"Lho, Jen ... ada apa denganmu?" tanya Bima kekhawatiran saat melihat Jenny berlari dengan tergesa-gesa. Tanpa ragu, dia segera menutup teleponnya dan berlari mendekati Jenny.Tiba-tiba, rasa mual yang tak tertahankan membuat Jenny tak bisa menahannya lagi. Dia memuntahkan isi perutnya sebelum sampai di toilet."Uuueekk! Uueeekk!"Bima segera merangkul bahu Jenny, khawatir akan keadaannya. "Apa kamu sakit, Jen? Mungkin kita sebaiknya pergi ke rumah sakit sekarang," ajak Bima dengan penuh perhatian. Dia membawa Jenny ke toilet umum terdekat untuk membersihkan diri.Tak lama kemudian, Jenny kembali merasa mual dan muntah lagi. Bima dengan lembut memijat tengkuknya, mencoba memberikan sedikit kenyamanan."Aku baik-baik saja, Pak. Bapak bisa keluar dari toilet," kata Jenny dengan suara lemah. Dia merasa tidak nyaman dengan kehadiran Bima di dalam toilet yang seharusnya hanya untuk perempuan.Bima menolak. "Aku khawatir kamu akan jatuh. Aku akan tetap menemanimu sampai selesai."Namun, Jen
"Nanti saja Ayah ceritakannya ketika kamu sudah ke rumah," kata Erwin dengan lembut."Oke deh. Kalau begitu aku tutup teleponnya, assalamualaikum," ucap Bima."Walaikum salam."Setelah mereka mengakhiri panggilan, Weni masuk ke dalam mobil dan Bima segera mengemudikan mobilnya menuju apartemen.Namun, sebelum sampai di sana, Bima berhenti sejenak di apotek untuk membeli obat pereda mual untuk Jenny. Kemudian, dia juga singgah ke restorannya untuk memesan satu wedang jahe dan bubur ayam."Aku akan ke rumah Ayah dulu, Jen. Kamu jangan lupa makan dan minum wedang jahe. Tapi jika masih merasa mual ... obat yang aku beli langsung kamu minum saja dan baru tidur setelah itu. Istirahatlah," kata Bima saat dia mengantarkan Jenny ke dalam kamar.Weni juga ikut masuk sambil membawa Kaila menuju ranjang bayi, karena bayi perempuan itu masih tertidur nyenyak setelah perjalanan pulang tadi."Iya, Pak. Terima kasih sekali lagi atas perhatiannya," ucap Jenny pelan sambil berbaring. Bima segera menyeli
"Kamu harus menerima, kalau ternyata Kaila itu bukan anak kandungmu."Bima merasakan kejutan yang begitu dahsyat, seakan-akan petir menyambar langsung ke dalam dadanya. Rasa nyeri yang tiba-tiba melanda membuatnya terhenyak, tak mampu berkata-kata.Apa yang Erwin sampaikan betul-betul menusuk hati Bima seperti pisau yang menusuk dalam. Dia merasakan kehancuran yang begitu mendalam, seolah-olah dunianya runtuh dalam sekejap.Dengan tangan yang bergetar, Bima dengan ragu meraih amplop putih yang masih berada di tangan Erwin. Dia merasa penasaran dan ingin memastikan kebenaran dari apa yang dikatakan Erwin. Hati-hati Bima pun membuka amplop tersebut dan membaca isinya.Ketika Bima membaca kata-kata "Tidak Cocok" yang tercetak tebal di dalam amplop, hatinya terkejut. Dia tidak bisa mempercayai apa yang terjadi, meskipun rasa sakit yang mendalam melanda hatinya. Air matanya hampir jatuh, tetapi dia dengan cepat mengusapnya."Ini pasti ada kesalahan. Ini nggak mungkin benar!" seru Bima deng
Drrtttt ... Drrtttt ... Drrttt.Tiba-tiba, suara getaran ponsel milik Weni terdengar di atas meja. Weni yang baru saja selesai mengerok punggung Jenny segera meraih benda itu."Siapa yang menelepon, Mbak? Apa itu dari Pak Bima?" tanya Jenny dengan harapan dalam suaranya."Aku nggak tau, Jen. Ini nomor baru. Sudahlah, pakai kembali bajumu lalu minum obatmu," titah Weni."Iya, Mbak." Jenny mengangguk dan bergegas mengenakan kembali bajunya yang sebelumnya sengaja dilepaskan. Dia lalu menelan satu butir obat pereda mual."Halo ... maaf, siapa ini?" tanya Weni saat baru saja mengangkat panggilan."Ini Lily, kamu berada di mana sekarang, Wen?""Lily?!" Weni mengerutkan dahinya. Dan dalam sekejap, dia bertanya, "Apakah maksudnya ini Bu Lily, Mamanya Bu Raya??""Iya, Wen. Ini aku. Kamu berada di mana sekarang?""Maaf, Bu. Tapi saya nggak bisa memberitahukan keberadaan saya kepada Ibu," ucap Weni dengan penuh penyesalan.Weni teringat pesan dari Bima pada hari pertama mereka tinggal di apar
"Aku juga baik kok, Jen.""Bapak yakin??" Jenny merasa belum sepenuhnya percaya. Sebab suara Bima makin melemah. Ditambah selama ini yang dia tahu, Bima lah yang paling bersemangat jika sedang mengobrol dengannya."Iya." "Eemmm, Pak. Jadi niatku telepon itu tadinya mau tanya ... apakah aku boleh makan rujak? Aku lagi kepengen makan rujak jambu air, Pak.""Kamu 'kan kemarin habis mual dan muntah-muntah, Jen. Jangan dulu makan rujak. Nanti kamu sakit perut.""Tapi aku udah sembuh sekarang, Pak. Dan aku kepengen banget makan rujak jambu air.""Ya udah begini saja ... nanti jambu airnya aku belikan beserta bahan-bahan untuk membuat bumbu rujak. Tapi biar Mbak Weni saja yang membuatkannya dan nggak boleh terlalu pedas.""Jangan Mbak Weni yang buat. Aku nggak enak. Aku udah banyak merepotkannya. Nanti biar aku beli sendiri saja, Pak. Biar lebih praktis juga.""Lebih baik bikin sendiri, jauh lebih sehat. Ya sudah, nanti aku akan minta Budi untuk mengirimkan apa yang kamu butuhkan.""Tapi, P
"Enggak, Mama nggak dalam keadaan mabuk. Ini Mama lagi sadar, Sayang," jawab Lily dengan tegas. Ia kemudian melepaskan pelukan dan mengelus puncak rambut Jenny dengan lembut. "Boleh kita mengobrol berdua? Ada hal yang ingin Mama bicarakan padamu."Lily dengan lembut meraih tangan Jenny, hendak menariknya. Namun, tiba-tiba Weni muncul dari arah dapur dengan membawa piring berisi potongan jambu air yang disiram bumbu rujak."Lho, Bu Lily?!" seru Weni. Dia bergegas menghampiri mereka dan menarik Jenny untuk berdiri di belakangnya. Weni tampak khawatir. "Apa yang Ibu lakukan di sini dan kenapa pegang-pegang Jenny segala?""Memang kenapa kalau aku ada di sini?" Lily menatap Weni dengan tatapan tidak suka, terutama saat mengingat sikap Weni saat di telepon."Kan saya sudah bilang, kalau Ibu itu nggak boleh datang kalau belum mendapatkan izin dari Pak Bima. Sekarang Ibu keluar!" Weni tegas, menunjuk ke arah pintu."Siapa kamu berani ngusir aku? Nggak usah songgong ya, Wen!!" Lily geram, kemu
Jenny terdiam sejenak, membiarkan kata-kata Lily meresap ke dalam pikirannya.Namun, dia juga teringat akan cerita yang pernah didengarnya dari Weni tentang adik Soraya yang dibuang ke panti asuhan. Pertanyaan pun muncul di benaknya, apakah dia adalah anak yang dimaksud? Dan mengapa cerita Lily dan Weni terdengar berbeda? Siapa yang benar dan tidak sebenarnya?"Kamu sekarang percaya 'kan, sama Mama, Jen?" tanya Lily dengan harapan yang terpancar dalam matanya. Dia dengan lembut meraih kembali tangan Jenny, mencoba menyentuh hati perempuan itu. "Dan perlu kamu ingat juga... meskipun Mama menitipkanmu ke panti asuhan, tapi rasa sayang Mama padamu nggak pernah berkurang sama sekali. Mama sangat menyayangimu, Jen."Kata-kata Lily kembali membuat Jenny terdiam sejenak. Wajahnya dipenuhi oleh kebingungan yang tak terungkapkan.Meskipun awalnya merasa ragu, namun entah mengapa, dada Jenny terasa teriris oleh kepedihan yang mendalam."Kalau memang Mama sayang padaku... tapi kenapa baru sekar
"Karena cuma itu yang bisa dilakukan. Kamu mau 'kan ... melihat Mama sembuh? Melihat Mama panjang umur dan hidup bersama-sama dengan Mama?" ujar Lily, suaranya penuh dengan harapan dan kerinduan."Aku nggak mau hidup bersama Mama." Kata-kata Jenny terdengar tegas dan jelas, seolah memotong harapan yang baru saja muncul di hati Lily."Apa?! Apa maksudmu, Jen?!" Lily tampak terkejut mendengar jawaban Jenny. Bola matanya terasa panas, hatinya pun ikut kesal. Tentulah dia merasa sangat tidak puas dengan itu. "Kenapa kamu tega sama—""Aku nggak mau hidup bersama Mama karena 'kan Mama tau aku kerja dengan Pak Bima," potong Jenny cepat. "Selain itu, suami Mama adalah Om Lukman. Aku membencinya, tapi bukan berarti aku nggak mau Mama sembuh. Pastinya sebagai seorang anak ... aku mau Mama sembuh."Diakhir kalimat Jenny langsung membuat Lily sedikit lega.Tidak masalah, kalau memang Jenny tak mau tinggal bersamanya. Karena Lily juga tak sungguh-sungguh mengajak Jenny tinggal bersamanya.Apa yang
"Husss!! Jangan ngomong kayak gitu!" Bima menasehati dengan suara yang lembut, namun penuh ketegasan. Tangannya mengusap dahi Jenny dengan penuh kasih, mencoba menghapus ketakutan yang menghantui pikirannya. "Lebih baik kita berdo'a sama Allah, dan berpikir positif. Aku sendiri yakin... semuanya akan baik-baik saja."Dengan kata-kata Bima, Jenny menemukan sedikit ketenangan. Dia mengangguk, menerima saran Bima untuk terus berdoa dan memelihara pikiran positif. Mereka bersama-sama memohon kepada Allah, berharap dan percaya bahwa segala sesuatunya akan berjalan dengan baik.Selama kehamilan kedua ini, Jenny hampir tidak pernah absen dari kontrol kehamilan. Bima, dengan kepeduliannya yang tak pernah surut, selalu mengingatkan dan bahkan sering kali lebih bersemangat dari Jenny sendiri untuk memastikan semuanya berjalan lancar.Wajar begitu, Bima sendiri merasa sangat bahagia dan bersyukur karena diberikan kesempatan untuk menjadi seorang Ayah dari darah dagingnya sendiri.Kabar tentang ha
"Ya sudah, kalian hati-hati dijalan, ya? Semoga semuanya berjalan dengan lancar," ucap Eka seraya mengusap pipi anaknya lalu memeluk tubuh Jenny sebentar."Amin, Bun," jawab Bima lalu mencium tangan Eka, kemudian disusul oleh Jenny. "Ya udah, kami berangkat. Assalamualaikum.""Walaikum salam."**Setelah datang ke kantor polisi dan memberikan keterangan, Jenny langsung diarahkan ke rumah sakit untuk melakukan visum.Pihak polisi mengajukan, selain itu Bima juga sempat memintanya. Semua itu demi membuktikan, apakah Jenny sempat diperk*sa dalam keadaan tidak sadar atau tidak. Karena jika bertanya langsung kepada Lukman, itu akan sia-sia saja.Seperti pepatah mengatakan, mana ada maling ngaku. Kalau ada, penjara akan penuh.Setelah selesai dengan urusan polisi, keduanya pulang ke rumah kemudian berlanjut pergi ke mall bersama Eka, Kaila dan juga Weni.*Hari ini terasa sangat melelahkan bagi Jenny, na
'Dia masih belum tidur, kenapa ya?' pikiran itu berkecamuk dalam benak Bima, membuatnya merasa bingung dengan perilaku Jenny. Dalam kebingungan itu, dia memutuskan untuk memejamkan mata, berharap dengan begitu, Jenny akan tergoda untuk segera tidur. "Zzzzz ...." Hanya dalam hitungan menit, suara dengkuran halus dan ritmis itu mengisi udara malam, memecah keheningan yang sebelumnya memenuhi ruangan. Jenny, yang sebelumnya menahan diri, kini membuka mata kembali. Matanya menatap Bima, yang tampak begitu tenang dalam tidurnya. "Ish!!" Gumamnya pelan, rasa sebal memenuhi hatinya. Melihat Bima yang dengan mudahnya memasuki dunia mimpi, sementara dirinya masih terjaga, membuat Jenny merasa frustrasi. Bagaimana bisa pria itu lebih dulu terlelap ketimbang dirinya, padahal Jenny tengah berjuang melawan hasrat dalam dirinya yang begitu kuat dan mendalam.***Keesokan harinya, Bima terbangun perlahan-lahan dan terhanyut oleh aroma wangi sabun yan
Pak Polisi yang sebelumnya menginterogasi Lukman mengambil sikap tegas. Dia menatap Lukman yang terlihat putus asa. "Meskipun Anda mengelak, itu akan sia-sia, Pak. Bukti yang ada sangat kuat menunjukkan bahwa Anda bersalah. Kita hanya perlu menunggu keterangan dari saudari Jenny, dan setelah itu Anda akan ditahan sebagai tahanan di sini." Lukman menolak dengan cepat, menggelengkan kepalanya. "Enggak! Aku nggak mau, Pak! Aku nggak bersalah, ngapain dipenjara? Aku di sini hanya ingin membantu Jenny, menyelamatkan hidupnya dari kebahagiaan palsu dengan Bima. Karena hanya aku yang bisa membuatnya bahagia!" Lukman berteriak dengan putus asa. Dia terlihat kehilangan akal sehatnya, bahkan melawan saat dua polisi menyeretnya keluar dari ruangan. "Lepas!! Lepaskan akuuuu!! Lily sayaaaang, tolong selamatkan aku!!" Lukman berteriak sembari berusaha melepaskan diri, meskipun terlihat sia-sia. "Jangan penjarakan akuuu!! Aku nggak bersalaaahhh!!"Lukma
Polisi itu mengambil napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Sebelumnya mohon maaf, Ibu ini siapanya Pak Lukman? Saya ingin bertemu saudari Lily, istri dari Pak Lukman." Lily dengan tegas menjawab, "Aku Lily, Pak. Aku adalah istri dari Lukman." "Baik, kebetulan sekali. Saya ingin meminta Ibu datang ke kantor polisi, untuk memberikan keterangan terkait kasus yang sedang ditangani. Saat ini... Pak Lukman sedang ditahan di kantor polisi karena kasus penculikan dan percobaan pelecehan terhadap saudari Jenny Salsabila," jelas Pak Polisi dengan penuh kehati-hatian. Soraya dan Lily sama-sama terkejut, suara mereka terdengar serempak, "A-apa?!" Soraya menatap Lily dengan wajah penuh kebingungan, mencari kepastian. Lily, yang masih terkejut, menegaskan, "Bagaimana mungkin itu terjadi, Pak? Itu nggak mungkin! Lukman nggak mungkin melakukan hal seperti itu!" Soraya mencoba memahami situasi dengan bertanya, "Jenny yang dimaksud Pak Polisi itu, s
"Bagaimana keadaan istriku, Dok? Apakah dia baik-baik saja?" Dokter tersebut, dengan wajah yang penuh empati, menjawab, "Istri Anda baik-baik saja, Pak. Hanya saja, dia tampaknya sempat mengalami serangan panik yang cukup parah hingga menyebabkan dia pingsan," jelasnya dengan tenang dan detail. Bima merasa sedikit lega, menghela napas dalam-dalam. Meski begitu, masih ada pertanyaan lain yang mengganjal di hatinya. "Kalau kandungannya bagaimana, Dok?" "Kandungan istri Anda juga dalam keadaan baik dan sehat, Pak," jawab Dokter. "Tapi, untuk sementara waktu... Saya sarankan agar dia banyak beristirahat. Hindari aktivitas berat dan berikan dia ketenangan hati serta pikiran. Nona Jenny, istri Anda, sepertinya pernah mengalami trauma di masa lalu. Hal ini tentu tidak baik untuk kesehatannya, apalagi dalam kondisi hamil seperti ini." "Trauma apa yang dimaksud, Dok?" Meski dia sudah memiliki dugaan sendiri, tapi Bima ingin mendapatkan penjelasan langs
"Om mau apa? Aku nggak mau ... eemmmppptt!!" Ucapan Jenny terhenti begitu saja ketika Lukman berhasil membungkam mulutnya dengan sebuah ciuman. Kedua matanya langsung terbelalak, terkejut dengan tindakan tak terduga ini. Perasaan takut dan kebingungan memenuhi pikirannya. Braakkkk!! Tiba-tiba, pintu kamar itu terbuka dengan kasar. Bima, yang masuk dengan tergesa-gesa, terkejut melihat apa yang sedang terjadi. Wajahnya penuh dengan kejutan dan kemarahan. Dia tidak bisa mempercayai apa yang dia lihat, bahwa Lukman berani menyentuh istri yang dicintainya. "Brengseek kau, Lukman!! Berani-beraninya menyentuh istriku!!" geram Bima dengan suara yang penuh emosi. Hatinya terbakar oleh kemarahan yang tak terbendung. Amarah yang memuncak membuatnya langsung berlari menuju Lukman dan menendang tubuhnya dengan kasar, membuat pria itu terjatuh dari ranjang. Bima merasa penuh dengan kekuatan dan tekad untuk melindungi orang yang dia cint
Dengan tubuh gemetar dan penuh ketakutan, Jenny berjuang sekuat tenaga untuk melepaskan diri dari cengkraman pria tersebut. Dia mendorong dengan keras dan berteriak sekuat tenaga, berharap ada seseorang yang mendengar dan datang menyelamatkannya."Toloooongg!!""Siapa pun tolong selamatkan aku!! Aku mohoooonn!!!" Namun, pria itu tetap erat memeluk Jenny, mengabaikan teriakan dan perlawanan putus asanya. Bahkan secara cepat, dia langsung mencium bibir Jenny.Cup~Mata Jenny kembali membulat. Seketika dia merasakan dejavu, karena peristiwa pemaksaan seperti ini kerap kali dia dapatkan dimasa lalu.Dengan buru-buru, tangan Jenny meraba sembarang. Mencari apa pun benda untuk bisa menyelamatkannya.Dalam keputusasaannya, akhirnya Jenny mendapatkan sesuatu di sekitarnya. Sebuah ponsel terjatuh ke tangannya. Tanpa ragu, dia langsung menghantamkan benda itu ke kepala pria tersebut dengan kencang. Buuugghh!!
Dengan sigap, pria itu mengangkat tubuh Jenny sebelum dia terjatuh. Kemudian, dia memasukkan tubuh Jenny ke dalam box kosong di atas troli. Dia memang sengaja membawa benda itu, dengan tujuan memasukkan Jenny ke dalam sana. Setelah memastikan situasinya aman, pria itu dengan cepat mendorong troli tersebut menjauh. Pergi dari tempat kejadian. Tak lama setelah kepergiannya, Eka keluar dari toilet sambil mengusap-usap kebayanya dengan tissue. Dia baru saja selesai membersihkan diri. "Lho, kukira Jenny sudah keluar duluan? Ternyata belum?" Saat tidak melihat kehadiran menantunya, Eka mulai khawatir. Tanpa ragu, Eka kembali masuk toilet untuk mencari Jenny. Jenny sudah cukup lama berada di dalam, membuat Eka semakin gelisah."Jen ... belum selesai juga kamu?" tanya Eka dengan suara agak keras pada salah satu bilik toilet. "Apa kamu kesusahan? Mau Bunda bantu nggak, Jen?" tawarnya, lalu dengan hati-hati membuka pintu tersebut. Cek