“Wati? Apa yang terjadi pada bibiku?” tanya Eira. Dia menatap Aryan penuh tanya. Perlahan kakinya melangkah mendekat pada suami kontraknya.Eira sempat mendengar percakapan Aryan dengan seseorang di seberang telepon, walau mungkin itu tidak semuanya. Mendengar nama sang bibi disebut, memuat Eira bertanya-tanya, ada urusan apa Aryan dengan Wati?Eira memicingkan matanya, kala pandangannya sempat menangkap reaksi terkejut Aryan. Dia semakin yakin kalau memang ada sesuatu yang disembunyikan oleh lelaki di depannya.“Mungkin kamu hanya salah mendengar.” Aryan tersenyum sambil memasukkan kembali ponselnya ke saku. Lalu, meneruskan ucapannya, “Tadi aku sedang membicarakan pekerjaan.”“Benarkah? Aku yakin tadi, Bapak sempat menyebut nama Bi Wati.” Eira masih mencoba memastikan jawaban Aryan.“Iya. Aku hanya sedang membicarakan pekerjaan, tidak yang lain,” jawab Aryan. Dia mengangguk yakin.“Kamu sudah menjenguk Gilang?” tany
“Jadi begini sekarang cara kamu mencari uang untuk pengobatan Gilang? Dengan cara menjadi simpanan lelaki dewasa.” “Bibi....” Eira bergumam lirih. Matanya melebar menatap Wati yang tengah berdiri di samping meja tempat dia dan Aryan makan. “Aku gak nyangka, kamu lebih memilih menjual diri seperti ini daripada menandatangani surat pengalihan kepemilikan saham yang aku tawarkan.” Wati tersenyum miring. Dia menatap hina Eira lalu beralih pada Aryan yang sejak tadi hanya diam sambil memperhatikan interaksi antara Eira dan Wati. “Aku yakin, abang dan kakak iparku di atas sana pasti sedang menangis melihat kelakuan anak perempuan mereka yang selama hidupnya selalu mereka banggakan dan manjakan,” sambung Wati. “Bibi!” Eira mengepalkan tangannya Erat. Dia hendak beranjak berdiri, tetapi Aryan lebih dulu menahannya. Dia sempat ingin melawan dan tidak terima dengan sikap suami kontraknya itu, tetapi akhirnya Eira mengurungkan niatnya setelah me
Setelah memutuskan bunga apa yang akan mereka beli untuk dibawa ke pemakaman, tiba-tiba ponsel Aryan berdering. Laki-laki itu pamit untuk menerima telepon di luar, sementara Eira menunggu buket bunga yang sedang dibuat di ruang tunggu.Eira menikmati masa menunggunya sambil melihat-lihat berbagai macam bunga yang memanjakan mata. Namun, kesenangannya itu harus terhenti kala dia melihat ada beberapa orang perempuan yang masuk sambil bersenda gurau. Dia mengenal salah satunya.Eira memalingkan wajah, berusaha menghindar dari salah satu perempuan itu, tetapi ternyata harapannya tak selalu menjadi kenyataan. Karena kini dia bisa merasakan tatapan dari perempuan yang memakai pakaian santai di depannya. “Aku kira siapa, ternyata gadis miskin yang bermimpi menjadi nyonya besar,” ujar perempuan itu yang tak lain adalah Alderia. Dia bersidekap dada sambil tersenyum miring pada Eira.“Mba Alderia, lama gak bertemu.” Walau malas, Eira masih berusaha
“Aku hanya mengatakan yang sebenarnya. Bukannya kita memang sudah menikah?” jawab Aryan tak acuh. Dia mulai melajukan mobilnya ke luar dari area pemakaman umum.“Iya sih....” Eira bergumam pelan. Dia memang tidak bisa menyangkal kenyataan itu. Namun, bukanlah pernikahan yang mereka jalani tidak seperti pernikahan kebanyakan? Aryan mengangguk puas, dia melirik kilas Eira sambil tersenyum tipis. Lalu, kembali fokus pada jalanan di depannya.“Tapi, pernikahan kita bukan sungguhan, Pak.” Eira menatap Aryan tajam. Entah mengapa, rasanya berat lidahnya untuk mengucapkan kata perjanjian.“Kata siapa? Aku masih menyimpan surat nikahnya.” Aryan menyeringai.“Bapak!” Eira memberengut kesal. Dia tahu laki-laki itu hanya sedang menggodanya. Sudah jelas, keduanya tahu betul keadaan yang sekarang mereka jalani.Aryan terkekeh ringan, dia memilih tak menanggapi kekesalan Eira dengan kata-kata. Dia hanya menggeleng pelan, kala melih
“Alderia? Kamu juga ada di sini?” Nathan menyela Aryan lalu berdiri di samping sahabatnya. Meski dia juga terkejut melihat keberadaan Alderia, tetapi Nathan berusaha untuk bersikap biasa saja. “Iya.” Alderia mengalihkan perhatiannya pada Nathan. Wanita itu tersenyum ramah pada sahabat mantan suaminya. “Kebetulan Sherin adalah temanku, jadi dia minta tolong ditemani olehku untuk datang ke sini.” “Oh....” Nathan mengangguk samar. Matanya melirik ragu ke arah Aryan yang sedang menatapnya tajam. “Kita bicara!” ujar Aryan sambil berbalik dan segera berjalan ke luar restoran. “Sebentar, ya.” Nathan pamit pada Alderia dan Sherin, lalu segera pergi menyusul Aryan. “Ini rencana lo, kan?” tanya Aryan begitu keduanya berhenti di pelataran restoran. Dia mematap curiga Nathan. “Enggak!” Nathan langsung membantah tuduhan Aryan. “Gue aja baru komunikasi sama Sherin sebelum berangkat ke sini, mana gue tahu kalau dia ternyata temennya Alderia,” sambung Nathan, memberi penjelasan. Dia tidak mau ka
“Benarkah?” Aryan mengeratkan genggamannya. Dia mantap semakin tajam wanita di depannya. Lalu, mulai beranjak berdiri. “Tunggu dulu, Ar.” Alderia berusaha membuat Aryan duduk kembali. “Dengarkan aku dulu, ini semua bukan kesalahanku.” Alderia menggenggam tangan Aryan yang kini sudah berdiri sempurna di samping meja. Aryan melepaskan genggaman tangan Alderia dan meletakkannya lagi di atas meja. Tatapannya masih begitu menusuk hingga Alderia saja merasakan segan. Namun, wanita itu terus mencoba menyembunyikannya. Alderia tentu sudah sangat tahu bagaimana cara Aryan dalam menyelesaikan masalah. Walau dulu lelaki itu belum menjadi CEO, tetapi dia sudah sering membantu ayahnya menyelesaikan masalah di kantor atau di luar urusan kantor. “Aku bisa jelaskan, Ar. Tolong dengerin aku dulu,” mohon Alderia. Dia mengiba di hadapan Aryan. Namun, laki-laki itu sama sekali tidak menunjukkan rasa empati pada mantan istrinya itu. Aryan menghembuskan napas sambil menatap lekat Alderia, tangannya men
Aryan baru saja hendak memasuki area parkir kala dia melihat keributan di depan lobi rumah sakit. Awalnya itu sama sekali tidak menarik perhatiannya dan mengira itu hanya pertengkaran sepasang kekasih yang sedang dimabuk asmara. Namun, dia langsung menghentikan mobilnya kala mengenali salah satu di antara keduanya. “Apa lagi yang dia lakukan?” gumam Aryan sambil bergegas ke laur dari mobil dan menghampiri kedua orang yang tampak sedang berdebat cukup hebat, hingga mampu menarik perhatian orang yang di sekitarnya. Tadinya, setelah dari rastoran Aryan ingin kembali ke kantor, tetapi tiba-tiba dia mengingat Eira yang meminta izin padanya untuk menjenguk Gilang di rumah sakit. Entah bagaimana, tangan serta kakinya seolah bergerak sendiri mengarahkan mobil menuju tempat Eira berada. Dan, di sinilah kini dirinya berada, di depan rumah sakit tempat Eira dan Dani sedang beradu mulut. Walau dia tidak tahu akar permasalahan antara Eira dan lelaki di depannya.
“Jadi, Bapak yang udah ngelaporin Bi Wati ke polisi?” tanya Eira. Dia menatap lekat Aryan yang kini tengah duduk di depannya. Saat ini, mereka tengah berada di kantin rumah sakit. Setelah menenangkan diri dari pertengkaran di depan lobi, sekarang Eira sudah dapat mengingat kejadian di tempat makan lesehan pinggir jalan. Malam itu, dia meninggalkan Wati bersama para pengawal Aryan tanpa tahu apa yang selanjutnya terjadi. Eira tak menyangka jika Aryan benar-benar melaporkan bibinya itu ke polisi. Awalnya dia mengira itu hanya sebagai ancaman saja, tetapi kini dia mengerti jika itu bukanlah omong kosong semata.“Bang Andi gak bohong? Tante Wati beneran ada di kantor polisi sekarang?” Eira kembali bertanya saat tak juga mendapat jawaban dari Aryan. Laki-laki itu menyeruput kopi hangatnya lalu menatap Eira lekat. Mulutnya masih tertutup rapat, seolah tak memiliki niat untuk menjawab.“Bapak....” Eira menatap frustrasi Aryan yang masih tetap bungkam. Tanpa sadar tubuhnya pun maju hingga
Eira menghentikan langkahnya di pintu begitu matanya melihat keberadaan Dikta yang sedang berdiri sambil berbincang dengan salah satu rekan kerjanya di tempat parkir. Dia yang sudah selesai bekerja sama sekali tak menyadari keberadaan laki-laki itu sebelumnya. Lokasinya yang berada di pojok parkir, membuat Dikta tak terlihat dari dalam minimarket.“Kenapa Bang Dikta ke sini lagi sih?” gumam Eira. Dia meringis pelan, merasa tak nyaman akan keberadaan mantan rekan kerjanya itu.Reaksi Eira berbanding terbalik dengan Dikta yang tampak langsung menatapnya dengan berbinar, bahkan senyum di bibirnya merekah. Walau enggan, demi kesopanan Eira terpaksa menemui Dikta dan menyapa. “Bang Dikta,” ujarnya yang diiringi senyum tipis dan anggukkan kepala samar.“Tuh, yang ditunggu udah dateng. Kalau gitu, gue masuk dulu,” ujar seorang lelaki yang merupakan rekan kerja Eira.“Apaan sih, Bang?” Eira merengut, tak terima dengan godaan sang rekan kerja
Eira mengerjap pelan kala sinar matahari pagi mengusik tidur lelapnya. Dia memicingkan mata sambil menatap sekitar di mana dia tertidur semalam, setelah melampiaskan kekesalannya pada Aryan yang tak kunjung kembali.Bosan menunggu, akhirnya Eira memutuskan menonton drama favoritnya hingga perlahan kesadarannya direnggut begitu saja kala lelah sudah tak lagi dapat dia tahan. Eira terlelap dalam posisi yang entah bagaimana.Mengingat itu, Eira kembali mengerucutkan bibirnya. Entah jam berapa suaminya itu kembali ke kamar? “Jangan-jangan dia malah belum balik sampai sekarang?” gumam Eira sambil melihat ke arah pintu ruang kerja yang masih tertutup rapat.Namun sesaat kemudian, perhatiannya teralihkan pada laptop miliknya yang sudah tersimpan rapi di atas meja, begitu juga dengan sisa kekesalannya yang sudah membaik. “Enggak mungkin kan kalau Pak Aryan yang membereskan semua ini?” gumam Eira. Dia duduk di ujung ranjang sambil terus menelit
Aryan tersenyum miring begitu dia menutup pintu kamarnya rapat, dia melirik ke belakang seolah bisa melihat Eira yang sedang menahan kesal di dalam sana.‘Dia pasti sedang kesal sekarang.’ Ingatan Aryan kembali pada saat dirinya baru saja sampai di restoran di dekat rumah sakit tempat Gilang dirawat. Sebenarnya dia bisa melihat Eira menemui Dikta. Namun, sayang sekali ketika itu dirinya sudah bersama klien yang ingin bekerja sama, hingga Aryan hanya bisa melihat dan membiarkannya dengan hati yang dongkol.Saat itu, sebenarnya Aryan sudah tahu semuanya. Bahkan dia mendengar dengan jelas apa yang diucapkan Dikta ketuka dirinya menerima telepon di ponsel Eira. Tampaknya laki-laki tidak tahu malu itu memang tengah mendekati Eira, padahal dia sudah tahu kalau Eira telah bersuami. Wajah Aryan langsung berubah serius kala dia sudah sampai di lantai satu dan melihat keberadaan Alderia di ruang tamu. Wanita itu tampak tersenyum semringah saat melihat Aryan berjalan ke arahnya.“Ar....” Alderi
Eira menarik napas dalam lalu menghembuskannya kasar, dia sempat berhenti terlebih dahulu sebelum kembali mengetuk pintu Aryan untuk memberitahu keberadaan Alderia. Matanya melihat hujan yang semakin deras bahkan sebuah gemuruh yang cukup kencang terdengar menggelegar di ujung langit. Dia menyempatkan menutup dulu pintu menuju balkon lalu kembali ke depan ruang kerja Aryan.“Apa, Pak Aryan beneran marah padaku?” gumam Eira ketika pintu di depannya tak kunjung terbuka, padahal ini sudah ketiga kalinya dia mengetuk.“Pak, ada tamu di bawah." Eira kembali berbicara dengan sedikit berteriak, takut tak terdengar oleh Aryan. Namun, pintu tak juga terbuka. “Kayaknya gak mungkin deh kalau dia ketiduran.”“Apa aku buka aja ya.” Eira tatap gagang pintu yang tak kunjung bergerak itu. Perlahan tangannya mulai menyentuh dan mencoba menggerakkannya. “Enggak dikunci,” ujarnya pelan.“Pak Aryan, aku masuk ya,” sambungnya dengan suara yang sedikit lebih ker
“Apa yang Bapak lakukan?!” Eira melebarkan matanya kala melihat Aryan yang sudah menempelkan ponselnya di telinga sambil menyeringai. Tubuhnya gemetar ketakutan akan apa yang terjadi berikutnya jika sampai itu adalah telepon dari Dikta. Mulutnya tertutup rapat saat jari telunjuk Aryan menempel tepat di tengahnya dengan posisi yang masih sama. Hanya beberapa detik laki-laki itu seperti mendengarkan sesuatu dari seberang sana hingga akhirnya dia menjatuhkan ponselnya dan dengan gerakan cepat menempelkan kedua bibir mereka hingga tak ada kesempatan bagi Eira untuk menghindar atau menolaknya. Setelah beberapa saat sama-sama terdiam, perlahan Aryan mulai menggerakkannya. Laki-laki itu melakukannya lumayan lama, hingga mampu membuat Eira melupakan semua rasa takut, kebimbangan, dan semua masalah hidupnya untuk sesaat.“Kamu milikku ... tidak ada yang boleh memilikimu selain aku, Eira Zafran,” ujar Aryan begitu dia melepaskan bibir Eira. Napasnya yang memburu bahkan masih terdengar jelas di
“Sedang apa kamu di sini?” Aryan menatap tajam kedua orang di depannya hingga kerutan di keningnya terlihat jelas.“Arya?” Nathan tak kuasa menahan rasa terkejutnya ketika dia menyadari keberadaan sang sahabat tepat di depannya. Dia berdiri sambil tertawa hambar demi menutupi kecanggungan yang tiba-tiba menggelayuti dirinya.“Sejak kapan lo ada di sini?” tanyanya. Dia merangkul pundak Aryan seolah tak terjadi apa pun, walau nada suaranya yang bergetar tak dapat dia kendalikan. “Eira....” Suara rendah dan penuh penekanan itu dia tujukan pada gadis yang sejak tadi hanya diam dengan wajah pucat pasi, seolah baru saja terpergok tengah berselingkuh. Dia bahkan tak mengalihkan sedikit pun pandangannya pada Nathan yang kini berada di sampingnya.Eira mengedipkan matanya pelan, perlahan dia gulirkan pandangannya pada laki-laki yang sejak tadi sudah menghantui pikirannya. Beginikah rasanya jika kita ketahuan ketika sedang melakukan kesalahan? Dia
“Uhuk!” Eira terbatuk sambil mengerjap cepat, tubuhnya pun otomatis mundur dengan gerakan kaku. ‘Apa yang kamu pikirkan, Ra?’ tangannya kembali mencoba membuka pintu mobil. Namun, ternyata kembali tidak berhasil karena masih terkunci.“Tolong buka pintunya....” Akhirnya Eira kembali memberanikan diri untuk menatap wajah Aryan walau hanya sekilas, sementara tangannya masih mencoba membuka pintu berulang kali.Eira segera ke luar dan berjalan cepat masuk ke rumah sakit, begitu dia berhasil membuka pintu. Dalam hati dia terus merutuki dirinya sendiri yang sempat memikirkan hal yang tidak-tidak bersama dengan Aryan.Sementara itu, Aryan yang masih terpaku di dalam mobil dengan pikiran yang tak bisa beralih dari kejadian tadi, hanya tersenyum tipis kala dia melihat Eira yang berjalan setengah berlari menuju rumah sakit. “Kenapa dia harus bersikap malu seperti itu? Apa dia juga sempat berpikir hal yang sama denganku?”Aryan terkekeh pelan sambi
“Sayang?” Dikta menatap penuh tanya pada interaksi Eira dan Aryan. “Apa maksudnya ini, Ra? Siapa dia?” tanya Dikta sambil menatap penuh tuntutan pada Eira. Dia butuh penjelasan. “Begini, Bang. Eum....” Eira berusaha menjelaskan walau tiba-tiba saja lidahnya terasa sulit untuk digerakkan. Dia bingung harus mengatakan apa pada Dikta. Matanya melebar saat Aryan tiba-tiba maju dan berdiri tepat di tengah-tengah antara dirinya dan Dikta. “Perkenalkan, saya Aryan, suami Eira,” ujar Aryan dengan nada suara tegas dan jelas. Dia mengulurkan tangannya, meminta berjabat dengan Dikta. Seringai miring dan penuh kemenangan terlihat menghiasi wajah tampannya. Eira merengut, dia tatap wajah puas Aryan dengan hati bertanya-tanya. 'Apa maksudnya ini?'“Suami?” Dikta berusaha melihat Eira yang berada di belakang tubuh Aryan. Dia tak peduli pada tangan Aryan, yang dirinya butuhkan saat ini adalah sebuah penjelasan dari Eira langsung. “Kamu sudah menikah, Ra?”"I-itu ... aku...." Eira meringis sambil m
“Kamu benar-benar melaporkan Alderia ke polisi, Ar?” tanya Nathan. Saat ini mereka berdua sedang berada di kantor Aryan. Nathan sengaja mendatangi sahabatnya secara langsung setelah mendengar berita yang beredar tentang Alderia dari Sherin.Aryan menangguk. Dia memang tidak main-main dengan ucapannya beberapa hari lalu. Laki-laki itu tampak membungkukkan tubuhnya hingga kedua siku tangannya bertumpu di lutut bagian atas. Tatapan matanya tampak tajam menusuk pada Nathan, walau seringai di bibirnya tampak jelas.“Siapa pun yang berani mengusik ketenangan keluarga gue, gue akan tindak tegas. Lo sudah tahu pasti tentang itu kan, Than? Gue tidak pernah berubah jika itu soal keamanan dan ketenangan keluarga gue,” ujar Aryan dengan begitu ringan, seolah tanpa beban.“Gue tahu,” angguk Nathan. Namun, kini dia juga memajukan tubuhnya hingga mendekat pada Aryan, lalu melanjutkan perkataannya dengan nada yang terdengar sedikit canggung. “Tapi, apa itu tidak terlalu kejam? Walau bagaimana pun, A