Semua Bab Istri yang Kujual Ternyata Anak Konglomerat: Bab 11 - Bab 20

124 Bab

Ladies First

Di kediaman Keluarga Hadyan, semua orang tengah sibuk mempersiapkan pesta yang diselenggarakan untuk penyambutan Laila. Sementara, Laila sendiri tengah memanjakan diri di salon kecantikan dengan ditemani Mayang dan Dara. Namun, tentunya Dara hanya menjadi penonton dua wanita dari keluarga kaya tadi. “Kapan-kapan, Tante akan mengajak kamu ke klinik kecantikan langganan Tante. Siapa tahu, kamu ingin konsultasi dengan dokter ahli,” ucap Mayang, seraya menoleh sekilas kepada Laila yang tengah menjalani perawatan kuku. “Tentu, Tante. Aku mau,” balas Laila senang. Dia mengarahkan pandangan ke cermin. Menatap perubahan yang telah membuat wanita muda itu menjadi semakin cantik. Laila merasa puas. Meski dia pernah merasa hancur dan merasa begitu rendah, tapi kali ini harga dirinya kembali terangkat berkali lipat. “Terima kasih, Tuhan,” ucap Laila pelan, saat dirinya sudah kembali ke rumah. Wanita cantik berambut panjang itu duduk di dekat tempat tidur, di mana sang ayah terbaring lemah. La
Baca selengkapnya

Malam Milik Laila

Pramoedya tersenyum kalem. Terlebih, saat Laila menoleh ke arahnya sambil tersenyum manis. Pria itu sudah sangat percaya diri. Dia bersiap hendak berjalan menghampiri wanita cantik dengan maxi dress satin model v neck warna silver, yang berdiri beberapa langkah di hadapannya. Namun, Pramoedya langsung terpaku, saat menyadari bahwa perhatian Laila ternyata bukan tertuju padanya. Adalah Elang, pria yang lebih dulu menghampiri Laila. Mereka bersalaman dan saling melempar senyum. Keduanya juga tampak berbincang sebentar, sebelum Adnan membuka acara itu. “Terima kasih atas kesediaan saudara-saudara semua, yang telah meluangkan waktu untuk menghadiri pesta kecil-kecilan ini. Saya atas nama perwakilan dari Keluarga Hadyan. Kebetulan, karena kakak saya Reswara Hadyan saat ini masih terbaring sakit. Sehingga, tidak memungkinkan bagi beliau untuk ikut serta dan menyambut anda sekalian di sini.” Adnan membuka pesta itu dengan sapaan hangat dan agak formal.
Baca selengkapnya

Old Money

“Kerja sama seperti apa maksud Anda, Pak Pramoedya?” tanya Laila. Pramoedya menggumam pelan. Pria tampan dengan setelan jas rapi tadi kembali tersenyum. “Bagaimana jika kita bahas sambil makan malam berdua?” tawarnya tanpa ada beban sama sekali. “Maaf, tapi dalam beberapa hari ini aku benar-benar sibuk. Ada banyak hal yang harus dipelajari dan …. ah, Pak Elang.” Laila langsung mengalihkan perhatian kepada Elang, yang datang menghampiri mereka. “Saya harap Anda menikmati pesta ini,” ucap Laila ramah dan penuh senyum. Sangat berbeda dengan sikapnya terhadap Pramoedya. “Tentu saja. Ini pesta yang luar biasa,” balas Elang. Dia menoleh kepada Pramoedya yang terlihat kurang nyaman, karena merasa terganggu. “Pak Pramoedya?” sap
Baca selengkapnya

Keluarga Laknat

Marinka menatap lekat sang ibu. Dia tak pernah berpikir ke arah sana. Karena itulah, dirinya tak mengerti dengan ucapan Mayang. “Sekarang kamu sudah paham, Rin?” Suara Mayang membuat Marinka yang tadi sempat terpaku, kembali tersadar. “Papamu tidak punya apa-apa, jika tak menggantungkan hidup pada kakaknya. Namun, Reswara ternyata tidak berminat membagi sedikit pun harta kekayaan yang tak ternilai itu. Saat ini, papamu memang menduduki jabatan tinggi di perusahaan tambang milik Reswara. Akan tetapi, dia tetap tak bisa menjadi pemilik seutuhnya,” jelas wanita itu lagi. Marinka mengangguk samar. Dia mulai memahami ke mana tujuan kedua orang tuanya kali ini. “Bisakah kamu bekerja sama, Nak?” Mayang balas menatap lekat putrinya. Lagi-lagi, Marinka hanya mengangguk. “Bagus. Seperti yang sudah Mama bilang tadi, kamu harus tetap mempertahankan Pramoedya. Dia bisa membantu memperkuat papamu nanti, jika kalian menikah. Selain itu, harta miliknya juga hampir setara dengan Reswara. Ah! Baya
Baca selengkapnya

Tamu Tak Diundang

Elang dan Aries, sama-sama memasang ekspresi yang tak bisa diartikan. Terlebih, Elang. Pria itu menatap Laila dengan sorot aneh. “Aku rasa, tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan. Lagi pula, aku masih ada urusan yang jauh lebih penting,” ujar Laila dengan keangkuhan di wajahnya. “Tapi, aku mau bicara tentang bapak.” Aries menolak untuk mengakhiri perbincangan itu. Laila menggeleng samar. Dia tak menanggapi lagi. Perhatiannya justru tertuju kepada Elang. “Kamu tunggu di dalam saja. Nanti aku nyusul,” ucap Laila berlagak manja. “A-i-baiklah.” Elang tampak gugup. Karena itu, dia bergegas kembali ke mobil, untuk membawa kendaraannya masuk ke halaman lewat gerbang utama.
Baca selengkapnya

Simbiosis Mutualisme

“Lepaskan! Anda benar-benar tidak sopan!” sergah Laila. Dia harus kembali berjibaku, demi menyingkirkan cengkraman Pramoedya dari pergelangan tangannya. Laila bahkan sampai memukul-mukul lengan pria tampan berdarah Belanda tersebut. Anehnya, Pramoedya tak merasa terganggu. Dia justru seperti menikmati, saat melihat Laila yang bersusah-payah melepaskan diri darinya. Pramoedya tersenyum nakal. Dia tak juga melepaskan cengkramannya. “Anda ini benar-benar pengganggu!” Laila terdengar semakin kesal. Namun, makin marah Laila, Pramoedya justru terlihat semakin senang. “Bisa diam tidak?” Pramoedya menarik tangan Laila yang tengah digenggamnya, hingga wanita cantik itu mendekat. “Sudah kubilang bahwa aku ingin bicara serius.”
Baca selengkapnya

Mata dan Telinga Ketiga

“Perusahaan tambang?” ulang Laila seraya menautkan alis. “Kenapa harus ke sana?” tanya wanita dengan midi dress lengan pendek tersebut. “Karena aku tertarik. Itu saja,” jawab Pramoedya simpel. “Aku sudah beberapa kali mengajukan proposal kerja sama. Namun, entah mengapa Pak Widura selalu menolak dengan berbagai alasan. Kurasa, dia memang tidak menyukaiku. Karena itulah, orang kepercayaan ayahmu tersebut tak menghendaki jika aku bergabung di sana,” terang pria tampan, yang hari itu mengenakan T-Shirt lengan panjang berwarna merah hati. “Kenapa kamu berpikir bahwa Pak Widura tidak menyukaimu?” Laila memasang raut penasaran yang terlihat sangat polos. Dia seperti telah lupa, dengan rasa kesalnya terhadap Pramoedya. Pramoedya mengembuskan napa
Baca selengkapnya

Saling Memanfaatkan

Pramoedya terpaku sejenak, sebelum kembali menguasai diri. Si pemilik mata hazel tadi menggeleng, sebagai bantahan atas tuduhan yang dialamatkan padanya. “Mana mungkin,” sanggah pria itu. “Pikir saja sendiri, bagaimana caraku menyusupkan mata-mata ke dalam rumah seorang konglomerat tersohor seperti Keluarga Hadyan. Itu sama saja dengan bunuh diri,” kilahnya. “Jika memang seperti itu, lalu bagaimana kamu bisa memperoleh segala jenis informasi penting seperti yang kamu sebutkan tadi?” Laila masih terkesan menaruh curiga. Dia yakin bahwa Pramoedya merupakan pria yang cerdas, dan menguasai segala trik dalam bisnis. Termasuk cara kotor sekalipun“Anggap saja itu rahasia perusahaan. Aku tidak harus menjabarkan secara detail, karena yang terpenting adalah hasil akhir. Kamu mendapat keuntungan, begitu juga dengan diriku. Seperti yang sudah kubilang sebelumnya. Simbiosis mutualisme.” “Ah, omong kosong,&rdq
Baca selengkapnya

Malam Minggu Laila

Marinka mendengkus kesal. Sambil merajuk, dia menghadapkan tubuh kepada Mayang. “Apa menurut Mama aku kalah cantik dibanding Laila?” Pertanyaan yang terdengar sangat kekanak-kanakan, terlontar dari bibirnya. “Ya ampun.” Mayang tidak berniat menjawab. Dia hanya berdecak pelan seraya menggelengkan kepala. Tanpa mengatakan apa pun, wanita paruh baya itu berlalu dari hadapan putrinya. Melihat sikap sang ibu yang terkesan tak peduli, membuat kekesalan dalam diri Marinka kian memuncak. “Mama!” panggilnya. Marinka menghentak-hentakkan kaki ke lantai. Dia bergegas menyusul Mayang yang sudah berlalu dari koridor. “Jika Mama terus bersikap begini, maka aku akan bertindak sendiri!” gertak Marinka seraya menyejajari langkah Mayang menuju kamar. 
Baca selengkapnya

Niat Terselubung

“Apa? Bagaimana kondisinya sekarang?” Paras cantik Laila terlihat tegang, setelah mendengar kabar mengejutkan dari Widura. “Baiklah. Aku akan segera ke sana.” Laila mengakhiri sambungan telepon. Dia menatap Elang yang terlihat penasaran. “Ada apa?” tanya Elang ikut khawatir.“Ayah … dia ….” Belum sempat Laila melanjutkan kata-katanya, Pramoedya lebih dulu meraih pergelangan wanita cantik itu. “Biar kuantar pulang.” Tanpa berpamitan terlebih dulu kepada Elang, dia langsung menuntun Laila menuju mobilnya terparkir. “Lepas! Kamu benar-benar tidak sopan!” protes Laila tegas. “Kamu mau tetap di sini menunggu mobil derek datang?” balas Pramoedya. “Masuk!” Dia menyuruh Laila ke dalam mobil. Nada bicaranya memang pelan, tapi terdengar cukup tegas. “Tapi, aku ….” Laila sempat menoleh kepada Ela
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
13
DMCA.com Protection Status