Aku mengabaikan pertanyaan dari Mas Satria dan membalasnya dengan laporan yang tadi dia minta. Dan lagi aku sudah tidak perlu menjelaskan apapun lagi. Semua yang menjadi ganjalan dalam hati sudah aku jelaskan kemarin.Selepas mengemail laporan yang Mas Satria minta, sekarang aku menyiapkan untuk hard copy laporannya. Mataku menyisir susunan berkas di dalam lemari arsip. Dia minta laporan insentif tahun kemarin. Sebuah map berwarna biru aku tarik dari susunan berkas.Tidak ingin bolak-balik ke tempat mesin fotokopi aku sekalian menyiapkan proposal kerjasama yang diminta Pak Toni dan Pak Khambali. Cukup berhati-hati aku membawa tumpukan map itu ke ruang fotokopi yang terletak di samping ruang finance. Semua berisi berkas penting jangan sampai jatuh atau terselip."Ngapain?" Wina menghentikan langkahnya saat melihatku berada di ruang fotokopi."Ngopi proposal," jawabku sambil menunjuk tumpukan berkas di sampingku."Mau kemana?" tanyaku balik pada Wina."Mau minta tanda tangan ke pak Agus
"Bapak punya pertanyaan, saya juga sama. Kita bertukar, biar sama-sama. Kan adil namanya." Sebuah ide aku dapat untuk mencari tau atas pertanyaan - pertanyaan yang juga bermunculan dalam benakku."Kamu, ya. Jangan mengaturku.""Terserah, kalau bapak tidak bersedia, tidak menjadi soal juga untuk saya."Ini bukan masalah kantor menurutku, dan aku bebas dengan langkah-langkah yang aku ambil. Sebuah kesepakatan tengah aku tawarkan. "Hm." Kembali Mas Satria hanya berdehem tanpa membalas apa-apa."Saya, permisi." Aku berpamitan sesaat kemudian. Mas Satria hanya bergeming dan melempar pandangan ke arah lain.Aku beranjak keluar ruangan Mas Satria dan kembali ke meja. Pekerjaanku masih cukup banyak, pria itu menyita cukup banyak waktuku. Bukan hanya waktu, perasaanku juga sebenarnya. Bagaimanapun rasa yang pernah ada, masih belum pergi sampai saat ini."Mbak Ran, sama Pak Satria disuruh buat ambil map, katanya." Aku sedang fokus dengan pekerjaanku saat Aji OB kantor mendatangi mejaku. Aku
"Aku nggak tanya," jawabku sambil menarik toples menjauh dari Roni. Hm … isinya sudah tandas lebih dari separuh."Kenapa nggak ngajak marketing headnya, malah ngajak kamu. Kalau aku yang ngajak kamu masih wajar. Kalau dia kan harusnya sama marketing headnya. " Roni terlihat berbeda, mungkin tidak suka atau apa, entahlah."Ya aku kan nggak tau, Mas Satria bilangnya gitu, tadi.""Mas? Kamu pangil dia mas?" Roni mengernyitkan dahi melihat kearahku. Aku keceplosan lagi, ih … kadang memang loss begitu saja di luar kesadaran."Em … Bapak," ralatku kemudian."Tadi ….""Ran …." Kalimat Roni terpotong oleh panggilan Mas Satria yang telah berdiri di ambang pintu."Iya, Pak," jawabku seraya berdiri dari tempat duduk."Laporan kamu sudah selesai semua kan?" tanya Mas Satria kemudian."Iya, Pak. Barusan sudah saya emailkan, tinggal laporan ke grup saja," jawabku menerangkan."Aku tunggu di bawah," ucap Mas Satria."Sekarang?" tanyaku bingung, tadi katanya selepas Magrib. Ini baru jam berapa, belum
Aku tidak segera menjawab, jujur aku bingung dengan perasaanku sendiri. Ada rasa takut, mungkin juga gengsi. Meskipun ada, aku juga enggan mengakui apalagi aku cewek. Iya kalau Mas Satria masih punya rasa yang sama kalau tidak dia akan menertawakanku pastinya."Sudah nggak ada yah?!" Mas Satria menimpali ucapannya sendiri. Menarik kesimpulan dari sikap diamku. "Apa itu masih ada artinya?" tanyaku kemudian. "Sedangkan kondisi kita sudahlah tidak lagi sama seperti dulu pastinya.""Iya … aku lupa. Empat tahun pasti bisa merubah segalanya. Termasuk perasaanmu kepadaku." Mas Satria tersenyum masam."Hanya aku? Bagaimana dengan mas sendiri. Semua memang salahku dan penyesalan juga tidak akan bisa merubah hal yang sudah terjadi. Empat tahun … hmm pasti sudah banyak hal yang berubah bukan. Termasuk perasaan Mas Satria juga." Aku menggigit pelan bibir bawah, ada sebah terasa hadir di dada."Sok tau," cetus Mas Satria ketus."Ya kan gitu kenyataanya. Mas sudah punya kehidupan baru dan berbahag
Aku mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Jam digital yang menunjukkan waktu hampir jam enam terpampang di layar yang masih terkunci. Telunjukku mengusap pelan dan kemudian membentuk pola untuk membuka ponselku.Menu kamera aku buka dan mulai mengarahkan bidikan ke beberapa sudut ruangan. Area teras juga tidak lepas dari tangkapan kamera ponselku. Biasanya aku akan berselfie di tempat sekeren ini. Hanya saja suasana hatiku sedang kacau.Sudah cukup lama Mas Satria pergi sekitar lima belas menit sudah. Seorang pelayan datang dengan nampan berisi minuman dan menu ringan di atasnya. "Silahkan," ucap mas pelayan kemudian beranjak keluar.Aku menghela napas setelah dua puluh menit waktu berlalu dan Mas Satria belum kembali juga. Pembicaraan kami tadi terhenti dan banyak hal mengantung yang harus di urai kejelasannya."Maaf lama." Akhirnya Mas Satria datang juga. Entah dari mana aku engan menanyakannya. Pria itu meminta maaf lalu menarik kursi dan duduk dindepanku."Kok nggak diminum? Makan
Aku terdiam tidak mampu berkata apa-apa lagi. Air mata menggenang di sudut mataku. Segera aku raih tisu yang ada di depanku untuk mengusap air mata yang tengah bersiap meluncur. "Maafkan aku," lagi-lagi hanya itu kata yang sanggup aku ucap."Aku ingin menebus semuanya, katakan! Apa yang harus aku lakukan untuk menebus semua kesalahanku?" "Aku tidak ingin dikasihani," balas Mas Satria kemudian. "Dan tidak ingin sebuah penebusan, kenapa kamu belum mengerti juga.""Aku minta maaf, aku tidak pandai merangkai kata. Atau memberi penjelasan atas apa yang ada dalam hatiku. Apakah masih ada kesempatan untukku?" Aku benar-benar bingung, ini bukan rasa kasihan atau penebusan atas rasa bersalahku. Ini rasa yang sama yang aku miliki hanya untuknya. Bertahun-tahun aku memendamnya, menahtakan cintanya di tempat tertinggi dalam hatiku. Tidak bisa digantikan oleh siapapun, meski rasa itu menyiksaku."Aku mencintaimu, tidakkah kamu melihat itu semua?" Mas Satria menatapku lekat."Iya, aku bisa melih
"Apa?" Setelah sekian lama, mendengar panggilan itu kembali pipiku terasa menghangat."Kangen aja manggil kamu dengan sebutan itu," jawab Mas Satria dengan senyum terulas tipis."Mas …." Sekarang gantian aku yang memanggil pria dengan sepasang alis tebal tersebut."Hm?" Dagu Mas Satria terangkat sebagai respon dari panggilanku. Tangan kanannya meraih cangkir kopi dan mengangkatnya."Apa hal ini tidak terlalu cepat?" tanyaku ragu."Maksudnya?" Mas Satria urung meneguk kopinya dan meletakkan kembali di meja."Hubungan ini," jelas ku kemudian."Kita bukan yang baru saja saling mengenal. Kita sudah melewati begitu banyak hal, terutama aku. Entah denganmu, mungkin kebersamaan kita dulu tak berarti apa-apa." Terdengar embusan napas kasar dari Mas Satria. "Kan sudah minta maaf." Aku membela diri, "Sudah jelas juga kan gimana perasaanku.""Iya, maaf."Aku terdiam tidak membalas apa-apa. Meski kami sudah saling jujur atas perasaan kami masing masing. Tetap saja Mas Satria belum bisa menepis
"Ran … mama cuma mau yang terbaik untuk kamu. Harapan setiap orang tua adalah melihat anaknya bahagia tidak salah pilih, begitu juga dengan mama. Pengalaman dulu kita jadikan pelajaran." Mama memberikan alasan."Siapa yang salah pilih? Rania?" Aku menghela napas dalam dan mengembuskan perlahan kemudian. "Mama juga tau apa yang terjadi, kesediaan Rania waktu itu demi bakti tidak lebih. Itu pilihan kalian sebagai orang tua, dan Rania hanya bisa menerima karena tidak mau disebut sebagai anak durhaka." Setidaknya mama juga tidak akan lupa, apa yang mendasari keputusanku atau alasanku menerima perjodohan itu. Semua aku lakukan tidak lebih dari perwujudan bakti seorang anak. Bukan karena cinta atau hal lainnya. Bahkan aku tidak berharap apapun untuk diriku sendiri, harapanku hanya kebahagiaan orangtua. Selebihnya hanya rasa hambar yang aku harap memudar seiring waktu."Iya, kami juga tidak tau akan seperti itu jadinya. Karena itulah mama tidak mau hal seperti itu terulang kembali. Pikirkan
Segelas kopi aku siapkan untuk Mas Danta selepas aku membersihkan diri tadi, aku mandi terlebih dahulu karena Mas Danta masih menerima panggilan telepon dari rekannya. Aroma harum kopi menguar dari gelas yang sedang aku bawa ke ruang tengah. Aku menunggu Mas Danta selesai membersihkan diri dan sudah siap untuk menceritakan semua yang tadi terjadi.Aku berharap tidak akan terjadi kesalah pahaman antara aku dan mas Danta nantinya. Dalam perjalanan pulang tadi, aku sudah memilih kata-kata dan merangkainya menjadi kalimat-kalimat yang akan aku sampaikan kepada Mas Danta. Bicara masalah hati memang bukan yang mudah apalagi Mas Danta juga tau bagaimana aku dan Mas Satria dulu.“Humm … wanginya,” ucapku saat indra penciumanku menghidu aroma wangi yang hadir bersama Mas Danta yang berdiri di belakangku.Aku duduk bersandar di sofa saat Mas Danta datang dan kemudian melingkarkan ke dua tangannya di leherku. Kepalaku mendongak dan sebuah kecupan suamiku itu berika
“Sangat bahagia,” jawabku tanpa melepas pandanganku darinya. Rasanya sesak saat aku harus mengatakan ini semua.“Bukankah aku harusnya bahagia?” ucap Mas Satria memaksakan senyumnya, tapi, air matanya malah semakin deras. “Tapi, kenapa sakit sekali rasanya,” lanjutnya kemudian.“Semua sudah berlalu, aku tidak akan mencari siapa yang benar dan siapa yang salah. Mas sudah mengambil jalan mas sendiri dan aku menerima semuanya meski semua itu tidak mudah. Sekarang aku juga sudah menentukan jalanku sendiri. Kita boleh bermimpi, memiliki rencana ini dan itu, akan tetapi, tetap semua kembali ke kehendak Tuhan. Itu dulu yang aku sematkan dalam pikiran saat terpuruk atas semuanya. Sekarang aku sudah bahagia dengan apa yang Tuhan pilihkan untukku, aku berharap mas juga mendapatkan kebahagiaan yang sama. Apa yang pernah terjadi dan yang sudah kita lewati biarkan menjadi bagian dari sebuah kenangan. Yang perlu kita lakukan sekarang adalah berjalan kedepan meski kita
“Duh, pengantin baru basah terus rambutnya.” Aku langsung nyengir mendengar ucapan Kak Regina yang berdiri di depan pintu kamarku.Sore ini memang aku pulang ke mama untuk mengambil beberapa pakaian untuk aku bawa ke rumah Mas Danta, yah rumah baruku juga. Juga beberapa barang yang ssekiranya aku perlukan, tidak semua aku bawa karena Mas Danta sudah menyiapkan semuanya lengkap. Mas Danta sedang mengobrol di depan dengan Arya, Mama dan Abang Iparku.“Mana ada basah,” kilahku kemudian, sebelum berangkat tadi aku sudah lebih dulu mengeringkan rambutku dibantu Mas Danta.“Iya tapi, bekas keramas ini.” Kak Sisil mendekatiku dan membaui rambutku. “Bau shampoo,” godanya lagi sambil tertawa, lagi-lagi aku hanya nyengir.“Gimana?” Kak Sisil mengangkat alis dan matanya naik turun, sudah kayak orang cacingan. “Seru kan?!” siku Kakak perempuanku itu menyikut pinggangku pelan.“Apanya?” tanyaku pura-pura tidah paham, padahal aku tahu apa yang dimaks
Aku meminta Mas Danta terlebih dahulu untuk keluar menemui keluarganya yang barusan datang, aku menyusul setelah kembali membersihkan diri dan merapikan keadaanku.*Kegiatan hari ini memang cukup padat dan melelahkan aku tidak bisa membayangkan saat pesta resepsi nanti akan seperti apa heboh dan capeknya. Rangkaian acara demi acara hampir selesai di gelar hingga akhirnya semua selesai jam 10 malam. Mama dan Papa meminta aku dan Mas Danta istirahat terlebih dahulu karena sepertinya mereka melihat aku yang sudah cukup kelelahan.“Danta pulang ke rumah aja, ya Mah,” pamit Mas Danta kemudian.“Iya sudah kaliah terlihat lelah sekali, iya disana lebih tenang, di sini masih banyak kerabat.” Mama mengangguk dan mengiyakan. Rumah Mas Danta dan rumah Mama hanya berselang beberapa rumah saja, kami berjalan kaki dari rumaah mama setelah berpamitan dengan keluarga. Bisa dipastikan beberapa keluarga mencandai Mas Danta saat berpamitan dasar Mas Danta buka
“Mas … aku merinding,” ucapku lalu sedikit melangkah mundur. “Aku bisa sendiri, ntar bantu narik pelan-pelan aja.” Kembali aku melanjutkan, baju ganti yang aku bawa aku letakkan di atas sebuah meja yang berada di dalam kamar.Aku mulai membuka pelan kebaya yang aku kenakan, masih merasa tenang sebenarnya karena aku mengenakan dalaman yang senada dengan warna kulit. Hanya saja kalau tetap dibantu, sentuhan tangan dari mas Danta justru membuatku bergidik karena memang belum terbiasa. Setelah membuka seluruh kancing aku berdiri membelakangi suamiku itu dan memintanya membantu menarik kebayaku dari belakang.“Aku taruk di ranjang ya?” tanya Mas Danta dan akupun mengangguk.“Makasih, aku ke kamar mandi dulu,” ucapku kemudian saat Mas Danta meletakkan kebayaku di ranjang.“Mas nggak usah ikut, disitu saja dulu,” lanjutku kembali saat melihat mas Danta mengikutiku.“Aku nggak akan ngapa-ngapain, Sayang. Tenang aja, lagian kan di luar masih banya
“Terima kasih suamiku tercinta semoga mas kawin yang diberikan memberikan manfaat dan saya mohon jadilah suami yang bertanggung jawab baik lahir maupun batin, terima kasih.” Sama seperti Mas Danta dengan suara sedikit parau karena menahan haru aku mengikuti apa yang penghulu ucapkan dan menerima mas kawin yang diberikan oleh suamiku itu. Untuk kali pertama setelah resmi menjadi nyonya Danta aku mencium punggung tangan suamiku itu dan sebuah ciuman di kening Mas danta berikan sebagai balasannya.Ini bukan yang pertama untukku menjalani prosesi seperti ini, hanya saja kali ini terasa berbeda. Sebuah moment penuh drama … Ah, itu sudah menjadi masa lalu dan sekarang aku sudah membuka sebuah lembaran baru dalam kehidupanku. Penghulu meminta kami duduk karena kami harus menandatangani buku nikah dan juga berkas lainnya. “Sesudah akad nikah saya Danta Pramudya Khalik berjanji dengan sesungguh hati, bahwa saya akan mempergauli isteri saya bernama Rania
“Bukan mas Satria, tapi, tentang Ibunya dan juga bapak mertuanya,” jelasku memulai cerita.Aku kemudian mulai menceritakan tentang apa yang terjadi dengan mas Satria berdasarkan kabar yang aku terima dari teman-temanku. Juga tentang apa yang aku lihat sewaktu di mall tadi, dimana aku melihat bapak Aleya dan juga melihat Ibu Mas Satria menjual perhiasan. Aku juga mendengar kalau uang itu akan diberikam kepada bapak Aleya sebagai modal untuk usaha. Aku juga menceritakan kecurigaanku atas kecurangan bapak Aleya kepada Mas Danta.“Apa sebaiknya aku memberi tahu Mas Satria tentang hal ini, agar bisa mencegah ibunya memberikan uang itu kepada bapak Aleya?” tanyaku bingung. “Tapi, aku sudah tidak ingin ikut campur dalam hal apapun lagi sebenarnya,” lanjutku.“Sayang, bukan aku melarang kamu untuk memberitahukan hal itu kepada Satria atau membantunya. Tapi, kamu juga harus punya bukti yang kuat, bukan sekedar dugaan atau pun kecurigaan semata. Apa kamu punya bukti
“Sini?” tunjukku kemudian dengan dagu.Mas Danta berhenti di sebuah toko perhiasan yang berda di lantai 1.“Pak titip belanjaan, ya.” Mas Danta berbicara dengan seseorang yang berjaga di depan toko perhiasan.“Baik, Pak.” Pria yang berjaga itu kemudian membantu mendorong troli dan meminggirkan tepat di belakang pria itu berjaga-jaga.Mas Danta kemudian mengandengku masuk ke dalam toko perhiasan yang paling terkenal di kota ini. Pelayan dengan seragam batik menyambut kami dengan ucapan selamat datang dan menanyakan tentang perhiasan apa yang kami cari.“Yang satu set, Mbak,” jawab Mas Danta kemudian.“Silahkan di sebelah sini, Pak.” Dengan tangan kanan pelayan berkulit putih itu menunjuk sebuah etalase.“Buat siapa?” tanyaku pada Mas Danta setengah berbisik.“Buat calon istriku,” jawab Mas Danta, aku menunjuk diriku sendiri dengan jari telunjuk dan pria itu mengangguk.“Kan sudah dapat dari mama,” ucapk
“Tunggu sebentar ya, Sayang. Ini sudah selesai kok, dari rumah sakit aku langsung nyusul kesana.”Sebuah pesan masuk di ke ponselku, pesan dari Mas Danta. Aku sedang keluar ke sebuah mall di tengah kota guna berbelanja beberapa barang untuk di kafe. Mas Danta memintaku untuk naik taksi online karena dia yang akan menjemputku nanti. Sudah hampir dua jam aku berada di sini dan sudah mendapatkan barang-barang yan aku cari.Sebuah coffe shop di lantai tiga menjadi tempatku untuk menyandarkan tubuh lelahku. Sewaktu berkeliling tadi sama sekali tidak terasa capeknya, akan tetapi, setelah selesai baru aku rasakan kaki rasanya pegal meski aku tidak mengunakan alas kaki dengan hak tinggi. Mungkin saking asiknya melihat barang-barang sampai lupa capek tadi sewaktu di toko.“Silahkan milk shake coklatnya, Kak.” Seorang pelayan dengan seragam pink fanta menghampiri mejaku untuk mengantarkan minuman pesananku.“Oh … makasih,” jawabku kemudian.“Untuk