang masih terpaku di dalam mobil dengan pikiran yang tak bisa beralih dari kejadian tadi, hanya tersenyum tipis kala dia melihat Eira yang berjalan setengah berlari menuju rumah sakit. “Kenapa dia harus bersikap malu seperti itu? Apa dia juga sempat berpikir hal yang sama denganku?”Aryan terkekeh pelan sambi
“Sayang?” Dikta menatap penuh tanya pada interaksi Eira dan Aryan. “Apa maksudnya ini, Ra? Siapa dia?” tanya Dikta sambil menatap penuh tuntutan pada Eira. Dia butuh penjelasan. “Begini, Bang. Eum....” Eira berusaha menjelaskan walau tiba-tiba saja lidahnya terasa sulit untuk digerakkan. Dia bingung harus mengatakan apa pada Dikta. Matanya melebar saat Aryan tiba-tiba maju dan berdiri tepat di tengah-tengah antara dirinya dan Dikta. “Perkenalkan, saya Aryan, suami Eira,” ujar Aryan dengan nada suara tegas dan jelas. Dia mengulurkan tangannya, meminta berjabat dengan Dikta. Seringai miring dan penuh kemenangan terlihat menghiasi wajah tampannya. Eira merengut, dia tatap wajah puas Aryan dengan hati bertanya-tanya. 'Apa maksudnya ini?'“Suami?” Dikta berusaha melihat Eira yang berada di belakang tubuh Aryan. Dia tak peduli pada tangan Aryan, yang dirinya butuhkan saat ini adalah sebuah penjelasan dari Eira langsung. “Kamu sudah menikah, Ra?”"I-itu ... aku...." Eira meringis sambil m
“Kamu benar-benar melaporkan Alderia ke polisi, Ar?” tanya Nathan. Saat ini mereka berdua sedang berada di kantor Aryan. Nathan sengaja mendatangi sahabatnya secara langsung setelah mendengar berita yang beredar tentang Alderia dari Sherin.Aryan menangguk. Dia memang tidak main-main dengan ucapannya beberapa hari lalu. Laki-laki itu tampak membungkukkan tubuhnya hingga kedua siku tangannya bertumpu di lutut bagian atas. Tatapan matanya tampak tajam menusuk pada Nathan, walau seringai di bibirnya tampak jelas.“Siapa pun yang berani mengusik ketenangan keluarga gue, gue akan tindak tegas. Lo sudah tahu pasti tentang itu kan, Than? Gue tidak pernah berubah jika itu soal keamanan dan ketenangan keluarga gue,” ujar Aryan dengan begitu ringan, seolah tanpa beban.“Gue tahu,” angguk Nathan. Namun, kini dia juga memajukan tubuhnya hingga mendekat pada Aryan, lalu melanjutkan perkataannya dengan nada yang terdengar sedikit canggung. “Tapi, apa itu tidak terlalu kejam? Walau bagaimana pun, A