“A-aku mau ke toilet!” Jawab Eira. Dia bergegas segera pergi meninggalkan Aryan yang masih terpaku di tempat duduknya. Laki-laki itu hanya berkedip pelan dengan wajah bingungnya. Dia merasakan jantungnya yang berdegup begitu kencang. ‘Apa yang baru saja terjadi padaku?’ Aryan bahkan tak bisa menerima jika dirinya sempat terpesona pada gadis yang telah dia nikahi. Sementara itu, di dalam toilet perempuan Eira sedang mengipasi wajahnya yang terasa panas dengan kedua tangannya. Dia mengatur ritme napasnya yang memburu karena debar di dalam dada. “Astaga, kenapa di sini tiba-tiba panas sekali,” gumam Eira sambil mengedarkan pandangannya, memastikan tidak ada orang lagi di sana dan dia tidak akan merasa malu. Eira menatap wajahnya di dalam pantulan cermin, tetapi apa yang dia lihat malah semakin membuatnya frustrasi karena melihat wajahnya yang memerah hampir seperti buah tomat. “Sejak kapan wajahku seperti ini?” Eira menangkup pipinya menggunakan kedua tangannya. “Apa Pak Aryan meliha
“Lelang?” Eira menatap penuh tanya Aryan. Seumur hidupnya, bahkan dia tidak pernah menginjakkan kakinya di tempat seperti ini. Ayan mengangguk. Dia tersenyum pada Eira sambil memperlihatkan sebuah kartu. “Khusus malam ini kamu boleh membeli apa pun yang kamu mau,” ujarnya dengan begitu mudah. Garis senyum tipis bahkan terlihat di bibinya. Eira masih belum bereaksi apa pun pada jawaban Aryan yang begitu mengejutkan, ketika laki-laki itu menarik tangannya dan mengajaknya masuk tanpa bertanya lebih dulu. “Tu-tunggu dulu....” Eira tak sempat menahan Aryan, karena kini keduanya sudah berada di tempat acara pelelangan berlangsung. Eira berkedip pelan, dia seolah berada di tempat yang berbeda saat ini. Kumpulan para orang-orang kalangan atas berada di setiap sudut, mereka saling menyapa satu sama lain, sebelum acara dimulai sebentar lagi. Aryan dan Eira diantar menuju ke salah satu kursi yang ada di sana, lalu keduanya duduk berdampingan. “Apa ini pertama kalinya kamu datang ke tempat in
“Kenapa kamu tidak jadi membeli kalung itu?” tanya Aryan, kini keduanya sudah kembali berada di mobil. Mereka memilih pulang lebih dulu, padahal acara lelang belum selesai. “Aku tidak suka barang semahal itu,” jawab Eira dengan mudahnya. Padahal tadi dia sudah menawar hingga tujuh puluh lima dolar Amerika, atau setara dengan satu miliar lebih, bila dirupiahkan. “Jadi kamu hanya ingin menjebak Amanda, supaya dia mengeluarkan uang lebih banyak untuk membeli kalung itu?” tanya Aryan sambil menatap Eira dengan wajah terkejutnya. Gadis itu tersenyum lalu mengangguk. “Aku gak suka aja sama gayanya yang gak tau malu. Masa dia mau menggoda suami orang di depan istrinya sendiri. Ckckck ... dasar pelakor,” ujarnya sambil menggeleng miris. Tangannya mengepal menahan kesal membayangkan wajah cantik Amanda yang sayang sekali digunakan untuk merayu laki-laki beristri. Aryan terkekeh, tak disangka ternyata Eira yang terlihat lemah dan ceroboh, bisa melakukan hal seperti itu juga. “Bagaimana kalau
Pagi ini di akhir pekan memang sangat cocok untuk melakukan aktivitas olahraga santai di luar rumah, apa lagi jika didukung oleh cuaca yang begitu bagus. Eira sengaja bangun lebih pagi dari biasanya, dia yang masih memendam kesal pada Aryan berencana untuk menghabiskan waktunya dengan berjalan pagi santai, sekaligus mengenal wilayah rumah mereka yang ternyata belum sempat Eira jamah. Setelah pindah, bahkan dia belum sempat untuk menikmati waktunya dan melihat area sekitar perumahan mereka, karena semua jadwal pekerjaannya yang padat dan permasalahan yang terus datang silih berganti tanpa ada jeda sama sekali. Jarum jam masih menunjuk ke angka enam kala Eira ke luar dari kamar dengan setelan pakaian olahraga lengkap dengan sepatunya dan headset yang menggantung di lehernya. “Tampaknya Nyonya ingin berolahraga pagi?” tanya Pak Hadi yang sedang memperhatikan bagian koki menyiapkan sarapan di dapur. Sejenak, dia hentikan aktivitasnya demi melihat nyonya mudanya yang tampak sudah rapi.
“Ikut aku sekarang atau kamu mati di sini!” Tubuh Eira menegang kala dia merasakan sebuah ancaman serius dari seseorang di belakangnya. Tangannya mengepal erat, menahan gejolak panik yang mulai merambat menguasai dirinya. Dia berusaha mengendalikan diri, walau kakinya terasa sangat lemas hingga sulit untuk digerakkan. “Si-siapa kamu?” tanya Eira. Dia berusaha keras untuk bisa mengeluarkan pertanyaan itu di saat seluruh tubuhnya terasa kaku. Matanya terus melirik ke belakang, berusaha melihat wajah orang yang sekarang tengah mengancamnya. “Jangan macam-macam!” Suara dari seseorang di belakangnya membuat Eira langsung menutup mulutnya rapat. Dia berani lagi mencoba melihat ke belakang. Memilih menutup matanya sambil terus berusaha mengatur napasnya yang mulai terasa sesak akibat debar jantung yang semakin kencang. Keringat dingin pun mulai muncul dan menetes di pelipisnya. Hari sempurna yang mulai mampu mengembalikan suasana hatinya, setelah kejadian tadi malam, entah mengapa bergant
“Apa kamu tidak bisa jika tidak membuat masalah sebentar saja?” Kening Aryan berkerut dalam. Eira membawa kakinya mundur satu langkah, menjauh dari Aryan. Jantungnya yang sudah mulai tenang kini kembali berdebar lebih kencang karena suara Aryan yang mengejutkannya. ‘Apa dia harus berkata seperti itu di depan banyak orang seperti ini?’ Eira mengedarkan matanya, melihat orang-orang yang tengah memperhatikan mereka berdua, termasuk beberapa petugas polisi yang baru saja ke luar dari mobilnya. “Siapa juga yang mau diancam begitu? Mas pikir aku mau ditodong pisau seperti tadi?” tanya Eira. Matanya kembali basah, begitu juga dengan suaranya yang bergetar. Keduanya sempat saling bertatap mata beberapa detik, hingga salah satu petugas polisi menghampiri dan meminta keterangan tentang laporan yang mereka terima beberapa saat yang lalu. “Kami perlu mendengar keterangan dari kalian berdua,” ujar salah satu petugas polisi dan meminta keduanya untuk ikut ke kantor polisi terdekat. “Bisakah kam
“Kamu benar-benar melaporkan Alderia ke polisi, Ar?” tanya Nathan. Saat ini mereka berdua sedang berada di kantor Aryan. Nathan sengaja mendatangi sahabatnya secara langsung setelah mendengar berita yang beredar tentang Alderia dari Sherin.Aryan menangguk. Dia memang tidak main-main dengan ucapannya beberapa hari lalu. Laki-laki itu tampak membungkukkan tubuhnya hingga kedua siku tangannya bertumpu di lutut bagian atas. Tatapan matanya tampak tajam menusuk pada Nathan, walau seringai di bibirnya tampak jelas.“Siapa pun yang berani mengusik ketenangan keluarga gue, gue akan tindak tegas. Lo sudah tahu pasti tentang itu kan, Than? Gue tidak pernah berubah jika itu soal keamanan dan ketenangan keluarga gue,” ujar Aryan dengan begitu ringan, seolah tanpa beban.“Gue tahu,” angguk Nathan. Namun, kini dia juga memajukan tubuhnya hingga mendekat pada Aryan, lalu melanjutkan perkataannya dengan nada yang terdengar sedikit canggung. “Tapi, apa itu tidak terlalu kejam? Walau bagaimana pun, A
“Sayang?” Dikta menatap penuh tanya pada interaksi Eira dan Aryan. “Apa maksudnya ini, Ra? Siapa dia?” tanya Dikta sambil menatap penuh tuntutan pada Eira. Dia butuh penjelasan. “Begini, Bang. Eum....” Eira berusaha menjelaskan walau tiba-tiba saja lidahnya terasa sulit untuk digerakkan. Dia bingung harus mengatakan apa pada Dikta. Matanya melebar saat Aryan tiba-tiba maju dan berdiri tepat di tengah-tengah antara dirinya dan Dikta. “Perkenalkan, saya Aryan, suami Eira,” ujar Aryan dengan nada suara tegas dan jelas. Dia mengulurkan tangannya, meminta berjabat dengan Dikta. Seringai miring dan penuh kemenangan terlihat menghiasi wajah tampannya. Eira merengut, dia tatap wajah puas Aryan dengan hati bertanya-tanya. 'Apa maksudnya ini?'“Suami?” Dikta berusaha melihat Eira yang berada di belakang tubuh Aryan. Dia tak peduli pada tangan Aryan, yang dirinya butuhkan saat ini adalah sebuah penjelasan dari Eira langsung. “Kamu sudah menikah, Ra?”"I-itu ... aku...." Eira meringis sambil m
Eira menghentikan langkahnya di pintu begitu matanya melihat keberadaan Dikta yang sedang berdiri sambil berbincang dengan salah satu rekan kerjanya di tempat parkir. Dia yang sudah selesai bekerja sama sekali tak menyadari keberadaan laki-laki itu sebelumnya. Lokasinya yang berada di pojok parkir, membuat Dikta tak terlihat dari dalam minimarket.“Kenapa Bang Dikta ke sini lagi sih?” gumam Eira. Dia meringis pelan, merasa tak nyaman akan keberadaan mantan rekan kerjanya itu.Reaksi Eira berbanding terbalik dengan Dikta yang tampak langsung menatapnya dengan berbinar, bahkan senyum di bibirnya merekah. Walau enggan, demi kesopanan Eira terpaksa menemui Dikta dan menyapa. “Bang Dikta,” ujarnya yang diiringi senyum tipis dan anggukkan kepala samar.“Tuh, yang ditunggu udah dateng. Kalau gitu, gue masuk dulu,” ujar seorang lelaki yang merupakan rekan kerja Eira.“Apaan sih, Bang?” Eira merengut, tak terima dengan godaan sang rekan kerja
Eira mengerjap pelan kala sinar matahari pagi mengusik tidur lelapnya. Dia memicingkan mata sambil menatap sekitar di mana dia tertidur semalam, setelah melampiaskan kekesalannya pada Aryan yang tak kunjung kembali.Bosan menunggu, akhirnya Eira memutuskan menonton drama favoritnya hingga perlahan kesadarannya direnggut begitu saja kala lelah sudah tak lagi dapat dia tahan. Eira terlelap dalam posisi yang entah bagaimana.Mengingat itu, Eira kembali mengerucutkan bibirnya. Entah jam berapa suaminya itu kembali ke kamar? “Jangan-jangan dia malah belum balik sampai sekarang?” gumam Eira sambil melihat ke arah pintu ruang kerja yang masih tertutup rapat.Namun sesaat kemudian, perhatiannya teralihkan pada laptop miliknya yang sudah tersimpan rapi di atas meja, begitu juga dengan sisa kekesalannya yang sudah membaik. “Enggak mungkin kan kalau Pak Aryan yang membereskan semua ini?” gumam Eira. Dia duduk di ujung ranjang sambil terus menelit
Aryan tersenyum miring begitu dia menutup pintu kamarnya rapat, dia melirik ke belakang seolah bisa melihat Eira yang sedang menahan kesal di dalam sana.‘Dia pasti sedang kesal sekarang.’ Ingatan Aryan kembali pada saat dirinya baru saja sampai di restoran di dekat rumah sakit tempat Gilang dirawat. Sebenarnya dia bisa melihat Eira menemui Dikta. Namun, sayang sekali ketika itu dirinya sudah bersama klien yang ingin bekerja sama, hingga Aryan hanya bisa melihat dan membiarkannya dengan hati yang dongkol.Saat itu, sebenarnya Aryan sudah tahu semuanya. Bahkan dia mendengar dengan jelas apa yang diucapkan Dikta ketuka dirinya menerima telepon di ponsel Eira. Tampaknya laki-laki tidak tahu malu itu memang tengah mendekati Eira, padahal dia sudah tahu kalau Eira telah bersuami. Wajah Aryan langsung berubah serius kala dia sudah sampai di lantai satu dan melihat keberadaan Alderia di ruang tamu. Wanita itu tampak tersenyum semringah saat melihat Aryan berjalan ke arahnya.“Ar....” Alderi
Eira menarik napas dalam lalu menghembuskannya kasar, dia sempat berhenti terlebih dahulu sebelum kembali mengetuk pintu Aryan untuk memberitahu keberadaan Alderia. Matanya melihat hujan yang semakin deras bahkan sebuah gemuruh yang cukup kencang terdengar menggelegar di ujung langit. Dia menyempatkan menutup dulu pintu menuju balkon lalu kembali ke depan ruang kerja Aryan.“Apa, Pak Aryan beneran marah padaku?” gumam Eira ketika pintu di depannya tak kunjung terbuka, padahal ini sudah ketiga kalinya dia mengetuk.“Pak, ada tamu di bawah." Eira kembali berbicara dengan sedikit berteriak, takut tak terdengar oleh Aryan. Namun, pintu tak juga terbuka. “Kayaknya gak mungkin deh kalau dia ketiduran.”“Apa aku buka aja ya.” Eira tatap gagang pintu yang tak kunjung bergerak itu. Perlahan tangannya mulai menyentuh dan mencoba menggerakkannya. “Enggak dikunci,” ujarnya pelan.“Pak Aryan, aku masuk ya,” sambungnya dengan suara yang sedikit lebih ker
“Apa yang Bapak lakukan?!” Eira melebarkan matanya kala melihat Aryan yang sudah menempelkan ponselnya di telinga sambil menyeringai. Tubuhnya gemetar ketakutan akan apa yang terjadi berikutnya jika sampai itu adalah telepon dari Dikta. Mulutnya tertutup rapat saat jari telunjuk Aryan menempel tepat di tengahnya dengan posisi yang masih sama. Hanya beberapa detik laki-laki itu seperti mendengarkan sesuatu dari seberang sana hingga akhirnya dia menjatuhkan ponselnya dan dengan gerakan cepat menempelkan kedua bibir mereka hingga tak ada kesempatan bagi Eira untuk menghindar atau menolaknya. Setelah beberapa saat sama-sama terdiam, perlahan Aryan mulai menggerakkannya. Laki-laki itu melakukannya lumayan lama, hingga mampu membuat Eira melupakan semua rasa takut, kebimbangan, dan semua masalah hidupnya untuk sesaat.“Kamu milikku ... tidak ada yang boleh memilikimu selain aku, Eira Zafran,” ujar Aryan begitu dia melepaskan bibir Eira. Napasnya yang memburu bahkan masih terdengar jelas di
“Sedang apa kamu di sini?” Aryan menatap tajam kedua orang di depannya hingga kerutan di keningnya terlihat jelas.“Arya?” Nathan tak kuasa menahan rasa terkejutnya ketika dia menyadari keberadaan sang sahabat tepat di depannya. Dia berdiri sambil tertawa hambar demi menutupi kecanggungan yang tiba-tiba menggelayuti dirinya.“Sejak kapan lo ada di sini?” tanyanya. Dia merangkul pundak Aryan seolah tak terjadi apa pun, walau nada suaranya yang bergetar tak dapat dia kendalikan. “Eira....” Suara rendah dan penuh penekanan itu dia tujukan pada gadis yang sejak tadi hanya diam dengan wajah pucat pasi, seolah baru saja terpergok tengah berselingkuh. Dia bahkan tak mengalihkan sedikit pun pandangannya pada Nathan yang kini berada di sampingnya.Eira mengedipkan matanya pelan, perlahan dia gulirkan pandangannya pada laki-laki yang sejak tadi sudah menghantui pikirannya. Beginikah rasanya jika kita ketahuan ketika sedang melakukan kesalahan? Dia
“Uhuk!” Eira terbatuk sambil mengerjap cepat, tubuhnya pun otomatis mundur dengan gerakan kaku. ‘Apa yang kamu pikirkan, Ra?’ tangannya kembali mencoba membuka pintu mobil. Namun, ternyata kembali tidak berhasil karena masih terkunci.“Tolong buka pintunya....” Akhirnya Eira kembali memberanikan diri untuk menatap wajah Aryan walau hanya sekilas, sementara tangannya masih mencoba membuka pintu berulang kali.Eira segera ke luar dan berjalan cepat masuk ke rumah sakit, begitu dia berhasil membuka pintu. Dalam hati dia terus merutuki dirinya sendiri yang sempat memikirkan hal yang tidak-tidak bersama dengan Aryan.Sementara itu, Aryan yang masih terpaku di dalam mobil dengan pikiran yang tak bisa beralih dari kejadian tadi, hanya tersenyum tipis kala dia melihat Eira yang berjalan setengah berlari menuju rumah sakit. “Kenapa dia harus bersikap malu seperti itu? Apa dia juga sempat berpikir hal yang sama denganku?”Aryan terkekeh pelan sambi
“Sayang?” Dikta menatap penuh tanya pada interaksi Eira dan Aryan. “Apa maksudnya ini, Ra? Siapa dia?” tanya Dikta sambil menatap penuh tuntutan pada Eira. Dia butuh penjelasan. “Begini, Bang. Eum....” Eira berusaha menjelaskan walau tiba-tiba saja lidahnya terasa sulit untuk digerakkan. Dia bingung harus mengatakan apa pada Dikta. Matanya melebar saat Aryan tiba-tiba maju dan berdiri tepat di tengah-tengah antara dirinya dan Dikta. “Perkenalkan, saya Aryan, suami Eira,” ujar Aryan dengan nada suara tegas dan jelas. Dia mengulurkan tangannya, meminta berjabat dengan Dikta. Seringai miring dan penuh kemenangan terlihat menghiasi wajah tampannya. Eira merengut, dia tatap wajah puas Aryan dengan hati bertanya-tanya. 'Apa maksudnya ini?'“Suami?” Dikta berusaha melihat Eira yang berada di belakang tubuh Aryan. Dia tak peduli pada tangan Aryan, yang dirinya butuhkan saat ini adalah sebuah penjelasan dari Eira langsung. “Kamu sudah menikah, Ra?”"I-itu ... aku...." Eira meringis sambil m
“Kamu benar-benar melaporkan Alderia ke polisi, Ar?” tanya Nathan. Saat ini mereka berdua sedang berada di kantor Aryan. Nathan sengaja mendatangi sahabatnya secara langsung setelah mendengar berita yang beredar tentang Alderia dari Sherin.Aryan menangguk. Dia memang tidak main-main dengan ucapannya beberapa hari lalu. Laki-laki itu tampak membungkukkan tubuhnya hingga kedua siku tangannya bertumpu di lutut bagian atas. Tatapan matanya tampak tajam menusuk pada Nathan, walau seringai di bibirnya tampak jelas.“Siapa pun yang berani mengusik ketenangan keluarga gue, gue akan tindak tegas. Lo sudah tahu pasti tentang itu kan, Than? Gue tidak pernah berubah jika itu soal keamanan dan ketenangan keluarga gue,” ujar Aryan dengan begitu ringan, seolah tanpa beban.“Gue tahu,” angguk Nathan. Namun, kini dia juga memajukan tubuhnya hingga mendekat pada Aryan, lalu melanjutkan perkataannya dengan nada yang terdengar sedikit canggung. “Tapi, apa itu tidak terlalu kejam? Walau bagaimana pun, A