Home / Romansa / Atasan Duda Itu Mantan Pacarku / Chapter 11 - Chapter 20

All Chapters of Atasan Duda Itu Mantan Pacarku: Chapter 11 - Chapter 20

105 Chapters

Harus Bicara

"Kok pacar?" tanyaku bingung."Kan kamu sendiri yang bilang," jawab Mas Satria. Aku masih melihatnya dengan tatapan bingung."Kapan?" tanyaku sambil mencoba mengingat, apa aku ada salah bicara. Aku rasa tidak ada."Barusan," jawab Mas Satria yang membuatku semakin bingung."Mana ada," bantahku kemudian."Ada." Pria itu bersikeras."Terserah Mas, sajalah." "Kok jadi aku," ketusnya kemudian. Aku terdiam tidak menimpali apapun lagi."Mas nggak capek apa, marah-marah terus?" tanyaku kemudian. "Apa pedulimu?" Mas Satria balik bertanya padaku."Ya iyalah, marahnya ke aku doang." Akhirnya aku mempunyai kesempatan untuk bicara. "Kamu pantas dimarahi," balas Mas Satria lagi."Aku minta maaf," ucapku kemudian. Rasanya seperti anak kecil kalau dimarahi seperti ini, seperti bocah yang baru saja memecahkan gelas atau apalah."Kamu berhutang banyak penjelasan padaku." Suara Mas Satria terdengar kesal."Aku antar kamu pulang," lanjut Mas Satria kemudian."Ta-tapi aku dijemput Arya," jawabku.Mas
Read more

Pengakuan

Pertanyaan macam apa itu, apa yang terjadi dengan otakku. Seharusnya tidak aku tanyakan pertanyaan yang konyol, benar-benar konyol. Aku tak berani melihat ke arah Mas Satria dan menjatuhkan pandanganku di atas meja."Maaf, tak perlu dijawab," imbuhku kemudian.Sejenak aku terdiam dan kembali mengatur perasaanku. Menarik napas dalam dan mengembuskan perlahan. Memberi jalan oksigen ke dalam otak agar tidak tercetus pertanyaan konyol seperti tadi."Semua sudah disiapkan oleh seluruh keluarga. Pernikahan itu hanya menunggu hitungan hari saja. Bahkan undangan pernikahan sudah disebar." Aku tersenyum miris. Menatap kosong ke arah gelas di depanku."Rupanya dia seorang pejuang cinta, demi menolak pernikahan dia menghamili pacarnya." Aku tertawa hambar, "Seperti karma, yang dengan cepat aku dapatkan. Semua berbalik padaku. Di sisi lain aku senang, tapi, di sisi lainnya aku hancur."Rasa malu yang ditanggung oleh keluarga besar dan aku sendiri masih bisa aku rasakan. Dua rasa yang bertentangan
Read more

Masa Lalu

"Aku di blok H," lanjut Mas Satria kemudian."Lah , deket dong, aku blok C," balasku pada Mas Satria.Untuk ke blok H maupun C semua melewati blok A yang terletak di urutan paling depan. Kalau ke tempatku belok kanan di simpang pertama. Sedangkan kalau blok H dari blok A lurus, kemudian masuk melalui blok E terlebih dahulu. Ada jalan pintas dari blom C ke H, tapi, hanya untuk pejalan kaki dan roda dua."Berarti tetanggaan," gumamku kemudian. "Mas turunin aku di depan situ aja, biar aku jalan kaki. Kan rumahku paling ujung, depanku jalan buntu harus mundur nanti Mas malah repot." Sebenarnya aku beralasan saja, memang benar buntu tapi, untuk berputar mobil masih bisa."Lagian Mas kan juga buru-buru, Ibu kan sakit." Kembali aku menambahkan. "Terserah aku," jawab Mas Satria. Tanpa mengindahkan permintaanku.Benar saja pria itu membelokkan mobilnya dan tidak menurunkan aku sesuai permintaanku. Dadaku sudah berdebar, bagaimana aku memberi penjelasan pada Ibu atau kakak-kakakku. "Rumahmu y
Read more

Cerita Terpendam

"Done," gumamku setelah semua laporan terkirim. Hari Sabtu hanya setengah hari kerja, secara jam kantor karyawan pulang jam dua belas siang. Setengah satu aku sudah menyelesaikan semua laporan dan sudah mengirimkannya melalui email.Tidak terlalu banyak interaksiku hari ini dengan Mas Satria. Hanya tadi pagi saat dia meminta beberapa berkas itu pun saat dia di ruangan Pak Agus. Selebihnya aku tidak melihatnya, sepertinya ada pekerjaan di luar kantor. Pak Agus juga tidak terlihat setelah tadi pagi."Langsung pulang?" tanya Tika saat kami keluar dari ruang absen. Tidak seperti hari-hari biasanya, hari ini kami bisa pulang bersamaan. "Huum, mama minta dianterin belanja," jawabku sambil mengenakan jaket yang sedari tadi aku pegang."Ya udah hati-hati, salam buat mama. Aku duluan … tuh dah dijemput." Tika menepuk lenganku pelan sebelum beranjak. Sahabatku itu kembali melambaikan tangannya ketika akan memasuki mobil.Aku beranjak dengan langkah pelan menuju tempat parkir. Kenapa merasa a
Read more

Tanda Tanya

Memulai lagi aktivitas di hari senin, hatiku sedikit berbeda dari hari sebelumnya. Setelah pertemuan ketika belanja kemarin lusa rasanya hati yang sempat berwarna kini kembali kosong. Mungkin aku yang diam-diam terlalu berharap. Berharap cerita beberapa tahun yang lampau akan terulang.Pagi ini kegiatan dimulai dengan doa pagi, dimana semua karyawan hadir dan berkumpul di lantai satu. Biasanya akan banyak informasi yang dibagikan oleh para supervisor, kepala cabang serta wakilnya. Aku sendiri juga kebagian menginformasikan pencapaian cabang untuk penjualan semua merk."Kenapa tuh muka? Tumben belipet-lipet gitu." Wina setengah berbisik mengarahkan bibirnya ke telingaku."Lagi malas aja," jawabku dengan suara yang juga pelan. Hampir semua karyawan sudah berkumpul, terlihat di depan Pak Agus dan Mas Satria juga sudah hadir. Di samping mereka ada supervisor dari berbagai divisi. "Hai." Aku langsung menoleh ke belakang saat Roni menjawil lenganku."Sana," tunjukku dengan dagu, agar dia
Read more

Atasan Menyebalkan

Aku mengabaikan pertanyaan dari Mas Satria dan membalasnya dengan laporan yang tadi dia minta. Dan lagi aku sudah tidak perlu menjelaskan apapun lagi. Semua yang menjadi ganjalan dalam hati sudah aku jelaskan kemarin.Selepas mengemail laporan yang Mas Satria minta, sekarang aku menyiapkan untuk hard copy laporannya. Mataku menyisir susunan berkas di dalam lemari arsip. Dia minta laporan insentif tahun kemarin. Sebuah map berwarna biru aku tarik dari susunan berkas.Tidak ingin bolak-balik ke tempat mesin fotokopi aku sekalian menyiapkan proposal kerjasama yang diminta Pak Toni dan Pak Khambali. Cukup berhati-hati aku membawa tumpukan map itu ke ruang fotokopi yang terletak di samping ruang finance. Semua berisi berkas penting jangan sampai jatuh atau terselip."Ngapain?" Wina menghentikan langkahnya saat melihatku berada di ruang fotokopi."Ngopi proposal," jawabku sambil menunjuk tumpukan berkas di sampingku."Mau kemana?" tanyaku balik pada Wina."Mau minta tanda tangan ke pak Agus
Read more

Sulit dipahami

"Bapak punya pertanyaan, saya juga sama. Kita bertukar, biar sama-sama. Kan adil namanya." Sebuah ide aku dapat untuk mencari tau atas pertanyaan - pertanyaan yang juga bermunculan dalam benakku."Kamu, ya. Jangan mengaturku.""Terserah, kalau bapak tidak bersedia, tidak menjadi soal juga untuk saya."Ini bukan masalah kantor menurutku, dan aku bebas dengan langkah-langkah yang aku ambil. Sebuah kesepakatan tengah aku tawarkan. "Hm." Kembali Mas Satria hanya berdehem tanpa membalas apa-apa."Saya, permisi." Aku berpamitan sesaat kemudian. Mas Satria hanya bergeming dan melempar pandangan ke arah lain.Aku beranjak keluar ruangan Mas Satria dan kembali ke meja. Pekerjaanku masih cukup banyak, pria itu menyita cukup banyak waktuku. Bukan hanya waktu, perasaanku juga sebenarnya. Bagaimanapun rasa yang pernah ada, masih belum pergi sampai saat ini."Mbak Ran, sama Pak Satria disuruh buat ambil map, katanya." Aku sedang fokus dengan pekerjaanku saat Aji OB kantor mendatangi mejaku. Aku
Read more

Membuka Diri

"Aku nggak tanya," jawabku sambil menarik toples menjauh dari Roni. Hm … isinya sudah tandas lebih dari separuh."Kenapa nggak ngajak marketing headnya, malah ngajak kamu. Kalau aku yang ngajak kamu masih wajar. Kalau dia kan harusnya sama marketing headnya. " Roni terlihat berbeda, mungkin tidak suka atau apa, entahlah."Ya aku kan nggak tau, Mas Satria bilangnya gitu, tadi.""Mas? Kamu pangil dia mas?" Roni mengernyitkan dahi melihat kearahku. Aku keceplosan lagi, ih … kadang memang loss begitu saja di luar kesadaran."Em … Bapak," ralatku kemudian."Tadi ….""Ran …." Kalimat Roni terpotong oleh panggilan Mas Satria yang telah berdiri di ambang pintu."Iya, Pak," jawabku seraya berdiri dari tempat duduk."Laporan kamu sudah selesai semua kan?" tanya Mas Satria kemudian."Iya, Pak. Barusan sudah saya emailkan, tinggal laporan ke grup saja," jawabku menerangkan."Aku tunggu di bawah," ucap Mas Satria."Sekarang?" tanyaku bingung, tadi katanya selepas Magrib. Ini baru jam berapa, belum
Read more

Samakah Rasa Kita

Aku tidak segera menjawab, jujur aku bingung dengan perasaanku sendiri. Ada rasa takut, mungkin juga gengsi. Meskipun ada, aku juga enggan mengakui apalagi aku cewek. Iya kalau Mas Satria masih punya rasa yang sama kalau tidak dia akan menertawakanku pastinya."Sudah nggak ada yah?!" Mas Satria menimpali ucapannya sendiri. Menarik kesimpulan dari sikap diamku. "Apa itu masih ada artinya?" tanyaku kemudian. "Sedangkan kondisi kita sudahlah tidak lagi sama seperti dulu pastinya.""Iya … aku lupa. Empat tahun pasti bisa merubah segalanya. Termasuk perasaanmu kepadaku." Mas Satria tersenyum masam."Hanya aku? Bagaimana dengan mas sendiri. Semua memang salahku dan penyesalan juga tidak akan bisa merubah hal yang sudah terjadi. Empat tahun … hmm pasti sudah banyak hal yang berubah bukan. Termasuk perasaan Mas Satria juga." Aku menggigit pelan bibir bawah, ada sebah terasa hadir di dada."Sok tau," cetus Mas Satria ketus."Ya kan gitu kenyataanya. Mas sudah punya kehidupan baru dan berbahag
Read more

Menguak Tabir

Aku mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Jam digital yang menunjukkan waktu hampir jam enam terpampang di layar yang masih terkunci. Telunjukku mengusap pelan dan kemudian membentuk pola untuk membuka ponselku.Menu kamera aku buka dan mulai mengarahkan bidikan ke beberapa sudut ruangan. Area teras juga tidak lepas dari tangkapan kamera ponselku. Biasanya aku akan berselfie di tempat sekeren ini. Hanya saja suasana hatiku sedang kacau.Sudah cukup lama Mas Satria pergi sekitar lima belas menit sudah. Seorang pelayan datang dengan nampan berisi minuman dan menu ringan di atasnya. "Silahkan," ucap mas pelayan kemudian beranjak keluar.Aku menghela napas setelah dua puluh menit waktu berlalu dan Mas Satria belum kembali juga. Pembicaraan kami tadi terhenti dan banyak hal mengantung yang harus di urai kejelasannya."Maaf lama." Akhirnya Mas Satria datang juga. Entah dari mana aku engan menanyakannya. Pria itu meminta maaf lalu menarik kursi dan duduk dindepanku."Kok nggak diminum? Makan
Read more
PREV
123456
...
11
DMCA.com Protection Status