Semua Bab Istri yang Kujual Ternyata Anak Konglomerat: Bab 91 - Bab 100

124 Bab

Di Balik Rasa Kecewa

Laila yang sudah melewati tahap observasi, langsung dibawa ke kamar rawat. Senyum penuh kelegaan terus terlukis di bibir Pramoedya dan Widura. Kedua pria itu mengucap syukur yang sebesar-besarnya, karena Laila telah berhasil menjalani operasi transplantasi ginjal. Setibanya di dalam kamar, kedua pria tadi mendapati Laila sedang terpejam. Pengaruh obat bius belum sepenuhnya sirna. Pramoedya mempercepat langkah, karena tak sabar ingin segera menggenggam tangan sang istri. Sedangkan, Widura hanya berdiri di dekat ranjang sambil tersenyum. “Sayang.” Suara Pramoedya terdengar begitu dalam. Dia duduk di dekat ranjang, setelah sebelumnya menarik kursi besi yang ada di dekat lemari kabinet. Pria tampan tersebut menggenggam erat jemari Laila, lalu menciumnya penuh kasih. “Sepertinya. Nyony
Baca selengkapnya

Melawan Rasa Kantuk

Kartika masih tenggelam dalam rasa terkejut dan tak percaya. Dia hendak memastikan kebenaran, dari apa yang Widura sampaikan. Namun, kembali terdengar suara ketukan di pintu.Kali ini, Pramoedya masuk bersama dua pria bersetelan rapi. Kartika ingat betul, bahwa mereka merupakan orang-orang yang pernah menemui Suratman di lapas.“Saya sudah menjelaskan semuanya pada keluarga Pak Suratman,” lapor Widura sambil berbisik.“Baik, Pak. Terima kasih,” balas Pramoedya, yang kemudian memberi isyarat pada kedua pria tadi. Salah seorang dari kedua pria itu mengambil foto Suratman. Sedangkan, seorang lagi mencatat sesuatu.“Kenapa Anda memotret suami saya?” Kartika memberanikan diri bertanya.“Untuk keperluan laporan pada pihak lapas dan kejaksaan,” jawab Pramoedya. “Oh.” Kartika mengangguk pelan. Ada sesuatu yang ingin dia katakan. Namun, melihat pembawaan Pramoedya yang sangat berkharisma membuatnya sungkan. “Jangan khawatir, Bu. Saya akan memberikan yang terbaik untuk suami Anda. Ini sebaga
Baca selengkapnya

Kue Selamat Datang

Beberapa hari berlalu. Laila sudah diperbolehkan pulang. Namun, dia tak sempat menemui Suratman, karena mantan mertuanya tersebut lebih dulu bertolak dari rumah sakit.Laila duduk di kursi roda. Wajah cantiknya tak lagi terlihat pucat seperti kemarin-kemarin. Kali ini, dia tampak jauh lebih ceria. “Kita akan pulang, Sayang,” bisik Pramoedya sambil terus mendorong kursi roda, hingga tiba di halaman depan rumah sakit. Dari sana, dia membopong Laila ke dalam mobil. “Aku tidak akan membiarkanmu lelah, hingga kamu benar-benar pulih,” ucap pria itu lembut, seraya memasang sabuk pengaman. “Terima kasih. Kamu sangat baik, Mas,” balas Laila, disertai senyum manis. “Selain itu, kamu adalah pria paling tampan.” Laila mengerling nakal. “Jangan bersikap seperti itu, Sayang.” Pramoedya menggeleng pelan. Dia harus berupaya keras mengendalikan diri agar tidak tergoda. Apalagi, di belakang kemudi ada Damar, yang sudah siap sejak tadi untuk mengantar mereka pulang. Pramoedya segera menutup pintu, la
Baca selengkapnya

Kombinasi Angka

Marinka langsung berdiri. Putri semata wayang pasangan Adnan dan Mayang tersebut, seketika memasang raut tak suka. “Kalian ini kenapa? Apakah karena papa dan mamaku berbuat jahat, lantas semua yang kulakukan pasti dimaksudkan untuk mencelakaimu, Laila? Keterlaluan!” Marinka menghentakkan kaki, lalu berbalik. Wanita muda berambut golden brown itu melangkah pergi, sambil membawa rasa jengkel luar biasa. Sementara itu, Laila hanya dapat mengembuskan napas panjang. Sebenarnya, dia merasa tak enak. Namun, setelah banyak hal buruk terjadi, Laila patut bersikap waspada. “Biarkan saja, Sayang,” ucap Pramoedya, seraya mendorong pelan kursi roda menuju kamar. “Sikap Marinka yang seperti tadi, sudah menjadi senjata andalannya. Dia kerap berlaku demikian sejak dulu. Aku tak akan tertipu, meski dia mengiba.” “Kamu sangat mengenalnya,” ujar Laila, seakan menyindir Pramoedya. “Di luar dari konteks sindiran yang kamu tujukan padaku … ya, kukatakan bahwa aku cukup mengenal dia. Seperti yang sudah
Baca selengkapnya

Membuka Isi Brankas

“Bisakah mendiktekan untukku, Sayang? Biar kucatat rangkaian angkanya." Pramoedya meminta kertas dan alat tulis kepada Widura. "Iya." Laila mengangguk. Dia menunggu sesaat, hingga sang suami siap dengan kertas dan bolpoin di tangan. Setelah itu, barulah Laila menyebut satu per satu deretan angka, yang terukir pada kalungnya hingga selesai. Jumlahnya terdiri dari enam digit.“Bagus. Aku akan mengambilnya sekarang juga, agar kita segera mengetahui apa isi di dalam brankas itu.” Pramoedya melipat kertas tadi, lalu memasukkannya ke saku celana. Dia membelai lembut pipi Laila, dengan tatapan yang tak dapat diartikan.“Kenapa harus terburu-buru, Mas? Ini sudah malam. Apa tidak sebaiknya besok saja?” saran Laila.“Kurasa, makin cepat akan semakin baik. Bukan begitu, Pak Widura?” Pramoedya mengalihkan perhatian kepada Widura, yang berdiri tak jauh dari mereka. Pria paruh baya itu mengangguk setuju. “Apa tidak sebaiknya Nyonya bersitirahat saja?" Widura beralih pada Laila. "Ingat pesan dokt
Baca selengkapnya

Dua Sisi Mata Uang

Laila menatap lekat Pramoedya, yang masih memegang kertas dari dalam brankas. Wanita muda itu mengembuskan napas pelan. Namun, dia tak tahu harus berkata apa. “Pantas saja Adnan dan istrinya begitu berhasrat untuk memiliki brankas ini,” ucap Pramoedya sesaat kemudian. “Apakah jumlahnya memang sangat banyak?” tanya Laila dengan sorot aneh. Pramoedya tidak menjawab. Dia hanya mengangguk yakin. “Seberapa banyak?” tanya Laila lagi. “Di sini tertulis dengan jelas. Kamu mungkin bisa membeli sebuah pulau dengan jumlah ini,” terang Pramoedya, seraya mengalihkan perhatian pada lembaran kertas yang masih dirinya pegang. Namun, sorot mata pria tampan itu tiba-tiba berubah. Wajahnya menjadi sendu, seakan ada sesuatu yang dia sesalkan. “Mendiang Pak Reswara meninggalkan harta yang sangat melimpah untukmu,” ucap Pramoedya pelan, sambil menggulung kembali kertas tadi. “Sebaiknya, kamu bicarakan ini dengan Pak Widura. Beliau pasti lebih paham. Lagi pula, Pak Widura lah yang selama ini mengurus
Baca selengkapnya

Pangling

Widura menghela napas panjang, setelah mendengar ucapan Laila. “Apakah ini ada hubungannya dengan isi brankas yang berhasil Anda buka?” tanya pria paruh baya itu, seraya duduk. Laila mengangguk, meski terlihat ragu. “Apa Anda menyaksikan sendiri, saat ayah saya mengisi brankasnya dengan surat-surat berharga?” tanya Laila penuh selidik.“Tidak, Bu. Pak Reswara mengisi brankas itu, tanpa ada seorang pun yang tahu,” terang Widura. “Waktu itu, beliau meminta saya menghadap, lalu menunjukkan brankas besi yang sudah tersegel. Pak Reswara menyuruh saya untuk menyembunyikan benda tersebut, di tempat yang sekiranya tidak akan terpikir oleh orang lain,” lanjut orang kepercayaan mendiang Reswara tadi.“Mas Pram mengatakan bahwa nominal yang tertera dalam surat berharga itu, setara dengan harga sebuah pulau,” ucap Laila pelan, tapi terdengar sangat serius.Widura langsung terkesiap mendengarny
Baca selengkapnya

Hikmah Di Balik Musibah

Laila mengangguk setuju. “Kamu di sini dulu ya, Ra,” ucapnya pada sang asisten pribadi. Setelah itu, Laila beralih pada Widura. Istri Pramoedya tersebut kembali mengangguk. Kali ini, sebagai isyarat agar pria paruh baya tadi ikut dengannya menemui Suratman.Widura langsung beranjak dari duduknya. Dia berpindah ke belakang kursi roda Laila, lalu mendorong mengikuti Niar. Sementara, Dara berdua dengan Aries yang sudah siap berangkat, di ruang tamu. Namun, putra sulung Suratman tersebut merasa tak enak, saat harus meninggalkan gadis itu sendirian di sana. Aries melihat jam dinding. Dia masih memiliki waktu sekitar sepuluh hingga lima belas menit. Aries tersenyum simpul, seraya duduk di salah satu kursi. “Maaf, Ra. Seperti inilah kondisi di rumahku. Semua serba alakadarnya,” ujar pria itu bas
Baca selengkapnya

Gara-gara Obat

Laila menatap Widura sejenak. Dia tak sempat meminta izin kepada Pramoedya, bahwa dirinya akan pergi menemui Suratman. Lagi pula, ide itu muncul tiba-tiba. Laila membiarkan sesaat telepon genggamnya bergetar, hingga memutuskan menjawab panggilan tadi. “Iya, mas,” sapa Laila lembut. “Apa kamu sedang istirahat, sayang?” tanya Pramoedya merasa tak enak, karena mengira bahwa dirinya telah mengganggu sang istri. “Tidak juga,” jawab Laila, diiringi gumaman pelan. “Aku … aku sedang berada di rumah Pak Suratman. Nanti saja kita bicara lagi saat di rumah.”“Baiklah. Kamu pergi dengan siapa?” tanya Pramoedya, sebelum menutup sambungan telepon.
Baca selengkapnya

Wanita Dalam Keremangan

Marinka tersadar. Dia yang tengah menopang kening, seketika mengangkat wajah. Wanita muda itu menatap Lena, dengan sorot aneh dan tak dapat diartikan. “Ya, kamu benar,” ucapnya memaksakan diri agar terlihat biasa. Marinka tertawa dibuat-buat, kemudian berdiri. “Aku memang agak … kamu tahu sendiri bahwa aku sedang mengalami masalah yang sangat berat. Aku tertekan dan … dan ….” Putri semata wayang Adnan tersebut tak melanjutkan kata-katanya. Si pemilik rambut golden brown tadi tampak memikirkan sesuatu. Sedangkan, Lena menatap aneh pada majikannya. Gadis yang sudah mengabdi pada Marinka sekian lama itu, memicingkan mata. Lena seperti menangkap suatu kejanggalan dari sikap sepupu Laia tersebut. Namun, tentu saja dia tidak berani mengatakan apa pun. Terlebih, melakukan protes. Lena merasa muak, ketika dirinya harus menjadi bulan-bulanan kemarahan sang nona. “Ya sudah. Kamu keluar sana. Aku ingin sendiri,” usir Marinka, dengan nada bicara yang tidak terlalu keras. “Baik, Non.” Lena meng
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
8910111213
DMCA.com Protection Status