Home / Romansa / Pesona Ibu Susu Anakku / Chapter 71 - Chapter 80

All Chapters of Pesona Ibu Susu Anakku: Chapter 71 - Chapter 80

111 Chapters

71. Hasil tes DNA

"Yang... kenapa Pak Erwin melakukan tes DNA atas nama Bima? Apa maksudnya?""Mungkin Pak Erwin ragu kali, kalau Bima itu anaknya," tebak Lukman."Ah masa iya, sih, Yang?" Lily tampak ragu. "Tapi kenapa baru sekarang? Selain itu ... muka Bima 'kan mirip sama Pak Erwin, Yang?""Kalau soal itu aku nggak tau. Lagian itu juga bukan urusan kita kok, Yang. Jadi berhenti memikirkan urusan mereka."Lily langsung mengangguk, merasa paham dengan apa yang suaminya katakan.Tak lama kemudian, perawat itu pun beralih menghampiri mereka sambil memberikan sebuah amplop putih di tangannya."Tes DNA atas nama Lily Andriana, ya, Bu?" tanya perawat itu."Iya, Pak." Lily mengangguk cepat seraya menerima. Karena sudah sangat penasaran, akhirnya dia langsung membuka amplop itu dan membaca isinya."Lho, Yang, kenapa langsung kamu buka? Harusnya nanti saja. Kita pulang dulu." Lukman segera menarik istrinya dan mengajaknya keluar dari rumah sakit.Padahal diawal dialah yang meminta untuk merahasiakan masalah i
Read more

72. Jenny muntah-muntah

"Lho, Jen ... ada apa denganmu?" tanya Bima kekhawatiran saat melihat Jenny berlari dengan tergesa-gesa. Tanpa ragu, dia segera menutup teleponnya dan berlari mendekati Jenny.Tiba-tiba, rasa mual yang tak tertahankan membuat Jenny tak bisa menahannya lagi. Dia memuntahkan isi perutnya sebelum sampai di toilet."Uuueekk! Uueeekk!"Bima segera merangkul bahu Jenny, khawatir akan keadaannya. "Apa kamu sakit, Jen? Mungkin kita sebaiknya pergi ke rumah sakit sekarang," ajak Bima dengan penuh perhatian. Dia membawa Jenny ke toilet umum terdekat untuk membersihkan diri.Tak lama kemudian, Jenny kembali merasa mual dan muntah lagi. Bima dengan lembut memijat tengkuknya, mencoba memberikan sedikit kenyamanan."Aku baik-baik saja, Pak. Bapak bisa keluar dari toilet," kata Jenny dengan suara lemah. Dia merasa tidak nyaman dengan kehadiran Bima di dalam toilet yang seharusnya hanya untuk perempuan.Bima menolak. "Aku khawatir kamu akan jatuh. Aku akan tetap menemanimu sampai selesai."Namun, Jen
Read more

73. Fakta sebenarnya

"Nanti saja Ayah ceritakannya ketika kamu sudah ke rumah," kata Erwin dengan lembut."Oke deh. Kalau begitu aku tutup teleponnya, assalamualaikum," ucap Bima."Walaikum salam."Setelah mereka mengakhiri panggilan, Weni masuk ke dalam mobil dan Bima segera mengemudikan mobilnya menuju apartemen.Namun, sebelum sampai di sana, Bima berhenti sejenak di apotek untuk membeli obat pereda mual untuk Jenny. Kemudian, dia juga singgah ke restorannya untuk memesan satu wedang jahe dan bubur ayam."Aku akan ke rumah Ayah dulu, Jen. Kamu jangan lupa makan dan minum wedang jahe. Tapi jika masih merasa mual ... obat yang aku beli langsung kamu minum saja dan baru tidur setelah itu. Istirahatlah," kata Bima saat dia mengantarkan Jenny ke dalam kamar.Weni juga ikut masuk sambil membawa Kaila menuju ranjang bayi, karena bayi perempuan itu masih tertidur nyenyak setelah perjalanan pulang tadi."Iya, Pak. Terima kasih sekali lagi atas perhatiannya," ucap Jenny pelan sambil berbaring. Bima segera menyeli
Read more

74. "Tidak Cocok"

"Kamu harus menerima, kalau ternyata Kaila itu bukan anak kandungmu."Bima merasakan kejutan yang begitu dahsyat, seakan-akan petir menyambar langsung ke dalam dadanya. Rasa nyeri yang tiba-tiba melanda membuatnya terhenyak, tak mampu berkata-kata.Apa yang Erwin sampaikan betul-betul menusuk hati Bima seperti pisau yang menusuk dalam. Dia merasakan kehancuran yang begitu mendalam, seolah-olah dunianya runtuh dalam sekejap.Dengan tangan yang bergetar, Bima dengan ragu meraih amplop putih yang masih berada di tangan Erwin. Dia merasa penasaran dan ingin memastikan kebenaran dari apa yang dikatakan Erwin. Hati-hati Bima pun membuka amplop tersebut dan membaca isinya.Ketika Bima membaca kata-kata "Tidak Cocok" yang tercetak tebal di dalam amplop, hatinya terkejut. Dia tidak bisa mempercayai apa yang terjadi, meskipun rasa sakit yang mendalam melanda hatinya. Air matanya hampir jatuh, tetapi dia dengan cepat mengusapnya."Ini pasti ada kesalahan. Ini nggak mungkin benar!" seru Bima deng
Read more

75. Seperti orang ngidam

Drrtttt ... Drrtttt ... Drrttt.Tiba-tiba, suara getaran ponsel milik Weni terdengar di atas meja. Weni yang baru saja selesai mengerok punggung Jenny segera meraih benda itu."Siapa yang menelepon, Mbak? Apa itu dari Pak Bima?" tanya Jenny dengan harapan dalam suaranya."Aku nggak tau, Jen. Ini nomor baru. Sudahlah, pakai kembali bajumu lalu minum obatmu," titah Weni."Iya, Mbak." Jenny mengangguk dan bergegas mengenakan kembali bajunya yang sebelumnya sengaja dilepaskan. Dia lalu menelan satu butir obat pereda mual."Halo ... maaf, siapa ini?" tanya Weni saat baru saja mengangkat panggilan."Ini Lily, kamu berada di mana sekarang, Wen?""Lily?!" Weni mengerutkan dahinya. Dan dalam sekejap, dia bertanya, "Apakah maksudnya ini Bu Lily, Mamanya Bu Raya??""Iya, Wen. Ini aku. Kamu berada di mana sekarang?""Maaf, Bu. Tapi saya nggak bisa memberitahukan keberadaan saya kepada Ibu," ucap Weni dengan penuh penyesalan.Weni teringat pesan dari Bima pada hari pertama mereka tinggal di apar
Read more

76. Mama sangat merindukanmu

"Aku juga baik kok, Jen.""Bapak yakin??" Jenny merasa belum sepenuhnya percaya. Sebab suara Bima makin melemah. Ditambah selama ini yang dia tahu, Bima lah yang paling bersemangat jika sedang mengobrol dengannya."Iya." "Eemmm, Pak. Jadi niatku telepon itu tadinya mau tanya ... apakah aku boleh makan rujak? Aku lagi kepengen makan rujak jambu air, Pak.""Kamu 'kan kemarin habis mual dan muntah-muntah, Jen. Jangan dulu makan rujak. Nanti kamu sakit perut.""Tapi aku udah sembuh sekarang, Pak. Dan aku kepengen banget makan rujak jambu air.""Ya udah begini saja ... nanti jambu airnya aku belikan beserta bahan-bahan untuk membuat bumbu rujak. Tapi biar Mbak Weni saja yang membuatkannya dan nggak boleh terlalu pedas.""Jangan Mbak Weni yang buat. Aku nggak enak. Aku udah banyak merepotkannya. Nanti biar aku beli sendiri saja, Pak. Biar lebih praktis juga.""Lebih baik bikin sendiri, jauh lebih sehat. Ya sudah, nanti aku akan minta Budi untuk mengirimkan apa yang kamu butuhkan.""Tapi, P
Read more

77. Anak kandungku

"Enggak, Mama nggak dalam keadaan mabuk. Ini Mama lagi sadar, Sayang," jawab Lily dengan tegas. Ia kemudian melepaskan pelukan dan mengelus puncak rambut Jenny dengan lembut. "Boleh kita mengobrol berdua? Ada hal yang ingin Mama bicarakan padamu."Lily dengan lembut meraih tangan Jenny, hendak menariknya. Namun, tiba-tiba Weni muncul dari arah dapur dengan membawa piring berisi potongan jambu air yang disiram bumbu rujak."Lho, Bu Lily?!" seru Weni. Dia bergegas menghampiri mereka dan menarik Jenny untuk berdiri di belakangnya. Weni tampak khawatir. "Apa yang Ibu lakukan di sini dan kenapa pegang-pegang Jenny segala?""Memang kenapa kalau aku ada di sini?" Lily menatap Weni dengan tatapan tidak suka, terutama saat mengingat sikap Weni saat di telepon."Kan saya sudah bilang, kalau Ibu itu nggak boleh datang kalau belum mendapatkan izin dari Pak Bima. Sekarang Ibu keluar!" Weni tegas, menunjuk ke arah pintu."Siapa kamu berani ngusir aku? Nggak usah songgong ya, Wen!!" Lily geram, kemu
Read more

78. Sumsum tulang belakang

Jenny terdiam sejenak, membiarkan kata-kata Lily meresap ke dalam pikirannya.Namun, dia juga teringat akan cerita yang pernah didengarnya dari Weni tentang adik Soraya yang dibuang ke panti asuhan. Pertanyaan pun muncul di benaknya, apakah dia adalah anak yang dimaksud? Dan mengapa cerita Lily dan Weni terdengar berbeda? Siapa yang benar dan tidak sebenarnya?"Kamu sekarang percaya 'kan, sama Mama, Jen?" tanya Lily dengan harapan yang terpancar dalam matanya. Dia dengan lembut meraih kembali tangan Jenny, mencoba menyentuh hati perempuan itu. "Dan perlu kamu ingat juga... meskipun Mama menitipkanmu ke panti asuhan, tapi rasa sayang Mama padamu nggak pernah berkurang sama sekali. Mama sangat menyayangimu, Jen."Kata-kata Lily kembali membuat Jenny terdiam sejenak. Wajahnya dipenuhi oleh kebingungan yang tak terungkapkan.Meskipun awalnya merasa ragu, namun entah mengapa, dada Jenny terasa teriris oleh kepedihan yang mendalam."Kalau memang Mama sayang padaku... tapi kenapa baru sekar
Read more

79. Urusan kita berdua

"Karena cuma itu yang bisa dilakukan. Kamu mau 'kan ... melihat Mama sembuh? Melihat Mama panjang umur dan hidup bersama-sama dengan Mama?" ujar Lily, suaranya penuh dengan harapan dan kerinduan."Aku nggak mau hidup bersama Mama." Kata-kata Jenny terdengar tegas dan jelas, seolah memotong harapan yang baru saja muncul di hati Lily."Apa?! Apa maksudmu, Jen?!" Lily tampak terkejut mendengar jawaban Jenny. Bola matanya terasa panas, hatinya pun ikut kesal. Tentulah dia merasa sangat tidak puas dengan itu. "Kenapa kamu tega sama—""Aku nggak mau hidup bersama Mama karena 'kan Mama tau aku kerja dengan Pak Bima," potong Jenny cepat. "Selain itu, suami Mama adalah Om Lukman. Aku membencinya, tapi bukan berarti aku nggak mau Mama sembuh. Pastinya sebagai seorang anak ... aku mau Mama sembuh."Diakhir kalimat Jenny langsung membuat Lily sedikit lega.Tidak masalah, kalau memang Jenny tak mau tinggal bersamanya. Karena Lily juga tak sungguh-sungguh mengajak Jenny tinggal bersamanya.Apa yang
Read more

80. Khawatir

"Enggak, Bud." Bima menggeleng cepat. "Ini sama sekali nggak ada hubungannya dengan Jenny. Nanti aku cerita, tapi bukan sekarang." Lalu dia menyentuh bahu kanan Budi sebelum akhirnya dia keluar dari ruangan itu.***Setelah tiga puluh menit berlalu, Bima akhirnya tiba di sebuah mall besar yang terletak di pusat kota.Dengan langkah mantap, dia masuk ke dalam mall dan menuju sebuah salon rambut wanita tempat Billy bekerja.Sejak rahasianya terbongkar, Billy telah memutuskan untuk meninggalkan dunia Soraya dan memulai profesi baru sebagai Hairstylist atau penata rambut di salon besar milik temannya.Semua ini bukanlah keinginan Bima, melainkan karena Billy merasa perlu mengubah hidupnya dan merasa malu karena telah menghancurkan rumah tangga orang lain."Selamat sore, selamat datang di ...." Billy menyambut dengan ramah seseorang yang baru saja membuka pintu kaca salon, mengira itu adalah seorang pelanggan. Namun, raut wajahnya berubah kaget saat melihat bahwa orang itu adalah Bima."Lh
Read more
PREV
1
...
678910
...
12
DMCA.com Protection Status